Dapat SP2DK, Harus Apa? Bagimana cara merespon surat cinta DJP?
Pemikiran Abdul Karim Soroush Teks Agama & pemahaman Keagamaan
1. TOLERANSI DAN PEMERINTAHAN: SEBUAH WACANA TENTANG
AGAMA DAN DEMOKRASI
(Abdul Karim Soroush)
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH FILSAFAT
ILMU-ILMU KE ISLAMAN
DISUSUN OLEH:
M. ZIDNY NAFI’ HASBI
NIM. 2030001210
PROGRAM DOKTORAL
KONSENTRASI EKONOMI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2021
2. ABSTRAK
Abdul Karim Soroush menggugat konsep “wilayah faqih” dalam sistem demokrasi
di Iran. Konsep tersebut memberikan wewenang tunggah kepada Mullah dan
ulama, sehingga fatwanya bersifat otoritatif. Abdul Karim Soroush mengkritik
karena pemerintah hanya mengedepankan kepentingan negara dan menafikan
kemaslahatan masyarakat. Gagasan Soroush adalah refleksi dari situasi politik di
Iran yang dikuasai oleh wilayatul faqih mereka menafsiri agama seolah tafsir itu
adalah agama sendiri. Abdul Karim Soroush menggunakan teori hermeneutika
dalam membaca ajaran agama untuk menemukan ajaran egaliter. Dengan demikian
muncul pertanyaan bagaimana sebuah gagasan tentang perubahan bisa dirujukan
dengan sifat agama sebagai pembawa kebenaran abadi?. Apakah mungkin dilakukan?
Karena kepasrahan pada perubahan tidak akan diterima oleh tradisi dan juga agama.
Begitu juga taqlid buta terhadap tradisi akan menyulitkan seseorang untuk menjalani
agama di dunia yang sangat plural ini. Selanjutnya mengapa diperlukan upaya untuk
merenovasi agama yang bersumber dari Tuhan dan apa saja yang perlu mengalami
perubahan
Kata kunci: Agama dan pengetahuan ilmu agama, demokrasi agama
PENDAHULUAN
Iran (Persia) adalah suatu wilayah yang tradisi intelaktualnya terbukti maju
bahkan sejak zaman kuno. Bahkan Persia merupakan negara yang melahirkan para
ahli fikir yang membantu peradaban Islam masa keemasan Dinasti Abbasiayah.
Interaksi intelektual orang-orang Muslim dengan dunia pemikiran terutama terjadi
Mesir, Damaskus, Mesopotamia, dan Persia atau Iran. Abdul Karim Soroush
adalah salah satu pewaris dan sekaligus pembaharu peradaban Persia, di samping
pendahulunya seperti Murtadha Muthahhari dan Ali Syari’ati. Syari'ati terkenal
sebagai teoretisi sebuah revolusi agama, maka Soroush terkenal dengan teori
revolusinya pada pembentukan pluralisme agama dan politik dalam agama, dan
sekaligus seorang revolusioner masyarakat Iran.
Abdul Karim Soroush, tidak seperti Syari'ati, perhatian Abdul Karim
Soroush bukan untuk mengubah dunia melalui revolusi tetapi untuk mengenali,
baik melalui pendekatan kritis rasional maupun kompleksitas kehidupan beragama
di zaman modern. Abdul Karim Soroush memiliki keberanian revolusioner untuk
3. menantang kesucian interpretasi agama resmi dan orang yang dipandang
mempunyai otoritas keagamaan.
Abdul Karim Soroush ingin memadukan dalam banyak hal antara Islam dan
Barat, khususnya dalam corak pemikirannya. Misalnya, terkait dengan konsep
pemerintahan ideal, dia tampak sekali menawarkan bagaimana nilai-nilai agama
(Islam) dipadukan dengan konsep demokrasi sekuler. Abdul Karim Soroush
mengatakan:
“The religious attitude (relegating the judgment to the shared religious
knowledge) maintains the same epistemological relationship to democracy
as does the scientific attitude (relegating judgement to the shared wisdom
of practitioners)” (Soroush, 2000:137).
