Ukuran Letak Data kuartil dan beberapa pembagian lainnya
APENDISITIS
1. BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Apendisitis akut merupakan penyebab terbanyak dari suatu akut abdomen.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur tetapi paling banyak ditemukan pada
usia 20-30 tahun, walaupun jarang ditemui diatas 65 tahun tetapi sering berakibat
pada apendisitis perforasi. Resiko seseorang terkena apendisitis akut sepanjang
hidupnya sekitar 6-9% (Andersson, 2012), dimana di negara barat 7% dari
penduduknya menderita apendisitis akut dan memerlukan intervensi bedah (Craiq,
2005; Soybel, 2010). Kasus apendisitis akut paling banyak dijumpai di Amerika
Utara, Inggris, Australia, dan lebih jarang ditemui di Asia, Afrika Tengah dan
masyarakat Eskimo. Jika penduduk dari negara-negara ini bermigrasi ke negara
barat atau merubah pola diet seperti masyarakat barat, kejadian apendisitis akan
meningkat, oleh karena diperkirakan distribusi penyakit ini dipengaruhi oleh
lingkungan dan bukan genetik. Apendisitis akut lebih banyak ditemukan pada
mereka yang lebih banyak mengkonsumsi daging dibandingkan dengan
masyarakat yang mengkonsumsi tinggi serat (Bachoo, et all., 2001; Jhon Maa,
2007).
Di Amerika Serikat kasus apendisitis meliputi 11 per 10.000 populasi dan
perbandingan insiden pada laki-laki dan wanita 3:1. Sekitar 70% kasus apendisitis
terjadi pada usia dibawah 30 tahun khususnya terbanyak pada usia 15-30 tahun
(Jones, 2001; Petroianu, 2012). Apendisitis akut sering terjadi pada usia 20–30
tahun, dengan ratio laki- laki dibandingkan dengan perempuan 1,4:1, resiko
7
2. 8
terjadi angka kekambuhan pada laki-laki 8,6% dan perempuan 6,7 % di USA
(Humes dan Simpson, 2006). Simpson dan Scholefied, (2008) mengatakan insiden
terjadinya apendisitis akut di UK pada laki-laki 1,5% dan 1,9% pada perempuan
per 1000 populasi setiap tahunnya dengan angka kekambuhan 6-20%. Di USA 7-
9% dari penduduknya menderita apendisitis akut dan memerlukan intervensi
bedah. (Prystowsky, et al., 2005; Humes dan Simpson, 2006).
2.2 Patofisiologi dan Etiologi
Apendik pada orang dewasa berupa suatu tonjolan dengan panjang 5-10 cm
yang berpangkal dari dinding posteromedial sekum, kira-kira 3 cm di bawah katup
ileosekal. Dasar dari apendik terfiksasi pada sekum namun ujungnya masih dalam
keadaan bebas, keadaan ini menyebabkan timbulnya berbagai variasi dari lokasi
apendik dalam cavum abdomen. Lokasi apendik dapat berupa retrosekal,
subsekal, retroileal, preileal, atau pelvikal. Variasi dari lokasi apendik ini akan
mempengaruhi penampakan klinis dari pasien dengan apendisitis akut
(Prystowsky, et al., 2005).
Penyebab utama apendisitis akut adalah oleh karena adanya penyumbatan
pada lumen apendik yang diikuti dengan terjadinya peradangan akut. Dimana
sumbatan ini dapat terjadi oleh karena fekalit, hiperplasia limfoid, benda asing,
parasit, adanya striktur atau tumor pada dinding apendik (Prystowsky, et al.,
2005; Humes dan Simpson, 2006). Penyebab penyumbatan yang paling sering
pada penderita dewasa adalah fekalit, dimana fekalit yang timbul dari bahan fekal
dan garam inorgani dengan cairan lumen adalah yang paling sering menimbulkan
3. 9
obstruksi dan didapatkan sekitar 11%- 52% dari pasien yang menderita apendisitis
akut, sedangkan pada anak lebih sering oleh karena hiperplasia limfoid (Taylor,
2004;Wiersma F, 2005). Akibat dari penyumbatan lumen apendik yang mengikuti
mekanisme ”close loop obstruction ” menyebabkan penumpukan mukus dan
meningginya tekanan intra lumen dan distensi lumen apendik. Peninggian tekanan
intralumen ini akan menyebabkan hambatan aliran limfe, sehingga terjadi edema
disertai hambatan aliran vena dan arteri apendik. Keadaan ini menyebabkan
terjadinya iskemik dan nekrosis, bahkan dapat terjadi perforasi. Pada saat terjadi
obstruksi akan terjadi proses sekresi mukus yang akan menyebabkan peningkatan
tekanan intraluminer dan distensi lumen maka kondisi ini akan menstimulasi serat
saraf aferen viseral yang kemudian diteruskan menuju korda spinalis Th8 – Th10,
sehingga akan timbul penjalaran nyeri di daerah epigastrium dan preumbilikal.
