Teks tersebut membahas tentang pengertian, karakteristik, sejarah, dan tokoh-tokoh utama etika hedonisme. Etika hedonisme menganggap kesenangan dan kenikmatan duniawi sebagai tujuan utama dalam hidup. Beberapa tokoh kuncinya adalah Aristippos dari Kyrene yang mengajarkan bahwa kesenangan merupakan tujuan akhir manusia, serta Epikuros yang bermaksud memberikan ketenangan batin kepada manusia.
MAKALAH BAHASA INDONESIA ( HEDONISME DI LINGKUNGAN STBA PIA) - BAB 2
1. 4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Hedonisme
Hedonisme adalah suatu paham yang mengedepankan kesenangan
duniawi, kenikmatan duniawi, materi dan hal-hal yang berbau duniawi serta
menganggap bahwa hal-hal tersebut merupakan tujuan akhir yang harus dicapai
dengan cara apapun, di mana kata ‘duniawi’ merujuk pada aspek jasmani,
filosofis dan intelektual.
Kata hedonisme diambil dari Bahasa Yunani hēdonismos dari akar
kata hēdonē, artinya “kesenangan”. Kees Bertens (2002:235) mengungkapkan,
“Paham ini berusaha menjelaskan adalah baik apa yang memuaskan keinginan
manusia dan apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan itu sendiri” 1 .
Poespoprodjo (1999:60) menyatakan, “Hedonisme merupakan salah satu teori
etika yang paling tua, paling sederhana, paling kebenda-bendaan, dan dari abad ke
abad selalu kita temukan” 2 . Sedangkan Burhanuddin Salam (1997:81)
menyatakan,
Hedonisme adalah sesuatu itu dianggap baik, sesuai dengan kesenangan yang
didatangkannya. Sesuatu yang hanya mendatangkan kesusahan, penderitaan
dan tidak menyenangkan, dengan sendirinya dinilai tidak baik. Orang-orang
yang mengatakan ini, dengan sendirinya, menganggap atau menjadikan
kesenangan itu sebagai tujuan hidupnya 3.
Depdiknas (KBBI, 2005: 516) menyatakan, “Hedonisme adalah pandangan yang
menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam
hidup”4. Adapun Michael Onfray (dalam Caspar Melville, 2007:1)menyatakan,
“Hedonisme sebagai suatu sikap introspektif hidup berdasarkan mengambil
1 Kees Bertens, Etika (Jakarta, 2002), hal. 235
2 Poespoprodjo, Filsafat Moral (Yogyakarta, 1999), hal. 60
3 Burhanuddin Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta,1997), hal. 81
4 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta,2005), hal. 516
2. 5
kesenangan diri sendiri dan kenikmatan orang lain, tanpa merugikan diri sendiri
atau orang lain”5.
B. Karakteristik Hedonisme
Epicurus (dalam Bertrand Russell 2002: 372), memberikan penjelasan
bahwa hedonisme terbagi atas :
1. Hedonisme egoistis, yaitu hedonisme yang bertujuan untuk
mendapatkan kesenangan semaksimal mungkin. Kesenangan yang
dimaksud ialah dapat dinikmati dengan waktu yang lama dan
mendalam. Contohnya: makan-makanan yang enak-enak, jumlah dan
jenisnya banyak, disediakan waktu yang cukup lama untuk menikmati
semuanya, seperti pada perjamuan makan ala Romawi. Bila perut
sudah penuh, maka disediakan sebuah alat untuk menggitit
kerongkongan, dengan demikian isi perut dapat dimuntahkan keluar,
kemudian dapat diisi kembali jenis makanan yang lain, sampai puas.
2. Hedonisme universal, yaitu suatu aliran hedonisme yang mirip dengan
ulitarisanisme kesenangan maksimal bagi semua, bagi banyak orang.
Contohnya: bila berdansa, haruslah berdansa bersama-sama, waktunya
semalam suntuk, tidak boleh ada seorang pun yang absen, ataupun
kesenangan-kesenangan lainnya yang dapat dinikmati bersama oleh
semua orang6.