Sebagaimana dikatakan Soroush, bahwa sikap religius (mengalihkan
penghakiman ke pengetahuan agama bersama) mempertahankan hubungan
epistemologis yang sama dengan demokrasi seperti halnya sikap ilmiah
(menurunkan penghakiman terhadap kebijaksanaan bersama praktisi). Dengan
demikian perpaduan agama dan demokrasi adalah suatu contoh keserasian antara
agama dan nalar. Perpaduan agama dan demokrasi adalah kecerdasan metareligious
yang memiliki setidaknya beberapa dimensi epistemologis extrareligious.
Abdul Karim Soroush, merupakan tokoh yang tidak asing lagi dalam dunia
filsafat. Abdul Karim Soroush adalah salah seorang dari 32 penulis yang namanya
dicantumkan pada bagian pemikir Islam kontemporer pada spesifikasi kebebasan
berfikir. Abdul Karim Soroush mengungkapkan pemikiran dan kritiknya yang
tajam terhadap pengetahuan keagamaan, ia juga menuangkan ide pemikirannya
pada berbagai karyanya yang fenomenal, meski mendapat tantangan berarti dari
berbagai pihak, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ia merupakan tokoh pemikir
muslim kontemporer yang telah membangunkan para pemikir muslim yang selama
ini stagnan dari kedinamisan pemahaman syari’at.
Secara khusus Abdul Karim Soroush berpendapat bahwa negara Islam harus
mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, dan memberi ruang yang bebas bagi
peneliti dalam mengembangkan pemikirannya dalam memahami agama. Agama
4. dapat dikaji secara rasional sama seperti fenomena-fenomena lainnya. Agama itu
bersifat Illahiyah (devine) sedangkan interpretasi bersifat manusiawi bisa saja
salah.
PEMBAHASAN
1. TEKS AGAMA DAN PENGETAHUAN ILMU AGAMA
Abdul Karim Soroush menggunakan hermeneutika kebebasan ketika
menginterpretasikan ajaran agama dan memhami pengetahuan agama, karena
kebebasan menjadi dasar untuk menemukan kebeneran. Adapun menghindari
kebebasan menjadi musuh kebenaran dan tempat pembiakan ide-ide yang salah.
Orang yang yang takut pada kebebasan adalah mereka yang mencingtai ide-ide
lemah, sedangkan para pencinta kebenaran sangat mencintai kebebasan.
Kebebasan di sini erat kaitannya dengan nalar (reason). Karena manusia adalah
makhluk rasional yang cendrung menginginkan kebebesan. Dalam hal ini, nalar
menjadi sumber inspirasi dan wadah dalam mencari kebenaran akan menemukan
ruang yang komplek, misalkan kaum Nazi merendahkan demokrasi dan
kebebasan publik karena pemuja Hilter yang didukung dan didasarkan pada
kepatuhan buta dan tidak rasinonal.
Abdul Karim Soroush ingin membedakan antara agama dengan
pemahaman agama (ilmu agama). Agama (wahyu) secara hakiki mempunyai
kebenaran mutlak, namun pemahaman manusia terhadap agama bergradasi dan
bisa salah. Abdul Karim Soroush mempunyai gagasan bahwa harus dibedakan
antara Islam sebagai kebenaran dan Islam sebagai identitas. Dalam memahami
agama harus mendasar kepada kerangka epistemology yang digunakan.
Perubahan menunjukkan bahwa memahami agama tergantung dari car pandang.
Hal ini bisa dipahami dari analogi melalui cerita Jalaluddin Rumi tentang gajah
dan orang buta, dimana masing-masing orang buta itu menyampaikan deskripsi
gajah secara berbeda-beda sesuai dengan bagian tubuh gajah yang merek raba
dan rasakan.
5. Agama tidak boleh dikritik, tapi pemikiran keagamaan sah untuk dikritik.
Kedua hal itu harus dibedakan. Kalau dalam dunia akademik yang agak kompleks,
keduanya harus dibeda-bedakan. Jadi antara al-dîn (agama) dan al-afkâr al-
dîniyyah (pemikiran keagamaan) itu berbeda. Abdul Karim Soroush mempunyai
teori berfikir dalam memahami teks agama dan pengetahuan ilmu agama sebagai
berikut:
Pertama, Exspansioan and Contarction Theory ( penyusutan dan
pengembagan pemahaman agama) dalam membedakan agama dan pemahaman
ilmu keagamaan. Menurut Abdul Karim Soroush hakekat dari teori
pengembangan dan penyusutan pemahaman keagamaan adalah bahwa ada satu
fase dimana pemahaman seorang tentang agama itu berkembang
(expansion),juga ada masa dimana pemahaman kita terhadap agama menyusut
(contractoin). Semuanya mungkin terjadi karena perbedaan kacamata dalam
memandang agama. Menurut Abdul Karim Soroush umat Islam belum bisa
membedakan agama (al din) dan pemahaman keagamaan (ma’rifat al din).
