1. Tarian Sulawesi Tengah
1. Tari Balia
Balia merupakan Tarian Sulawesi Tengah khas Suku Kaili. Sebuah tarian ritual untuk
memuja dewa-dewa dan roh nenek moyang. Meski Islam telah masuk dan menjadi
agama mayoritas, keyakinan terhadap hal-hal gaib sehubungan leluhur masih sangat
kental. Tari Balia merupakan upaya pengakuan terhadap kekuatan yang dianggap suci,
yang dianggap bisa mendatangkan berkah dan musibah.
Dalam prakteknya, Balia merupakan tradisi penyembuhan. Masyarakat Kaili menyakini
bahwa musibah penyakit datang karena manusia gagal menjaga keharmonisan
hubungan dengan penguasa alam. Oleh mereka penguasa alam dipersonifikasikan
dalam bentuk leluhur dan dewa-dewa. Ketika datang suatu penyakit, cara
menyembuhkannya adalah dengan memuja-muja lagi dewa yang memberi sakit.
Tarian ini biasa dilakukan ketika upaya medis tak berhasil menyembuhkan. Diadakan di
rumah pemujaan yang disebut Lobo, baik oleh individu maupun kelompok. Sebagai
tarian ritual, selain ada rupa sesajen, tari ini dimulai dengan pembacaan mantra untuk
memanggil roh leluhur. Prosesinya bisa berlangsung hingga tujuh hari tujuh malam
dengan penyembelihan hewan sebagai acara puncaknya.
2. Tari Dero
Tari Dero atau Madero adalah salah satu tarian tradisional Sulawesi Tengah yang
berasal dari Kabupaten Poso. Lahir sebagai tradisi Suku Pamona yang melambangkan
suka cita atau untuk mewakili ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas semua
hal yang telah diberikanNya. Tarian ini sering kali ditampilkan di berbagai pesta adat,
upacara adat ataupun saat pesta panen raya.
Selain sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, Tarian Dero dianggap pemersatu
karena biasa dilakukan bersama-sama. Tanpa memandang latarbelakang, baik miskin
maupun kaya semuanya saling berpegangan tangan menari bersama. Dalam tarian ini,
nuansa kerukunan dan persahabatan demikian kentara. Bagi kaum muda, tarian ini juga
menjadi kesempatan mencari pasangan hidup.
Seperti halnya Balia, Dero berkaitan dengan kepercayaan lama Suku Pamona sebelum
memeluk agama Kristen. Mulanya, tarian ini disajikan ketika pasukan perang pulang
dari Pengayauan (penggal kepala). Mengayau dilakukan sebagai penolak bala ketika
terjadi musibah panen gagal atau ada masyarakat yang meninggal. Tengkorak kepala
manusia itu diletakkan di tengah Lobo dan mereka menari melingkarinya.
3. Tari Raego
Raego atau Rego atau Raigo merupakan bentuk seni yang memadukan tarian dan syair
tradisional. Kesenian ini hidup dan berkembang di lingkup masyarakat Suku Kulawi,
2. Suku Kaili, dan Suku Bada. Dalam formasi melingkar tarian ini disajikan dengan
menyanyikan syair-syair panjang dalam bahasa Uma tua. Bahasa ini merupakan bahasa
daerah kuno yang sudah tidak digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Syair Raego sangat bervariasi karena disesuaikan dengan acara dimana kesenian ini
ditampilkan. Jika dimainkan setelah panen, maka syairnya tentang proses membuka
ladang, menanam, menyiangi, hingga memanen. Adapun jika Raego ditampilkan untuk
menghibur salah satu keluarga yang berkabung, syairnya berkisar tentang siklus hidup
manusia serta menceritakan kebaikan orang yang mati saat masih hidup.
Bagi masyarakat pendukungnya, Raigo diyakini lahir dan berkembang melalui proses
mitos. Kemudian menjadi ritual yang diwujudkan dalam bentuk gerakan dan ungkapan
yang bernilai sakral dan magis. Gambaran tentang kemenangan dalam usaha, ungkapan
kegembiraan dan rasa syukur melalui tari dan syair yang berisikan pemujaan terhadap
Sang Pencipta. Tari ini lebih banyak dihadirkan tanpa iringan musik.
4. Tari Torompio
Selain Dero, Tarian Daerah Sulawesi Tengah yang berasal dari Suku Pamona adalah Tari
Torompio. Dalam bahasa Pamona, Torompio berarti “Angin Berputar”. Torompio
sendiri merupakan tarian pergaulan tradisional yang melambangkan para remaja yang
sedang dimabuk asmara. Disajikan dengan iringan gong, gendang, karatu (gendang
duduk), dan gitar. Para penarinya menari sambil menyanyikan syair lagu tentang
asmara.