Sedangkan Cicero (dalam Bertrand Russell 2002: 372) menjelaskan bahwa
ciri-ciri hedonisme adalah sebagai berikut :
1. Memiliki pandangan gaya instan, melihat sesuatu perolehan harta dari
hasil akhir bukan proses untuk membuat hasil akhir. Hal ini membawa
ke arah sikap selanjutnya yaitu, melakukan rasionalisasi atau
pembenaran dalam memenuhi kesenangan tersebut.
2. Menjadi pengejar modernitas fisik. Orang tersebut berpandangan
bahwa memiliki barang- barang berteknologi tinggi adalah
kebanggaan.
5 Caspar Melville, Atheism à la mode, https://newhumanist.org.uk/1421 (London, 2007)
6 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, diterjemahkan oleh S. Jatmiko (Yogyakarta, 2002), hal.
372
3. 6
3. Memiliki relativitas kenikmatan di atas rata-rata yang tinggi.
Relativitas ini berarti sesuatu yang bagi masyarakat umum sudah
masuk ke tataran kenikmatan atau dapat disebut enak, namun baginya
itu tidak enak.
4. Memenuhi banyak keinginan- keinginan spontan yang muncul. Dalam
penjabaran benteng penahan kesenangan yang sangat sedikit sehingga
ketika orang menginginkan sesuatu harus segera dipenuhi.
5. Ketika mendapat masalah yang dia anggap berat muncul anggapan
bahwa dunia begitu membencinya.
6. Berapa uang yang dimiliki akan habis dan atau tersisa sedikit dengan
skala uang yang dimiliki berada di hidup orang menengah dan tidak
ada musibah selama memegang uang tersebut. Untuk masalah
makanan saja begitu kompleks dan jenisnya banyak belum termasuk
pakaian, rumah, barang-barang mewah, dsb.Namun, kaum hedonis
memiliki kata kesenangan menjadi kebahagiaan7.
Di lain pihak, Jeremy Bentham menyatakan, “Kesenangan dan kesedihan
adalah satu-satunya motif yang memerintah manusia, kesenangan dan kesedihan
seseorang tergantung kepada kebahagiaan dan kemakmuran pada umumnya dari
seluruh masyarakat” (2012:299)8. Memang harus diakui, bahwa banyak tindakan
manusia terdorong oleh cenderung untuk mencapai kepuasan. Bahkan ada ahli psikologi
yang berpendapat bahwa semua tindakan itu berdasarkan atas cenderung yang tak
terdasari, ialah cenderung untuk mencapai kepuasan semata, yang disebutnya libido
seksual (Sigmun Freud), atau cenderung untuk mencapai kepuasan dalam kekuasaan
(adler). Walaupun teori ini sekarang tidak diterima oleh psikologi lain, akan tetapi
tetaplah benar, bahwa cenderung mencari kepuasan itu masih merupakan suatu (bukan
satu-satunya) faktor yang mendorong manusia untuk bertindak. (Poedjawiyatna
1990:44)9.
7 Ibid.
8 Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Moral Legislation (Oxford, 1789), hal. 299
9 Poedjawiyatna, Etika: Filsafat Tingkah Laku. (Jakarta, 1990), hal. 44
4. 7
C. Sejarah dan Tokoh Etika Hedonisme
Etika hedonisme merupakan teori etika yang paling kuno. Munculnya filsafat
etika hedonisme sudah ditemukan pada Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355
S.M.), seorang murid Socrates. Ketika Socrates bertanya tentang apa tujuan akhir
manusia, ia tidak memberikan jawaban. Ia hanya mengkritik jawaban-jawaban
dari pertanyaannya tersebut. Pertanyaannya dijawab Aristippos, bahwa yang
sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan. Ia menyamakan kebahagiaan
dengan kesenangan. Ia menekankan lagi bahwa kesenangan harus dimengerti
sebagai kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan
di masa mendatang. Kebahagiaan atau kenikmatan yang baik dalam arti yang
sebenarnya adalah kenikmatan kini dan di sini (sekarang). Menurut Aristippos
kenikmatan hanya bersifat badani, aktual dan individual. Kesenangan juga perlu
dibatasi pada kesenangan yang mudah diraih, bukan yang diupayakan dengan
kerja keras (Kees Bertens 2002:236)10.