Perluasan yang dimaksud bukan berarti bahwa ilmu pengetahuan buatan
manusia menggantikan agama (wahyu allah).
Kedua, Basthu al-Tajribah al- Nabawiyah yaitu tentang prilaku. memiliki
landasan pemahaman agama bahwa semua pemahaman manusia tentang agama
bersifat historis dan bisa saja salah. Apa yang Nabi terima dari Tuhan adalah
kandungan dari wahyu. Muatan wahyu ini bagaimanapun tak dapat diberikan
kepada manusia begitu saja, sebab ia berada di luar pemahaman, bahkan tak
terjangkau kata-kata. Kandungan wahyu tersebut tak memiliki bentuk, dan tugas
Nabi adalah menciptakan bentuk sehingga membuatnya dapat dipahami. Jika
orang Muslim bersikeras pada gagasan bahwa Alquran adalah bukan ciptaan,
dan merupakan kata-kata abadi Tuhan yang harus diterapkan secara literal, maka
mereka akan terjebak dalam dilema yang tak terpecahkan.
Ketiga, Al-Dzatiy wa al-Aradli fii al- Adyan. Istilah ini digunakan untuk
menemukan bagian orisinal (Al Dzatiy) dan yang dihadirkan (Al-Aradli) dalam
agama-agama. Pentingnya penggabungan agama dan demokrasi, menurut Abdul
6. Karim Soroush, sebenarnya dilatarbelakangi karena melihat kenyataan historis
bahwa dalam kultur politik masyarakat sekuler liberal, pemerintah dan rakyatnya
bertindak seakan-akan tidak ada
Keempat, Al-Din fi al-Had al- Adna wa al -Ala. Perumpamaan tentang
evolusi pemahaman dari ala kadarnya menuju kadar tak terbatas, dari yang
asalnya fisik menuju metafisik. Tuhan, berjalan dengan sama sekali
mengabaikan eksistensi dan non eksistensinya, tidak pernah mempertimbangan
restu dan larangannya dalam kebijakan dan perilaku mereka. Sebaliknya, bentuk
pemerintahan agama masa lampau dianggap hanya mengurusi amanat Tuhan,
bukan manusia. Mereka melihat kepuasan rakyat sebagai akibat sampingan
alami dan tergantung dari kepuasan Tuhan
Kelima, Al-Islam , al Wahyu, an Nubuwwah. Sifat turunnya wahyu
kepada nabi. Tujuannya menjernihkan dan menempatkan wilayah yang
seharusny, yaitu mana yang berposisi sebagai pengikut dan siapa panutannya.
Kombinasi agama dan demokrasi adalah contoh kesesuaian antara agama dan
akal. Faktanya jelas bahwa upaya tersebut sekaligus adalah konsensus (ijma’)
dan sumpah kesetiaan kepada penguasa (baiat). Sebaliknya, wacana
pemerintahan agama harus dimulai dengan diskusi tentang hak asasi manusia,
keadilan, dan pembatasan kekuasaan (semua itu adalah masalah extrareligious).
mengandung nilai agama, berguna, dan pertanda baik. Pemikiran semacam itu
tidak berarti dinodai oleh kecenderungan anti-agama atau berpihak secara
curang untuk menggantikan religiusitas dengan keduniawian.
Keenam, Khatamiyyah al-Nabiy, Soroush membedah tentang
pemungkas kenabian yang melekat pada nabi muhammada saw. Kombinasi
agama dan demokrasi adalah kecerdasan metareligious yang memiliki
setidaknya beberapa dimensi epistemologis extrareligious. Misalnya, dalam
pemerintahan otokratis, hak pengambil keputusan diserahkan hanya kepada
kekuasaan, dalam pemerintahan demokratis diserahkan kepada kebijaksanaan
umum yang dinamis, dan dalam pemerintahan agama diserahkan kepada Tuhan
(agama). Semestinya, tidaklah demikian dalam penyelenggaraan pemerintahan.
