2. DEFINISI HUKUM SYARA’
HUKUM (al-hukm) secara bahasa (etimologi) berarti
mencegah, memutuskan.
Menurut terminologi ushul fiqh, hukum syar’i adalah
khitab (kalam) Allah Swt yang berkaitan dengan semua
perbuatan mukallaf, baik berupa iqtidha` (perintah,
larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan),
takhyir (memilih antara melakukan dan tidak melakukan),
atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu
sebagai sebab, syarat, atau penghalang/māni’).
3. Penjelasan Definisi al-Hukm
• Yang dimaksud Khithabullah adalah semua bentuk dalil-
dalil hukum, baik Quran, Sunnah, maupun Ijma’ dan Qiyas.
Namun Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan dalil hanya Quran dan Sunnah, adapun
ijma’ dan qiyas sebagai metode menyingkapkan hukum
dari Quran dan sunnah. Al-Quran dianggap sebagai kalam
Allah secara langsung, dan sunnah sebagai kalam Allah
secara tidak langsung karena Rasulullah Saw tidak
mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali
berdasarkan wahyu, sesuai firman Allah:
Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran
kepada al-Quran dan sunnah.
• Yang dimaksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang
dilakukan oleh manusia dewasa, berakal sehat, termasuk
perbuatan hati (seperti niat), dan perbuatan ucapan
(seperti ghibah).
6. Hukum Taklifi dan Wadh’i
• HUKUM TAKLIFI adalah hukum yang mengandung perintah,
larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf
untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat.
Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat 5 waktu
wajib, khamar haram, riba haram, makan-minum mubah.
• HUKUM WADH’I adalah ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur tentang sebab, syarat, dan mā
nni’ (sesuatu yang
menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum
taklifi).
Misalnya, hukum wadh’imenjelaskan bahwa waktu
matahari
tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya
mukallaf menunaikan shalat zuhur. Wudhu’ menjadi syarat
sahnya shalat. Atau, kedatangan haid menjadi
penghalang/māni’ seorang wanita melakukan kewajiban
shalat dan puasa.
7. Bentuk-bentuk Hukum Taklifi
• WAJIB. Secara etimologi berarti tetap atau pasti. Secara terminologi,
sesuatu yang diperintahkan Allah dan RasulNya untuk dilaksanakan oleh
mukallaf, jika dilaksanakan mendapat pahala, sebaliknya jika tidak
dilaksanakan diancam dengan dosa.
• MANDUB. secara bahasa berarti sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah, suatu
perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan RasulNya dimana akan diberi pahala
orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak
melaksanakannya. Mandub atau nadb disebut juga sunnah, nafilah, mustahab,
tathawwu’, ihsan, dan fadhilah.
• HARAM. Secara bahasa berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara
istilah, sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya, dimana orang yang
melanggarnya diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannyakarena
menaati Allah akan diberi pahala. Misal: larangan zina.
• MAKRUH. Secara bahasa berarti sesuatu yang dibenci. Secara istilah, sesuatu
yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, dimana jika ditinggalkan akan
mendapat pujian dan pahala, dan jika dilanggar tidak berdosa. Misal, dalam
mazhab Hanbali makruh berkumur-kumur dan memasukkan air ke
hidung ( و
ال
س
ت
ن
ش
ا
ق
ة
ال
م
ض
م
ض( secara berlebihan ketika wudhu di siang hari Ramadhan.
• MUBAH. Secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan.
Secara istilah, sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat kepada mukallaf untuk
melakukan atau tidak, dan tidak ada hubungannya dengan dosa serta
pahala. Misal: jika terjadi puncak cekcok suami-istri, maka boleh
(mubah) bagi istri membayar sejumlah uang kepada suami dan
meminta suami menceraikannya (QS. Al-Baqarah: 229).
8. Pembagian WAJIB (1)
Dari segi Orang
Yang dibebani
kewajiban
WAJIB ‘AINI
Kewajiban yg dibebankan
kepada setiap mukallaf (sudah
baligh dan berakal), tanpa
terkecuali. Misal: shalat wajib.
WAJIB KIFĀ`I
Kewajiban yg dibebankan kepada
seluruh mukallaf, namun jika telah
dilaksanakan oleh sebagian umat
Islam, maka kewajiban itu sudah
dianggap terpenuhi. (Shalat jenazah)
9. Pembagian WAJIB (2)
Dari segi
Kandungan
Perintah
WAJIB MU’AYYAN
Kewajiban dimana yg menjadi
objeknya adalah tertentu tanpa
ada pilihan. Misal: kewajiban
puasa di bulan Ramadhan.
WAJIB MUKHAYYAR
Kewajiban dimana yang menjadi
objeknya boleh dipilih antara
beberapa alternatif. (kaffarat sumpah)
مك
ي
ل
ه
أ
ن
و
م
عط
ت
ا
م
ط
س
و
أ
ن
م
ن
ي
كا
س
م
ة
ر
ش
ع
م
ا
ع
ط
إ
ه
ت
ر
ا
ف
كف
مايا
لثثة
ف
ص
ي
ا
م
دجي
مل
نمف
ةبقر
اوريرحت
مهتوسك
وا
10. Pembagian WAJIB (3)
Dari segi Waktu
Pelaksanaannya
WAJIB MUTHLAQ
Kewajiban yg pelaksanaannya
tidak dibatasi dg waktu tertentu.
Misal: kewajiban membayar
puasa Ramadhan yg tertinggal.
WAJIB MUAQQAT
Kewajiban yg pelaksanaannya
dibatasi dengan waktu tertentu.
