Dokumen tersebut membahas tentang anak usia sekolah yang mengalami kehilangan akibat kematian orang tua, saudara, atau teman. Dibahas pula dampak psikologis dari kehilangan orang terdekat bagi anak, intervensi yang dapat dilakukan guru dan konselor sekolah, serta perbandingan antara kehilangan akibat kematian dan perceraian orang tua.
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
KEHILANGAN ORANG TUA
1. ANAK USIA SEKOLAH YANG
MENGALAMI KEHILANGAN
DDiissuussuunn OOlleehh::
KKeelloommppookk 33
Auliyan Nisa M. 1100668
Dina Mulyana 1102330
Ni Luh Rahayu W.1101074
Zeni Ismatulloh M. 1101788
2. Anak Usia
Sekolah yang
Mengalami
Kehilangan
Kehilangan
Kehilangan
karena kematian
karena kematian
Kehilangan karena
perceraian dan
perpisahan orang tua
Kehilangan karena
perceraian dan
perpisahan orang tua
Isu etika dan
Isu etika dan
hukum
hukum
Kehilangan hak
Kehilangan hak
berdukacita
Kematian dan berdukacita
Kematian dan
budaya
budaya
Perkembangan
Perkembangan
anak dan
kematian
anak dan
kematian
InIntteerrvveennssi i
KKeerrjaja k keelolommppookk
Kematian
orang-orang
tertentu
Kematian
orang-orang
tertentu
VVaarriaiabbeell
Membandingkan
kematian dengan
Membandingkan
kematian dengan
perceraian
InIntteerrvveennssii
perceraian
PETA
KONSEP
4. KKeemmaattiiaann ddaann BBuuddaayyaa
Agama memberikan kontribusi terhadap perbedaan budaya
yang mengelilingi kematian dan kedukaan, dan konselor harus
memahami dan menghormati keyakinan agama keluarga
ketika mengkonseling anak-anak yang telah kehilangan karena
kematian:
•Cari tahu dari keluarga anak yang anggotanya percaya tentang
sifat kematian dan harapan kehidupan setelah kematian.
•Pelajari tentang ritual berkabung dalam kepercayaan
keluarga. Agama Kristen cenderung untuk meminimalkan ritual
mereka, yang lainnya mendorong keluarga untuk berduka
secara terbuka dan untuk waktu yang lama.
•Cari tahu apakah mereka memiliki aturan gender tentang
kematian, jika ada, hormati mereka.
•Membantu anak menentukan cara sendiri untuk
memperingati kematian orang yang dicintai.
6. Bayi dan Balita
Sejak lahir hingga usia 5 tahun, anak-anak tidak
mengerti bahwa kematian adalah permanen. Bagi
mereka, itu seperti tidur atau melakukan
perjalanan. Walaupun anak-anak tidak mengerti
bahwa kematian adalah permanen, mereka
mengalami rasa kehilangan dan perubahan ketika
seorang anggota keluarga meninggal. Mereka juga
dapat menjadi sangat takut, takut untuk pergi ke
sekolah atau tidur, dan sangat lekat dengan
pengasuh mereka.
7. Anak Usia Sekolah
Dari usia 6 tahun sampai sekitar 12 tahun, anak-anak
berhenti berpikir magis dan mulai berpikir konkret. Anak-anak
pada tahap ini memahami bahwa kematian adalah
sebuah akhir, bahwa hal itu tidak hanya bentuk lain dari
tidur. Konselor sekolah harus mengingat dengan baik tiga
pertanyaan yang cenderung sering diajukan anak-anak
dalam tahap perkembangan ini pada dirinya sendiri ketika
seseorang yang mereka cintai telah meninggal:
•Apakah aku menyebabkan ini terjadi? Apakah ini salahku?
•Siapa yang akan merawatku?
•Apakah hal itu akan terjadi padaku?
8. Remaja
Kematian tidak asing lagi bagi remaja. Sekali lagi, pada
saat mereka mencapai sekolah menengah atas, 90 persen
remaja telah berhadapan dengan persoalan kematian, 40
persen di antaranya kematian seorang teman atau rekan
sepermainan. Remaja tampaknya mengalami kedukaan
seperti orang dewasa, secara bertahap: pertama terkejut
dan menolak, kemudian marah dan benci, selanjutnya
disorganisasi/kacau dan putus asa atau depresi, dan
akhirnya mampu menerima dan memiliki harapan. Hal ini
penting bagi konselor sekolah untuk menentukan siswa
sedang dalam proses dan merespons pada tahap mana.
9. IInntteerrvveennssii
• McGlauflin mengemukakan bahwa tiga faktor
yang paling penting dalam membantu anak-anak
sekolah yang sedang berduka adalah dengan
memahami proses berduka tersebut,
keterbukaan terhadap proses itu, dan
mengintegrasikan proses tersebut ke dalam
kegiatan/aktivitas sehari-hari di sekolah.