7. Akan tetapi, masyarakat beragama adalah pendukung, sponsor, sumber, dan
penyemangat kebijakan-kebijakan yang berlandas agama, sehingga tanpa suatu
masyarakat beragama, pemerintahan demokratis agama tidak dapat
terbayangkan. Argumen di atas memberikan titik awal yang valid dan formulasi
yang benar tentang (jika bukan solusi sebenarnya) masalah kombinasi antara
agama dan demokrasi. Argumen ini, tidak seperti tulisan-tulisan dari beberapa
pemikir Islam, yang berusaha menempatkan seluruh bobot bangunan konseptual
demokrasi atas pondasi yang lemah terkait dengan intrareligious, seperti ajaran
agama tentang musyawarah.
2. DEMOKRASI AGAMA
Pemikiran Soroush terkait dengan perlunya umat Islam menggugat
otoritas kebenaran agama dengan meninggalkan absolutisme dan tirani
pemikiran ini dipengaruhi oleh improfisasi dan ilmu manusia, menurut Soroush
hak-hak asasi manusia harus di perjuangkan. Gagasan Soroush tentang
perjuangan HAM dan Demokrasi di Iran pasca-Revolusi Iran 1979 sangat
diperhitungkan Gagasan Soroush tentang perjuangan HAM dan Demokrasi di
Iran pasca-Revolusi Iran 1979 Revolusi Iran, menurut Soroush dilandaskan pada
klaim agama, karenanya dia menggabungkan ide-ide terhadap perkembangan
pandangan hidup dan pemikiran agamis masyarakat Iran, serta klaim pemerintah
Iran sebagai pemerintah Islam. Baginya pemerintahan ulama tidak memberikan
keistimewaan, tidak ada ulama yang memiliki keistimewaan duniawi, baik itu
secara politik maupun ekonomi. Pemerintahan Islam di Iran adalah sebuah
pemerintahan tanpa teori dan doktrin. Oleh karena itu dibidang ekonomi, politik,
hak asasi manusia dan urusan internasional pemerintah bersifat reaktif dan
sembrono, baginya bahkan dekrit dan putusan Khoemaini mengenai Fiqh
disebabkan kepentingan praktis saat itu, tanpa adanya dasar teoritis ditengah
masyarakat miskin.
Meskipun demikian, sebagian pengkritik menganggap gagasan terhadap
pemerintahan demokrasi agama tidak masuk akal. Mereka menujuk fenomena-
fenomena dan kaidah-kaidah seperti otoritas fuqaha, memberlakukan hukuman
8. mati atas orang yang murtad, mengangap orang kafir sebagai kotor, dogmatisme
keyakinan, dan kekakuan pada kaidah dan fatwa agama adalah bukti kebencian
agama terhadap demokrasi. Soroush meliberasi pemikiran, tidak terkungkung
mullahisme dan wilayatul faqih, dia yakin bahwa membaca buku memperluas
paradigma bahwa Al Qur‘an bisa didekati dengan keilmuan lain. itulah
demokratisasi yang diusung Soroush.
Jika kita Tarik pada system demokrasi di Indonesia, dibandingkan di Iran
tentu bangsa Indonesia lebih beruntung tidak mengalami diskriminasi beragama,
bebas dalam memafsirkan agama, serta kemerdekaan berfikir. System demokrasi
yang dianut Indonesia adalah demokrasi pancasila, dengan menjadikan pancasila
sebagai dasar negara, sehingga secara materiil berarti demokrasi yang dianut
juga adalah demokrasi pancasila. Ciri demokrasi pancasila adalah kekeluargaan
dan gotong royong berdasar terhadap Tuhan YME, Menjamin HAM dan hak
minoritas Pengambilan keputusan musyawarah mufakat, bersendi terhadap
hukum dan kedaulatan ditangan rakyat. Sedang demokrasi di Iran menganut
system Wilayatul Faqih, dan pengkultusan terhadap manusia
Teori ini dipandang dapat menjadi pilar penguat pluralisme dan nilai-
nilai demokrasi. Soroush mengingatkan agamawan untuk tidak terjebak dalam
sebuah penafsiran agama tertentu, apalagi menobatkannya sebagai satu-satunya
pemahaman keagamaan yang benar. Satu hal yang menjadi sasaran peringatan
keras Soroush adalah dijadikannya sebuah pemahaman agama sebagai sebuah
ideologi bagi negara, sehingga otoritarianisme yang lahir dari fenomena tersebut
adalah otoritarianisme agama dan dapat mengancam nilai-nilai demokrasi.
