Dokumen ini membahas pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia dan menjelaskan bahwa UU, PP, Perpres, Permen dan Perda merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan hirarkinya."
2. Kajian Pengembangan
Peraturan Perundang-Undangan
Sebagai Instrumen untuk
Mengarusutamakan KLHS
Asisten Deputi Urusan Perencanaan Lingkungan
Deputi Bidang Tata Lingkungan
Kementerian Lingkungan Hidup
3. Pengarah
Ir. Hermien Roosita, MM
Tim Pendukung
Drs. Heru Waluyo M.Com
Ir. Laksmi Wijayanti, MSC
Ir. Indra Soekarjono
Rifan Asnanto, ST, Msi
Suhartono, S.Sos, MM
Siti Rachma Utami Dewi, S.Si
Tria Yuliati, ST
Widhi Handoyo, SKM. MT.
Penulis Utama
Prof. Dr. Maria SW. Sumardjono, SH., MCL., MPA
Totok Dwi Diantoro, SH., MA
Buku ini diterbitkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup
dengan dukungan Danish International
Development Agency (DANIDA) melalui
Environmental Support Programme (ESP)
phase 2.
Cetakan pertama Februari 2010
Informasi lebih lanjut:
Asisten Deputi Urusan Perencanaan
Lingkungan
Deputi Bidang Tata Lingkungan
Kementerian Lingkungan Hidup
Republik Indonesia
Gedung A, Lantai 4
Jl. D.I Panjaitan Kav. 24 Kebun Nanas,
Jakarta 13410
Telp/Fax (021) 85906676
Website : www.menlh.go.id
ii
4. Daftar Isi
Daftar Isi ...................................................................................................................... iii
Daftar Ringkasan ........................................................................................................... iv
Kata Pengantar ............................................................................................................. v
Ringkasan Eksekutif ..................................................................................................... vi
Bagian Pertama
Memahami Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ........................................ 1
A. Konsekuensi berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 .................................................... 2
B. Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) ................................................................................................................... 3
C. Peraturan Pemerintah (PP) ..................................................................................... 4
D. Peraturan Presiden (Perpres) ................................................................................. 4
E. Instruksi Presiden (Inpres) ...................................................................................... 5
F. Peraturan Menteri (Permen) .................................................................................. 5
G. Peraturan Daerah (Perda) ...................................................................................... 6
Bagian Kedua
Penempatan KLHS dalam Logika Peraturan Perundang-Undangan ............................ 7
I. KLHS dalam rancangan regulasi yang ada dan, tawaran benchmark di Vietnam
serta Filipina ........................................................................................................... 7
A. Hasil Kajian Bahan Hukum Sekunder ................................................................ 7
B. Hasil Kajian Bahan Hukum Primer .................................................................... 11
II. Usulan pengembangan peraturan perundang-undangan terkait KLHS .................. 15
A. UU sebagai Bingkai yang Paling Ideal ............................................................... 15
B. Materi muatan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pedoman Pelaksanaan
KLHS ................................................................................................................. 19
C. Materi Muatan Peraturan Presiden (Perpres, bukan Inpres) tentang Pedoman
Pelaksanaan KLHS ............................................................................................ 20
D. Materi Muatan Peraturan Menteri (Permen) tentang Pedoman Pelaksanaan
KLHS ................................................................................................................. 21
E. Materi Muatan Lampiran Permen tentang Pedoman KLHS ............................. 23
Bagian Ketiga
Penutup ........................................................................................................................ 26
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 27
iii
5. Daftar Singkatan
AMDAL : Analisa Dampak Lingkungan
Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Bappenas : Badan Perencana Pembangunan Nasional
BPLHD : Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
EAS : Environment Assessment System
ECC : Environment Compliance Certificate
EIA : Environment Impact Assessment
EMB : Environment Management Bureau
EMP : Enviroment Management Plan
ESP : Environment Support Program
Inpres : Instruksi Presiden
KLH : Kementrian Lingkungan Hidup
KLHS : Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Perda : Peraturan Daerah
Permen : Peraturan Menteri
Perpres : Peraturan Presiden
Perpu : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
PP : Peraturan Pemerintah
RPJMD : Rencana Pembangunan Jangkan Menengah Daerah
RPJPD : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
RTRWN : Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
SEA : Strategic Environmental Assessment
UU : Undang-Undang
UUD : Undang-Undang Dasar
YIPD : Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah
iv
6. Kata Pengantar
Pengaturan tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan keniscayaan untuk mewujudkan amanah Pasal
33 ayat (3) UUD 1945, khususnya terkait dengan frase “sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”, dan di sisi lain KLHS
merupakan instrumen pengendalian kerusakan lingkungan hidup dan penguatan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya
alam, merupakan hal yang relatif baru bagi Indonesia.
Maka hal-hal yang paling mendasar terkait KLHS harus dimuat dalam Undang-Undang untuk memperoleh legitimasi
pelaksanaannya. Kiranya saat ini merupakan kesempatan emas untuk merumuskan ketentuan tentang KLHS dalam Revisi
Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang tengah dibahas di DPR-RI.
Bila KLHS telah dirumuskan dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baru, pada saatnya perlu dipersiapkan Peraturan
Pemerintah (PP) untuk menjalankan ketentuan-ketentuan tentang KLHS yang dimuat dalam UU tersebut. Untuk memberikan
arah/pedoman lebih lanjut tentang pelaksanaan KLHS sebagaimana dimuat dalam PP, dapat ditindaklanjuti dalam Peraturan
Menteri (Permen).
Oleh karena KLHS sebagai salah satu bagian dari sistem penilaian lingkungan, di samping AMDAL, pada hakekatnya prinsip, asas,
nilai, tujuan dan manfaatnya dapat dikatakan bersifat universal. Maka, dalam upaya pengembangan peraturan perundang-
undangan negara lain seperti dari Vietnam dan Filipina terkait KLHS yang dibahas dalam kajian ini dapat menjadi sumber
dokumen yang berharga untuk dikaji lebih lanjut.
Kelak pada saatnya, dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan terkait KLHS perlu diupayakan terselenggaranya
forum konsultasi publik secara meluas untuk memperoleh masukan yang diperlukan. Bila kelak peraturan perundang-
undangan mengenai KLHS telah terbit, upaya sosialisasi masyarakat dan penguatan kapasitas instansi/lembaga terkait dengan
pelaksanaan KLHS juga harus dilakukan.
Demikian secara umum gambaran dari dokumen ini. Masukan dari para pihak diharapkan sebagai bahan untuk memasyaratkan
pemahaman dari kajian KLHS untuk dapat diterapkan secara pada penyusunan KRP di masa mendatang.
Jakarta, 1 September 2009
Ir. Hermien Roosita, MM
Deputi MENLH Bidang Tata Lingkungan
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
v
7.
8. Ringkasan Eksekutif
Dibandingkan dengan Vietnam dan China di satu pihak, dan Filipina di pihak lain, misalnya, masih banyak pekerjaan rumah
yang harus disiapkan oleh Indonesia terkait implementasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Degradasi sumberdaya alam yang telah terjadi semenjak dicanangkannya “pembangunanisme” sebagai orientasi untuk
menggerakkan roda ekonomi negara sekitar awal tahun 1970-an, mulai disadari kerawanannya terhadap keberlanjutan dan
pemeliharaan lingkungan hidup melalui penerapan Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).
Dalam perjalanan waktu, pelaksanaan AMDAL sebagai instrumen pengendalian dampak lingkungan hidup (LH) yang bersifat
spesifik proyek, di samping mengalami berbagai hambatan, juga memang tidak diorientasikan pada konsekuensi positif
maupun negatif suatu kegiatan sebagaimana diusulkan dalam Kebijakan, Rencana dan Program (KRP)-nya.
Cara pandang yang lebih komprehensif terhadap pemanfaatan sumber daya alam dengan keterbatasannya, bagaimanapun
juga harus ditempuh dengan cara menerapkan KLHS bila tetap menghendaki keberlanjutannya. KLHS dimaksudkan sebagai
instrumen pengendalian dalam aras KRP, yang kemudian pada saatnya ketika telah menjadi proyek, akan dikendalikan
dampaknya melalui AMDAL.
Permasalahan pokok penerapan KLHS di Indonesia adalah pemuatannya dalam peraturan perundang-undangan. Di Indonesia,
sumber hukum yang utama adalah peraturan perundang-undangan. Sebelum ketentuan tentang KLHS dimuat dalam suatu
undang-undang, dan kemudian pelaksanaannya dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang sesuai tata urutan/hirarkhi peraturan perundang-undangan, KLHS tidak akan memperoleh legitimasi.
Sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hirarkhi peraturan
perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan Daerah
Pengembangan peraturan perundang-undangan terkait KLHS dapat ditempuh melalui 2 (dua) strategi, yakni yang ideal-normatif
dan apabila hal ini tidak tercapai, melalui strategi yang lebih pragmatis dengan alasan kemendesakan, tanpa mengabaikan
aturan main terkait hirarkhi peraturan perundang-undangan agar terjamin legitimasinya.
Akomodasi KLHS dalam penyempurnaan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah langkah yang
paling “tepat” secara ideal-normatif. Oleh karena substansi yang dimuat dalam UU adalah ketentuan-ketentuan yang bersifat
umum, maka untuk selanjutnya, pelaksanaan KLHS harus dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan di bawah Undang-
Undang.
Ketika substansi KLHS karena satu dan lain hal belum sempat dimuat dalam Undang-Undang, strategi yang dapat ditempuh
adalah mengupayakan pemuatan ketentuan tentang KLHS dalam Peraturan Presiden (“Perpres”), yang kemudian ditindaklanjuti
dengan penjabaran KLHS dalam peraturan perundang-undangan di bawah Perpres.
Kegiatan penyusunan peraturan perundang-undangan terkait KLHS dapat segera dimulai menyusul pengakomodasiannya
dalam UU LH yang baru. Untuk bahan yang akan menjadi materi muatan peraturan perundang-undangan sebagai peraturan
pelaksanaan KLHS di bawah UU, dapat dikumpulkan dari berbagai hasil studi terkait KLHS.
Demikian juga, untuk memperkaya substansi yang akan disusun dalam peraturan perundang-undangan, dapat dimanfaatkan
bahan-bahan berupa peraturan perundang-undangan yang relevan yang berlaku di Vietnam yang relatif lengkap dan dari
negara-negara lain misalnya Filipina atau Republik Rakyat Cina.
Untuk menyusun peraturan perundang-undangan terkait KLHS tersebut diperlukan legal drafter yang di samping menguasai
ilmu perundang-undangan juga memahami KLHS.
Pada saatnya kelak, draft peraturan perundang-undangan yang telah disusun itu seyogyanya dikonsultasikan kepada para
pemangku kepentingan, di samping kepada masyarakat dalam arti luas untuk memperoleh tanggapan dan masukan.
Setelah peraturan perundang-undangan diberlakukan, sosialisasi agar terus diupayakan untuk mendorong kesadaran publik
akan pentingnya KLHS di samping AMDAL.
Diperlukan juga penguatan kapasitas lembaga terkait pelaksanaan KLHS agar KLHS diterapkan sesuai dengan tujuannya.
vii
9.