MUWASSA’. Waktu yg
tersedia lebih lapang
daripada waktu pelaksanaan
kewajiban itu sendiri. Misal:
Shalat 5 waktu.
MUDHAYYAQ. Waktu yg
tersedia hanya mencukupi
untuk melaksanakan
kewajiban itu. Misal: Puasa
bulan Ramadhan, haji.
11. Pembagian MANDUB
MANDUB / NADB /
SUNNAH
MUAKKADAH
Sunnah sangat
dianjurkan, dibiasakan
oleh Rasul Saw dan
jarang ditinggalkannya.
Misal: Shalat sunnah 2
rakaat sebelum fajar.
GHAIR
MUAKKADAH
Sunnah biasa, sesuatu
yg dilakukan Rasul,
namun bukan menjadi
kebiasaannya. (Shalat
sunnah 2x dua rakaat
sebelum shalat zuhur).
ZAWĀID
Sunnah mengikuti
kebiasaan sehari-hari
Rasulullah Saw
sebagai manusia.
Misal: cara makan
rasul, tidur, dll.
12. Pembagian HARAM
HARAM
AL-MUHARRAM
LI DZATIHI
Diharamkan krn esensinya
mengandung kemudharatan bagi
kehidupan manusia. Misal: Larangan
zina, makan bangkai, darah, babi.
AL-MUHARRAM LI
GHAIRIHI
Dilarang bukan krn esensinya, tapi
pada kondisi tertentu dilarang krn ada
pertimbangan eksternal. Misal:
larangan jual beli saat azan jumat.
13. Pembagian MAKRUH
MAKRUH
MAKRUH TAHRIM
Dilarang oleh syari’at, tapi dalilnya
bersifat dhanni al-wurud (dugaan
keras, seperti hadis ahad yg
diriwayatkan perorangan). Misal:
Larangan meminang wanita yg
sedang dalam pinangan orang lain.
MAKRUH TANZIH
Dianjurkan oleh syariat untuk
meninggalkannya. Misal: memakan
daging kuda pada waktu sangat
butuh di waktu perang, menurut
sebagian Hanafiah.
14. Pembagian MUBAH
Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitab Muwafaqat membagi
mubah menjadi 3 macam:
2. Mubah yg berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada
sesuatu hal yg wajib dilakukan. Misal: makan dan minum
adalah sesuatu yg mubah, namun berfungsi
kewajiban
untuk
shalat
menggerakkan seseorang mengerjakan
dsb.
3. Sesuatu dianggap mubah hukumnya jika dilakukan sekali-
sekali, tetapi haram hukumnya jika dilakukan setiap waktu.
Misal: bermain dan mendengar musik, jika menghabiskan
waktu hanya untuk bermain dan bermusik maka menjadi
haram.
4. Sesuatu yg mubah yg berfungsi sebagai sarana mencapai
sesuatu yg mubah pula. Misal: membeli perabot rumah
untuk kepentingan kesenangan.
15. Pembagian SEBAB
• Sebab yg bukan merupakan perbuatan mukallaf, dan berada
di luar kemampuannya. Namun, sebab itu mempunyai
hubungan dengan hukum taklifi, karena syariat telah
menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban
yg harus dilaksanakan oleh mukallaf. Misal, tergelincir
matahari menjadi sebab (alasan) bagi datangnya waktu
shalat dhuhur, masuknya awal bulan ramadhan menjadi
sebab bagi kewajiban puasa ramadhan.
• Sebab yg merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batasan
kemampuannya. Misal: perjalanan (safar) menjadi sebab
bagi bolehnya berbuka puasa di siang ramadhan, akad jual
beli menjadi sebab bagi perpindahan hak milik dari penjual
kepada pembeli.
16. Pembagian Hukum WADH’I
• SEBAB. Secara bahasa berarti sesuatu yg bisa
menyampaikan seseorang kepada sesuatu yg lain. Secara
istilah, sebab yaitu sesuatu yg dijadikan oleh syariat
sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya
sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.
• SYARAT. Secara bahasa berarti sesuatu yang
menghendaki adanya sesuatu yg lain, atau sebagai tanda.
Secara istilah, syarat yaitu sesuatu yg tergantung
kepadanya ada sesuatu yg lain, dan berada di luar hakikat
sesuatu itu.
• MĀNI’. Secara bahasa berarti penghalang dari sesuatu.
Secara istilah, maksudnya adalah sesuatu yg ditetapkan
syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum, atau
penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
17. Pembagian SYARAT
SYARAT
SYARAT SYAR’I
Syarat yang datang langsung dari
syari’at itu sendiri. Misal: keadaan
rusyd (kemampuan mengelola
pembelanjaan sehingga tidak
menjadi mubazir) bagi anak yatim.
م
ال
ه
و
م
ا
م
ال
ي
ه
ا
و
ف
ع
د
ا
ف
ا
د
ش
ر
م
ن
ه
م
م
ت
س
ا
ن
ء
ن
إ
ف
SYARAT JA’LY
Syarat yang datang dari kemauan
orang mukallaf itu sendiri. Misal:
seorang suami berkata kpd istri, jika
engkau memasuki rumah si fulan
maka jatuhlah talakmu satu.
18. Pembagian MĀNI’
MĀNI’
MĀNI’ AL-HUKM
Sesuatu yg ditetapkan syariat
sebagai penghalang bagi adanya
hukum. Misal: haid wanita sebagai
penghalang shalat.
MĀNI’ AL-SABAB
Sesuatu yg ditetapkan syariat
sebagai penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab, sehingga
sebab itu tidak lagi mempunyai
akibat hukum. (Batas nishab
menjadi sebab wajib zakat)