• Di sini kita memeriksa dua faktor yaitu mencoba
untuk bersifat terbuka pada proses berduka dan
mengintegrasikan proses tersebut ke dalam
lingkungan pendidikan.
10. Menerima proses berduka
Hare dan Cunningham menyimpulkan bahwa
program pendidikan tentang kematian bagi para
guru harus fokus pada lima bidang yakni:
1. Kesadaran perilaku anak yang menunjukkan rasa
kehilangan
2. Kesadaran akan persepsi anak-anak terhadap
kematian
3. Kesadaran sikap pribadi terhadap kematian
4. Latihan untuk menangani masalah anak-anak
yang mengalami kehilangan
5. Kesadaran kurikulum dan sumber daya
masyarakat
11. Mengintegrasikan Proses Berdukacita
1. Memandang proses berduka sebagai keterampilan hidup yang
berharga
2. Memahami keunikan dari kedukaan masing-masing siswa.
3. Menciptakan dan mengenali peluang untuk membantu siswa
dalam mengatasi kedukaan.
4. Menghormati gangguan kedukaan
5. Lanjutkan dengan rutinitas, disiplin, dan harapan yang tinggi.
6. Hormatilah setiap kemungkinan perpisahan
7. Berbicaralah dengan anak-anak tentang kematian atau
kehilangan
8. Menawarkan anak-anak jalan keluar untuk kedukaan mereka
9. Berusahalah untuk sejujur mungkin
10. Bicara dengan kasih sayang, bukan karena kasihan
11. Jangan takut untuk menunjukkan perasaan
12. Jangan melupakan rasa kehilangan, bahkan bertahun-tahun
kemudian
13. Mendukung satu sama lain
12. KKeerrjjaa KKeelloommppookk
Membentuk Kelompok Dukungan bagi Orang-Orang yang
sedang Merasa Kehilangan
Dalam wawancara seleksi anggota (skrining), konselor harus menjelaskan hal-hal
dalam kelompok (waktu, tempat, durasi), membahas secara singkat proses
kelompok, dan menghilangkan segala mitos tentang konseling kelompok (para
anggota harus melakukan hal-hal aneh). Tentu saja konselor harus bicara
tentang kelompok secara positif.
Proses Kelompok
Selama sesi kelompok, dapat menjadi ide yang baik untuk menawarkan
anggota berupa snack/camilan-camilan. Makanan adalah penyeimbang yang
besar untuk anak-anak yang sedang diminta untuk melepaskan diri secara
emosional. Juga, mempertimbangkan anak-anak yang lebih muda untuk
membawa barang-barang yang membuat mereka nyaman misalnya sebuah
boneka binatang favorit, untuk kenyamanan ketika mereka diminta berbicara
tentang masalah yang sulit.
14. Kematian orang tua
• Hilangnya orang tua umumnya merupakan kehilangan
yang paling menyebabkan traumatis bagi anak-anak
karena hilangnya dukungan emosional dan psikologis
mengancam perkembangan emosi dan sosial mereka.
• Kematian orang tua juga dapat mengakibatkan rasa
kehilangan self-esteem anak yang luar biasa
• Tapi dengan dukungan orang dewasa untuk melalui
proses berduka ini, anak-anak dapat merekonstruksi
ulang pengalaman dan menumbuhkan kembali
kesehatan emosional mereka dan kebahagiaan yang
sempat hilang.
15. Kematian Kakek Nenek
Bagi kebanyakan anak, kematian kakek atau
neneknya merupakan pengalaman pertama bagi
mereka mengenai kematian dan kesedihan.
Dampak dari kehilangan tersebut bergantung
pada kedekatan hubungan antara keduanya.
Maka tugas pertama seorang konselor sekolah
adalah untuk menilai kedekatan hubungan
antara anak dengan kakek neneknya untuk
memastikan seberapa hebat kesedihan yang
dialami anak.
16. Kematian Saudara Kandung
• Setiap tahunnya di Amerika Serikat, 1,8 juta anak-anak
dan remaja mengalami kehilangan karena kematian
saudara kandungnya.
• Anak-anak memiliki reaksi yang kuat dan kadang-kadang
bertentangan dengan kematian seorang saudara laki-laki
atau saudara perempuannya. Salah satunya adalah
ketakutan bahwa mereka akan meninggal juga, mungkin
pada usia yang sama saat saudara mereka meninggal.
• Orang dewasa mungkin berpikir anak-anak ini
menangani kesedihan mereka dengan baik, bahwa
mereka tidak membutuhkan dukungan. Tapi konselor
sekolah harus memahami hal ini dengan lebih baik.