10. Bagian Pertama
Memahami Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia
B
ila dalam pemahaman konvensional (klasik), hukum merupakan instrumen social order yang terangkat sebagai
akumulasi dari nilai yang hidup dan mengendap di dalam dinamika relasi sosial (baca: kodifikasi), maka pada
pemahaman kontemporer kini muncul tawaran konsepsi yang lain. Yaitu konsepsi yang melihat bahwa, hukum
sebagai instrumen social order bukan lagi merupakan muara dari proses kodifikasi, melainkan—upaya untuk—menciptakan
modifikasi dan perubahan dalam masyarakat. Dengan demikian, ‘hukum modifikasi’ tersebut adalah peraturan yang bertujuan
mengubah pendapat hukum yang berlaku (yang telah ada), atau bahkan, merupakan peraturan perundang-undangan yang
salah satunya mempunyai tujuan untuk mengubah dinamika relasi sosial [Van der Vlies: 1987, dalam Farida Indrati Soeprapto:
2007].
Oleh sebab itu, manakala merujuk pada hakekat hukum sebagai instrumen social order, dalam tataran ini menjadi relevan
untuk sedikit merefleksi ke belakang. Sebagai instrumen social order, maka hukum pada dasarnya merupakan proses—
sekaligus peristiwa akhir—dari apa yang disebut dengan fenomena kekuasaan. Pada konteks ini, kekuasaan dibaca sebagai
sumber dari latar belakang beradanya hukum (legal existence). Atau dengan kata lain, hukum dan kekuasaan ibarat “dua sisi
dari satu mata uang,” yang mana dengan demikian tidak dapat dipisahkan. Pengertian ini terutama ingin menandaskan bahwa,
hukum (peraturan perundang-undangan) memperoleh legitimasi manakala terdapat relevansi yang tepat—kesesuaian—
antara bentuk/tingkatan peraturan yang dibuat/diciptakan, dengan jabatan kekuasaan yang juga relevan.
Oleh sebab manifestasi kekuasaan dalam konteks ini adalah negara, maka jabatan kekuasaan dengan demikian adalah
piranti dari struktur negara itu sendiri; yaitu pemerintah, baik kelembagaan maupun inidvidu. Selebihnya, hal ini membawa
konsekuensi terhadap hirarkhi jabatan pada kekuasaan, yang musti paralel dengan hirarkhi peraturan perundang-undangan
yang hendak dimunculkan. Hirarkhi hukum (peraturan perudangan-udangan) dalam hal ini, sebagaimana dikenal di dalam
doktrin ilmu hukum—yang menegaskan bahwa hukum merupakan sebuah sistem norma vertikal dengan spirit utama adalah
demi ketertiban hukum—maka, peraturan yang lebih rendah mempunyai konsekuensi supaya harus mengacu dan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.1 Konteks kesesuaian antara jabatan dalam kekuasaan (otoritas pembentuk)
dan level peraturan inilah, yang selanjutnya membawa konsekuensi bagi legitimitas keberlakuan jenis (produk) peraturan yang
bersangkutan.
Istilah “perundang-undangan” (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung) sendiri, setidaknya mempunyai dua pengertian
yang berbeda. Yaitu, pertama, merupakan proses pembentukan atau proses membuat peraturan negara, baik di tingkat pusat
maupun daerah. Dan, kedua, adalah semua peraturan negara—baik tingkat pusat maupun daerah—yang merupakan hasil
dari proses pembentukan peraturan tersebut. Pengertian yang pertama lebih merujuk pada perihal serangkaian proses bagi
munculnya suatu peraturan perundang-undangan. Sejak mulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,
pembahasan, pengesahan, pengundangan, hingga penyebarluasan. Sementara pengertian yang kedua, lebih fokus berbicara
pada soal hasil dari serangkaian proses yang dilalui tersebut. Dengan demikian, setidaknya unsur peraturan perundang-
1 Asas “lex superiori derogat lex inferiori,” yaitu peraturan yang lebih tinggi derajadnya, mengalahkan (anulir) peraturan yang lebih ren-
dah. Sebagaimana Stufenbautheorie yang dipopulerkan oleh Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa sistem hukum sebagai sistem hi-
rarkhi berjenjang (tata susunan). Dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi. Kemudian, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif; yaitu norma dasar (grundnorm) [Hans
Kelsen, dalam Maria Farida Indrati Soeprapto: 2007].
1
11. undangan dalam hal ini adalah, merupakan suatu keputusan (‘politik’) yang tertulis, dibentuk oleh lembaga atau pejabat
negara yang berwenang (kompeten), dan mengikat secara umum.2
Oleh sebab itu, manakala pilihan untuk menggagas sebuah kebijakan kemudian menginjak pada ranah perlunya merumuskan
sebuah peraturan perundang-undangan, dengan begitu, menjadi tidak bisa dinafikan mengenai konteks pentingnya proses,
hasil (substansi dan format), dan leveling (terkait dengan jabatan kekuasaan yang paling relevan dengan produk hukum
yang dihasilkan) dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan. Namun demikian, pada uraian ini, elaborasi singkat hanya
akan mencoba mengemukakan bahasan perumusan peraturan perundang-undangan, pada konteks hasil dalam pengertian
kesesuaian relasi antara substansi dan format, serta konsekuensi yuridisnya.
A. Konsekuensi berlakunya UU No. 10 Tahun 2004
Pada tanggal 22 Juni 2004, tepatnya dengan disahkan dan sekaligus diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka dengannya menjadikan momentum baru yaitu berkaitan dengan adanya
panduan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan untuk semua jenis/bentuk dan tingkatannya. Landasan filosofis
dikemukakannya pembentukan peraturan perundang-undangan adalah, sebagai salah satu syarat dalam rangka pembangunan
hukum nasional yang (hanya) dapat terwujud apabila, didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang
mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.3
Selain itu, ketentuan yang standar dari pembentukan peraturan perundang-undangan dimaksudkan, untuk meningkatkan
koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan.4
UU No. 10 Tahun 2004, di dalam Pasal 1 butir (2) menyebutkan, peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis
yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa, sebuah peraturan perundang-undangan haruslah:
(i) berbentuk tertulis;
(ii) dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang; dan
(iii) mengikat secara umum.
Berkaitan dengan jenis/bentuk dan tingkatan (hirarkhi), UU No. 10 Tahun 2004 mengintroduksi mengenai macam bentuk/jenis
peraturan perundang-undangan, sesuai dengan derajadnya masing-masing; yaitu:
(i) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945;
(ii) Undang-Undang (UU), atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu);
(iii) Peraturan Pemerintah (PP);
(iv) Peraturan Presiden (Perpres); dan
(v) Peraturan Daerah (Perda).
2 Meskipun tidak semua produk peraturan perundang-udangan sebenarnya mengikat secara umum. Keputusan oleh lembaga negara
atau pejabat negara yang berwenang, dan bersifat penetapan (bukan pengaturan), dalam beberapa hal hanya mengikat secara ter-
batas. Misalnya, surat keputusan pejabat tata usaha negara (KTUN) tentang pengangkatan atau pemberhentian seseorang sebagai
PNS. Pada konteks keputusan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang tersebut, juga termasuk dalam kategori sebagai
peraturan perundang-udangan sacara luas. Pada konteks itu pula, mengikat secara umum atau terbatas, ini kemudian mempunyai
korelasi pada segi keberlanjutan berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut (suistainablity and form). Norma hukum dapat
dibedakan menjadi norma hukum yang berlaku sekali (einmahlig) dan norma hukum yang berlaku terus-menerus (dauerhaftig). Norma
hukum einmahlig hanya berlaku sekali dan langsung selesai, sifatnya berupa penetapan. Dan biasanya, secara rancu disebut sebagai
‘keputusan.’ Pengertian keputusan, misalnya, dapat ditemukan dalam ketentuan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pasal 1 ayat (4) menyebutkan, “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Menurut UU No. 5 Tahun 1986, Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah sebuah penetapan. Sama halnya dengan norma hukum
yang einmahlig, maka penetapan inipun bersifat langsung selesai. KTUN bersifat konkrit, objek yang diputuskan dalam KTUN itu tidak
abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan; misalnya keptusan mengeni ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan oleh
pejabat yang berwenang. KTUN bersifat individual, artinya tidak ditujukan untuk umum; yaitu terbatas pada subyek hukum tertentu
saja. KTUN bersifat final, telah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetu-
juan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak
yang bersangkutan. Sedangkan, norma hukum yang dauerhaftig keberlakuannya secara terus-menerus, tidak dibatasi oleh waktu, dan
berlaku secara umum. Norma hukum dauerhaftig tidak akan berlaku bila telah dicabut atau digantikan dengan norma hukum lainnya.
Contoh norma hukum ini adalah segala macam peraturan perundang-undangan yang tertera dalam UU No. 10 Tahun 2004. Dari segi
keberlakuannya, norma hukum dapat dipisahkan menjadi norma hukum yang validity dan norma hukum yang efficacy. Norma hukum
validity adalah norma hukum yang memiliki daya laku, atau karena ia memiliki keabsahan (validity/geltung). Syarat norma hukum ini
adalah ia dibentuk oleh lembaga yang memiliki otoritas yang lebih tinggi. Misalnya, Presiden membentuk PP karena diamanatkan oleh
UU. Berikutnya, selain memiliki validity, norma hukum juga mempunyai efficacy (daya guna/keefektifan). Norma hukum musti memiliki
efektifitas keberlakuannya. Meski norma hukum yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang, akan tetapi dalam keberlakuannya be-
lum tentu norma hukum tersebut akan efektif. Jadi, selain validity (keabsahan), norma hukum juga memerlukan efficacy (keefektifan)
berlakunya.
3 Konsideran menimbang huruf a UU No. 10 Tahun 2004.
4 Konsideran menimbang huruf b UU No. 10 Tahun 2004.
2
12. Selain jenis dan hierarki seperti dimaksud di atas, UU No. 10 Tahun 2004 juga merekognisi jenis peraturan perundang-undangan
lain, yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis peraturan yang dimaksud, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan
DPR, DPD, MA, MK, BPK, BI, Menteri, kepala badan, kepala lembaga atau komisi yang setingkat, yang dibentuk oleh Undang-
Undang, atau oleh pemerintah atas perintah Undang-Undang. Di tingkat daerah, antara lain, peraturan yang dibentuk oleh
DPRD propinsi/kabupaten/kota, dan peraturan yang dibentuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota, bahkan, peraturan-peraturan
di tingkat desa.
Di samping mempunyai dimensi yang bersifat vertikal sebagaimana deskripsi di atas, norma hukum juga memiliki dimensi
horizontal. Dimensi vertikal norma hukum, bermakna norma hukum berjenjang dari atas ke bawah atau, sebaliknya.
Sedangkan, dimensi yang bersifat horisontal bermakna bahwa, peraturan jenis dan tingkatannya yang sejajar diupayakan agar
secara sistematis tidak bertentangan—atau bahkan menegasikan—satu sama lain. Meskipun dalam beberapa kasus, bukan
tidak mungkin potensi bertentangan tersebut terjadi. Walau demikian, pada konteks potensi bertentangannya beberapa
peraturan perundangan yang setingkat dan sejenis menjadi aktual, toh sesungguhnya hukum sebagai sebuah sistem, juga
telah mengantisipasinya dengan adanya asas “peraturan yang lebih baru mengalahkan peraturan setingkat/sejenis yang lebih
lama” (lex posteriori derogat lex priori).
B. Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Di Indonesia, Undang-Undang (UU) merupakan bentuk peraturan perundang-undangan tertinggi, setelah konstitusi (UUD
1945). UU adalah peraturan yang dibentuk oleh DPR, serta disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, dan disahkan oleh
Presiden. Pada konteks UU merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi di bawah UUD 1945, maka UU merupakan
peraturan yang mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam UUD 1945.
Sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), adalah peraturan perundang-undangan yang sederajad
dengan UU, namun karena alasan khusus (special circumtance) maka, dia hanya dibentuk secara mandiri oleh Presiden.
Sebagaimana Pasal 22 UUD 1945 (baik sebelum dan sesudah perubahan), dan penjelasannya yang menyatakan bahwa, dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden dapat membentuk Perpu yang merupakan peraturan perundang-undangan
yang mempunyai kedudukan setingkat dengan UU. Bertolak atas dasar latar belakang tersebut, maka Perpu mempunyai
kedudukan dan fungsi yang sama dengan UU.
Oleh sebab kedudukan UU (dan juga Perpu) berada langsung di bawah UUD 1945, maka fungsi peraturan perundang-undangan
ini adalah: pertama, menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan di dalam UUD 1945 yang secara tegas menyebutnya
[Terdapat 38 pasal di dalam UUD 1945 yang secara tegas menyebut mengenai pengaturan lebih lanjut dalam bentuk UU, dari
mulai hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian
kekuasaan negara, wilayah negara dan pembagian daerah, dan keuangan negara].5 Kedua, mengatur lebih lanjut mengenai
topik yang diperintahkan oleh UU, untuk kemudian diatur juga dengan UU.
C. Peraturan Pemerintah (PP)
Peraturan pemerintah (PP), adalah jenis/bentuk peraturan perundang-undangan di bawah UU, yang dibentuk oleh Pemerintah
(pusat), disetujui dan disahkan oleh Presiden (sebagai kepala negara). Dalam posisinya yang secara hirarkhis berada di bawah
UU, maka PP mempunyai fungsi utama menyelenggarakan pengaturan yang secara tegas-tegas disebut dan diperintahkan
oleh UU. Atau, menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan di dalam UU yang mengatur, meskipun tidak secara tegas
menyebutnya.
Pasal 10 UU No. 10 Tahun 2004 menyebutkan bahwa, materi muatan PP berisi materi untuk menjalankan UU sebagaimana
mestinya. Keterangan lebih jauh di dalam penjelasannya menyatakan bahwa, yang dimaksud ‘sebagaimana mestinya’ adalah,
materi muatan yang diatur di dalam PP tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam UU yang bersangkutan.
5 Secara rinci, hal-hal tersebut yang secara tegas oleh UUD 1945 didelegasikan “diatur dengan, atau diatur dalam UU,” antara lain, adalah:
pemilu; pemilu presiden; persayaratan menjadi presiden/wakil presiden; penetapan keadaan bahaya; pemberian gelar, tanda jasa dan
kehormatan; kementrian negara; penyelenggaraan pemerintahan daerah; hubungan pemerintah pusat dan daerah; hubungan keuan-
gan, pelayanan umum, pemanfaatan SDA dan sumberdaya lainnya antara pusat dan daerah; daerah yang bersifat khusus/istimewa;
susunan DPR; hak anggota DPR; tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan; syarat dan tata cara pemberhentian anggota
DPR; susunan dan kedudukan DPRD; syarat dan tata cara pemberhentian anggota DPRD; pajak dan pungutan lain yang memaksa; nama,
jenis dan nilai tukar mata uang; keuangan negara; BPK; Bank Sentral; kekuasaan kehakiman; wewenang MA; susunan, kedudukan,
keanggotaan dan hukum acara MA; susuanan, kedudukan dan keanggotaan KY; MK; syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai
hakim; warga negara dan penduduk; kebebasan berserikat dan berkumpul, serta menyatakan pikiran dan pendapat; hankam; pereko-
nomian nasional; pengaturan cabang produksi yang penting bagi negara dan mengauasai hajat hidup orang banyak; pengaturan bumi,
air dan kakayaan alam terkandung di dalamnya; penyelenggaraan sisdiknas; pengurusan fakir miskin dan anak terlantar; pengemban-
gan sistem jaminan sosial; penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan; dan, bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan.
3
13. D. Peraturan Presiden (Perpres)
Peraturan Presiden (Perpres), merupakan fenomena baru selepas munculnya UU No. 10 Tahun 2004. Dengan hadirnya UU
No. 10 Tahun 2004, semua produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat pemerintah,
yang bersifat mengatur (regeling), harus dirumuskan dalam bentuk/nama “peraturan.” Tidak (boleh) lagi dengan nama
“keputusan.” Dengan demikian, semua peraturan perundang-undangan yang berbentuk “keputusan,” yang masih berlaku pasca
diterapkannya UU No. 10 Tahun 2004, dan sepanjang bersifat mengatur (regeling)—bukan penetapan (beschikking)—maka
dianggap dan diperlakukan sebagai “peraturan.” Oleh karena itu, semua produk kebijakan Presiden sebelum berlakunya UU
No. 10 Tahun 2004 menjadi dianggap telah menyesuaikan, dengan mengasumsikannya—keputusan yang bersifat mengatur—
sebagai Peraturan Presiden (Perpres).
Terhadap fenomena ini, Farida Indrati Soeprapto (2007) mempunyai pandangan lain. Menurutnya, istilah Perpres sebagai
pengganti istilah Kepres adalah tidak tepat. Terminologi “keputusan,” dalam arti luas sesungguhnya sudah mengisyaratkan
dua jenis makna; yaitu keputusan yang bersifat mengatur (regeling), dan keputusan yang bersifat menetapkan (beschikking).
Istilah “keputusan” merupakan pernyataan kehendak yang bersifat netral, yang di dalam kajian perundang-undangan dapat
dibedakan sebagai keputusan yang merupakan peraturan perundang-undangan (wetgeving), keputusan tata usaha negara
(beschikking), maupun keputusan yang mempunyai rentang umum lainnya (besluiten van algemene strekking).
Namun terlepas dari perspektif tersebut di atas, konteks Perpres sebagai bagian dari bentuk peraturan perundang-undangan
yang telah dimunculkan oleh UU No. 10 Tahun 2004, adalah peraturan yang secara hirakhis berada di bawah PP. Sebagai
manifestasi dari hak prerogatif Presiden, maka Perpres mutlak merupakan political will dari Presiden; yaitu dibentuk dan
ditetapkan oleh Presiden. Namun demikian, meskipun Perpres merupakan political will Presiden, tetapi Perpres hakekatnya
mengemban fungsi menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan yang didelegasikan oleh UU dan PP. Dengan begitu,
selain Perpres secara mandiri dapat muncul sebagai konsekuensi dari hak prerogatif Presiden, idealnya Perpres hadir sebagai
derivasi lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan di atasnya, yang memerintahkan pengaturan selebihnya melalui Perpres.
Meskipun tetap dengan catatan bahwa, Perpres menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut dari UU dan PP, sebagaimana
mestinya. Tidak boleh menambah, mengurangi, atau bahkan bertentangan sama sekali.
E. Instruksi Presiden (Inpres)
Instruksi Presiden (Inpres), merupakan produk hukum yang dihasilkan oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan, di luar
hirarkhi peraturan perundang-udangan sebagaimana dimaksud oleh UU No. 10 Tahun 2004. Namun demikian, pada konteks
dia mempunyai maksud dan makna yang sama dengan istilah “keputusan” dalam arti luas, dan di sisi lain memang tidak
ditentang—meski juga tidak eksplisit diakui oleh UU No. 10 Tahun 2004—maka Inpres menjadi mempuyai ruang eksis, sebagai
bagian dari nomenklatur peraturan yang ada di Indonesia.
Dalam konsekuensi sebagai produk hukum ‘buatan’ Presiden sebagai kepala pemerintahan, maka Inpres hanya mempunyai
kekuataan berlaku mengikat secara internal bagi jajaran pemerintahan yang dipimpinnya. Dengan demikian, dalam ranah
hukum administrasi, tugas presiden sebagai kepala pemerintahan yang memberi instruksi kepada jajarannya adalah hal wajar.
Artinya, hal itu sesuai dengan tugas dan fungsi sebagai kepala eksekutif tertinggi. Oleh sebab itu, pada konteks Inpres tidak
menjadi bagian dari struktur hirarkhi peraturan perundang-undangan, maka dari aspek fungsi menyelenggarakan lebih lanjut
ketentuan di atasnya, menjadi tidak ada. Dari sisi ini cukup menjelaskan bahwa, beradanya (munculnya) Inpres lebih bersifat
menjawab kebutuhan praktis-pragmatis, oleh sebab tidak jelas cantolan hukumnya.
Namun demikian, yang menjadi menarik kemudian adalah, dari aspek sebagai kebijakan publik, Inpres juga memungkinkan
mempunyai kekuatan mengikat (membebani) publik, meskipun secara tidak langsung. Keterikatan publik terjadi, manakala
pada jajaran pemerintahan di bawah jenjang hirarkhi pemerintahan negara—oleh Presiden (eksekutif)—ini, kemudian
jajarannya menderivasikan ke dalam kebijakan publik, yang untuk selanjutnya dilaksanakan di lapangan (publik).
F. Peraturan Menteri (Permen)
Peraturan Menteri (Permen), tidak secara tersurat merupakan bagian dari hirarkhi struktur peraturan perundang-undangan
yang dirumuskan oleh UU No. 10 Tahun 2004. Meskipun demikian, oleh karena kedudukan Menteri sebagaimana ditegaskan
oleh konstitusi (UUD Tahun 1945) merupakan pelaksana kekuasaan pemerintahan di bidangnya, maka Menteri mempunyai
otoritas mengeluarkan kebijakan publik sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan. Pada konteks itu maka, manakala
Menteri mempunyai kewenangan membentuk Permen, adalah konsekuensi logis. Walaupun, tetap dengan catatan penting,
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana asas hukum “lex superiori
derogat lex inferiori.”
Dengan demikian, fungsi Permen adalah: pertama, menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan di bidangnya. Kedua, menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan di dalam Perpres. Ketiga,
menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UU yang secara tegas-tegas menyebut demikian. Dan, keempat,
4
14. menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut dalam PP yang tegas-tegas menyebut dan memerintahkannya. Namun demikian,
sesungguhnya, kini idealnya pelimpahan kewenangan (delegasi) yang diberikan langsung oleh UU kepada Permen, adalah tidak
tepat (Indrati Soeprapto: 2007). Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan dengan tegas bahwa, “Presiden membentuk
peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.” Berdasarkan pernyataan tersebut, maka
setiap UU yang kemudian memerlukan peraturan pelaksanaan, harus dilaksanakan lebih lanjut dengan PP. Dengan demikian,
dalam pembentukan suatu UU saat ini, harus dihindarkan adanya pendelegasian yang langsung kepada Permen. UU No. 10
Tahun 2004 menegaskan di dalam Pedoman Nomor 173, yang menyebutkan bahwa, “Pendelegasian kewenangan mengatur
dari Undang-Undang kepada menteri atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis
adiministratif.”