Nyeri viseral ini bersifat ringan, sukar dilokalisasi dan lamanya sekitar 4-6 jam
disertai timbulnya anoreksia, mual dan muntah.
Peningkatan tekanan intraluminar akan menyebabkan peningkatan tekanan
perfusi kapiler, yang akan menimbulkan pelebaran vena, kerusakan arteri dan
iskemi jaringan. Dengan rusaknya barier dari epitel mukosa maka bakteri yang
sudah berkembang biak dalam lumen akan menginvasi dinding apendik sehingga
akan terjadi inflamasi transmural. Selanjutnya iskemia jaringan yang berlanjut
akan menimbulkan infark dan perforasi (Kirby, C.2001; Livingston, et al., 2007).
Proses inflamasi akan meluas ke peritoneum parietalis dan jaringan sekitarmya,
termasuk ileum terminal, sekum dan organ pelvis. (Sabiston, 1994;
4. 10
Sjamsuhidayat, R., Wim de Jong, 1997; Prystowsky, et al., 2005; Humes dan
Simpson, 2006).
Pada pasien-pasien tertentu akan mengalami penjalaran nyeri menuju perut
kanan bawah. Nyeri somatik ini bersifat terus-menerus dan lebih berat
dibandingkan dengan nyeri pada awal infeksi. Penjalaran nyeri ini tidak selalu
didapatkan dan titik nyeri maksimal mungkin tidak selalu di titik McBurney
tergantung dari lokasi apendiknya. Pasien dengan apendisitis akut sering tidak
mengalami febris atau dengan febris ringan. Adanya perforasi harus dicurigai bila
penderita mengalami febris lebih dari 38,3°C (Prystowsky, et al., 2005; Petroianu,
2012). Jika terjadi perforasi maka terminal ileum, sekum, dan omentum dan organ
sekitar apendik akan membentuk dinding untuk membatasi proses radang dan
menutupi lubang perforasi dari apendik untuk tidak tejadi penyebaran infeksi yang
meluas yang disebut dengan ” wall off ” atau appendicular mass ”. Peritonitis
akan terjadi bila perforasi mengenai rongga abdomen (Andersson, 2007).
Apendisitis rekuren dan kronis dapat terjadi dan insidennya berkisar 1% dan
10% secara berurutan. Apendisitis rekuren ditandai dengan adanya riwayat
serangan yang sama dari nyeri perut kanan bawah yang menyebabkan
apendektomi, dengan diagnosis histopatologinya berupa inflamasi akut dari
apendik. Perjalanan penyakit dari apendisitis akut adalah apendisitis akut fokal,
apendisitis akut supuratif, apendisitis akut gangrenosa dan apendisitis perforasi
(Schwartz,1997; Humes dan Simpson, 2006)
5. 11
2.3 Diagnosis
2.3.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Diagnosis apendisitis akut seringkali ditegakkan didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan beberapa pemeriksaan laboratorium seperti hitung sel
darah putih dan analisa urine. Pemeriksaan radiologi masih jarang dilakukan
dalam usaha menegakkan diagnosis. Untuk diagnosis pasti apendisitis akut adalah
dengan pemeriksaan histopatologi (Hardin, 1999; Lawrence, 2003; Khan, 2005).
Rata-rata apendektomi negatif berkisar antara 20-30% dan hampir semuanya
berdasarkan gejala klinis serta laboratorium oleh karena itu pemahaman akan
manifestasi klinis yang khas adalah sangat penting dalam menegakkan diagnosis
secara lebih awal. Gejala nyeri abdomen merupakan gejala utama apendisitis akut.
