2. Nurcholish Madjid:
Meninggal dunia, pada hari Senin, 29
Agustus 2005, pukul 14.05 WIB, di RS
Pondok Indah Jakarta, pada usia 66
tahun (Lahir 17 Maret 1939, di
Jombang, Jawa Timur)
3. Jaringan Islam Liberal:
“Turut berduka atas meningggalnya
Bapak Pluralisme dan Toleransi Prof.
Dr. Nurcholish Madjid… semoga kami
dapat meneruskan perjuangannya.”
(www.islamlib.com)
4. Prof. Dr. Halim Mat Diah:
Jazallaahu hasba maa ‘amila
(Semoga Allah memberi balasan
setimpal dengan perbuatannya)
5. Partai Keadilan Sejahtera:
“Semoga Allah SWT menerima segala amal
sholih Almarhum serta memasukkan ke
surga-Nya bersama para Anbiya’,
Shiddiqin, Syuhada’ dan Sholihin.” (Iklan
¼ hlm di Harian Republika, 1 September
2005)
6. Dr. Daud Rasyid:
. “Menurut saya, iklan belasungkawa PKS itu
sebuah kekeliruan. Terlalu terburu-buru.
Dari sisi normatif, pujian dan sanjungan
seperti yang dimuat itu terlalu berlebihan,
keluar dari partai Islam seperti PKS yang
punya pengalaman dan pemahaman
tentang sekulerisme.” (Sabili, edisi 22
September 2005)
7. Tifatul Sembiring:
. “Itu kurang kontrol dan tidak ada cek
terakhir. Saya juga telah menegur pihak
Humas tentang hal ini,” (Sabili, 22
September 2005)
8. Eep Saifullah Fatah:
Cak Nur adalah penganjur teguh
keharusan memahami keadaan--
termasuk sosok-sosok di dalamnya--
secara saksama dan cermat
berbasiskan kesahajaan fakta,
kejujuran, dan obyektivitas. Maka
bukan hanya ceramah agamanya
yang terasa sejuk, analisis dan
kesaksian Cak Nur atas keadaan
hampir selalu tepat dan
mencerahkan.”
10. Syafii Ma’arif:
Bukankah tafsiran manusia terhadap wahyu yang
mengandung kebenaran mutlak tidak pernah benar mutlak
semutlak wahyu itu sendiri? Oleh sebab itu, jika ada
orang yang memonopoli kebenaran dengan jalan
memasung hak orang lain untuk berpendapat berbeda,
sebenarnya (secara tidak sengaja atau gegabah?) telah
mengambil alih otoritas Tuhan sebagai Sumber
Kebenaran Mutlak. Cara berpikir semacam ini sangat
berbahaya dan dapat meluluhlantakkan persaudaraan
antarmanusia.”
11. Tajuk Republika (30/8/2005):
“Ia tidak menebar ide-ide itu dengan bahasa
keras. Ia jauh dari itu. Seperti kata Hidayat
Nur Wahid, ketua MPR yang menjadi adik
kelasnya di Pondok Pesantren Gontor, Cak
Nur sangat teliti dan penuh perhatian.
Meski ilmunya sangat dalam, ia adalah
orang yang sangat rendah hati.”
12. Dr. Greg Barton:
Tokoh-tokoh Awal Islam Liberal di
Indonesia:
KH Abdurrahman Wahid
Prof. Dr. Nurcholish Madjid
Ahmad Wahib
Djohan Effendi
(Buku Gagasan Islam Liberal di Indonesia,
Paramadina, 1999)
13. Dr. Greg Barton, Program
Liberalisasi Islam:
(a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad.
(b) Komitmen terhadap rasionalitas dan
pembaruan.
(c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial
dan pluralisme agama-agama
(d) Pemisahan agama dari partai politik dan
adanya posisi non-sektarian negara.
14. Buku Fiqih Lintas Agama:
“Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita
Muslim merupakan
wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu,
diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang
mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga
pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang.
Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas
proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan
pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah
dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama
secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan
aliran kepercayaannya.” (hal. 164)
15. Buku Fiqih Lintas Agama:
“Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan
kerangkeng dan belenggu pemikiran
fiqih yang dibuat imam Syafi’i. Kita lupa,
imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih
yang paling brilian, tapi juga karena
Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak
berkembang selama kurang lebih dua belas
abad.” (hal. 5)
16. Nurcholish Madjid:
"Karena itu, bagaimana pun, kultus dan
fundamentalisme hanyalah pelarian
dalam keadaan tidak berdaya. Sebagai
sesuatu yang hanya memberi hiburan
ketenangan semu atau palliative, kultus
dan fundamentalisme adalah sama
berbahayanya dengan narkotika. (Pidato
di TIM, 21/10/1992)
17. Dawam Rahardjo:
“Sebagai seorang yang
mempunyai rasa tanggung jawab
ilmiah yang tinggi, ia
menyertakan catatan kaki yang
lengkap. (Republika, 8 Februari
1993)
18. R. William Liddle:
Obsesi Nurcholish adalah membujuk
Muslim Indonesia menerima visi rasional,
toleran, sekuler Islam. Nurcholish merasa
hal itu tidak mudah, sebab pada akar
bawah komunitas Islam anti-Baratisme,
anti-Kristenitas, sungguh-sungguh tidak
toleran kepada apa saja yang dipandang
sebagai non-Islamik.
19. R. William Liddle:
Penentang Nurholish, yaitu Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII), memiliki
mental– setidaknya beberapa ciri penting
sebagaimana ditunjukkan dari Majalah Media
Dakwah – yang picik, naif, berpikir
dangkal, dan tak canggih.
20. Komaruddin Hidayat:
Jadi, mengapa gagasan Cak Nur selalu dijadikan
sasaran kritik dan sekaligus pujian? Salah satu
sebabnya, barangkali, adalah karena Cak Nur
adalah tipe pemikir yang independen, yang tidak
memiliki obsesi untuk memperoleh masa pengikut
kecuali setia pada tradisi dan sikap keilmuan serta
obsesi untuk selalu mendekati kebenaran meski
kadang kala harus berbeda dari pemahaman
ulama umumnya yang telah melembaga dan
menjadi ideologi
21. Komaruddin Hidayat:
Bagi mereka yang akrab benar dengan
tradisi intelektual Islam abad tengah,
berbagai pikiran keagamaan Cak Nur tentu
saja tidak akan mengagetkan. Bukankah
Cak Nur selalu merujuk pada sumber-
sumber Kitab Kuning yang klasik itu?
22. Nurcholish Madjid:
“Dan patut kita camkan benar-benar pendapat
Sayyid Muhammad Rasyid Ridla sebagaimana
dikutip ‘Abdul Hamid Hakim bahwa pengertian
sebagai Ahlul Kitab tidak terbatas hanya kepada
kaum Yahudi dan Kristen seperti tersebut dengan
jelas dalam al- Quran serta kaum Majusi
(pengikut Zoroaster) seperti tersebutkan dalam
sebuah hadits, tetapi juga mencakup agama-
agama lain yang mempunyai suatu bentuk kitab
suci.” (Pidato di TIM, 21/10/1992)
23. Dr. Muh. Galib M:
“Dalam masalah ini, para ulama
sepakat, bahwa term ahl al-kitab
menunjuk kepada dua komunitas
penganut agama samawi sebelum
Islam, yaitu kaum Yahudi dan
Nasrani.” (Buku Ahl Kitab: Makna
dan Cakupannya, Paramadina,
1998)
24. Nurcholish Madjid:
“Di zaman klasik, Ibn Taymiyyah juga sudah terlibat dalam usaha
menjelaskan kepada masyarakatnya berkaitan dengan masalah
persamaan misi antarpara pengikut kitab suci, dengan memberikan
penjelasan yang sejalan dengan apa yang kemudian dipertegas oleh
Rasyid Ridla di atas. “Sesungguhnya,” ucap Ibn Taymiyyah dalam
Ahkam al-Zawaj, “Ahli Kitab tidaklah termasuk ke dalam kaum
musyrikin. Memandang Ahli Kitab sebagai bukan kaum musyrikin
dengan argumen bahwa asal-usul agama mereka ialah mengikuti
kitab-kitab yang diturunkan Allah yang membawa ajaran Tauhid,
bukan ajaran syirik. Jadi, jika dikatakan bahwa Ahli Kitab itu
dengan alasan bukan kaum musyrik, karena kitab suci yang
berkaitan dengan mereka itu tidak mengandung syirik, sama
dengan jika dikatakan bahwa kaum muslimin dan umat
Muhammad tidaklah terdapat pada mereka itu syirik dengan alasan
yang sama, … walaupun dalam kenyataannya kaum muslimin juga
banyak melakukan bid’ah dan syirik kepada Allah.” (Lihat,
Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman, terbitan Kompas,
2001, hal. 1-8).