Lebih-lebih, sesuai dengan kententuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yang hanya mengakui 5 (lima)
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, dan dalam ketentuan Pasal 7 ayat (4) adanya pengakuan terhadap jenis
peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),6 hanya diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Artinya, apabila
di dalam kemunculannya, Permen hadir bukan atas fungsi delegasi pengaturan lebih lanjut dari ketentuan di atasnya—yaitu
UU, PP, maupun Perpres—yang menyebut secara tegas demikian, maka keberadaan Permen yang bersangkutan menjadi
problematis, terutama dari perspektif Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 tersebut.
G. Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan Daerah (Perda), merupakan salah satu bentuk/jenis produk hukum yang dibuat oleh DPRD bersama-sama dengan
Kepala Daerah, dan ditetapkan oleh Kepala Daerah. Dengan demikian, pada dasarnya Perda dapat pula dibahasakan sebagai
UU, namun di level daerah.
Perda mempunyai fungsi yang bersifat atributif, yang diatur berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
yaitu Pasal 136. Di samping itu, juga merupakan manifestasi fungsi pendelegasian dari peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Dalam pengertian fungsi atribusinya dari UU No. 32 Tahun 2004, Pasal 136 menyebutkan, Perda berfungsi sebagai
berikut:
(i) Menyelenggarakan pengaturan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
(ii) Menyelenggarakan pengaturan sebagai penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
(iii) Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
(iv) Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Yang dimaksud adalah, peraturan perundang-undangan tingkat pusat.
Dalam fungsi sebagai delegasi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Perda menyelenggarakan pengaturan lebih
lanjut ketentuan, baik yang menyebutkan secara tegas, maupun implisit. Di mana, daerah merasa perlu untuk mendreivasikannya
lebih lajut dalam regulasi lokaliltas daerahnya.
6 Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004: “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah.”
5
15.
16. Bagian Kedua
Penempatan KLHS
dalam Logika
Peraturan Perundang-Undangan
P
engaturan mengenai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam peraturan perundang-undangan merupakan
keniscayaan. Degradasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan telah sedemikian parah, seiring dengan pesatnya
berbagai kegiatan sebagai akibat—konsekuensi—dari “developmentalisme” yang sangat permisif, baik secara normatif
maupun empiris dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Oleh sebab itu, wacana untuk mengusulkan pengaturan KLHS dalam sistem peraturan perundang-undangan, harus
ditempatkan sebagai upaya obyektif rasional untuk memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan KLHS di Indonesia, ke
depan. Tanpa adanya pengaturan KLHS—yang ditujukan untuk mengawal berbagai kebijakan, rencana dan program (KRP)
terkait pemanfaatan sumber daya alam—maka amanah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,”
rasanya akan sangat mungkin sekedar menjadi kenyataan yang semakin jauh dari harapan.
Namun demikian, dari segi lain, pengaturan KLHS yang tidak taat asas—yakni tidak cukup cermat memerhatikan hirarkhi
sistem peraturan perundang-undangan—juga berpotensi tidak akan memperoleh legitimasi yang memadai, pada konteks
implementasinya untuk masa yang akan datang. Dengan begitu, selanjutnya pada bagian ini akan diuraikan tentang kajian
mengenai sejauh mana kompatibilitas KLHS ini kemudian, manakala ditempatkan dalam posisinya dari perspektif sistem
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dengan menggunakan data sekunder—yang meliputi bahan
hukum sekunder dan bahan hukum primer—kurang lebih, hasil analisis selanjutnya mengarah pada gagasan-gagasan yang
relevan guna menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan ke depan.
I. KLHS dalam rancangan regulasi yang ada dan, tawaran benchmark di Vietnam serta Filipina
A. Hasil Kajian Bahan Hukum Sekunder
1. Dari bahan-bahan yang dikumpulkan dari berbagai kegiatan terkait KLHS diperoleh pokok-pokok materi KLHS,
sebagai berikut7:
a. Urgensi penerapan KLHS.
b. Konsep dasar dan definisi KLHS.
c. Relung aplikasi/intervensi KLHS.
d. Tujuan dan manfaat KLHS.
e. Prinsip, nilai dasar dan mutu KLHS.
f. Kelembagaan/pendekatan KLHS.
7 Naskah Kebijakan KLHS dan Buku Pegangan KLHS, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007, Pertimbangan-pertimbangan dalam
Penerapan KLHS untuk Kebijakan, Rencana dan Program Penataan Ruang, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2008.
7
17. - Tipe aplikasi KLHS.
- Prosedur dan metode KLHS.
g. Penerapan KLHS; wajib dan sukarela.
h. Prosedur dan metode KLHS.
1) Prosedur generik KLHS
2) Penapisan
3) Pelingkupan
4) Dokumen KLHS
5) Partisipasi masyarakat
6) Pengambilan keputusan
7) Pemantauan dan tindak lanjut
Pemahaman mengenai substansi KLHS tersebut di atas bermanfaat dalam usulan pengembangan substansi KLHS
dalam peraturan perundang-undangan
2. Draf Peraturan Menteri tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS (Permen).
Secara garis besar, draf Permen tersebut mengatur hal-hal sebagai berikut:8
Pasal 1 – Ketentuan Umum
Pasal 2 – Tujuan
Pasal 3 – Prinsip KLHS
Pasal 4 – Ruang Lingkup Penerapan KLHS
– Nilai KLHS
Pasal 5 – Tata Laksana KLHS
Pasal 6 – Pemberlakuan KLHS di luar Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
3. Draf Lampiran Permen.9
Draf Lampiran Permen sebagai tindak lanjut ketentuan dalam Pasal 5 ayat (6) Permen, memuat hal-hal sebagai
berikut:
a. Penjelasan umum yang berisi urgensi penerapan KLHS, definisi dan ruang lingkup KLHS, pendekatan KLHS,
perbedaan antara KLHS dan AMDAL.
b. Tujuan KLHS.
c. Prinsip, nilai dan manfaat KLHS.
d. Tata laksana KLHS.
e. Pendekatan KLHS yang berisi tentang bentuk-bentuk pendekatan, tahapan dan kegiatan KLHS.
f. Konsultasi publik yang memuat tujuan, kegiatan dan tingkat keterlibatan masyarakat.
g. KLHS yang dilaksanakan pihak lain di luar Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
4. RUU terkait KLHS di Filipina.10 (House of Bill No 4961, An Act to establish the Philippine Environmental Assessment
System and for other Purposes, Tahun 2006).
Dalam Bill ini dimuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Bab I Ketentuan Umum, memuat tentang pertimbangan pentingnya dilaksanakan KLHS dengan dipedomani
9 (sembilan) prinsip.
Bab II Batasan pengertian.
Bab III Sistem Penilaian Lingkungan Hidup (Environmental Assessment System/EAS), yang memuat tentang:
- Pengertian EAS yang meliputi KLHS (SEA) dan AMDAL (EIA) dan ruang lingkup pelaksanaannya.
- KLHS berisi hal-hal berikut:
a. Penerapan KLHS.
b. Pengecualian terhadap penerapan KLHS.
c. Pemberitahuan kepada pimpinan instansi terkait atau pimpinan unit Pemerintah
Daerah terkait dengan KRP yang berisi informasi tentang:
(i) Maksud KRP, ruang lingkup dan kegiatan yang diusulkan.
8 Draf 24 tanggal 17 Juni 2009
9 Catatan: Tidak diketahui tanggal pemutakhiran draf
10 Tidak/belum diperoleh informasi apakah Bill ini telah menjadi UU (Act) House of Bill 4961 ini merupakan penyempurnaan dari House of
Bill 3253.
8
18. (ii) Kemungkinan bahwa KRP tersebut akan berpengaruh terhadap usulan atau
proyek lain.
(iii) Isu lingkungan, termasuk kesehatan yang dimasukkan sebagai pertimbangan yang
relevan dalam KRP beserta deskripsinya dalam perumusan KRP.
d. Penapisan awal (Preliminary Scan) dan faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan:
(i) Relevansi KRP dan integrasinya dalam pertimbangan lingkungan hidup dan
kesehatan serta komitmen terhadap pembangunan yang berkelanjutan.
(ii) Sejauh mana KRP akan berdampak terhadap wilayah lingkungan hidup yang kritis.
(iii) Sifat dan risiko terhadap lingkungan hidup dan kesehatan, terkait dengan
kemungkinannya, jangka waktu, frekuensi, besaran dan dampaknya terhadap
penduduk.
Terhadap hal ini ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu pertama, bila dari hasil penapisan
pelaksanaan usulan KRP akan berdampak signifikan terhadap lingkungan hidup, SEA
wajib dilaksanakan sesuai keputusan instansi terkait, atau Pemerintah Daerah terkait
ruang lingkup SEA. Kedua, bila hasil penapisan awal menunjukkan bahwa KRP tidak
akan berdampak penting terhadap lingkungan hidup, instansi terkait atau Pemerintah
Daerah akan menetapkan isu-isu lingkungan hidup yang harus dipertimbangkan dalam
perumusan dan implementasi KRP. Penting pula dicatat, bahwa hasil dari penapisan
awal itu harus dapat diakses oleh publik.
e. Ruang lingkup SEA, meliputi hal-hal berikut:
(i) tujuan lingkungan hidup yang relevan sebgai pertimbangan dalam SEA.
(ii) dampak spesifik lingkungan hidup yang harus dianalisis.
(iii) jangka waktu.
(iv) area studi dan kecenderungan perkembangan yang perlu dipertimbangkan
(v) opsi dan alternatif.
(vi) kedalaman kajian yang direkomendasikan.
(vii) konsultasi dengan lembaga-lembaga terkait dan publik terkait SEA.
f. Tata laksana KLHS
KLHS dapat dilaksanakan sebagai bagian dari proses penyusunan KRP atau dapat juga
dilaksanakan bersamaan dengan proses penyusunan KRP.
g. Laporan KLHS
Isi laporan KLHS adalah sebagai berikut:
(i) Ringkasan usulan
(ii) Ringkasan KLHS
(iii) Kecenderungan yang relevan terkait lingkungan hidup, termasuk kesehatan
(iv) Tujuan lingkungan hidup dan target yang ingin dicapai dalam aras internasional
dan regional disertai dengan pengaruh positif maupun negatif dari usulan dan
jalan keluarnya
(v) Dampak khusus dari usulan dan alternatifnya terkait dengan dampak langsung
maupun tidak langsung, kumulatif, sinergistis, jangka pendek, menengah maupun
panjang; permanen atau sementara, positif maupun negatif.
(vi) Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam KLHS, misalnya data yang tidak lengkap,
kecenderung-an yang tidak diketahui dan kekurangpahaman (lack of knowledge)
(vii) Opsi lingkungan hidup yang dipilih dan langkah-langkah untuk mencegah,
mengurangi atau meminimalkan dampak signifikan terhadap lingkungan hidup
yang akan datang sebagai hasil dari usulan itu
(viii) Fokus yang direkomendasikan untuk KLHS atau AMDAL berikutnya
(ix) Langkah-langkah untuk memantau dampak lingkungan hidup dari implementasi
usulan itu.
h. Integrasi hasil KLHS (SEA Results) dalam KRP.
Laporan KLHS wajib disebarluaskan kepada publik oleh pengusul KLHS.
i. Pemantauan dan Evaluasi KLHS (Monitoring and Evaluation).