Secara khas nyeri diffus berawal dari bagian tengah epigastrium atau daerah
umbilikus, yang diikuti dengan nyeri perut kanan bawah setelah 4-12 jam dan
muntah-muntah sering didapatkan sekitar 60% dari penderita dengan apendisitis
akut (Kirby, 2001; Khan, 2005). Tidak selalu nyeri bersifat khas seperti diatas,
pada pasien lain nyeri dapat mulai timbul di perut kanan bawah dan terus menetap
di bagian itu (Craig, 2005). Dengan adanya berbagai variasi lokasi anatomi
apendik, umur pasien, dan derajat inflamasi dari apendiks menimbuIkan
manifestasi klinis apendisitis tidaklah selalu konsisten.
Gejala awal adalah berupa nyeri preumbilikal yang sukar ditentukan dan
sering diikuti dengan anoreksia, dimana anoreksia terjadi pada 75% penderita
tetapi biasanya bersifat ringan tidak berlangsung lama, segera timbul setelah
timbulnya nyeri dan kebanyakan hanya 1-2 kali. Adanya sikap penderita yang
6. 12
lebih cenderung membungkuk bila berdiri atau pada posisi berbaring dengan
menekuk tungkai kanan untuk mengurangi rasa sakit dan menghindari perubahan
posisi karena sakit dan bila disuruh bergerak tampak sangat hati-hati. Nyeri perut
akut berat timbul oleh karena adanya kondisi iskemik akut. Pada apendik yang
letaknya retrosekal, khususnya apendik yang ujungnya meluas sepanjang
permukaan posterior dari kolon asendens, proses radang dari apendik akan
mengiritasi duodenum dan ini akan menimbulkan gejala mual dan muntah
sebelum timbulnya nyeri di perut kanan bawah. Diare timbul pada apendisitis
terutama pada apendik yang letaknya di daerah pelvis dimana proses radang pada
apendik akan mengiritasi rektum, kejadiannya sekitar 18% dari kasus apendisitis
(Prystowky, et al., 2005; Humes dan Simpson, 2006).
Beberapa jam akan terjadi penjalaran nyeri ke perut kanan bawah yang
disebabkan oleh karena terjadinya peradangan peritoneum parietalis. Jika
dibandingkan dengan nyeri saat awal, nyeri ini lebih berat, bersifat terus-menerus
dan terlokalisasi. Penjalaran nyeri dari daerah preumbilikal menuju ke perut kanan
bawah adalah merupakan gambaran yang paling umum dan khas pada pasien
dengan apendisitis akut. Penemuan gejala ini mempunyai sensitivitas dan
spesifitas hampir 80%. Demam biasanya ringan dengan suhu 37,5-38,5°C, febris
yang berat jarang terjadi kecuali jika sudah terjadi perforasi (Livingston, et al.,
2007). Berdasarkan salah satu penelitian, muntah dan febris lebih sering
didapatkan pada penderita dengan apendisitis dibandingkan dengan kasus
abdomen lainnya (Korner dan Sondenaa, 2001; Petroniau, 2012).
7. 13
Lokasi dari nyeri sangat tergantung dari posisi appendiks. Umumnya nyeri
didapatkan pada titik McBurney di daerah perut kanan bawah. Dari penelitian,
nyeri ini didapatkan sekitar 96% dari pasien, tetapi penemuan ini tidaklah spesifik
(Sabiston,1994; Sjamsuhidayat, R., Wim de Jong, 1997). Penemuan yang lebih
spesifik adalah rebound tenderness, yaitu nyeri perut kanan bawah yang terjadi
saat tekanan di perut kanan bawah dilepaskan., nyeri ketok, rigiditas dan guarding
adalah timbulnya tahanan pada dinding perut saat dilakukan palpasi. Menurut
Petroianu, (2012) selain pemeriksaan tersebut dapat juga lain seperti :
1. Rovsing sign adalah nyeri perut kanan bawah yang terjadi saat dilakukan
palpasi di perut bawah kiri dan diduga kuat sudah terjadi iritasi peritoneum.
2. Psoas sign adalah nyeri perut kanan bawah yang timbul saat dilakukan
hiperekstensi dari tungkai bawah kanan. Respon yang positif menunjukkan
adanya masa inflamasi yang mengenai otot psoas (retrocecal appendidtis).
3. Obturator sign adalah nyeri perut kanan bawah yang timbul saat dilakukan
internal rotasi pada posisi tungkai bawah kanan fleksi. Respon yang positif
menandakan adanya massa inflamasi yang mengenai rongga obturator
(pelvic apendisitis).
