Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Desentralisasi Public Service dalam Era Otonomi Daerah
1. DESENTRALISASI PUBLIC SERVICE
DALAM ERA OTONOMI DAERAH
Oleh :
Sri Susilih
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Administrasi, Program Studi Administrasi Negara,
Universitas Indonesia.
Dekonsentrasi diberikan pengertian
sebagai pelimpahan wewenang (delegation
of
authority),
desentralisasi
sebagai
penyerahan
wewenang
(transfer
of
authority) . Dalam dekonsentrasi delegation
of authority hanya menyangkut policy
executing yakni melaksanakan kebijakan
yang sudah ditentukan dari pemerintah
pusat. Sedangkan dalam desentralisasi
transfer of authority termasuk didalamnya
policy making dan policy executing, yakni
berwenang membuat kebijakan sendiri dan
sekaligus melaksanakannya.
administrasi atau B.C. Smith disebut Field
Administration.
Yaitu
propinsi
kabupaten/kota, kota administratif (sudah
tidak dikenal berdasarkan UU No 22/1999),
kecamatan. Pejabat-pejabat pusat didaerah
yang menerima pelimpahan wewenang
dalam yurisdikasi wilayah administrasi
disebut Field Administrator. Ada dua tipe
pejabat, yaitu pejabat pejabat yang disebut
Kepala Wilayah : Gubernur, Bupati,
Walikotamadya (Walokota Administratif),
Camat. Pejabat-pejabat ini menjalankan
pemerintahan
umum
(administrator
generalist) seperti ketertiban umum,
koordinasi. Disamping itu ada pejabat
Kepala Instansi Vertikal yang berasal dari
departemen teknis. Pejabat-pejabat ini
menjalankan
pemerintahan
umum
(administrator specialist) yakni memberikan
public service kepada masyarakat sesuai
dengan bidang yang menjadi tanggung
jawab departemen masing-masing. Aabila
diacu pendapat A.F. Leemans tentang
penentuan batas-batas wilayah administrasi,
maka dalam penyelenggaraan dekonsentrasi
di Indonesia menganut sistem integrated
field administration (B. Hossien ;2000) atau
apabila
dikaitkan
dengan
tipologi
pemerintahan daerah menurut Robert C.
Fried, maka Indonesia menganut integrated
prefectoral system (B. Hossein; 1978)
Jika dikatikan dengan pembagian
wilayah negara Republik Indonesia, maka
dekonsentrasi akan melahirkan wilayah
Pada sisi lain, jika dikaitkan dengan
pembagian wilayah negara Republik
Indonesia berdasarkan asas desentralisasi,
Ada dua tema yang menjadi perhatian
jika
membahas
tentang
pembagian
kekuasaan antara pusat dan daerah, yaitu
dekonsentrasi
dan
desentralisasi.
Dekonsentrasi (sebagai penghalusan dari
sentralisasi) diselenggarakan untuk mewakili
kepentingan
nasional.
Desentralisasi
diselenggarakan
untuk
mewakili
kepentingan
nasional.
Desentralisasi
diselenggarakan
untuk
mewakili
kepentingan masyarakat setempat (lokal) di
daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Mengingat masyarakat
tiap masyarakat lokal memiliki keunikan
masing-masing, dengan demikian hanya
cocok
jika
instrumen
desentralisasi
diterapkan.
36
2. 37 Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. Maret 2002
maka akan melahirkan Daerah Otonom yaitu
kesatuan masyarakat yang mempunyai
wewenang
mengatur
dan
mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (UU No 22/1999). Di
Indonesia berdasarkan UU No 5/1974
dikenal dua tingkatan daerah otonom, yaitu
Daerah Tingkat I (Dati I) dan daerah Tingkat
II (Dati II). Namun menurut UU No 22/1999
tidak dikenal sebutan/nomenklatur daerah
Tingkat I dan DAERAH Tingkat II lagi
mengingat Indonesia menganut integrated
prefectoral system, maka batas-batas
wilayah administrasi berhimpit dengan
wilayah dari daerah otonomi (Fused Model
menurut A.F. Leemans). Demikian juga
elemen jabatan diintegrasikan di tangan
pejabat dari orang yang sama. Seorang
Kepalan Wilayah juga merangkap sebagai
Kepala Daerah, dalam hal ini seorang kepala
Wilayah lebih mengutamakan kepentingan
pemerintahan pusat dari pada kepentingan
masyarakat daerah.