Aristippos mengajarkan bahwa kesenangan merupakan satu-satunya yang
ingin dicari manusia. Kesenangan atau kenikmatan sebanyak-banyaknya, sebab
kesakitan adalah suatu pengalaman yang tidak mengenakkan. Aristippos
mengajarkan “kenikmatan ada di tanganku, bukannya aku yang ada di tangan
kenikmatan”. Selanjutnya jangan sampai terpaku pada persitiwa sekejap,
melainkan hendaknya memandang kehidupan secara menyeluruh, karena yang
utama adalah hasil akhir dari kenikmatan. Mazhab Aristippos juga menampilkan
kaum hedonis yang mengajarkan bahwa tidaklah mungkin manusia selamanya
terbebas dari rasa sakit. Salah seorang dari pengikut Aristippos, Hegesias bahkan
mengatakan bahwa tujuan tersebut baru akan tercapai setelah mati (De Vos dalam
Soemargono, 2002:164-165)11.
Paham tersebut di atas kemudian muncul kembali setelah Aristoteles pada
masa Hellenism. Ketika itu Yunani dipimpin oleh pemerintahan Alexander
Agung. Kekuasaannya melampaui seluruh wilayah Yunani bahkan sampai di
kerajaan timur. Sesudah kematian Alexander pada tahun 323 S.M. kesatuan
politik kerajaan Yunani tidak terbatas lagi pada kota-kota Yunani, tetapi
10 Kees Bertens, op. cit. , hal. 236
11 De Vos, Pengantar Etika, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono (Yogyakarta, 2002), hal.
164-165
5. 8
mencakup juga seluruh wilayah yang ditaklukkan Alexander (Kees Bertens
1976:16)12.
Athena tetap merupakan suatu pusat yang penting dalam bidang filsafat.
Namun selain Athena, juga berkembang pula pusat-pusat intelektual lain,
terutama kota Alexandria. Pada masa hellenis, justru tidak banyak muncul filosof-
filosof besar, tetapi pengaruh filsafat sebagai salah satu unsure pendidikan, jauh
lebih luas dari masa sebelumnya. Sekolah-sekolah filsafat di Athena, seperti
Akademia dan Lykeion tetap meneruskan aktivitasnya, tetapi juga didirikan
beberapa sekolah baru (Kees Bertens 1976:17)13.
Jeremy Bentham (dalam Fuad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli,
2012: 299) menjelaskan bahwa hedonisme ialah perbuatan yang diantara segenap
perbuatan yang dapat dilakukan oleh seseorang akan membawa orang tersebut
merasakan kebahagiaan yang sebesar-besarnya. Kala itu, hedonisme masih
mempunyai arti positif. Dalam perkembangannya, penganut paham ini mencari
kebahagiaan berefek panjang tanpa disertai penderitaan. Mereka menjalani
berbagai praktik asketis, seperti puasa, hidup miskin, bahkan menjadi pertapa agar
mendapat kebahagiaan sejati. Namun waktu kekaisaran Romawi menguasai
seluruh Eropa dan Afrika, paham ini mengalami pergeseran ke arah negatif dalam
semboyan baru hedonisme. Semboyan baru itu, carpe diem (raihlah kenikmatan
sebanyak mungkin selagi kamu hidup), menjiwai tiap hembusan napas aliran
tersebut. Kebahagiaan dipahami sebagai kenikmatan belaka tanpa mempunyai arti
mendalam. Kedangkalan makna mulai terasa. Pemahaman negatif melekat dan
pemahaman positif menghilang dalam hedonisme. Karena pemahaman hedonis
yang lebih mengedepankan kebahagiaan diganti dengan mengutamakan
kenikmatan14.