Lembaga terkait atau Pemerintah Daerah wajib melakukan M & E terkait hal-hal
berikut:
(i) Memeriksa asumsi-asumsi
(ii) Melakukan pemantauan terhadap kemajuan langkah-langkah yang
direkomendasikan dalam implementasi KLHS.
9
19. (iii) Menetapkan langkah-langkah tambahan bila perlu, berdasarkan pemutakhiran
informasi.
(iv) Membuka kemungkinan untuk adanya masukan bagi kajian pada aras yang lebih
tinggi.
(v) Memastikan bahwa kajian ulang dan kajian lanjutan diperlukan bila kenyataan di
lapangan ternyata berbeda secara signifikan dengan asumsi semula.
Sebagai catatan, dapat dikemukakan bahwa di Filipina pengaturan tentang KLHS dan AMDAL sebagai bagian dari
Environmental Assessment System (Sistem Penilaian Lingkungan Hidup/EAS) dimuat dalam undang-undang (Act).
Lebih lanjut dalam Bab III UU tersebut juga dimuat tentang kelembagaan pelaksana. Sebagai penanggung jawab
adalah Department of Environment and Natural Resources (“Departemen”), dan sebagai pelaksana kunci dibentuk
kelembagaan tetap, yakni Biro dan Kantor-kantor Wilayah Departemen dan lembaga-lembaga pemerintah terkait.
Bantuan teknis dikoordinasikan oleh Departemen, bersama Departemen Dalam Negeri (Department of Interior and
Local Government) sehingga kelak pada saatnya diharapkan Pemerintah Daerah mampu melaksanakan kewenangan
tersebut sendiri.
Di samping bantuan teknis, Departemen berkoordinasi dengan Departemen Dalam Negeri memimpin
penyelenggaraan Capacity Building terkait KLHS.
Biro, dalam hal ini Environmental Management Bureau (EMB) menyiapkan sistem manajemen basis data dalam
rangka pengumpulan, pemeliharaan, penyebaran dan pemutakhiran seluruh informasi terkait implementasi EAS.
Termasuk di dalam basis data itu, Biro wajib menyiapkan daftar umum terkait semua Environmental Compliance
Certificate (ECC) yang diterbitkan.
Semua hasil penapisan awal, laporan KLHS, laporan AMDAL, ECC, Environmental Management Plan (EMP), laporan
pemantauan dan evaluasi dan semua dokumen yang terkait sebagai bagian EAS harus dapat diakses oleh publik
setiap saat sesuai permohonan.
Dalam Bab III bagian 3 dimuat tentang pembentukan dana untuk mendukung EAS (EAS Management Fund);
penggunaan, sumber dana, dan sebagainya. Semua informasi terkait penggunaan dan status EAS Fund harus dapat
diakses oleh publik setiap saat.
B. Hasil Kajian Bahan Hukum Primer
1. Undang-Undang Perlindungan Lingkungan Hidup Republik Sosialis Vietnam Tahun 2005 (Law on
Environmental Protection), disahkan pada tanggal 29 November 2005 dan mulai berlaku pada tanggal 1
Juli 2006.
Landasan hukum KLHS dimuat dalam UU Perlindungan Lingkungan Hidup Tahun 2005 dan ditindaklanjuti
dalam Decree.
Berikut substansi Undang-Undang tentang Perlindungan Lingkungan Hidup tersebut:
Bab I Ketentuan Umum (Pasal 1 – Pasal 7)
Bab II Standar Lingkungan Hidup (Pasal 8 – Pasal 13)
Bab III KLHS, AMDAL dan Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup.
KLHS (Pasal 14 – Pasal 17), AMDAL (Pasal 18 – Pasal 23), Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup
(Pasal 24 – Pasal 27)
Bab IV Konservasi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Secara Rasional (Pasal 28 – Pasal 34)
Bab V Perlindungan Lingkungan Hidup pada Kegiatan Manufaktur, Bisnis dan Jasa (Pasal 35 – Pasal 49)
Bab VI Perlindungan Lingkungan Hidup pada Pusat-pusat Perkotaan dan Wilayah Permukiman (Pasal
50 – Pasal 54)
Bab VII Perlindungan Lingkungan Laut, Sungai dan Sumber Daya Air Lainnya (Pasal 55 – Pasal 65)
Bab VIII Pengelolaan Limbah (Pasal 66 – Pasal 85)
Bab IX Penegakan dan Tindakan Terhadap Perusakan Lingkungan, Pemulihan Polusi Lingkungan dan
Rehabilitasi Lingkungan (Pasal 86 – Pasal 93)
Bab X Pemantauan dan Informasi Lingkungan Hidup (Pasal 94 – Pasal 105)
Bab XI Sumberdaya Pendukung Perlindungan Lingkungan Hidup (Pasal 106 – Pasal 117)
Bab XII Kerjasama Internasional dalam Perlindungan Lingkungan Hidup (Pasal 118 – Pasal 120)
Bab XIII Tanggung Jawab Lembaga-lembaga Pemerintah dan Vietnam Fatherland Front Beserta Anggota-
anggotanya terhadap Perlindungan Lingkungan Hidup (Pasal 121 – Pasal 124)
10
20. Bab XIV Pemeriksaan, Sanksi terhadap Pelanggaran, Penyelesaian Gugatan Tekait Lingkungan Hidup dan
Ganti Kerugian Terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup (Pasal 125 – Pasal 134)
Bab XV Ketentuan Penutup (Pasal 135 – Pasal 136)
Terkait KLHS, diatur dalam Bab III yang berjudul SEA, EIA and Environmental Protection Undertakings. Pasal 14
mengatur tentang kegiatan-kegiatan yang wajib dilengkapi KLHS, yaitu:
1. Strategies, master plans or plans for national socio-economic development.
2. Strategies, master plans or plans for nationwide development of industries and sectors.
3. Strategies, master plans or plans for socio-economic development of provinces and cities under
central authority (hereinafter referred to as provincial level) or of regions.
4. Zoning for land use, forest protection and development; and for exploitation and utilization of other
natural resources on an inter-provincial or inter-industry basis.
5. Planning for development of key economic zones.
6. General planning for inter-provincial river catchment areas.
Perumusan laporan KLHS dilakukan oleh lembaga yang berwenang merumuskan kebijakan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 14. KLHS sebagai bagian, dan dilakukan bersamaan dengan perumusan KRP (Pasal 15).
Laporan KLHS memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Tujuan, skala dan karakteristik proyek terkait dengan lingkungan hidup.
b. Deskripsi umum kondisi sumber daya alam, sosial ekonomi dan lingkungan terkait proyek.
c. Prakiraan dampak negatif KRP yang potensial terhadap lingkungan hidup.
d. Sumber data dan informasi serta metode yang digunakan.
e. Alternatif solusi untuk memecahkan masalah lingkungan hidup yang timbul (Pasal 16)
Berkenaan dengan penilaian laporan KLHS, Menurut Pasal 17, kelembagaan yang berwenang menilai laporan
KLHS adalah dewan (council) yang dibentuk oleh Kementrian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup; oleh
Menteri atau Lembaga Negara lain yang sederajat; dan oleh Panitia di tingkat Provinsi, sesuai dengan skala
proyek (nasional, sektoral, regional).
Hal yang menarik adalah bahwa lima puluh (50) persen dari jumlah anggota dewan (council), harus mempunyai
pengetahuan profesional terkait lingkungan hidup dan masalah-masalah sektoral. Di samping itu, mereka
yang secara langsung terlibat dalam perumusan KLHS tidak dapat menjadi anggota dewan (council) tersebut.
Organisasi maupun orang perorangan berhak untuk mengajukan usulan terkait perlindungan lingkungan hidup
kepada lembaga yang berwenang membentuk dewan dan lembaga yang membuat keputusan terhadap laporan
KLHS dan bahwa lembaga-lembaga tersebut wajib mempertimbangkan usulan/masukan tersebut sebelum
membuat kesimpulan atau keputusan.
Sebagai catatan, UU Perlindungan Lingkungan Hidup Republik Vietnam sebelumnya (Law on Environmental
Protection 1993), tidak memuat tentang KLHS.
Substansi yang diatur dalam UU Perlindungan Lingkungan Hidup di Vietnam Tahun 1993 adalah sebagai berikut:
Bab I Ketentuan Umum
Bab II Pencegahan dan Penanggulangan Degradasi Lingkungan Hidup, Polusi dan Perusakan Lingkungan
(Pasal 11 – Pasal 29, antara lain mengatur tentang AMDAL)
Bab III Ganti Kerugian Terhadap Degradasi, Polusi, dan Perusakan Lingkungan (Pasal 30 – Pasal 36)
Bab IV Perlu Manajemen Perlindungan Lingkungan Hidup oleh Negara (Pasal 37 – Pasal 43)
Bab V Hubungan Internasional Terkait Perlindungan Lingkungan Hidup (Pasal 45 – Pasal 48)
Bab VI Penghargaan dan Sanksi (Pasal 49 – Pasal 52)
Bab VII Ketentuan Penutup (Pasal 53 – 55)
2. Decree No. 80/2006/ND/CP11
Berbeda dengan Filipina, di Vietnam pengaturan lebih lanjut tentang KLHS dimuat dalam Decree No. 80/2006/
ND/CP of August 9, 2006, Detailing And Guiding The Implementation of A Number of Articles of the Law on
Environmental Protection Tahun 2005.
Pasal 9 Decree tersebut memuat hal-hal berikut:
Berkas permohonan untuk penilaian laporan KLHS terdiri dari:
11 Beberapa pasal dalam Decree ini telah diamandemen melalui Decree No. 25/2008/ND/CP tanggal 4 Maret 2008, namun tidak di-
peroleh bahan untuk menganalisisnya.
11
21. a. Permohonan tertulis dari pemohon (project owner)
b. Laporan KLHS
c. Draf dokumen KLHS
Berkas-berkas tersebut akan dinilai oleh instansi yang berwenang, dan apabila terdapat kekurangan dalam
berkas tersebut, maka dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja, wajib diberitahukan kepada pemohon untuk
menambah atau melengkapi berkas yang bersangkutan.
Dalam Pasal 10 diatur tentang penilaian laporan KLHS dan pelaporannya. Batas waktu penilaian laporan KLHS
adalah sebagai berikut:
a. Terhadap proyek-proyek yang kewenangan memutuskan dan persetujuan ada pada Perdana Menteri,
Pemerintah atau Dewan Nasional, proyek-proyek antar sektor dan antar provinsi, batas waktu
penilaian adalah 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan berkas-berkas
secara lengkap dan memenuhi syarat.
b. Untuk proyek-proyek di luar yang disebutkan dalam bagian a, batas waktu pemberian persetujuan
adalah 30 (tiga puluh) hari kerja.
c. Jika laporan KLHS tidak disetujui dan harus dinilai kembali, batas waktu untuk penilaian ulang sama
dengan batas waktu tersebut di atas.
Menurut Pasal 23 Decree ini, informasi dan data terkait Lingkungan Hidup wajib dipublikasikan, antara lain hal
itu merupakan tanggung jawab Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, bila data terkait lingkungan
hidup yang berskala nasional. Untuk informasi dan data terkait dengan sektor, tanggung jawab ada pada
menteri-menteri terkait, dan lembaga-lembaga terkait di bawahnya.