Dari
uraian
tersebut,
jika
dekonsentrasi
dan
desentralisasi
diperbandingkan maka terlihat masih
kuatnya dominasi dekonsentrasi dari pada
desentralisasi. Struktur hirarkhi wilayah
administrasi
yang
lebih
banyak
dibandingkan dengan susunan daerah
otonom. Akan menimbulkan birokratisasi
yang melemahkan sendi-sendi demokrasi (B
Hoessein;2000) yang hendak dikembangkan
dalam penyelenggaraan desentralisasi.
Pemberian otonomi daerah sebagai
perwujudan
dari
desentralisasi
pada
hakekatnya
memberikan
kewenangan
kepada daerah untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat (UU No 22/1999).
Dengan otonomi sesungguhnya daerah
diberikan kebebasan untuk membuat dan
melaksanakan keputusan yang terbaik bagi
masyarakatnya. Dengan otonomi diharpkan
akan tercipta masyarakat yang tumbuh atas
dasar inisiatif/prakarsa sendiri, sehingga
akan melahirkan masyarakat yang kreatif –
inovatif tanpa ada kekangan dari pemerintah
pusat.
Desentralisai merupakan keharusan
dan kebutuhan setiap masyarakat apapun
bentuk dan ideologi negaranya. Praktek
penyelenggaraan
sentralisasi
yang
berlebihan
terbukti
menimbulkan
kekecewaan dan ketidakpuasan warga
masyarakat terhadap pemerintahannya.
Desentralisasi sangat didambakan/disukai,
dan karenanya memiliki nilai (value) baik
sedangkan sentralisasi bernilai buruk
sehingga cenderung ditolak. Desentralisasi
menurut berbagai pakar memiliki segi
positif, diantaranya : secara ekonomi,
meningkatkan efisiensi dalam penyediaan
jasa dan barang publik yang dibutuhkan
masyarakat setempat, megurangi biaya,
meningkatkan output dan lebih efektif dalam
penggunaan sumber daya manusia. Secara
politis, desentralisasi dianggap memprkuat
akuntabilitas, political skills dan integrasi
nasional. Desentralisasi lebih mendekatkan
pemerintah
dengan
masyarakatnya,
memberikan/menyediakan layanan lebih
baik,
mengembangkan
kebebasan,
persamaan dan kesejahteraan (B.C. Smith :
1985)
Desentralisasi/otonomi
adalah
persoalan yang menyangkut hak asasi
manusia,
oleh
karena
dalam
desentralisasi/otonomi individu diberikan
kebebasan untuk berpikir dan bertindak atas
dasar aspirasi masing-masing, tiap individu
dipenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara
dan kualitas yang terbaik, berpartisipasi
dalam kehidupan sosial, ekonomi dan
3. 38 Sri Susilih – Desentralisasi Public Service
politik, dengan tidak ada kontrol langsung
dari pemerintah pusat.
Dalam era otonomi daerah, dituntu
peranan
pemerintah
daerah
untuk
memberikan
kesejahteraan
kepada
masyarakat daerahnya dengan penyediaan
public services yang sangat dibutuhkan.
Pergeseran paradigma dari good government
menuju
good
governance
(local
governance), akan melibatkan hubungan
antara
pemerintah
daerah
dengan
masyarakatnya
dalam
kegiatan/urusan
urusan
pemerintahan.
Dalam
good
governance harus ada keseimbangan antara
publik, privat dan sosial/ masyarakat.
Dengan demikian desentralisasi/otonomi
tidak hanya berupa penyerahan wewenang
dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, tetapi juga penyerahan wewenang
kepada masyarakat (J.B. Kristiadi :1994).
Berkiatan dengan ini, bagaimana posisi
pemerintah daerah dalam penyediaan public
services yang melibatkan partisipasi privat
dan masyarakat.
Desentralisasi
melahirkan
local
government. Konsep local government dapat
mengandung tiga arti : (B. Hoessien :
makalah). Pertama, penggunaan istilah local
government sering kali saling dipertukarkan
dengan istilah local authority. Namun kedua
istilah tersebut mengacu pada council
(DPRD) dan major (KDH) yang rekruitment
pejabatnya atas dasar pemilihan.
Kedua,
local
government
berarti
pemerintahan lokal yang dilakukan oleh
pemerintahan lokal (mengacu pada fungsi).