25. Ibn Taymiyyah:
Kaum Yahudi dan Nasrani melakukan
tindakan syirik (bil fi’li) tetapi Al Quran
tidak menyebut mereka sebagai kaum
musyrik (bil ismi). Namun, mereka tetap
golongan kafir.
27. Sukidi:
Bangunan epistemologis teologi inklusif
Cak Nur (Nurkholis Madjid) diawali dengan
tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah ke
hadrat Tuhan. Kepasrahan ini, menjadi ciri
pokok semua agama yang benar. Inilah
world view Al Quran, bahwa semua agama
yang benar adalah al-Islam…
28. Buku Dekonstruksi Islam Mazhab
Ciputat:
“Dan gerbong yang menarik upaya
pendekonstruksian dari barak
Ciputat, lahir dari sosok intelektual
yang benama Nurcholish Madjid.”
29. Nurcholish Madjid:
“Karena itu ditegaskan bahwa sikap tunduk yang
benar (perkataan Arab din dalam makna
generiknya) yang diakui Yang Maha Benar, yaitu
Tuhan, ialah sikap pasrah kepada Kebenaran itu.
Dan karena itu pula ditegaskan, bahwa
barangsiapa mencari, sebagai sikap ketundukan,
selain daripada sikap pasrah kepada Kebenaran
itu, maka pencariannya itu tidak akan berhasil, dan
tidak akan membawa kebahagiaan abadi yang
dikehendakinya.” (Pidato di TIM, 21/10/1992)
30. Sukidi:
"Dalam konteks inilah, sikap pasrah menjadi kualifikasi
signifikan pemikiran teologi inklusif Cak Nur. Bukan saja
kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi "muslim" itu
sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi
penganut agama lain, khususnya para penganut kitab suci, baik
Yahudi maupun Kristen. Maka konsekuensi secara teologis
bahwa siapa pun di antara kita - baik sebagai orang Islam,
Yahudi, Kristen, maupun shabi'in --, yang benar-benar beriman
kepada Tuhan dan Hari Kemudian, serta berbuat kebaikan,
maka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan ... (QS 2:62,
5:69). Dengan kata lain, sesuai firman Tuhan ini, terdapat
jaminan teologis bagi umat beragama, apa pun "agama"-nya,
untuk menerima pahala (surga) dari Tuhan. Bayangkan betapa
inklusifnya pemikiran teologi Cak Nur ini." (Sukidi, Teologi
Inklusif Cak Nur, hal. 21-22).
31. Nurcholish Madjid:
“Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam
bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang
semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang
belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di
Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan
bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan
terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah
Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama.
Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin)
dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain
dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level
esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak
Jalan".” (Buku Tiga Agama Satu Tuhan, Mizan, Bandung,
1999, hal. xix.)
32. Nurcholish Madjid:
"Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah
sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah,
"Sunnatullah") yang tidak akan berubah,
sehingga juga tidak mungkin dilawan atau
diingkari." (Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, Paramadina,
Jakarta: Paramadina, 1995, hal. lxxvii).
33. Sukidi:
"Hanya agama sayalah yang memberikan keselamatan,
sementara agama Anda tidak, dan bahkan
menyesatkan." (hal. xiii). "Klaim-klaim
keselamatan seperti itu bersifat latent, dan terkadang
juga menifes, terekspresikan keluar, ke berbagai
tradisi agama-agama, sehingga mengakibatkan perang
(keselamatan) antargama. Padahal, bukankah klaim
keselamatan itu tidak saja mengakibatkan sikap
menutup diri terhadap kebenaran agama lain, tetapi
juga berimplikasi serius atas terjadinya konflik atas
nama agama dan Tuhan?" (hal. xiii).
34. M. Luthfie Asysyaukani
“Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa
dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat
karena ia bisa melakukannya lewat meditasi
atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan
dalam persemedian spiritual. Dengan
demikian, pengalaman keagamaan hampir
sepenuhnya independen dari aturan-aturan
formal agama…
35. Luthfie Asysyaukani:
…Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep
agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-
lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih
penting adalah bagaimana seseorang bisa
menikmati spiritualitas dan mentransendenkan
dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas
itu.” (artikel di Kompas, “Agama dalam Batas Iman
Saja” 3/9/2005)
36. Luthfie Asy-syaukani:
“Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa
AlQuran dari halaman pertama hingga terakhir
merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya
(lafdhan) maupun maknanya (ma'nan).
Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih
merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-
khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai
bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam.
