Dokumen tersebut membahas konsep dasar perilaku kekerasan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta penatalaksanaan keperawatan untuk pasien dengan perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan dijelaskan sebagai respon terhadap stimulus internal dan eksternal yang memicu individu untuk melakukan kekerasan baik secara verbal maupun nonverbal. Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi predisposisi biologis, psikologis, dan sosial budaya, serta
4. KONSEP DASAR PERILAKU KEKERASA
Definisi
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan emosi yang
merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau
marah (Iyus Yosep & Titin Sutini, 2007)
merupakan rasa marah dan bermusuhan yang kuat serta
kehilangan control emosi, Sehingga dapat melukai diri
sendiri dan orang lain. (Abdul Muhith 2015)
Perilaku kekerasan merupakan respon terhadap stressor
yang dihadapi oleh seseorang yang ditunjukkan degan
perilaku actual melakukan kekerasan baik pada diri sendiri
maupun lingkungan
5. Disimpulkan
Perilaku kekerasan adalah suatu respon terhadap
stimulus internal maupun eksternal yang memicu
individu untuk melakukan kekerasan baik secara
verbal maupun non verbal terhadap diri sendiri atau
orang lain.
6. FAKTOR TERJADINYA PERILAKU KEKERASAN
Faktor Predisposisi
Factor predisposisi merupakan factor resiko dan protektif
yang mempengaruhi terjadinya gangguan jiwa. Factor
predisposisi meliputi biologis, psikologis, dan social
(Stuart, 2016).
Biologis: Meliputi latar belakang genetic, status nutrisi,
kepekaan biologis, kesehatan secara umum dan
keterpaparan pada racun.
Psikologis : Meliputi intelegensi, keterampilan verbal,
moral, kepribadian pengalaman masa lalu, konsep diri dan
motivasi, pertahanan psikologi dan lokus kendali.
Social budaya: Meliputi usia, gender, pendidikan,
penghasilan,pekerjaan, latar belakang budaya keyakinan
religi, afiliasi politik, pengalaman social dan tingkat
integrasi social dan tingkat keterhubungan.
7. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2016) steresor presipitasi adalah
stimulus yang menantang, mengancam, yang
memerlukan energy tambahan dan mengakibatkan
suatu ketegangan dan stress. Stressor ini dapat bersifat
biologis, psikologis, dan soial budaya. Ketentuan
kurun waktu factor presipitasi tidak ledih 6 bulan
darri mulai terjadinya gejala.
10. Rentang Respon
Respon adaptif respon maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk
Asertif klien mampu mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan
memberikan kelegaan
Frustasi Klien gagal mencapai tujuan kepuasan/saat marah dan tidak dapat
menemukan alternative
Pasif Klien merasa dapat mengungkapkan perasaannya, tidak berdaya dan
menyerah
Agresif Klien mengekspresikan secara fisik, tapi masih terkontrol, mendorong
orang lain dengan ancaman
Amuk Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang control, dan
merusak lingkungan
11. TANDA DAN GEJALA PERILAKU KEKERASAN
Agitasi motorik; mondar-mandir, ketidakmpuan untuk
duduk diam, mengepalkan tinju, mengencangkan rahang
atau otot-otot wajah
Kemampuan verbal; terlihat seperti ancaman terhadap
kondisi nyata, menganggu perhatian atau mengumpat,
berbicara dengan nada keras dan tertekan dan posisi tubuh
yang mengancam.
Afek (alam perasaan); ekspresi marah, mudah tersinggung,
kegembiraan yang meluap-luap, kondisi emosi yang labil
sehingga klien kesulitan mengontrol emosinya.
Tingkat kesadaran; bingung, perubahan status mental
tiba-tiba, disorientasi, kerusakan memori, tidak bisa
diarahkan.(Stuart, 2005)
13. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Terapi Generalis (SP):
A. SP untuk pasien prilaku kekerasan
SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya, membantu
klien mengenal masalah kemarahan, identifikasi penyebab
perasaan marah, tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku
kekerasan yang dilakukan, akibatnya serta cara mengontrol
secara fisik I (nafas dalam)
SP 2 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan
obat dan latihan patuh minumobat.
SP 3 Pasien Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara
fisik ke-2 (pukul kasur dan bantal)
SP 4 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara
sosial/verbal
SP 5 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara
spiritual
14. Lanjutan …
B. SP untuk keluarga
Sp 1 Keluarga : keluarga mampu mengenal masalah
yang di alami pasien
Sp 2 Keluarga : keluarga mampu merawat pasien
dengan prilaku kekerasan minimal
latihan fisik 1 dan 2
Sp 3 Keluarga : keluarga mampu mengambil keputusan
Sp 4 Keluarga : keluarga mampu memodifikasi
lingkungan
Sp 5 Keluarga : keluarga mampu memanfaatkan
fasilitas kesehatan
15. Terapi Spesialis (AT)
Definisi Assertiveness Training:
Assertive Training (AT) merupakan latihan yang
diberikan kepada klien perilaku kekerasan dengan
menggunakan keterampilan interpersonal dasar yang
meliputi berkomunikasi langsung dengan orang lain,
berani mengatakan tidak untuk permintaan yang
tidak rasional, mampu menyatakan keberatan dengan
baik, mengekspresikan apresiasi yang sesuai dan
menerima pujian dengan wajar.(Stuart, 2007).