Ketiga, local government berarti daerah
otonom.
Local government memiliki otonomi (lokal),
dalam arti self governmet.
Di Indonesia istilah local government
berarti pemrintah daerah yang memiliki
otonomi
daerah.
Pemerintah
daerah
diselenggarakan oleh Kepala Daerah (KDH)
selaku
penyelenggara
pemerintahan
tertinggi.
Bersama
dengan
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) KDH
melaksanakan fungsi policy making dan
sekaligus melakukan fungsi policy execuring
dengan menggunakan instrumen perangkat
birokrasi lokal (local burcaucracy). Dalam
hal yang menyangkut public services
dilaksanakan oleh dinas-dinas daerah,
BUMD (Badan Usaha Milik Daerah)
Public services (pelayanan publik)
memiliki
karakteristik
sebagaimana
dikemukakan oleh Olive Holtham (Leslie
Willcocks dan Jenny Harraw : 1992).
1. Generally cannot choose customer
2. Roles limited by legislation
3. Politics institutionalizes conflict
4. complex accountability
5. very open to security
6. action must be justified
7. Objectives-outputs
state /measure
difficult
to
Dengan
karakteristik
tersebut,
pelayanan publik memerlukan organisasi
yang berbeda dengan organisasi yang dapat
memilih konsumennya secara selektif. Setiap
terjadi kenaikan harga atas suatu public
services harus dibicarakan atau harus
mendapat persetujuan terlebih dahulu dari
pihak legislatif (Achmad Nurmadi :1999).
Terdapat jenis public service seperti
penyediaan air bersih, listrik, infrastruktur
dan sebagainya tidak sepenuhnya dapat
4. 39 Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. Maret 2002
diserahkan berdasarkan mekanisme pasar
pasar. Ada kelompok masyarakat yang tidak
dapat menikmati public service tertentu (ini
berkaitan dengan aspek pemerataan), jika
ditangani oleh sistem pasar/privat. Gejala ini
disebut kegagalan pasar (market failure).
Salah satu bentuk intervensi pemerintah
adalah dengan penyediaan barang-barang
publik (public goods). Public goods
dicirikan oleh dua karakteristik yaitu (1)
“non-exludability” dan (2) non-rivalry
consumption”.
Karakteristik
nonexcludability barang publik diartikan bahwa
orang-orang yang membayar agar dapat
mengkonsumsi barang itu tidak dapat
dipisahkan dari orang-orang yang tidak
membayar tetapi dapat mengkonsumsinya
juga. Sedangkan karakteristik non rivalry
consumption diartikan bahwa bila seseorang
mengkonsumsi barang itu, orang lainpun
mempunyai kesempatan mengkonsumsinya
pula.
Oleh karena pihak swasta tidak
bersedia menghasilkan barang publik
(murni), maka pemerintahanlah yang harus
menyediakannya agar kesejahteraan seluruh
masyarakat dapat ditingkatkan (Nurdjaman
Arsjad, dkk :1992). Intervensi pemerintah
akan lebih menonjol dilakukan oleh
pemerintah daerah yang bercirikan pedesaan
(rural). Ini disebabkan tuntutan masyarakat
di perkotaan lebih mendesak daripada di
pedesaan. Kenyataan yang tidak dihindari
adalah terjadinya pergeseran barang/jasa
privat berubah menjadi barang/jasa publik
(dan sebaliknya), misal pemadam kebakaran.
Di pedesaan pemadam kebakaran bersifat
barang/jasa privat sehingga tidak diperlukan
Dinas Pemadam Kebakaran, tetapi di
Perkotaan berubah menjadi barang /jasa
publik. Konsekuensinya adalah bila semakin
banyak barang/jasa privat yang tidak dapat
dihindari berubah sifat menjadi barang /jasa
publik, maka beban pemrintah akan semakin
tinggi. Hal ini sering dikatakan sebagai
fenomena government growth (Sudarsono
H:1997). Pertumbuhan beban pemerintah ini
akan semakin berkebihan bukan hanya
karena berubahnya barang privat menjadi
barang publik saja, tetapi terurtama juga jika
pemerintah tidak secara selektif menentukan
batas-batas
pekerjaannya.