4. Cough sign adalah nyeri perut kanan bawah yang timbul saat penderita
batuk-batuk. Gejala ini menandakan sudah terjadi iritasi peritoneum (Craig,
2003).
Rovsing sign, psoas sign dan obturator sign tidak selalu didapatkan pada
pasien dengan apendisitis akut.Tidak adanya gejala ini belum dapat
menyingkirkan kemungkinan adanya proses inflamasi dari apendik.
8. 14
Pemeriksaan colok dubur mungkin akan mendapatkan adanya feses, massa atau
nyeri di sisi kanan. Nyeri saat dilakukan pemeriksaan colok dubur sangat sedikit
memberikan makna akan apendisitis akut. Nyeri yang dihasilkan sering
memberikan gambaran pada arah jam 9-11.
2.3.2 Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
mendiagnose apendisitis akut diantaranya:
1. Pemeriksaan laboratorium
masih merupakan bagian penting untuk menilai awal keluhan nyeri kwadran
kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut. Hitung sel darah
putih total meningkat di atas 10.000/m3
pada 85% pasien, dan tiga perempatnya
mempunyai hitung diferensial sel darah putih yang abnormal, mempunyai lebih
dari 75% netrofil (Lawrence, 2003; Shefki Xharra, et al., 2012). Hanya 4%
penderita dengan apendisitis akut mempunyai hitung sel darah putih dan hitung
neutrofil yang normal (Lawrence, 2003) Selain pemeriksaan sel darah putih
beberapa literatur menyarankan untuk dilakukan juga pemeriksaan urin,
tujuannya untuk menyingkirkan adanya kecurigaan batu ureter kanan dan infeksi
saluran kencing. Adanya hematuria atau sel darah putih pada pemeriksaan urin
menandakan adanya infeksi saluran kencing tetapi bukan berarti apendisitis akut
dapat disingkirkan. Oleh beberapa literatur menyebutkan pemeriksaan C-Reactive
Protein (CRP) dalam mendiagnosis apendisitis akut memiliki tingkat keakurasian
hingga 91%, dimana CRP merupakan merupakan salah satu komponen protein
9. 15
pentamer yang sering digunakan sebagai marker infeksi dalam darah.
Berdasarkan Shozo Yokohama, (2009) menyatakan bahwa pemeriksaan CRP
merupakan penanda yang konsisten untuk menegakkan diagnosis apendisitis dan
keparahannya.
2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi seperti ultrasonografi, CT-Scan dan MRI (Soda, K,
2001; Harrison dan Benziger, 2012). Pada pemeriksaan ultrasonografi akurasi
dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut mendekati 75-90%, spesifisitas
antara 86-95%, dan nilai angka prediksi positif mencapai 91-94% serta
akurasi secara keseluruhan sebesar 87-96% (Teliford dan Condon, 1999;
Petroianu, 2012). Variasi ini tergantung dari kemampuan operator.
Keuntungan terbesarnya adalah tidak menggunakan radiasi ion. Pada
pemeriksaan ultrasonografi, apendik yang mengalami inflamasi akan
memiliki diameter 6 mm atau lebih. Pemeriksaan CT-scan memiliki akurasi
94-98%, sensitivitas 90-98%, spesitifitas 91-98%, positif predictive value 92-
98% (Petroianu, 2012), yang lebih superior dalam mendiagnosis apendisitis
akut. Namun pemeriksaan ini memiliki kekurangan karena pasien lebih
terpapar dengan radiasi dibandingkan dengan pemeriksaan ultrasonografi.
Pada pemeriksaan CT-scan apendik yang mengalami inflamasi akan memiliki
diameter lebih besar dari 6 mm dan cenderung megalami perubahan inflamasi
pada jaringan sekitarnya. Perubahan ini meliputi adanya plegmon cairan
bebas, abses, dan udara bebas. Pemeriksaan ini juga dapat membedakan
penyebab apendisitis seperti obstruksi lumen akibat malignansi. (Harrison dan
10. 16
Benziger, 2012). Pada pemeriksaan MRI ternyata tidak lebih superior
dibandingkan pemeriksaan lain dalam mendiagnosis apendisitis akut. MRI
menghabiskan lebih banyak waktu dan biaya dibandingkan pemeriksaan lain
(Harrison dan Benziger, 2012). Namun dari pemeriksaan penunjang
ultrasonografi, CT-scan dan MRI kurang efektif pada penderita dengan
beresiko apendisitis yang sangat tinggi atau yang rendah.
