1. “Ketika Kita Kembali Kepada al-Qur’an, Kedudukan Semua Orang Adalah Setara.” [Prof. Abdullah
Saeed]
Re-interpretasi Teologis
iTs me - Salah satu, atau mungkin satu-satunya, intelektual Muslim di Australia yang memiliki
perhatian dan minat besar terhadap isu tentang Islam dan kebebasan beragama dalam konteks
modern ialah Abdullah Saeed. Dia adalah seorang profesor di Universitas Melbourne, yang –
menurut pengakuannya- berasal dari keluarga religius tradisional. Selain pernah terdidik dalam
tradisi kesarjanaan Islam klasik dan bahasa Arab di Arab Saudi, dia kemudian terdidik dalam
tradisi kesarjanaan modern (Barat). Oleh karena itu, pandangan-pandangannya tentang isu-isu
keagamaan dalam konteks modern tidak bisa dipisahkan dari pengetahuannya tentang tradisi
Islam dan penguasaannya atas pelbagai perangkat metodologis modern.
Pelbagai pendapat yang dituangkan dalam karya-karyanya mencerminkan penguasaan terhadap
pengetahuan klasik dan modern sekaligus. Dia menawarkan suatu pendekatan kontekstual dalam
memahami teks-teks keagamaan, termasuk yang berkaitan dengan isu hak kebebasan beragama.
Kontekstualisasi merupakan kata kunci penting dalam rangka melakukan ijtihad atau penafsiran
terhadap teks-teks Islam, baik al-Qur’an maupun Sunnah. Saeed menekankan bahwa isu-isu
kontemporer seperti kebebasan beragama atau berkeyakinan dan kesetaraan gender
mensyaratkan perangkat metodologi ijtihad yang bersifat kontekstual.
Dalam konteks modern, pembedaan-pembedaan yang didasarkan pada agama menjadi tidak
relevan. Dalam masyarakat yang pluralistik, kesetaraan (aquality) tidak bisa diabaikan, terutama
dalam konteks kewarganegaraan (citizenship). Dalam tradisi pemikiran fiqh klasik, norma yang
berlaku tampaknya adalah bahwa orang-orang Muslim sebagai mayoritas memiliki kedudukan
yang lebih tinggi (superior) dan hak-hak istimewa (extra rights) dibandingkan dengan komunitas
non-Muslim. Namun, menurut Saeed, gagasan seperti itu tidak cocok untuk saat ini.
Saeed menawarkan suatu pembedaan yang tegas antara komunitas agama dan komunitas politik.
Dalam realitas, komunitas keagamaan mencakup Muslim, Kristen, Yahudi dan lain-lain. Pluralitas
itu juga dinyatakan dalam al-Qur’an. Namun, dalam konteks komunitas politik dan kehidupan
bernegara, pembedaan-pembedaan berdasarkan agama atau keyakinan tidak bisa diterapkan.
Tidak diperbolehkan adanya diskriminasi atas dasar agama. Sebagai warga negara atau anggota
komunitas politik, rakyat yang berbeda-beda agama atau keyakinannya harus mendapatkan
jaminan keamanan, keselamatan, akses kepada sumber-sumber penghidupan, hak atas keadilan,
tanpa mempersoalkan perbedaan agama. Karena itu, keadilan dan kebebasan merupakan nilai
yang sangat mendasar. Pandangan demikian ini menunjukkan adanya pergeseran dari
pendekatan etis-normatif-legalistik menuju pendekatan etis-teologis-kontekstual.
Saeed merujuk kepada pengalaman sejarah pada masa Nabi, ketika ada piagam Madinah yang
membawa umat Islam, Yahudi dan lainnya hidup secara bersama-sama, tidak membuat
perbedaan antara satu dan lainnya. Tampak di sini adanya kesetaraan di antara anggota
komunitas yang menjadi satu “umat politik.” “Mereka semua memiliki harapan yang sama terhadap
perlindungan, jaminan keamanan dan semuanya memiliki kewajiban-kewajiban yang sama. Jadi,
tidak ada perbedaan antara Muslim dan Yahudi, sebagai komunitas politik,” tegas Saeed.