Adakalanya
barang/jasa yang sebenarnya bercirikan
barang/jasa privat masih di produksi atau
subsidi oleh pemerintah
kecenderungan
munculnya beban tambahan pemerintah
yang tidak dapat dihindari, maka efisiensi,
efektifitas
dan
akuntubulitas
penyelenggaraan
pemerintahan
dengan
sendirinya semakin menjadi kebutuhan.
Itulah sebabnya di banyak negara
dikembangkan
paradigma
reinventing
government. (Sudarsoono H : 1997)
Dalam penyediaan public services
oleh pemerintah, tidak tertutup kemungkinan
terjadinya government failure. Dalam hal ini
intervensi sektor privat dapat dimungkinkan.
Beberapa
alasan
keterlibatan
sektor
privat/swasta dalam pelayanan publik :
(Hendropronoto Susilo dan John L Taylor :
1995).
1. meningkatkanya penduduk di
perkotaan
sementara
sumber
keuangan pemerintah terbatas.
2. pelayanan yang diberikan sektor
privat/swasta
dianggap
lebih
efisien.
3. banyak bidang pelayanan (antara
lain penyehatan lingkungan dan
persampahan) idak ditangani
pemerintah
sehingga
sektor
privat/swasta dapat memenuhi
kebutuhan yang belum tertangani
tanpa mengambil alih tanggung
jawab pemerintah.
4. akan terjadi persaingan dan
mendorong pendekatan yang
bersifat kewiraswastaan dalam
pembangunan nasional.
5. 40 Sri Susilih – Desentralisasi Public Service
Prinsip-prinsip yang tertuang dalam
reinventing government, terutama
prinsip catalytic government : steering
rather than rowing (Osborne dan
Gaebler
:1992),
mengisyaratkan
perlunya dikembangkan privatisasi
(debirokrasasi) atau public-private
partnership.
Istilah privatisasi pertama kali muncul
dalam kamus 1983 dan didefinisikan secara
sempit sebagai “menjadikan privat”,
mengalihkan kontrol dan kepemilikan dari
publik ke privat. Namun istilah ini telah
mendapatkan pengertian yang lebih laus ;
istilah privatisasi melambangkan suatu cara
baru dalam memperhatikan kebutuhan
masyarakat
dan
pemikiran
kembali
mengenai peranan pemerintah dalam :
memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini
berarti memberikan kewenangan yang lebih
besar pada institusi masyarakat dan
mengurangi kewenangan pemerintah dalam
merumuskan kebutuhan masyarakat. Dengan
demikian privatisasi merupakan tindakan
mengurangi
peran
pemerintah
atau
meningkatkan peran sektor privat dalam
aktivitas atau kepemilikan asset publik. (E.S.
Savas : 1986).
yang menghubungkan antara konsumen,
produsen
dengan
pengatur.
Dengan
demikian dalam penyediaan /pelayanan
barang
dan
jasa
terdapat
3
partisipasi/pihak/aktor utama yang terlibat
yaitu :
1. konsumen (service consumer)
2. produsen (service producer)
3. pengatur (service
service provider).
arranger
or
Konsumen : secara langsung memperoleh
atau menerima pelayanan.
Producer : adalah agen dapat berupa instansi
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
atau lembaga swasta yang secara nyata dan
langsung menghasilkan atau memberikan
pelayanan kepada konsumen.
Pengantar : adalah agen/lembaga yang
mengatur mekanisme antara produsen dan
konsumen. Lembaga ini dapat berasal dari
lembaga pemerintah ataupun lembaga
swadaya masyarakat (LSM).
Hubungan ketiga elemen /pihak yang terlibat
dalam pelayanan publik dapat diilustrasikan
sebagai berikut :
E.S. Savas mengajukan beberapa
bentuk/model penyediaan barang dan jasa
Arranger
6. 41 Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. Maret 2002
Consumer
Producer
Keterangan :
= Garis kewenangan
= Garis pelayanan
= Garis pembayaran
Bentuk-bentuk /model-model pelayanan
barang dan jasa adalah sebagai berikut (E.S.
Savas :1986, Achmad Nurmadi : 1999)
1. Government Service
Model
pelayanan
ini
umum
dilakukan di semua negara, dimana
pemerintah memberikan semua jenis
pelayanan publik kepada pemerintah
memberikan semua jenis pelayanan
publik
kepada
masyarakat.