16. Tujuan Assertiveness Training (AT)
1. Meningkatkan penilaian terhadap diri dan orang lain
2. Meningkatkan harga diri, mengurangi kecemasan
3. Meningkatkan kemampuan dalam membuat keputusan hidup
4 Mengekspresikan sesuatu secara verbal, nonverbal,
mengekspresikan kebutuhan dan hak.
5. Melatih ketrampilan interpersonal dasar seseorang.
6. Mempelajari prosedur kognitif, afektif dan perilaku untuk
meningkatkan kemampuan interpersonal
7. Mengurangi penghalang secara kognitif dan afektif untuk
berperilaku asertif seperti kecemasan, pikiran tidak rasional,
perasaan bersalah dan marah.
8. Membantu individu memahami : (1) bahwa agresif merupakan
bentuk perilaku yang harus dipahami, diterima, dimodifikasi dan
dikontrol, (2) ekspresi marah untuk satu situasi belum tentu
tepat untuk situasi yang lain dan (3) metode untuk mengatasi
perilaku agresif digunakan untuk menurunkan agresif secara
lebih baik
17. Prinsip Assertiveness Training (AT)
Prinsip yang diperhatikan dalam Assertiveness Training yaitu
ketrampilan yang dilatih dan tehnik komunikasi yang digunakan.
A. Keterampilan
1. Melatih individu memahami perilaku asertif dan agresif
2. Membantu mengidentifikasi hak personal dan orang lain
3. Meningkatkan ketrampilan asertif melalui praktek secara
langsung.
4. Melatih kemampuan berkomunikasi secara langsung pada orang
lain
5. Mengekspresikan sesuatu dengan tepat
6. Menyampaikan perasaan dan pikiran
7. Menyampaikan kebutuhan dan keinginan
8. Mengekspresikan kemarahan
9. Mengatakan tidak untuk permintaan yang tidak rasional
10. Kemampuan untuk menyampaikan komplain, opini dan
kontradiksi
18. B. Tehnik Komunikasi
1. Menggunakan bahasa tubuh yang asertif yaitu kontak
mata yang tepat, ekspresi wajah sesuai dengan
pembicaraan. volume bicara sesuai, postur tubuh tegak
dan relaks, memperhatikan jarak terapeutik.
2. Menggunakan pernyataan ”saya” pernyataan ini
berfokus pada problem bukan menyalahkan orang lain
seperti ”saya menyukai untuk menyampaikan cerita
saya tanpa interupsi.”
3. Penggunakan fakta bukan kesimpulan sepihak seperti
”kamu membutuhkan kegiatan yang terencana”.
4. Mengekspresikan pikiran, perasaan dan opini yang kita
miliki.
5. Membuat penjelasan.
19. Pelaksanaan Assertiveness Training
Sesi satu : melatih kemampuan mengungkapkan
pikiran dan perasaan.
Sesi dua: melatih kemampuan mengungkapkan
keinginan dan kebutuhan.
Sesi tiga : melatih mengekspresikan kemarahan dengan
benar
Sesi empat : mengatakan ”tidak” untuk permintaan
yang tidak rasional dan menyampaikan alasan
Sesi lima : mempertahankan perubahan asertif dalam
berbagai situasi.
20. Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Lebih Singkatnya
Sebagai Berikut (Stuart, 2016):
Strategi pencegahan
penahanan
strategi antisipasi strategi
Kesadaran diri Pendidikan
klien
Komunikasi perubahan
lingkungan terapi perilaku
psikofarmakologi
manajemen krisis seklusi
restrain
21. CONTOH KASUS PRILAKU KEKERASAN
Tn. S dibawa ke RSJ. Lawang oleh kakaknya pada tanggal 1 september
2017. Pada tanggal 2 oktober 2017 dilakukan pengkajian kembali klien
mengatakan: klien sering mengamuk tidak jelas dan membanting semua
sesuatu yang ada didekatnya, waktu kakanya menasehati klien, klien
membantah dan menyerang dengan ekspresi wajah wajah memerah, mata
melotot dengan suara nada tinggi. Perlakuan klien tersebut dikarenakan
satu bulan sebelum MRSJ klien ditolak cintanya oleh wanita yang disukai.
dengan alasan klien mengalami kecacatan yaitu cacat fisik dan mental. Saat
pemeriksaan fisik didapatkan TD: 120/80 mmHg, respiratory rate 20x/m,
nadi 88x/m, dan suhu 36,20 c, klien jalannya pincang dikarenakan ada
gangguan pertumbuhan kususnya dikaki & gangguan perkembangan
(keterlambatan mental) yang dibuktikan saat dilakukan pengkajian respon
klien lambat dalam mejawap pertanyaan yang disampaikan oleh perawat.