Dalam sejarahnya, Torompio lahir di zaman penjajahan Jepang di Indonesia terutama di
Tanah Poso saat pembukaan jalan Takolekaju. Tari ini diyakini pertama kali lahir di
Desa Taripa di Pamona Timur. Pada tahun 1943 atas jasa Almarhum Bapak T. Lanipa,
seorang guru di desa tersebut, tarian ini menjadi populer. Sejak saat itu, tari ini terus
dikembangkan dan dilestarikan hingga saat ini.
5. Tari Pamonte
Tarian Sulawesi Tengah selanjutnya adalah Tari Pamonte atau Tari Pomonte dari Parigi,
Kabupaten Donggala. Pomonte berasal dari dua kata dalam bahasa Kaili Tama, yakni
“Po” yang berarti pelaksana dan “Monte” berarti tuai (menuai). Jadi, Pomonte artinya
penuai. Dinamakan seperti itu karena tari ini tercipta berdasarkan kebiasaan wanita di
Kabupaten Donggala yang hidup bertani, khususnya di desa asal tarian ini.
Tari Pomonte dikreasikan oleh Hasan M. Bahsyuan tahun 1957 dan diperagakan oleh 21
penari wanita. Kemudian ada yang dibuat untuk ditarikan 16 orang, lalu dirubah lagi
menjadi 17 orang. Ketiga versi ini tidak hilang dan bisa dipilih sesuai kemampuan.
Perubahan terjadi lagi tahun 1968 dengan menghilangkan properti seperti toru (topi),
alu, dan bakul (bingga). Saat ini penari hanya memakai toru dan selendang.
3. 6. Tari Peule Cinde
Tari Peule Cinde juga merupakan Tarian Khas Sulawesi Tengah yang diciptakan oleh
Hasan M. Bahsyuan. Peule Cinde merupakan tari penyambutan yang difungsikan untuk
menyambut tamu kehormatan. Salah satu kekhasan tari ini adalah puncak tariannya
yang mana penarinya menaburkan bunga bagi para tamunya.
7. Tari Pontanu
Apabila Tari Pomonte menggambarkan kebiasaan wanita Donggala dalam bertani, Tari
Pontanu menggambarkan kebiasaan lain mereka yakni menenun. Pontanu menyajikan
ragam gerak yang mencoba menggambarkan aktivitas para penenun Sarung Donggala,
yakni jenis sarung khas dari Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Tari ini sering
ditampilkan untuk menyambut tamu, festival budaya dan promosi wisata.
Dalam prakteknya, Pontanu dibawakan oleh setidaknya 4 penari wanita. Mereka
memulai tari dengan gerak yang dikreasikan, sebelum kemudian mempertunjukkan
gerak seolah sedang menenun. Adapun pada babak akhir mereka mengibarkan sarung
layaknya bendera seolah memamerkan hasil karya tenunannya. Sebagai musik
pengiring digunakan Ngongi (sejenis Gong) dan Ganda (sejenis Gendang)
8. Tari Baliore
Banyak di antara tarian dari Sulawesi Tengah menggambarkan kegembiraan
sehubungan dengan pesta panen padi. Selain sebagian tari yang telah disebutkan di
atas, ada juga Tarian Baliore. Tari ini lebih menggambarkan keindahan gadis-gadis yang
tengah bergembira menyambut panen tiba. Mereka menari dengan lincahnya dengan
diiringi oleh tetabuhan gendang.
9. Tari Posisani
Tari Posisani merupakan tarian pergaulan tradisional Sulawesi Tengah yang
menggambarkan keceriaan kaum muda di saat pesta. Mereka bergembira bersama
sambil menari dan menyanyi. Tari ini juga sering kali menjadi ajang mencari jodoh
karena di dalamnya para penari saling berkenalan satu sama lain. Istilah Posisani
sendiri memiliki arti perkenalan.
10. Tari Mo Ende
Di Kabupaten Poso ada Suku Lore yang juga memiliki tarian khasnya. Salah satunya
adalah Tari Mo Ende yang terlahir sebagai hiburan di masa-masa terhimpit ketika
Jepang menjajah wilayahnya. Tari ini mencoba menggambarkan kehidupan remaja yang
penuh kegairahan dan potensi. Tari Mo Ende ditarikan oleh 8 hingga 12 orang penari
dalam formasi lingkaran. Sebagai pengiring digunakan Gendang, Gong dan Juk
(Keronco).