Pemerintah menjalankan fungsi
sebagai pengatur pelayanan (service
arranger) dan produsen pelayanan
(service procuder). Perangkapan
tugas produksi dan pengatur
(provisi)ini
berkaitan
dengan
kebijakan ekonomi makro yang
diatur suatu negara.
2. Intergovernmental Agreement
Di tingkat yang lebih tinggi,
pemerintah pusat dapat pula
mendelegasikan kewenangan kepada
pemerintah
daerah
untuk
memberikan pelayanan. Dalam
model ini konsumen membayar
secara langsung biaya pelayanan
kepada pemerintah daerah atau yang
menjalankan
fungsi
provisi.
Sedangkan fungsi produksinya tetap
dijalankan oleh pemerintah pusat.
3. Government vending
Dalam model ini seorang individu
dapat membeli pelayanan dari
pemerintah
sesuai
dengan
kebutuhannya. Dalam hal ini,
konsumen (individu organisasi)
bertindak sebagai pengatur (service
arranger)dan membayar kepada
pemerintah atas sejumlah pelayanan
publik.
Misalnya : seorang individu dapat
menggunakan tenaga polisi untuk
mengontrol (mengawasi) penonton
dalam pertandingan olah raga yang
dimiliki secara pribadi
4. Contract
Dalam model ini pemerintah dapat
mengontrak
atau
memberikan
mandat jkepada perusahaan negara
(atau daerah kalau di daerah) untuk
memberikan pelayanan. Pihak yang
dikontrak adalah perusahaan swasta,
misalnya pemerintah mengontrak
perusahaan swasta untuk penyapuan
jalan, pemeliharaan lampu jalan,
pemeliharaan
traffic
light,
penyedotan tinja, pengumpulan
7. 37 Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. Maret 2002
sampah dan lain-lain. Dalam model
ini, produksi dan provisi pelayanan
dilakukan
oleh
pihak
yang
memperoleh hak kontrak, dalam hal
ini pihak swasta. Sedangkam
komsumen
membayar
secara
langsung atas biaya pelayanan yang
diterima kepada produsen.
5. Grant
Dalam model Grant, pemerintah
memberikan
subsidi
kepada
produsen,
dengan
tujuan
menurunkan harga barang dan jasa
pelayanan.
Secara
umum,
pemerintah memberikan penurunan
nilai pajak yang harus dibayar oleh
produsen pada berbagai bidang
pelayanan publik. Produsen adalah
pihak swasta, sedangkan pemerintah
dan
masyarakat
(konsumen)
bertindak
sebagai
co-arranger.
Artinya, pemerintah menyeleksi
perusahaan swasta tertentu dari
sejumlah perusahaan swasta yang
berminat, sedangkan masyarakatpun
melakukan pilihan pada pelayanan
yang diberikan perusahaan manakah
yang
layak
sesuai
dengan
mekanisme pasar.
6. Voucher
Dalam model voucher ini, konsumsi
barang-barang tertentu diarahkan
secara khusus kepada konsumen
tertentu. Perusahaan swasta yang
memberikan pelayanan dibayar
secara langsung oleh pemerintah.
Namun dalam kasus ini, konsumen
secara bebas memilih barang dan
jasa yang dikehendakinya.
7. Franchise
Dalam model ini pemerintah
memberikan hak monopoli kepada
suatu perusahaan swasa untuk
memberikan pelayanan dalam suatu
batas geografis tertentu, dan
pemerintah menentukn tarif yang
harus dibayar oleh konsumren.
Pemerintah
dalam
kasus
ini
melakukan fungsi sebagai pengatur
dan perusahaan swasta untuk
pelayanan
yang
diberikan,
sedangkan konsumen membayar
secara langsung kepada perusahaan
swasta tersebut.
8. Market
Dalam sistem pasar, konsumen
memilih secara produsen barang dan
jasa yang dikehendaki sesuai dengan
kualitasnya tanpa campur tangan
pem,erintah dalam mekanisme ini.
Dalam mekanisme pasar pemerintah
tidak berperan, baik sebagai
penyedia jasa maupun sebagai
pengatur pelayanan jasa (srvice
arranger). Semuanya tergantung
kepada produsen dan konsumen.
Mekanisme pasar seperti ini
memang mempunyai keuntungan,
terutama dalam mencapai tingkat
efisiensi yang tinggi dan kualitas
pelayanan yang diberikan.