(www.islamlib.com)
37. Nurcholish Madjid:
“Dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan
penerapan sekularisme dan merobah kaum muslimin
menjadi kaum sekularis. Tapi dimaksudkan untuk
menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya
bersifat duniawi dan melepaskan ummat Islam dari
kecenderungan untuk mengukhrowikannya.”
38. Prof. HM Rasjidi:
“Kalau soalnya seperti yang dituturkan Saudara
Nurcholish, maka segala sesuatu telah menjadi
arbitrair atau semau gue. Secara ekstrim boleh saja
kata sekularisasi tersebut diganti dengan pisang
goreng, atau kopi jahe atau es jahe dan sebagainya
dengan tidak ada konsekuensi apa-apa. Kalau saya
berkata: yang saya maksud dengan pisang goreng
adalah sikap manusia yang mengesakan Tuhan dan
menganggap benda-benda lain tidak layak dipuja,
maka tak seorang pun berhak melarang saya berbuat
demikian. Mereka hanya ketawa dalam hati mereka,
karena keanehan istilah tersebut,”
39. Endang Saefuddin Anshari:
“Baik sekularisasi (menurut rumusan sdr.
Nurcholish dan yang dianjurkannya itu)
maupun sekularisme (yang ditentangnya
itu) sama-sama mau membebaskan diri dari
“tutelage” (asuhan) agama”
40. Dr. Daud Rasyid:
Sihir Nurcholish” lebih canggih dan
lebih memukau daripada sihir Harun
Nasution.”
41. Harvey Cox:
Far from being something Christians
should be against, secularization represents
an authentic consequence of biblical faith.
Rather than oppose it, the task of Christians
should be to support and nourish it).
42. Prof. HM Rasjidi:
“Soal yang begitu prinsipil tidak sepatutnya
dilancarkan kepada umum sebelum ada
diskusi yang matang di kalangan orang-
orang yang merasa bertanggung jawab.”
43. Muhammad Yaqzhan:
…ceramah Nurcholish di TIM pada tanggal 21
Oktober 1992 adalah merupakan “puncak
gagasan Nurcholish Madjid dalam upaya
menyeret manusia ke dalam comberan
atheisme baru yang intinya menggusur
syariah, bahkan menuduhnya sebagai
simbolisme yang mengarah pada
berhalaisme...
44. Muhammad Yaqzhan:
Gagasan Nurcholish yang mendapat sambutan gegap
gempita di Indonesia, merupakan prestasi puncak dari
seorang anak didik orientalis dalam menyesatkan orang
Islam. Puncak gagasan ini sangat paralel dengan sikap
iblis, cendekiawan syetan dari jenis jin. Dan sikap iblis ini
kemudian diwujudkan secara utuh oleh kamerad-kamerad
syetan dari jenis manusia yang tergabung dalam
“Kelompok Pembaruan” yang mengorganisir aktivitasnya
dalam satu wadah yang disebut Paramadina, yang
gerakannya kemudian dikenal dengan Gerakan
Pembaruan Keagamaan. (Yaqzhan, Anatomi Budak
Kufar. 62-63).
45. George W. Bush:
“Every nation in every region now has
a decision to make: Either you are with
us, or you are with the terrorist. From
this day forward, any nation that
continues to harbor or support
terrorism will be regarded by the
United States as a hostile regime.”
47. Samuel P. Huntington:
Our enemies-primarily the militant Islam,
but also other groups-cannot be deterred,
that much is obvious, so it is essential-if
they are preparing an attack against us-that
we attack first.
48. George W. Bush:
“When you stand for your liberty, we will
stand with you.” … “The best hope for
peace is the expansion of freedom.” (20 Jan
2005)
49. Bernard Lewis:
Islam as such is not enemy of the West…
But a significant number of Muslims –
notably but not exclusively those whom we
call fundamentalists – are hostile and
dangerous, not because we need enemy but
because they do. (The Crisis of Islam)
50. Muhammad Asad (Leopold Weiss):
“… so characteristic of modern Western
Civilization, is as unacceptable to
Christianity as it is to Islam or any
other religion, because it is irreligious
in its very essence.”
51. Naquib al-Attas:
“The confrontation between Western culture and civilization
and Islam, from the historical religious and military levels,
has now moved on to the intellectual level; and we must
realize, then, that this confrontation is by nature a
historically permanent one. Islam is seen by the West as
posing a challenge to its very way of life; a challenge not
only to Western Christianity, but also to Aristotelianism
and the epistemological and philosophical principles
deriving from Graeco-Roman thought which forms the
dominant component integrating the key elements in
dimensions of the Western worldview.”