Filsafat terus berkembang semakin luas menjadi suatu seni hidup. Orang
bijak adalah orang yang mengatur hidupnya menurut akal dan rasionya. Ada
banyak aliran, semuanya berusaha menentukan cita-cita hidup manusia. Ada
12 Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta,1976), hal. 16
13 Ibid., hal. 17
14 Fuad Farid Ismail, AbdulHamid Mutawalli, Cara Mudah Belajar Filsafat (Yogyakarta, 2012),
hal. 299
6. 9
aliran-aliran yang bersifat etis, yang menekankan kepada persoalan-persoalan
tentang kebijaksanaan hidup yang praktis, ada aliran-aliran yang diwarnai oleh
agama. Namun yang ditekankan pada zaman ini umumnya persoalan etika, yaitu
bagaimana manusia harus mengatur tingkah lakunya untuk hidup bahagia.
Epikuros dan Stoa termasuk dalam aliran-aliran yang bersifat etis ini (Hadiwijono,
1980:54)15.
Pandangan bahwa tercapainya kebahagiaan mesti menjadi tujuan
kehidupan manusia dan bahwa oleh karena itu manusia hendaknya hidup dengan
suatu cara yang mendekatkannya pada kebahagiaan tersebut. Etika yang membuat
pencaharian kebahagiaan menjadi prinsip yang paling dasar disebut eudemonisme
(dari kataYunani ‘eudaimonia’, kebahagiaan). Pertimbangan yang mendasari etika
kebahagiaan itu mudah dimengerti: kebahagiaan adalah tujuan pada dirinya
sendiri. Tidak ada yang mengatasinya. Orang yang sudah bahagia, tidak
memerlukan apa-apa lagi. Tampaknya masuk akal kalau kehidupan diarahkan
pada usaha untuk mencapai kebahagiaan. Berbeda seperti yang maksudkan oleh
Aristoteles, bapak peletak dasar filsafat etika. Baginya eudaimonia merupakan
suatu keadaan obyektif. ‘Eudaimonia’ berarti mempunyai jiwa (‘daimon’) dalam
keadaan baik. (Aristoteles dalam Kenyowati, 2004:8)16.
Epikuros, dalam konsep etikanya, bermaksud memberikan ketenangan batin
(ataraxia) kepada manusia. Hal ini disebabkan karena ketenangan batin itu
diancam oleh ketakutan, yaitu ketakutan terhadap murka para dewa, terhadap
maut, dan terhadap nasib. Bukankah para dewa tidak ikut campur dalam urusan
dunia? Para dewa tidak menjadikan jagat raya dan tidak mengurusinya. Inilah
pengaruh filsafat Demokritos terhadap Epikuros, yaitu tentang gerak atom-atom,
satu-satunya etika yang sesuai dengan materialisme mekanistis (Hadiwijono,
1980:55)17.
Kaum Epikurean (murid, dan aliran-aliran Epikuros) adalah penganut
kebebasan kehendak. Mereka mau menyelamatkan kebebasan manusia. Manusia
bukan budak takdir, manusia dapat menentukan kehidupannya sendiri. Mereka
15 Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta,1980), hal. 54
16 Aristoteles, Nichomachean Ethics: Sebuah Kitab Suci Etika, diterjemahkan oleh Embun
Kenyowati (Jakarta, 2004), hal. 8
17 Hadiwijono, op.cit., hal. 55
7. 10
juga melawan mitos-mitos keagamaan, ingin mencerahkan manusia,
membebaskannya dari ketakutan-ketakutan terhadap dewa-dewa kematian,
pengadilan sesudah mati, serta neraka. Kaum Epikurean adalah penganut deisme.
Karena itu, manusia hendaknya mengatur hidupnya menurut kebijaksanaanya
sendiri. Manusia yang bebas dari ancaman takhayul dan agama dituntun untuk
mencari kebahagiaan. Bagi Epikuros, yang baik adalah yang menghasilkan
nikmat, dan yang buruk adalah yang menghasilkan perasaan tidak enak.