9. Voluntary Service
Dalam sistem ini lembaga/organisasi
swadaya
secara
sukarela
memberikan
pelayanan
yang
dibutuhkan masyarakat. Lembaga
/organisasi
tersebut
bertindak
sebagai pengatur (service arranger)
dan penyedia /produsen pelayanan
(service producer).
10. Self Service
Bagian terbesar dari penyediaan
pelayanan jenis/model pelayanan
yang disediakan /dilakukan sendiri
oleh
individu/masyarakat
(self
service atau self-help).
Misalnya :
- pemeliharaan kesehatan
- perlindungan
dari
bahaya
kebakaran/pencurian
- kesejahteraan, dsb.
8. 38 Sri Susilih – Desentralisasi Public Service
Jenis atau model pelayanan ini
umumnya dilakukan oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia, baik
yang tinggal di daerah pedesaan
maupun di daerah perkotaan.
Misalnya :
-
Pelayanan pengumpulan sampah
-
Kebersihan desa/lingkungan
-
Pembuatan Jalan/Gang, dsb.
Model-model pelayanan publik yang
telah diuraikan merupakan ilustrasi aktivitas
penyediaan pelayanan publik di Amerika
Serikat. Sedangkan di Indonesia beberapa
bentuk pelayanan publik yang melibatkan
sektor swasta antara lain : BOT (Build,
operate and transfer), BOO (build, operate
and own), BOOT (build, operate, own, and
transfer) dan sebagainya.
Perkembangan pemikiran berikutnya
mengenai perlunya perubahan peran
pemerintah daerah dalam penyediaan public
services, adalah apa yang dikemukakan oleh
S. Leach tentang “enabling authority” (Steve
Leach, et.al, 1994). Dalam hal ini
pemerintah daerah tidak lagi menyediakan
public services secara sendiri tetapi
melibatkan
juga
kewenangan
sektor
privat/swasta dan masyarakat dengan
voluntary organisationnya sebagai alternatif
terdapat tiga dimensi public services :
1. dimensi ekonomi (the economic
dimension)
dalam produksi dan distribusi
local goods and services apakah
menekankan pada peranan pasar
peranan pasar (market emphasis)
atau pada peranan sektor publik
(public sector agencies).
2. dimensi
pemerintah
(the
governmental dimension)
dimensi ini membedakan antara
weak role for local government
dan strong role for local
government (peranan pemerintah
lemah) ditandai sempitnya fungsi
tanggung jawab, bertindak reaktif,
otonomi/diskresi
rendah
dan
derajat
kontrol
eksternal
(pemerintah pusat) yang tinggi.
Strong role for local government
(peranan pemerintah kuat)ditandai
oleh luasnya fungsi tanggung
jawab, bertindak positif, tingkat
otonomi/diskresi
tinggi
dan
tingkat kontrol eksternal terbatas.
3. dimensi bentuk demokrasi (the
form of democracy)
ada dua bentuk demokrasi lokal,
yaitu representative democracy
dan participatory democracy.
Dalam representative democracy
(demokrasi
perwakilan).
Preferensi
masyarakat
diekspresikan melalui sistem
pemilihan lokal.
Sedangkan dalam participatory
democracy
(demokrasi
partisipasi), partisipasi masyarakat
lokal dan forum demokrasi
dipandang sebagai unsur utama
dalam pengambilan keputusan
lokal, dengan suatu kerangka
kebijakan yang dilegitimasikan
melalui pemilihan yang sukses.
Berdasarkan ketiga dimensi tersebut
dikembangkan
emapt
model
kewenangan dalam public services,
yaitu :
The traditional bureaucratic authority
9. 39 Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. Maret 2002
Model ini mengkombinasikan secara
relatif :
-
peranan local governance yang
kuat, dan
-
penekanan pada representative
democracy.
tidak memihak pada salah satu
bentuk demokrasi.
sektor publik yang kuat,
-
-
Dalam model traditional bureaucratic
authority, pemerintah menyediakan
public services secara langsung,
pemerintah adalah aktor utama yang
dapat menyediakan seluruh public
services yang sekiranya dibutuhkan
masyarakat,
pemerintah
bersifat
monopolistik.
Akibatnya
beban
pemerintah sangt berat, masyarakat
tidak dapat menolak public services
yang disediakan (walaupun tidak
dibutuhkan)
karena
pemerintah
cenderung
menyeragamkan
penyediaan public services.