Menurut Soroush, yang terpenting dalam upaya memahami pemikiran
keagamaan manusia adalah keharusan untuk membedakan mana agama sebagai
sebuah ajaran Tuhan dan pemikiran keagamaan manusia sebagai produk
manusia dan sebagai refleksi atas ajaran agama. Dari pembedaan ini nantinya
akan diketahui unsur mana yang sebenarnya sakral, mutlak kebenarannya dan
unsur mana yang profan, tidak asli dan tidak mutlak kebenarannya. Dalam hal
ini Soroush menegaskan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah selama orang
9. belum dapat membedakan antara agama dan pemahaman agama, maka ia tidak
akan menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan-pertanyaan yang
mengusik tersebut. Benar bahwa kitab suci agama (menurut penilaian para
pengikutnya) tidak bercacat, namun sama benarnya juga mengatakan bahwa
pemahaman manusia akan agama itu bercacat. Agama itu suci dan ukhrawi,
tetapi pemahaman tentang agama adalah manusiawi dan duniawi. Yang konstan
adalah agama (dîn) sedangkan yang mengalami perubahan adalah ilmu agama
(al-ma‘rifah al-dînîyah)
Menurut Soroush, agama tidak bimbang dalam berbicara tentang
tujuannya dan menjelaskan tentang kebaikan dan keburukan tetapi kecacatan itu
dijumpai dalam pemahaman manusia tentang maksud agama. Agama tidak
membutuhkan perbaikan dan penyempurnaan. Akan tetapi, ilmu agama, yang
bersifat manusiawi dan tidak sempurna secara terus-menerus perlu diperbaiki.
Agama bersih dari segala kultur dan buah pikiran manusia, tetapi ilmu agama
(tanpa ragu sedikitpun) terpengaruh oleh hal-hal demikian. Syariah agama tidak
pernah setara dengan opini manusia sehingga mustahil ada kesesuaian atau
ketidaksesuaian antara keduanya, pemahaman seorang manusialah yang bisa
jadi sama atau tidak sama dengan pemahaman manusia yang lain
Melalui teori penyusutan dan pengembangan interpretasi agama,
pemahaman terhadap agama sebagai bagian dari ilmu agama memiliki tujuan
yang sama dengan semua disiplin keilmuwan dan pengetahuan manusia lainnya
jika ilmu pengetahuan lain baik itu eksak maupun non-eksak tersebut
dipergunakan sebagai pisau analisis untuk memahami agama. Soroush
menjelaskan bahwa teori penyusutan dan pengembangan interpretasi agama
membuka rahasia semua pertanyaan seperti itu. Teori ini membedakan antara
agama dan ilmu agama. Teori ini menilai ilmu agama sebagai suatu cabang ilmu
pengetahuan manusia dan menganggap pemahaman kita tentang agama
berevolusi bersama cabang-cabang ilmu pengetahuan manusia lainnya.
Menurut Hashas, teori Soroush tersebut berdampak pada seluruh hasil
rancangan Soroush yakni dunia yang secara a priori bersifat plural di mana dia
10. menyebutnya “pluralisme negatif” dan secara aposteriori juga bersifat plural,
dan dia menyebutnya “pluralisme positif”. Dengan konsep ini Soroush sampai
pada satu kesimpulan bahwa manusia dan kaum beriman tidak bisa berharap
terlalu banyak pada agama, di mana Soroush menyebutnya sebagai “agama
minimalis” melawan orang “maksimalis”, untuk sejarah dan orang beriman itu
sendiri yang menambahkan pada agama hal-hal “kebetulan” yang berkedok
“esensialis”. Untuk menyingkap “esensial” agama maka dibutuhkan
penyingkapan awal pewahyuan dan hal ini kemudian terbangun dalam cahaya
pengalaman Kenabian, urgensi kesejarahan, dan interaksi kemanusiaan. Hasil
dari studi agama adalah pengetahuan tentang agama tersebut dan bukan agama
itu sendiri.