17. Kematian Sahabat
• Perkiraan jumlah remaja yang akan mengalami
kehilangan sahabat bervariasi dari 36 persen hingga 87
persen. Mengemudi dalam keadaan mabuk,
penggunaan senjata oleh anak-anak, HIV/AIDS, dan
peningkatan tingkat bunuh diri di kalangan remaja
cenderung memberikan kontribusi terhadap
peningkatan tingkat remaja yang kehilangan seorang
teman atau teman sekolah melalui kematian.
• Berduka adalah proses yang menyakitkan, tetapi itu
adalah satu-satunya cara untuk mengembalikan
kestabilan emosi remaja setelah seorang temannya
meninggal dunia, dan bahkan dapat meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan mereka.
18. Kehilangan karena
Perceraian dan Perpisahan
Orang Tua
Penelitian secara konsisten mendokumentasikan
dampak jangka pendek dan jangka panjang
perceraian terhadap emosi, sosial, dan akademik
pada anak: tingkat agresi yang meningkat dan
perilaku yang tidak seperti dirinya sesungguhnya;
tingginya kecemasan, kemarahan, kesepian, dan
keluhan somatik, kesedihan, ketakutan, dan depresi,
dan prestasi akademik yang secara keseluruhan
menurun.
19. Variabel
• Umur. Anak-anak usia 6 sampai 8 mengalami kesulitan untuk
memahami implikasi dari perceraian orang tua mereka. Pemikiran
khayalan mereka terus hidup melalui fantasi bahwa orang tua
mereka bersatu kembali. Anak usia 9 sampai 12 mengalami banyak
emosi, tetapi kemarahan mereka sering intens dan diarahkan pada
orang tua mereka bahwa yang mereka percaya orang tua
merekalah yang bertanggung jawab atas perceraian tersebut.
• Gender. Secara umum, anak laki-laki tampaknya memiliki lebih
banyak kesulitan menghadapi perceraian daripada anak
perempuan. Perbedaan gender yang paling jelas terlihat pada
pasca perceraian, kemudian cenderung berkurang seiring waktu.
• Waktu. Stres pasca perceraian di kalangan anak-anak yang paling
parah terjadi dalam beberapa bulan setelah perceraian. Perceraian
memicu krisis dalam keluarga dan cukup memberikan tekanan
pada anak.
21. Perasaan akan Sebuah
Keputusan Akhir
Anak yang orangtuanya terpisah ketika masih hidup
dan sering terlihat secara teratur (bercerai), lebih
sulit untuk menerima perceraian sebagai hal
permanen dan lebih mudah untuk berharap bahwa
orang tua akan bersatu kembali. Fantasi ini
mencegah proses berduka bergerak lebih jauh.
Fantasi bersatunya kembali orang tua lebih
mungkin bagi anak-anak yang orang tuanya
berpisah satu atau beberapa kali sebelum akhirnya
bercerai.
22. Dukungan
• Semua budaya memiliki ritual kematian
disekelilingnya, tetapi tidak ada upacara
berkabung untuk sebuah perceraian. Anak-anak
jarang menemukan dukungan yang
sama setelah perceraian yang mereka
dapatkan setelah kematian orang tua.
• Konselor sekolah harus belajar untuk
mengenali anak-anak yang sedang berduka
karena perceraian orang tua mereka, dan
mendukung mereka.
23. Isu Loyalitas
Salah satu efek yang paling merusak dari
perceraian terhadap anak-anak adalah perasaan
bahwa mereka terjebak di antara dua orang tua
yang sedang marah. Anak-anak korban
perceraian cenderung menyalahkan diri sendiri
karena perpisahan orang tua mereka. Ketika
orang tua telah meninggal, konflik loyalitas ini
tidak ada dan tidak mengaburkan proses
berduka.
24. Perceraian adalah Pilihan,
Kematian Bukan
• Kemarahan terkait dengan perasaan
ditinggalkan adalah respons umum anak-anak
yang berduka untuk orang tua yang telah
meninggal. Tapi bagi sebagian besar anak-anak,
tahap dari proses ini berlangsung
singkat karena mereka menyadari bahwa
orang tua tidak memilih untuk mati.
• Perceraian, tidak peduli betapa menyakitkan,
adalah sebuah pilihan.
25. Restrukturisasi Keluarga
Setelah kematian orang tua, orang tua yang
masih hidup pada akhirnya berkencan dan
menikah lagi. Meskipun sulit bagi anak-anak
untuk melihat orang tua yang telah meninggal
“digantikan,” penggantian dapat lebih sulit
untuk diterima oleh anak-anak korban
perceraian. Ketika orang tua yang bercerai
menikah lagi, fantasi tentang bersatunya
kembali oleh anak akan dihancurkan.