Kakak klien juga mengatakan dengan kecacatan yang dimiliki oleh klien,
menyebabkan keluarga tidak pernah melibatkan klien dalam musywarah
keluarga. Dengan perlakuan tersebut mengakibatkan klien sering sendiri
dan sulit untuk bersosialisasi. Selama di rumah sakit klien menggunakan
layanan BPJS. Ketika ditanya perawat tentang keyakinannya bisa
mengendalikan marahnya Klien mengatakan “yakin bisa mengendalikan
dan berhenti marah-marah”. Karena klien sudah diajari cara mengendalikan
marah dengan nafas dalam, mukul bantal dan mampu mengungkapkan
secara verbal.
22. Factor biolgis
Cacat
Factor psikologis
Sejak kecil diacuhkan oleh
keluarga
Factor social budaya
Sulit untuk bersosial
Sifat
Ditolak cintanya
Asal
Internal & Eksternal
Waktu
satu bulan MRSJ
Jumlah
1 stresor: ditolak cintanya
Intensitas marah (sering)
Kognitif
Ancaman
Afektif
Marah
fisiologis
kerusakan diotak/TCS
Perilaku
Agresif
Social
Jarang beragul
Kemampuan personal
Sudah mampu
menerapkan SP PK
Dukungan social
Kaka
Modal material
menggunakan BPJS
Keyakinan positif
Yakin bisa mengendalikan
dan berhenti marah – marah
Perilaku Kekerasan
Destruktif
Respon maladaptif
Faktor
Predisposisi
Faktor Presipitasi
Penilaian Terhadap Stresor
Sumber Koping
HDR
ISOS
PK
23. Bukti Empiris
Efektivitas terapi asertif telah diteliti oleh Mochamad Ali Sodikin, Titin
Andri Wihastuti, Lilik Supriati di rumah sakit JIwa Dr.Radjiman
Wediodiningrat Lawang pada tahun 2015. Tujuan penelitian tersebut
adalah untuk mengetahui pengaruh latihan asertif dalam memperpendek
fase intensif dan menurunkan gejala perilaku kekerasandi ruang intensive
psychiatric care unit ( IPCU ). Menggunakan desain “Quasi
experimental pre-post test with control group”. Sample penelitian ini
adalah klien Skizoprenia dengan perilaku kekerasan berjumlah 60
orang yang terdiri dari 30 orang kelompok perlakuan yang diberikan
latihan asertif dan standar asuhan keperawatan perilaku kekerasan
dan 30 orang kelompok kontrol yang hanya mendapatkan standar
asuhan keperawatan perilaku kekerasan Hasilnya ditemukan bahwa
fase intensif pasien lebih cepat pada kelompok perlakuan daripada
kelompok kontrol dengan nilai p <0.001 dan didapatkan penurunan
gejala perilaku kekerasan yang lebih besar pada kelompok perlakuan
daripada kelompok kontrol dengan nilai p <0.001.
24. Penelitian Perkait
REBT (Rational Emotive Behaviour Therapy )
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dewi Eka Putri pada
tahun 2010, untuk mengetahui Efektifitas REBT pada
asuhan keperawatan dengan pasien perilaku kekerasan.
pada penelitian tersebut menggunakan desain Quasi
experiment with pre-post group with control. Sampelnya
berjumlah 53 orang yang dibagi menjadi dua yaitu 25 orang
kelompok intervensi dan 28 orang kelompok control. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan peningkatan respon
kognitif dan social serta penurunan respon emosi, perilaku
dan fisiologis secara bermakna pada klien yang mendapatkan
REBT. Dengan demikian REBT direkomendasikan untuk
diterapkan pada klien perilaku kekerasan bersama terapi
generalis.
25. CBT (Cognitive behaviour therapy )
Sebuah penelitian untuk mengetahui efektivitas
cognitive behaviour therapy terhadap gejala dan
kemampuan mengontrol emosi pada klien perilaku
kekerasan, yang dilakukan oleh Ketut Sudiatmika, Budi
Anna Keliat, dan Ice Yulia Wardani tahun 2013. Desain
penelitian quasi eksperimental dengan jumlah
sampel 60 responden. Hasil penelitian ditemukan
penurunan gejala perilaku kekerasan lebih besar pada
klien yang mendapatkan dari pada yang tidak
mendapatkan CBT (p value < 0.05). Kemampuan
kognitif, afektif dan perilaku klien yang mendapatkan
CBT meningkat secara bermakna (p value < 0.05).
26. PROGRESIVE MUSCULAR RELAKSATION (PMR)
Penelitian tentang PMR pernah dilakukan oleh Lopata
cristiper pada tahun 2003 di New York. Studi ini
mengevaluasi keefektifan relaksasi otot progresif (PMR)
sebagai intervensi pengurangan agresi komponen
tunggal proaktif untuk siswa sekolah dasar yang
diklasifikasikan sebagai penyan dang cacat emosional
dalam program sekolah / pengobatan sehari. Penelitian
ini latarbelakangi oleh perilaku kekerasan yang
dilakukan oleh anak sekolah di dalam kelas. Hasil
penelitian tersebut mendukung PMR sebagai intervensi
pengurangan agresi jangka pendek proaktif pada
perilaku agresif.