Soroush juga mengungkapkan bahwa ada sebagian orang yang
mengaburkan antara agama dengan dunia. Orang-orang yang menganggap
agama sebagai fana karena menurut mereka agama dan dunia berbahasa yang
sama. Hubungan antara agama dan dunia bagi sebagian orang bisa jadi sangat
erat. Agama bisa berfungsi untuk menjelaskan dunia sehingga dapat
memberikan peringatan dan menghindarkan manusia dari kerusakan dan
kehancuran. Sebaliknya, dunia dapat berfungsi menjelaskan agama karena
perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dapat menjadi sebuah media untuk
menjelaskan maksud-maksud firman Allah di dalam wahyunya. Dengan
demikian, bukannya kebudayaan dan tren kontemporer yang serba berubah itu
yang dijadikan pedoman kehidupan akan tetapi agama itulah yang tetap menjadi
tujuan dan way of life bagi manusia sejagad meski ia hidup dalam berbagai jaman
yang berbeda-beda.
3. TEORI INTEGRASI INTERKONEKSI MENGUATKAN TEORI
QABDH WA BAST
M. Amin Abdullah mengemukakan gagasan tentang teori Integrasi
Interkoneksi, teori tersebut menguatkan pemikiran Abdul Karim Soroush
tentang teori Qabdh wa Bast dan, adapun bukti dari penguatan gagasan tersebut
adalah;
11. 1. Integrasi-interkoneksi merupakan upaya mempertemukan antara ilmu-ilmu
agama (islam) dan ilmu-ilmu umum (sains-teknologi dan sosial-humanior
Sedangkan Qabdh wa Bast mengawali teorinya dengan pembedaan antara
agama dan ilmu agama tanpa mengklasifikasi perbedaan antara ilmu agama
dengan ilmu pengetahuan lainnya. Yang artinya kedua teori tersebut
mengakui upaya sciantifikasi Al Qur‘an.
2. Tujuan dari integrasi interkoneksi adalah untuk bisa memahami kehidupan
manusia yang kompleks secara terpadu dan menyeluruh. (Q.S. Al-Mujadilah:
11). Sedangkan tujuan teori penyusutan dan pengembangan interpretasi
agama, menjelaskan pemahaman terhadap agama sebagai bagian dari ilmu
agama, dengan segala kompleksitasnya dan kemerdekaan berfikir. Keduanya
sama-sama dipergunakan sebagai pisau analisis untuk memahami agama.
3. Teori Qabdh wa Bast dan teori Integrasi Interkoneksi sama-sama
berkeyakinan bahwa Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil
dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Tuhan, tanpa kehilangan dimensi
spiritualitasnya, maka berkembanglah ilmu atau sains yang bisa digunakan
untuk mengkaji agama.
KESIMPULAN
Pemikiran keagamaan bukanlah merupakan agama, melainkan
pemikiran yang meliputi dan berporos pada agama. Pemikiran keagamaan
dipengaruhi oleh keilmuan yang berbeda, lingkungan yang berbeda, tafsir yang
berbeda, mahzab yang berbeda, kepercayaan-kepercayaan umum dan donggeng-
donggeng rakyat. Dengan demikian, pemikiran keagamaan seperti ini, mustahil
akan selamanya benar. Mungkin disatu sisi ia akan membawa kebenaran dan
disisi lain mungkin ia akan membawa pada kesalahan sebagaimana ia tercampuri
oleh tujuan-tujuan, bersifat relative sebagaimana pendapat seorang manusia.
Perbedaan agama (ad-din) dan pemikiran keagamaan (al-fikr ad-din)
adalah Agama merupakan kumpulan dasar-dasar yang dibawa oleh Nabi atau
Rasul, sedangkan pemikiran keagamaan adalah metode-metode historis untuk
12. memahami dasar-dasar itu dan penerapannya. Setiap pemahaman atas teks-teks
keagamaan dan setiap interpretasi atasnya setelah nabi wafat merupakan
pemikiran keagamaan. Oleh karena itu pemahaman atau interpretasi ini
terkadang cocok dengan inti agama dan terkadang tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Soroush, Abdulkarim, Reason, Freedom, & Democracy in Islam Essential
Writings of 'Abdolkarim Soroush, Oxford University Press, 1999
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Paradigma
Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Abdullah, M. Amin, ―Relevansi Studi Agama-Agama dalam Milenium
Amin Abdullah dkk, Mencari Islam (Studi Islam dengan Berbagai
Pendekatan), (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2000)