Adapun publikasi informasi dan data lingkungan hidup itu adalah dalam bentuk buku, pemberitaan dalam surat
kabar dan website. Untuk proyek yang berskala nasional berbagai bentuk publikasi itu masih ditambah lagi
dengan pemberitahuan dalam rapat-rapat Dewan dan pengumumannya di kantor-kantor unit di wilayah yang
bersangkutan.
3. General Technical Guidance for SEA, January 2008 yang diterbitkan oleh Department of Environmental Impact
Assessment and Appraisal (DEIAA), Ministry of Natural Resources and Environmental (MONRE).
Setelah Decree No. 80/2006/ND/CP 9 April 2006, Kementrian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Vietnam
menindaklanjuti dengan Pedoman Teknis Pelaksanaan KLHS untuk selanjutnya disebut Pedoman Teknis.
Pedoman Teknis ini sangat rinci, terdiri dari 4 (empat) Bab ditambah dengan 2 (dua) Lampiran.
Bab I Tujuan Pedoman
Bab II Pengantar tentang KLHS
1. Apa yang dimaksud dengan KLHS.
2. Landasan hukum KLHS.
3. Prinsip-prinsip efektivitas KLHS.
4. Benefit dan Cost dari KLHS.
Bab III Keterkaitan antara Kebijakan, Rencana dan Program (KRP) dan Kewajiban Penerapan KLHS
1. KLHS sebagai Kebijakan.
2. Aspek Sosial-Ekonomi Pengembangan Rencana dan Program
3. KLHS untuk Program Sektoral.
4. Kedudukan Tim KLHS dalam proses perencanaan.
Bab IV Pendekatan dan Langkah-Langkah KLHS
1. Pendekatan KLHS.
2. Langkah-langkah KLHS.
3. Uraian langkah-langkah KLHS.
1) Penapisan
2) Isu pokok dan tinjauan LH terkait KRP.
3) Identifiasi pemangku kepentingan kunci dan pelibatannya.
4) Analisis kecenderungan LH tanpa KRP.
5) Kajian usulan dan skenario tujuan pembangunan.
6) Kajian kecenderungan LH yang akan datang yang dipengaruhi oleh tindakan-tindakan
yang diusulkan dalam KRP.
12
22. 7) Usulan untuk menentukan tindakan yang memperkecil dampak negatif suatu kegiatan
dalam rangka penyusunan Pengendalian LH.
8) Kompilasi laporan KLHS dan penyerahannya kepada pihak yang berwenang untuk diberi
penilaian.
Bab V Kriteria Penilaian Informal untuk Laporan KLHS
Lampiran I : Ringkasan Metodologi Penerapan KLHS.
Lampiran II : Ringkasan Metode Konsultasi dalam KLHS.
4. Circular on Guideline for SEA, EIA and Environmental Protection Commitments (“Circular”)
Surat Edaran (“SE”) yang diterbitkan oleh MONRE No. 05/2008/TT-BTNMT tertanggal 8 Desember 2008 ini
memuat 3 (tiga) substansi.
Khusus terkait dengan KLHS, dalam SE ini ditekankan pada hal-hal sebagai berikut:
1) Elaborasi laporan KLHS.
2) Kelengkapan dokumen untuk penilaian laporan KLHS.
3) Penilaian laporan KLHS.
4) Kewajiban Lembaga Penilai terhadap laporan KLHS.
5) Kewajiban pengusul proyek.
SE ini dilengkapi dengan Lampiran. Khusus untuk KLHS, Lampiran I memuat tentang Bentuk dan Isi KLHS, sebagai
berikut:
Pengantar yang berisi:
1. Profil proyek.
2. Landasan hukum dan teknis KLHS.
3. Organisasi untuk pelaksanaan KLHS.
Bab I Ringkasan Proyek, Isu-isu Pokok LH Terkait
1. Pemilik proyek.
2. Ringkasan proyek.
3. Ruang lingkup KLHS dan isu-isu pokok LH terkait proyek.
Bab II Deskripsi Pengembangan Isu LH Terkait Proyek
1. Kondisi alam dan LH, kondisi sosial dan ekonomi.
2. Proyeksi kecenderungan isu pokok LH terkait proyek jika proyek tidak diimpelementasikan
(skenario 0).
Bab III Prakiraan Dampak Negatif Terhadap LH dalam Implementasi Proyek
1. Konsistensi antara usulan proyek dan target dikaitkan dengan perlindungan LH.
2. Kajian, perbandingan usulan alternatif pengembangan.
3. Prakiraan kecenderungan isu LH jika proyek dilaksanakan.
Bab IV Konsultasi dengan Pemangku Kepentingan dalam Proses KLHS
1. Pengorganisasian.
2. Hasil konsultasi.
Bab V Usulan untuk Program Monitoring/Pemantauan
1. Usulan untuk penyesuaian dan pengembangan solusi terhadap proyek.
2. Program untuk monitoring LH dan manajemen.
Bab VI Referensi Sumber Data dan Metode Kajian
1. Sumber data.
2. Metodologi proses KLHS.
3. Komentar terhadap detail dan keandalan evaluasi.
Kesimpulan dan rekomendasi terkait dengan:
1. Efektivitas KLHS terhadap kesiapan proyek.
2. Dampak negatif terhadap LH.
3. Persetujuan Proyek.
4. Lain-lain.
13
23. II. Usulan pengembangan peraturan perundang-undangan terkait KLHS
A. UU sebagai Bingkai yang Paling Ideal
Legalitas KLHS merupakan keniscayaan, karena urgensi penerapannya terkait dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Belajar
dari pengalaman negara lain, substansi pokok KLHS seyogyanya dimuat dalam UU. Sebagai perbandingan, di Republik
Vietnam, KLHS belum dimuat dalam UU Perlindungan Lingkungan Hidup Tahun 1993, namun dalam UU Perlindungan
Hidup yang baru (Tahun 2005 berlaku efektif 1 Juli 2006) KLHS telah diakomodasi.
Pada saat ini, UU No. 23 Tahun 1997 sedang dalam tahap penyempurnaan. Dalam draf penyempurnaan UU tersebut,
KLHS belum diakomodasi. Sesuai dengan draf penyempurnaan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diunduh dari situs
DPR tanggal 13 Agustus 2009, garis besar hal-hal yang diatur adalah sebagai berikut:
Bab I Ketentuan Umum
Bab II Bagian Kesatu memuat tentang Asas (Pasal 2)
Bagian Kedua memuat tentang Tujuan (Pasal 3)
Bagian Ketiga memuat tentang Ruang Lingkup (Pasal 4)
Bab III Perencanaan (Pasal 5 – Pasal 7)
Bab IV Pemanfaatan (Pasal 8)
Bab V Pengendalian (Pasal 9)
Bagian Kesatu memuat tentang Umum (Pasal 9)
Bagian Kedua memuat tentang Pencegahan (Pasal 10), yang terdiri dari:
Paragraf 1 Tata Ruang (Pasal 11)
Paragraf 2 Baku Mutu Lingkungan dan Kriteria Baku Kerusakan (Pasal 12 – Pasal 13)
Paragraf 3 AMDAL, UKL/UPL dan Perizinan (Pasal 14 – Pasal 18)
Paragraf 4 Instrumen Ekonomi (Pasal 19)
Paragraf 5 Legislasi Hijau (Pasal 20)
Paragraf 6 Anggaran Berbasis Lingkungan (Pasal 21)
Bagian Ketiga memuat tentang Penanggulangan (Pasal 22)
Bagian Keempat memuat tentang Pemulihan (Pasal 23 – Pasal 24)
Bab VI Pemeliharaan (Pasal 25)
Bab VII Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
Bagian Kesatu : Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (Pasal 26).
Bagian Kedua : Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(Pasal 27).
Bagian Ketiga : Dumping Bahan Berbahaya dan Beracun dan/atau
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Pasal 28)
Bab VII Pengawasan (Pasal 29 – Pasal 38)
Bab IX Tugas dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal 39 – Pasal 43)
Bab X Sistem Informasi Lingkungan Hidup (Pasal 44 – Pasal 46)
Bab XI Hak, Kewajiban dan Larangan
Bagian Kesatu memuat tentang Hak (Pasal 47)
Bagian Kedua memuat tentang Kewajiban (Pasal 48 – Pasal 49)
Bagian Ketiga memuat tentang Larangan (Pasal 50 – Pasal 54)
Bab XII Peran Serta Masyarakat (Pasal 55 – Pasal 56)
Bab XIII Audit Lingkungan Hidup ((Pasal 57 – Pasal 58)
Bab XIV Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
Bagian Kesatu : Umum (Pasal 59)
Bagian Kedua : Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar
Pengadilan (Pasal 60 – Pasal 61)
Bagian Ketiga : Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup melalui
Pengadilan (Pasal 62)
Paragraf 1 Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan (Pasal 63 – Pasal 64)
Paragraf 2 Tanggung Jawab Mutlak (Pasal 65)
Paragraf 3 Daluwarsa Untuk Pengajuan Gugatan (Pasal 66)
Paragraf 4 Hak Gugat Pemerintah (Pasal 67)
Paragraf 5 Hak Gugat Masyarakat (Pasal 68 – Pasal 70)
14
24. Paragraf 6 Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup (Pasal 71)
Paragraf 7 Gugatan Adminisitrasi (Pasal 72)
Bab XV Penyidikan (Pasal 73)
Bab XVI Ketentuan Pidana (Pasal 74 – Pasal 82)
Bab XVII Ketentuan Peralihan (Pasal 83)
Bab XVIII Ketentuan Penutup (Pasal 84 – Pasal 86)
Usulan:
1. Seyogyanya diadopsi dalam penyempurnaan UU No. 23/1997 dengan menambahkan materi tentang Environmental
Assessment System yang meliputi: KLHS dan AMDAL. Dengan demikian, pada penambahan topik ini, maka penting
untuk menempatkannya di dalam satu bab khusus (tersendiri) yang membahas mengenai KLHS dan AMDAL—secara
eksplisit—sebagai instrumen perlindungan lingkungan (SDA). Bandingkan dengan Filipina, bandingkan juga dengan
UULH Vietnam Tahun 2005 Bab III yang mengatur tentang KLHS, AMDAL dan Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup.
2. Terkait KLHS dapat dimuat hal-hal sebagai berikut:
a. Definisi
“Suatu proses sistematis dan komprehensif untuk mengevaluasi dampak lingkungan, pertimbangan sosial
dan ekonomi, serta prospek keberlanjutan dari usulan kebijakan, rencana dan program pembangunan.”
(hal. 4 Naskah Kebijakan KLHS)
“Suatu proses sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dan menjamin diintegrasikannya
prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengambilan keputusan yang bersifat strategis” (hal. 6 Buku Pegangan
KLHS).
b. Tujuan
1. Memberi kontribusi terhadap proses pengambilan keputusan agar keputusan yang diambil berorientasi
pada keberlanjutan dan lingkungan hidup, melalui:
- identifikasi efek atau pengaruh lingkungan yang akan timbul.
- mempertimbangkan alternatif-alternatif yang ada, termasuk opsi praktek-praktek pengelolaan
lingkungan hidup yang baik.
- antisipasi dan pencegahan terhadap dampak lingkungan pada sumber persoalan.