26. IInntteerrvveennssii
Bekerjasama dengan Guru
Bagi para guru, agar dapat membantu anak-anak dari perceraian di dalam
kelas. PA Miller et al menawarkan panduan berikut:
1.Fokus pada masalah terkait perceraian hanya karena mereka
mempengaruhi perilaku anak-anak di kelas dan prestasi akademisnya.
2.Lihat masalah umum terkait perceraian kepada konselor / psikolog
sekolah, dan melanjutkan berdasarkan rekomendasi orang tersebut.
3.Diskusikan masalah terkait perceraian yang berhubungan dengan orang
tua hanya dalam hal bagaimana mereka mempengaruhi perilaku anak di
kelas dan prestasi akademisnya.
4.Hindari tindakan memihak, atau mendukung klaim salah satu orangtua
atas yang lain.
5.Jadilah sumber dukungan bagi anak-anak, tetapi tidak mengambil alih
peran orangtua.
6.Memfasilitasi orang tua dan anak-anak akses ke sumber daya dan
informasi yang relevan yang berhubungan dengan masalah terkait
perceraian, tanpa menunjukkan bahwa Anda akan terlibat dalam
menyelesaikan masalah tersebut.
27. IInntteerrvveennssii
Bekerjasama dengan Orang Tua
• Strangeland, Pellegreno, dan Lundholm menemukan
bahwa orang tua yang bercerai mempunyai
kesalahpahaman terhadap persepsi anak-anak tentang
hubungan orang tua. Ini adalah salah satu alasan
konselor sekolah harus bertemu dengan orang tua yang
bercerai.
• Karena pertemuan individu dengan orang tua
memakan waktu dan tidak selalu praktis, Parker
menyarankan konselor sekolah menjalankan workshop
untuk orang tua yang bercerai.
• Lokakarya untuk Orang Tua yang Bercerai
28. Kesalahpahaman Orang Tua yang Bercerai
tentang Persepsi Anak-Anak Mereka
Item Respon
Anak
Respon
Orang Tua
Anak tahu mengapa orang tuanya bercerai. Tidak Ya
Anak tahu orang tuanya tidak akan pernah
Tidak Ya
hidup bersama lagi
Sejak perceraian, anak memiliki masalah di
sekolah, termasuk masalah dengan guru dan
kinerja yang buruk.
Ya Tidak
Sejak perceraian, anak telah membantu banyak
di rumah, lebih daripada sebelum perceraian
Tidak Ya
Anak memiliki kesulitan tidur Ya Tidak
Si anak tahu bahwa ia akan selalu mempinyai
Tidak Ya
seseorang untuk merawatnyanya
Anak berencana untuk menikah di masa depan Tidak Ya
29. IInntteerrvveennssii
Bekerjasama dengan Anak yang
Orang Tuanya Bercerai
• Intervensi berbasis sekolah paling populer untuk
anak-anak yang orang tuanya bercerai adalah
kelompok dukungan.
• Richardson dan Rosen menyarankan bahwa semua
intervensi konseling kelompok harus fokus pada tiga
komponen: dukungan sebaya, membangun
keterampilan, dan fleksibilitas.
• Sebuah Kelompok Dukungan Bagi Anak-Anak Akibat
Perceraian: Tema Dan Aktivitas
30. Kehilangan Hak Berdukacita
• Doka menggunakan istilah kehilangan haknya
untuk berduka dalam menggambarkan rasa
sakit dari kehilangan dan mengidentifikasi
empat konteks di mana kedukaan yang
kehilangan haknya: hubungan yang belum
diakui, kehilangan yang belum diakui, duka
cita yang belum diakui, dan kematian yang
belum diakui.
31.
32. Isu-Isu Etika dan Hukum
• Masalah etika yang paling penting dalam
konseling kehilangan adalah menemukan
keseimbangan antara identifikasi yang
berlebihan dengan siswa yang berduka dan
melepaskan diri dari siswa. Identifikasi yang
berlebihan mengaburkan batas antara
konselor dan konseli; Pelepasan diri
menghindari rasa sakit emosional konseli.
33. Isu-Isu Etika dan Hukum
• Dalam kasus perceraian, pengadilan memberikan
penghargaan baik hak asuh orangtua tunggal maupun hak
asuh bersama.
• Untuk konselor sekolah, ini berarti bahwa kedua orang
tua memiliki akses yang sama terhadap informasi
mengenai anak-anak mereka dan bahwa kedua orang tua
memiliki hak hukum untuk membuat keputusan
mengenai pendidikan anak-anak mereka.
• Dalam kasus hak asuh orang tua tunggal, konselor sekolah
dapat membantu dengan menekankan pentingnya
keterlibatan kedua orang tua tetapi harus berhati-hati
untuk tidak melanggar apa-apa yang ditetapkan oleh
surat keputusan perceraian dalam hukum.