(Poespoprodjo 1988:45)18.
Aliran hedonisme dari Yunani kuno timbul kembali pada abad 18 M di Inggris
dengan ungkapannya, bahwa kesenangan yang dianggap penting sebagai hasil dari
setiap keputusan tindakan manusia. Tokoh yang terkenal ialah Jeremy Bentham
(1748-1832). Namun Bentham lebih memperluas lagi filsafat etika hedonisme
sebelumnya. Pendapat yang dikemukakan oleh Bentham adalah sebagai berikut.
Nature has mankind place under governance of two sovereign matter, pain
and pleasure. It’s for them alone to point out what we ought to do, as well as
to determine what we shall do. On the other hand the standard of right and
wrong, on the other chain of causes and effects, are fastened to their throne.
They govern us in all we do, in all we say, in all we think (1789:11)19.
Sesuai kutipan di atas, dapat diketahui bahwa sikap etis bagi Bentham adalah
kemampuan menghitung dengan cermat rasa senang dan rasa sakit sebagai hasil
perbuatan, untuk kemudian sebanyak mungkin merasakan rasa sakit menuju
sebanyak-banyaknya rasa senang. Bahkan Bentham menawarkan
konsep hedonistic calculus atau rumus menghitung rasa senang dan sakit.
Ukurannya meliputi tujuh unsur berikut:
1. intensity, kuat atau lemahnya rasa sakit dan senang.
2. duration, panjang atau pendeknya waktu berlakunya rasa sakit atau
senang.
3. certainty, kepastian akan timbulnya rasa tersebut.
18 Poespoprodjo, Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek (Bandung,1988), hal. 45
19 Jeremy Bentham, op.cit., hal. 11
8. 11
4. propincuity, dekat atau jauhnya waktu terjadinya perasaan sakit dan
senang.
5. facundity, kemungkinan rasa sakit dan senang diikuti oleh perasaan
yang sama.
6. purity, kemurnian dalam arti tidak tercampurnya dengan perasaan yang
berlawanan.
7. extent, jumlah orang yang terkena perasaan itu.
Enam unsur pertama tentang perbuatan yang menimbulkan rasa senang individual.
Unsur ketujuh menjadikan etik individual menjadi etik sosial (Bentham 1780,
dalam Chairis Zubair, 2005:45)20.
Bentham, dengan hedonistic calculus-nya, memberikan dasar matematis
pada bidang etika yang dapat memberikan arah bagi perbuatan manusia. Bentham
selanjutnya melahirkan etika utilitarianisme sebagai pengembangan dari
hedonisme. Ia merumuskan prinsip utilitarianisme sebagai “kebahagiaan yang
sebesar mungkin bagi jumlah yang sebesar mungkin” (the greatest happiness for
the greatest number). Apa yang dimaksud dengan kebahagiaan? Menurutnya,
kehidupan manusia ditentukan oleh dua tetapan dasar: nikmat (pleasure) dan
perasaan sakit (pain). Karena itu, tujuan moral tindakan manusia adalah
memaksimalkan perasaan nikmat dan meminimalkan perasaan sakit. Ia
mengatakan bahwa kesenangan dan kesedihan seseorang bergantung kepada
kebahagiaan dan kemakmuran pada umumnya dari seluruh masyarakat. Kebaikan
moral suatu perbuatan ditentukan oleh kegunaannya atau kemanfaatannya dalam
memajukan kesejahteraan bersama dari banyak orang. Tujuan dari hidup adalah
kebahagiaan yang paling besar bagi jumlah banyak orang. (Frans Magnis Suseno
1997:183)21.
20 Achmad Charris Zubair, Tinjauan Moral dan Kultural terhadap Hedonisme di Kalangan
Generasi Muda (Jakarta, 2005), hal. 45
21 Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19 , (Yogyakarta,
1997), hal. 183