- peringatan dini atas dampak kumulatif dan resiko global yang akan muncul.
- aplikasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
2. Memperkuat dan memfasilitasi AMDAL, melalui:
- identifikasi sejak dini lingkup dan dampak potensial serta kebutuhan informasi.
- identifikasi isu-isu dan pandangan-pandangan strategis yang berkaitan dengan justifikasi proyek
atau rencana usaha/kegiatan.
- penghematan tenaga dan waktu yang dicurahkan untuk kajian.
3. Mendorong pendekatan atau cara baru untuk pengambilan keputusan, melalui:
- integrasi pertimbangan lingkungan dan penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam proses
pengambilan keputusan.
- dialog dan diskusi dengan para pihak yang berkepentingan dan penyelenggaran konsultasi
publik.
- akuntabilitas dan transparansi dalam merancang, memfor-mulasikan dan memutuskan
kebijakan, rencana dan program.
c. Partisipasi publik
Tingkat keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam KLHS sangat bervariasi tergantung pada arah KRP
yang ditelaah, peraturan perundangan yang mengatur keterlibatan masyarakat, serta komitmen dan
keterbukaan dari pimpinan orgainsasi pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Secara umum
boleh dikatakan bila KLHS diaplikasikan pada tingkat Kebijakan atau Peraturan Perundang-undangan (misal
KLHS untuk RUU, RPP atau Raperda), maka keterlibatan atau partisipasi masyarakat harus semakin luas dan
intens dibanding KLHS pada tingkat Rencana atau Program.
Bila KLHS diaplikasikan untuk arah Kebijakan atau Peraturan Perundang-undangan, maka proses
pelibatan masyarakat atau konsultasi publik harus dilakukan sedini mungkin dan efektif. Secara spesifik,
harus tersedia waktu yang cukup bagi masyarakat untuk menelaah rancangan Kebijakan atau Peraturan
15
25. Perundang-undangan termasuk dokumen KLHS yang telah disusun. Aspirasi masyarakat termasuk kalangan
LSM terhadap rancangan Kebijakan dan dokumen KLHS, perlu diidentifikasi dan dibuka peluang untuk
disalurkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam batas waktu yang memadai.
Partisipasi masyarakat juga dapat diwujudkan dalam bentuk menangkap aspirasi masyarakat melalui survey
dengan kuesioner terstruktur pada sejumlah responden atau penyelenggaraan Focus Discussion Group
pada beberapa kelompok atau komunitas masyarakat tertentu yang akan terkena pengaruh rancangan
KRP, atau penyelenggaraan talk show di radio atau TV dan menerima masukan tertulis dari masyarakat.
Catatan: bandingkan dengan ketentuan terkait di Filipina dan Vietnam
d. Jaminan kualitas
KLHS yang bermutu baik adalah yang menginformasikan kepada para perencana, pengambil keputusan dan
masyarakat yang terkena dampak perihal: keputusan strategis yang diambil (di mana keputusan tersebut
telah mengadopsi prinsip keberlanjutan), memfasilitasi pencaharian alternatif yang paling baik dan
menjamin proses pengambilan keputusan berlangsung demokratis. KLHS semacam ini akan meningkatkan
kredibilitas keputusan yang diambil, dan mendorong terjadinya kajian dampak lingkungan pada tingkat
proyek (AMDAL) yang lebih efektif biaya dan waktu. Untuk memenuhi maksud tersebut maka KLHS yang
bermutu baik adalah yang:
Terpadu
- Memastikan bahwa kajian dampak lingkungan yang tepat untuk semua tahap keputusan
strategik sudah relevan untuk tercapainya pembangunan keberlanjutan.
- Memuat saling keterkaitan antara aspek biofisik, sosial dan ekonomi.
- Terkait secara hirarkis dengan kebijakan di sektor tertentu dan wilayah (lintas batas), dan
bilamana perlu, dengan proyek AMDAL dan pengambilan keputusan.
Keberlanjutan
Yaitu, memfasilitasi identifikasi opsi-opsi pembangunan dan alternatif proposal yang lebih layak.
Fokus
- Menyediakan informasi yang cukup, reliabel dan dapat digunakan untuk perencanaan
pembangunan dan pengambilan keputusan.
- Konsentrasi ke isu-isu penting pembangunan berkelanjutan.
- Disesuaikan dengan karakteristik proses pengambilan keputusan.
- Efektif biaya dan waktu
Akuntabel
- Pengambilan keputusan yang bersifat strategik merupakan tanggung jawab instansi yang
berkepentingan.
- Dilakukan secara profesional, tegas, fair, tidak berpihak dan seimbang.
- Perlu dikontrol dan diverifikasi oleh pihak independen.
- Justifikasikan dan dokumentasikan bagaimana isu-isu keber-lanjutan dipertimbangkan dalam
pengambilan keputusan.
Partisipatif
- Libatkan dan informasikan para pihak yang berkepentingan , masyarakat yang terkena dampak,
dan instansi pemerintah di sepanjang proses pengambilan keputusan.
- Cantumkan secara eksplisit masukan dan pertimbangan dalam dokumentasi dan pengambilan
keputusan.
- Memiliki kejelasan informasi, permohonan informasi yang mudah dipahami dan menjamin akses
yang memadai untuk ke semua informasi yang dibutuhkan.
Interaktif
- Memastikan tersedianya hasil kajian sedini mungkin untuk mempengaruhi proses pengambilan
keputusan dan memberi inspirasi pada perencanaan masa datang.
- Menyediakan informasi yang cukup perihal dampak aktual dari keputusan strategis yang
diimplementasikan, untuk menilai apakah keputusan harus di amandemen dan memberi basis
untuk masa depan.
16
26. Catatan: bandingkan dengan ketentuan tentang akses publik terhadap laporan KLHS di Filipina dan Vietnam
e. Jenis aplikasi
KLHS merupakan konsep yang luas dan terbuka untuk berbagai variasi. Di Indonesia sejauh ini telah ada 10
aplikasi KLHS yang tergolong dalam 6 tipe aplikasi KLHS, yakni:
- Integrasi KLHS dalam perencanaan ruang/regional
- Integrasi KLHS dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah Daerah.
- Integrasi KLHS dalam penapisan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Jangka Menengah
Nasional
- KLHS program perkotaan
- KLHS sektor
- KLHS kebijakan nasional
Selain itu ada 5 tipe aplikasi yang pernah diaplikasikan di Indonesia
Aplikasi KLHS Fokus Institusi yang Bertanggung Jawab
Program Program Perkotaan Departemen Dalam Negeri
Rencana Ruang Perencanaan Ruang (RTRW) Departemen PU
Perencanaan Pesisir Depertemen KP/Kehutanan
Perencanaan DAS Pemprov/Kabupaten/Kota
Rencana Pemban- RPJP(D), RPJM(D) Departemen Dalam Negeri
gunan Pemerintah Provinsi
Pemerintah Kabupaten/Kota
RPJP(N), RPJM(N) Bappenas
Sektor Belum dikembangkan Departemen sektoral, KLH
Kebijakan Pernah dikembangkan KLH, Bappenas
f. Lembaga penanggungjawab pelaksanaan KLHS
ATRIBUT AMDAL KLHS
Posisi Tahap studi kelayakan dari Proyek Tahap Kebijakan, Rencana dan Program
Sifat Wajib Sukarela
Keputusan Kelayakan rencana kegiatan/ usaha Keputusan yang berbasis pada prinsp pem-
bangunan berkelanjutan
Wilayah garapan Site based project Kebijakan, regional/tata ruang, program
atau sektor
Kumulatif dampak Kumulatif dampak dianalisis terbatas Peringatan dini akan fenomena kumulatif
dampak
Alternatif Terbatasnya jumlah alternatif kegiatan Mempertimbangkan banyak alternatif
proyek yang ditelaah pilihan
Kedalaman kajian Sempit, dalam dan rinci Lebar, tidak terlampau dalam, lebih sebagai
kerangka kerja
Artikulasi Kegiatan proyek sudah terfor-mulasi Proses multi tahap, saling tumpang tindih
dengan jelas dari awal hingga akhir komponen, alur kebijakan-rencana-program
masih berjalan dan iteratif
Fokus Fokus pada kajian dampak penting Fokus pada agenda keberlanjutan, bergerak
negatif dan pengelolaan dampak pada sumber persoalan dampak lingkungan
lingkungan
B. Materi muatan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS
Idealnya, apabila strategi penyempurnaan UUPLH 23/1997 berhasil mengakomodasi isu KLHS (dan AMDAL) dalam
kelembagaan Environmental Assessment System secara khusus, maka kehadiran PP akan menjadi derivasi lebih lanjut
(delegatif) dari ‘prinsip-prinsip umum’ yang telah diintroduksi oleh UU yang baru, yang dengan tegas-tegas menyebut
perlunya pengaturan lebih lanjut melalui PP.
17
27. Tetapi, apabila menafikan berlangsungnya proses penyemprunaan UUPLH, yang di dalamnya harapan mengakomodasi
KLHS (dan AMDAL) tidak terlalu memungkinkan, maka kebutuhan PP, hadir sebagai strategi kemendesakan yang bisa
segera diinisiasikan. Hal ini merupakan peluang yang memungkinkan, terlebih oleh karena kelembagaan eksekutif
(Presiden dan jajarannya dalam hal ini), secara mandiri tanpa harus menunggu proses politik yang harus berlangsung—
dan memakan waktu—di parlemen, secara konstitutif memiliki otoritas untuk itu.
Namun, oleh karena plihan ini merupakan skenario yang tidak ideal, maka dengan demikian basis justifikasinya berangkat
atas proposisi bahwa, PP dapat menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan di dalam UU yang mengatur,
meskipun tidak secara tegas-tegas menyebutnya. Pada kasus ini, maka landas cantolannya yang paling memungkinkan
adalah Pasal 18 UUPLH 23/1997—yang sebelumnya merupakan basis cantolan kebijakan PP AMDAL—dengan
memperluasnya, tidak lagi semata-mata membicarakan topik AMDAL, tetapi Environmental Assessment System secara
umum; di mana di dalamnya termasuk AMDAL dan KLHS.
Pada konteks ini, maka usulannya:
Substansi yang diatur dalam draf Permen tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS yang telah ada itu, dapat ditingkatkan
menjadi substansi rancangan PP dengan beberapa tambahan, misalnya:
1. Dalam Pasal 4 draf Permen dimuat tentang ruang lingkup KLHS.
Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa di Filipina ada perkecualian terhadap pelaksanaan KLHS, yakni:
a. Usulan KLHS yang dipersiapkan sebagai jawaban dalam keadaan darurat (“Clear Emergency”) di mana tidak
tersedia cukup waktu untuk menyiapkan KLHS. Namun demikian, harus tetap diupayakan pelaksanaan KLHS
ketika usulan KRP telah disetujui, atau pada saat implementasi dari rencana atau strategi/program tersebut.
b. Usulan terkait dengan keamanan nasional.
2. Dalam Pasal 5 draf Permen terkait dengan tata laksana.
Belajar dari ketentuan di Filipina, barangkali dapat ditambahkan ketentuan terkait dengan hak publik, dalam hal ini
organisasi terkait lingkungan hidup dan orang-perorangan, untuk menyampaikan usulan terhadap rancangan KRP
yang harus menjadi bahan pertimbangan bagi pejabat yang berwenang, sebelum memutuskan atau memberikan
persetujuan terhadap rancangan KRP.