Dalam situasi yang khusus di mana Muslim secara politik sangat dominan, melalui penaklukan,
dominasi tersebut difasilitasi oleh keberadaan Muslim yang dominan di suatu tempat. Mereka
menyebut bahwa merekalah yang paling otentik, sementara yang lain tidak, bahkan
menganggapnya koruptif. Mereka menginginkan memiliki tempat yang lebih tinggi dibanding yang
lain. Gagasan ini kemudian ditafsirkan sedemikian rupa, melalui penetapan ayat-ayat al-Qur’an
dan Hadits, yang diwariskan melalui tradisi. Dalam perspektif ini, baik seseorang itu menjalankan
ibadah atau tidak, pembedaan dianggap lebih baik. Terdapat banyak pembatasan atau
pembedaan antara Muslim dan non-Muslim. Di beberapa tempat praktik diskriminasi berdasarkan
agama atau keyakinan masih terjadi.
2. Namun demikian, terdapat tradisi yang mendukung gagasan kewarga-negaraan yang setara untuk
seluruh rakyat, dengan mengesampingkan perbedaan agama. Tradisi itu bersumber dari teks-teks
yang tidak dipahami secara legalistik-normatif. Sebagai contoh, adalah teks tentang perbudakan.
Dalam hadits dan juga dalam literatur fiqh terdapat banyak teks yang berbicara tentang
perbudakan. Sedangkan praktik perbudakan saat ini tidak ada lagi. Pada hakikatnya tidak bisa
diterima adanya gagasan tentang manusia yang mengenyahkan hak sesamanya. Dalam
komunitas internasional yang terdiri dari umat manusia dengan beraneka-ragam agama dan
keyakinan (Muslim, Kristen, Yahudi, dan lain-lain), praktik perbudakan dan diskriminasi tidak bisa
diterima. Tampak bahwa Saeed berupaya melakukan semacam reinterpretasi atau rekonstruksi
etis-teologis terhadap isu-isu yang ada dalam al-Qur’an yang memiliki kaitan dengan
perkembangan modern dan kontemporer.
Saeed menegaskan bahwa al-Qur’an mengandung ajaran atau doktrin yang bersifat universal
mengenai kemanusiaan dan keimanan kepada Tuhan. Soal etika, norma dan nilai juga universal,
termasuk nilai-nilai sejarah. Namun, tidak semua yang terdapat dalam al-Qur’an bersifat universal,
karena ada hal yang bersifat partikular, seperti soal perbudakan yang tidak selalu ada di setiap
masyarakat Muslim, meskipun al-Qur’an menyebutnya. Bahkan, menurut Saeed, tidak semua teks
atau ayat dalam al-Qur’an cocok diterapkan. Teks itu mengandung nilai tertentu, tetapi ketika
situasi kekinian sangat berbeda maka teks itu bisa diabaikan. Apa yang berlaku pada abad ke-14
misalnya tidak selalu bisa diterapkan untuk periode abad ke-19, dan seterusnya. Konsep keadilan
juga mengalami perubahan, mengikuti perubahan zaman. Demikian pula konsep kebebasan
beragama, di mana seseorang boleh menganut agama atau melepaskan pilihan keyakinannya.
Saeed menegaskan, “ketika kita kembali kepada al-Qur’an, kedudukan semua orang adalah
setara.”
Menurut Saeed, bentuk-bentuk agama pada periode klasik sangat berbeda dari konteks kekinian.
Banyak sekali orang yang mengubah paham agamanya karena pertimbangan yang khusus. Hal ini
merupakan perjalanan spiritual, di mana orang-orang Islam, Kristen dan Yahudi memiliki pendapat
masing-masing mengenai pengalaman spiritual yang dialami. Namun, ini tidak mengimplikasikan
bahwa mengubah agama berarti mengubah identitas politik.
Pada masa dahulu, perkara iman sangat tertutup. Menurut Saeed, jika seorang mengubah
identitas keagamaan berarti juga mengubah identitas politik, mengubah kesepakatan politik.
Dalam konteks ini, identitas keagamaan dan politik memiliki hubungan yang sangat erat. Kondisi
ini sangat menyulitkan orang yang hendak mengubah pandangan atau keyakinan keagamaannya.
[]
Oleh : Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si
[Klik disini dan disini untuk profile Penulis]