Di masa depan, peran monopoli
pemerintah
dalam
model
traditional
bureaucratic authority ini perlu dirubah ke
arah
tig
model
berikutnya
yang
mencerminkan partisipasi dari aktor privat
dan masyarakat .
Dengan kata lain terjadi proses privatisasi.
Menurut model ini, pemerintah menyediakan
public services yang tidak diadakan oleh
sektor privat karena adanya kegagalan pasar.
Jadi peranan pemerintah terbatas pada jenis
public dan services tertentu yang
pengadaannya
harus
mengutamakan
pemerataan/keadilan untuk menghindari
terjadinya kesenjangan sosial (social gap).
The market-oriented authority
Mengkombinasikan dimensi-dimensi :
-
menekankan pada peranan pasar
yang kuat
-
peranan local governance yang
kuat, dan
-
representative democracy.
Public
services
disediakan
melalui
mekanisme pasar sehingga masyarakat dapat
memilih Public services yang sesuai dengan
kebutuhannya, dapat menikmati Public
services yang berkualitas. Pemerintah dalam
model ini mempunyai peranan kuat dalam
mengatur dan mengontrol mutu Public
services yang diadakan sektor privat/swasta.
The residual enabling authority
Model
yang
terbentuk
mengkombinasikan :
dengan
-
peranan pasar yang kuat
-
local governance lemah, dan
The community-oriented enabler
Model yang mengkombinasikan dimensidimensi :
-
partisipasi masyarakat
10. 40 Sri Susilih – Desentralisasi Public Service
-
posisinya berada di antara
dimensi local governance dan
sektor publik/privat.
Dalam model ini, masyarakat melalui
voluntary organization berhak menolak
Public services yang tidak dikehendaki,
dapat mengusahakan Public services yang
dibutuhkan. Model ini dapat menumbuhkan
inovasi-inovasi dalam masyarakat.
Demikianlah yang dikemukakan oleh
Savas dan Steve Leach memperlihatkan
kecenderungan
untuk
menempatkan
masyarakat (diluar pemerintah) sebagai
subyek
dalam
aktivitas
pemenuhan
kebutuhan hidupnya baik fisik maupun
mental. Apabila masyarakat diberikan
kesempatan
berpartisipasi,
kebebasan
berkreasi tanpa terlalu dikontrol pemerintah,
akan tumbuh kreativitas sehingga muncul
inovasi-inovasi dalam masyarakat. Posisi
pemerintah hanyalah sebagai perantara,
fasilitator atau katalisator. Kata govern yang
berasal
dari
kata
Yunani
artinya
“mengarahkan”.
Tanggung
jawab
pemerintah adalah untuk mengarahkan
/mengemudikan
(steering)
masyarakat.
Dalam kaitan ini pemerintah menetapkan
kebijakan-kebijakan
sebagai
pedoman
berprilaku masyarakat.
Referensi :
Buku
Arsyad, Nurdjaman. et.al. Keuangan Negara. Jakarta : Intermedia, 1992
D.W. Nana Rukmana. et.al.Manajemen Pembangunan Prasarana Perkotaan. Ed. Jakarta : LP3ES,
1995
Leach, Steve. et.al. The Changing Organization and Management of Local government. London :
Macmillan Press Ltd, 1994.
Nurmadi, Achmad, Manajemen Perkotaan Yogyakarta : Lingkaran Bangsa, 1999.
11. 41 Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 02. Maret 2002
Osborne, David dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi : Menstransformasi Semangat
Wirausaha Ke Dalam Sektor Publik, terj. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo, 1996.
Savas, E.S. Privatisation : The Key To Better Government. New Jersey, 1987.
Smith, B.C. Decentralization : The Territorial Dimension of the State, 1985.
Willock, Leslie et.al.Rediscovering Public Services Managemet. Ed. London : McGraw-Hill,
1992.
Makalah
H Sudarsono “Pelayanan Prima Sektor Swasta Dalam Mendukung Daya Saing : Model Alternatif
Bagi Sektor Publik 1997.
Hoessein, B. makalah
----------, makalah
majalah dan Jurnal
Analisa, tahun VII No 8, Agustus, 1978
Bisnis & Birokrasi, Vol. II/Nomor 3/September, 1994
Bisnis & Birokrasi, Vol. VII/Nomor 3/ Oktober, 2000