3. Berkaitan dengan transparansi, belajar dari pengalaman Filipina, dalam Pasal 6 ayat (2) draf Permen seyogyanya
ditegaskan bahwa rancangan dan hasil KLHS itu wajib diumumkan kepada publik. Di Vietnam, semua data dan
informasi terkait lingkungan hidup juga wajib dipublikasikan.
4. Sebagai tambahan, dalam PP seyogyanya juga dimuat tentang Pemantauan dan Evaluasi (M & E) dengan
mengadopsi ketentuan tentang hal serupa di Filipina (Pasal 14 Bill).
C. Materi Muatan Peraturan Presiden (Perpres, bukan Inpres)12 tentang Pedoman Pelaksanaan
KLHS
Sebagai manifestasi dari hak prerogatif Presiden, maka Perpres mutlak merupakan political will dari Presiden; yaitu
dibentuk dan ditetapkan oleh Presiden. Namun demikian, meskipun Perpres merupakan political will Presiden, tetapi
Perpres hakekatnya mengemban fungsi menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan yang didelegasikan oleh
UU dan PP. Dengan begitu, selain Perpres secara mandiri dapat muncul sebagai konsekuensi dari hak prerogatif Presiden,
idealnya Perpres hadir sebagai derivasi lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan di atasnya, yang memerintahkan pengaturan
selebihnya melalui Perpres.
12 Pada konteks skenario Inpres, maka format ini kemungkinan akan problematis. Mengapa? Sebagaimana penjelasan di
dalam Bagian Pertama sebelumnya, maka format Inpres sebagai salah satu bentuk dari produk peraturan perundang-
undangan, posisinya lemah karena tidak termasuk di dalam tertib tata urutan peraturan perundang-undangan seb-
agaimana diatur oleh UU No. 10 Tahun 2004, Pasal 7 ayat (4). Di mana, keberadaannya akan diakui dan mempunyai
kekuatan berlaku mengikat hanya apabila, kehadirannya adalah dalam rangka pengaturan lebih lanjut dari ketentuan
yang lebih tinggi, yang secara tegas-tegas mendelegasikannya. Dalam konsekuensi sebagai produk hukum ‘buatan’ Pres-
iden sebagai kepala pemerintahan, maka Inpres hanya mempunyai kekuataan berlaku mengikat secara internal bagi ja-
jaran pemerintahan yang dipimpinnya. Dengan demikian, apabila tidak merupakan manifestasi dari fungsi delegasi dari
peraturan di atasnya yang dengan tegas memerintahkannya, maka kemunculannya tidak memiliki cantolan legitimasi
hukum.
18
28. Oleh sebab itu, apabila skenario ideal berhasil memasukkan tema Environmental Assessment System (di dalamnya KLHS
dan AMDAL) dalam pembaruan UUPLH 23/1997, maka kehadiran Perpres ini nanti akan mempunyai kejelasan legitimasi
yudiris yang memadai, manakala ketentuan yang baru di dalamnya memerintah delegasi lebih lanjut melalui PP dan/atau
Perpres. Namun begitu, jika gagasan pembaruan UUPLH 23/1997 ini nanti tidak memberikan ruang sama sekali, dengan
demikian, ada baiknya kehadiran Perpres merupakan derivasi lebih lanjut pengaturan (delegatif) dari ketentuan yang
secara tegas disebutkan oleh PP, sebagaimana butir II di atas.
Namun apabila Perpres merupakan pilihan skenario yang akan muncul secara mandiri—tanpa tergantung oleh munculnya
PP lebih dulu, apalagi rencana revisi UUPLH 23/1997—maka, usulannya: materi muatan yang hendak menjadi materi
muatan PP (usulan butir II), dapat diintegrasikan menjadi materi muatan Perpres.
D. Materi Muatan Peraturan Menteri (Permen) tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS
Dalam posisinya sebagai perangkat pemerintahan (eksekutif) di bidangnya, menteri mempunyai otoritas atributif
sebagaimana dinyatakan oleh konstitusi dalam rangka melaksanakan fungsi kepemerintahannya tersebut. Namun, karena
konteks substansi yang hendak dirumuskan di dalam ketentuan (kebijakan) ini bersifat pengaturan, maka dengan demikian
format yang sesuai dengan kebutuhan ini adalah Permen, bukan Kepmen. Sebagaimana merujuk pada berlakunya rejim
UU No. 10/2004, yang ‘memerintahkan’ semua bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur harus
dirumuskan dengan sebutan sebagai ‘peraturan,’ bukan lagi ‘keputusan.’
Lebih-lebih, apabila skenario ini nantinya, gayut dengan rencana penyempurnaan UUPLH 23/1997, yang kemudian
di dalamnya terdapat ketentuan yang secara langsung menyebut mengenai perlunya pengaturan lebih lanjut dengan
(melalui) PP, Perpres dan/atau Permen.
Namun, berkaitan dengan pilihan Permen ini nantinya akan muncul secara mandiri (konsekuensi atributif, bukan delegatif),
yaitu lebih menunjuk pada kebutuhan yang mendesak, maka, dengan segera dapat diinisiasikan oleh menteri, pada kantor
kementerian negara yang membidangi. Walau demikian, bersamaan dengan pilihan ini pula, apabila kemuculannya
merupakan respon kesegeraan—di mana terlepas dari wacana pembaruan UUPLH yang sedang berlangsung—maka,
Permen adalah pilihan prioritas terakhir. Mengapa? Sebagaimana UU No. 10 Tahun 2004 pada Pasal 7 ayat (4), yang
mengakui jenis peraturan perundang-undangan di luar lima yang telah tersebut di dalam Pasal 7 ayat (1), hanya apabila
didelegasikan oleh peraturan perundang-undangan di atasnya secara eksplisit sehingga mempunyai kekuatan berlaku
mengikat. Maka, kemunculan Permen secara mandiri tanpa ada perintah dari delegasi peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, menjadi potensial problematis, dari sisi legitimasi hirarkhi hukum nantinya.
Usulan materi muatan di dalam Permen:
Beberapa materi yang terdapat dalam draf Lampiran Permen yang telah ada, dapat diadopsi sebagai materi muatan
rancangan Permen yang pada intinya memuat hal-hal sebagai berikut:
1. Relung aplikasi
Pada arah kebijakan, rencana dan program secara berturut-turut dapat diaplikasikan KLHS Kebijakan, KLHS Regional
(termasuk Tata Ruang), KLHS Program atau KLHS Sektor. Adapun kajian dampak lingkungan yang diaplikasikan pada
arah proyek (dalam konteks Indonesia) adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Dalam konteks kajian dampak lingkungan, KLHS dan AMDAL mempunyai kesamaan, yaitu pertama, bahwa keduanya
berupaya menerapkan pendekatan pro-aktif dalam pengendalian dampak lingkungan. Perbedaannya, karena KLHS
ditempatkan pada tataran strategis, yakni pada arah kebijakan, rencana atau program, maka umumnya kedalaman
telaahan KLHS tidak serinci dan sedalam AMDAL.
Mengingat masyarakat luas dan aparatur pemerintah di Indonesia sudah sangat familiar dengan AMDAL, maka aneka
relung aplikasi KLHS serta perbedaan KLHS dengan AMDAL dipandang perlu untuk dimuat dalam Pedoman Umum
KLHS. Dengan adanya informasi ini, para pengambil keputusan serta pemerhati dan penggiat lingkungan dapat
memahami dengan cepat, jelas dan tegas posisi dan sekaligus perbedaan KLHS dengan AMDAL.
Kedua, di dalam Pedoman Umum KLHS juga dipandang perlu diungkapkan bahwa relung aplikasi ini merupakan
pilihan terbuka bagi setiap pihak yang berkeinginan mengaplikasikan KLHS dengan mempertimbangkan lingkup tugas
dan kewenangan pihak yang bersangkutan.
19
29. 2. Perbedaan KLHS dan AMDAL
Wajib KLHS (Tanpa Proses Penapisan) Institusi yang Bertanggung Jawab atas KLHS
Rencana Tata Ruang Nasional (RTRWN) Departemen PU
Rencana Tata Ruang Provinsi/Kabu- Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota
paten/Kota (RTRWP/K)
Rencana Pembangunan Jangka Pan- BAPPENAS
jang (RPJP)
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM)
Rencana Pembangunan Jangka Pan- Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota
jang Daerah (RPJPD)
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD)
3. Maksud dan Tujuan KLHS
a. Memberi kontribusi terhadap proses pengambilan keputusan agar keputusan yang diambil berorientasi
pada keberlanjutan dan lingkungan hidup, melalui:
- identifikasi efek atau pengaruh lingkungan yang akan timbul.
- mempertimbangkan alternatif-alternatif yang ada, termasuk opsi praktek-praktek pengelolaan
lingkungan hidup yang baik.
- antisipasi dan pencegahan terhadap dampak lingkungan pada sumber persoalan.
- peringatan dini atas dampak kumulatif dan resiko global yang akan muncul.
- aplikasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
Resultante dari berbagai kontribusi KLHS tersebut adalah, meningkat-nya mutu kebijakan, rencana dan program
(KRP) yang dihasilkan.
b. Memperkuat dan memfasilitasi AMDAL, melalui:
- identifikasi sejak dini lingkup dan dampak potensial serta kebutuhan informasi.
- identifikasi isu-isu dan pandangan-pandangan strategis yang berkaitan dengan justifikasi proyek atau
rencana usaha/kegiatan.
- penghematan tenaga dan waktu yang dicurahkan untuk kajian.
c. Mendorong pendekatan atau cara baru untuk pengambilan keputusan, melalui:
- integrasi pertimbangan lingkungan dan penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam proses
pengambilan keputusan.
- dialog dan diskusi dengan para pihak yang berkepentingan dan penyelenggaran konsultasi publik.
- Akuntabilitas dan transparansi dalam merancang, memformulasikan dan memutuskan kebijakan,
rencana dan program.
4. Manfaat KLHS
Ada dua faktor utama yang menyebabkan kehadiran KLHS dibutuhkan saat ini di berbagai belahan dunia; pertama,
KLHS mengatasi kelemahan dan keterbatasan AMDAL, dan kedua, KLHS merupakan instrumen yang lebih efektif
untuk mendorong pembangunan berkelanjutan.
Adapun manfaat yang dapat dipetik dari KLHS adalah:
a. Merupakan instrumen proaktif dan sarana pendukung pengambil-an keputusan,
b. Mengidentifiasi dan mempertimbangkan peluan-peluang baru melalui pengkajian secara sistematis dan
cermat atas opsi-opsi pembangunan yang tersedia,
c. Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada jenjang pengambilan keputusan
yang lebih tinggi,
d. Mencegah kesalahan investasi dengan mengingatkan para peng-ambil keputusan akan adanya peluang
pembangunan yang tidak berkelanjutan sejak tahap awal proses pengambilan keputusan.
e. Tata pengaturan (governance) yang lebih baik berkat terbangunnya keterlibatan para pihak (stakeholders)
dalam proses pengambilan keputusan melalui proses konsultasi dan partisipasi.
f. Melindungi asset-asset sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna menjamin berlangsungnya
20