2.4 Skoring Sistem Apendisitis Akut
Berdasarkan uraian diatas tentunya ketajaman untuk mengeksplorasi
riwayat klinis penderita dengan kecurigaan apendisitis akut sangatlah penting,
untuk itulah diperlukan suatu instrumen pemeriksaan yang sistematis dan akurat
guna membantu menegakkan diagnosis apendisitis akut. Berbagai skor digunakan
untuk mendiagnosis apendisitis akut.
2.4.1 Skor Alvarado.
Alfredo Alvarado pada tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan atas
tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium sederhana yang sering
didapatkan pada apendisitis akut (Tabel 2.1). Skor ini terdiri dari 10 poin dengan
akronim MANTRELS. Berdasarkan sistem skoring ini, pasien yang dicurigai
menderita apendisitis akut dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: (Khan I, 2005;
Kailash S, 2008).
• Skor 7-10 (emergency surgery group):
Semua penderita dengan skor ini disiapkan untuk operasi apendektomi.
• Skor 5-6 (observation group):
11. 17
Semua penderita dengan skor ini dirawat inap dan dilakukan observasi selama 24
jam dengan evaluasi secara berulang terhadap data klinis dan skoring. Jika kondisi
pasien membaik yang ditunjukkan dengan penurunan skor, penderita dapat
dipulangkan dengan catatan harus kembali bila gejala menetap atau memburuk.
• Skor 1-4 (discharge home group):
Penderita pada kelompok ini setelah mendapat pengobatan secara simtomatis
dapat dipulangkan dengan catatan harus segera kembali bila gejala menetap atau
memburuk.
Tabel 2.1
Sistem Skoring Alvarado
KARAKTERISTIK SKOR
M = Migration of pain to the RLQ 1
A= Anorexia 1
N= Nausea and vomiting 1
T= Tenderness in RLQ 2
R= Rebound pain in RLQ 1
E= Elevated temperature 1
L= Leucocytosis 2
S= Shift to the left of WBC 1
Total 10
Pada penelitian yang memakai sistem skoring Alvarado yang dilakukan di
Khyber Teaching Hospital, Pakistan terhadap 100 penderita yang dicurigai
apendisitis akut mendapatkan angka apendektomi negatif sebesar 15,6% dan nilai
prediksi positif sebesar 84,3% (Khan I, 2005). Chong, et al., (2010) melakukan
penelitian pada skor Alvarado. Dari hasil penelitian yang didapatkan secara
statistik menunjukkan skor Alvarado memiliki nilai sensitivitas 68%, nilai duga
negatif 71%, dan akurasi 87%, dengan mendapatkan angka appendicektomy
negative 6,9%. Terhadap 148 penderita yang dicurigai menderita apendisitis akut,
12. 18
mendapatkan angka appendectomy negative sebesar 21%, nilai prediksi positif
dan negatif sebesar 97,6%. Stefanus Dhe Soka, (2010) terhadap 62 penderita yang
dicurigai menderita apendisitis akut, mendapatkan angka nilai prediksi positif
93,9% dan prediksi negatif 38,5%. Sistem skoring ini masih memiliki kelemahan,
dimana pada sistem skoring ini variabel yang terkandung didalamnya masih
bersifat objektif dan tidak spesifik, data yang diperoleh berasal dari data
retrospektif. Pada beberapa penelitian menyebutkan skor Alvarado memiliki nilai
sensitifitas yang lebih rendah pada pasien dengan usia anak-anak dan pada wanita
usia reproduktif (Castro de, 2012).
2.4.2 Skor AIR (Appendicitis Inflammatory Response).
Skor AIR (Appendicitis Inflammatory Response) pertama kali
diperkenalkan tahun 2008 oleh Manne E. Andersson dan Roland E. Andersson di
Amsterdam. Castro de, (2012) mengatakan bahwa penggunaan skor AIR dalam
menegakkan diagnosis apendisitis akut khususnya pada anak-anak, wanita
reproduksi dan orang tua memberikan hasil lebih baik atau lebih unggul daripada
skoring Alvarado. Hal ini dikarenakan variabel pada skoring AIR lebih mudah
diterapkan pada anak-anak dimana Alvarado skoring mengharuskan anak-anak
untuk dapat mengidentifikasi nausea, anoreksia dan berpindahnya nyeri yang
sifatnya subjektif, sedangkan pada skoring AIR hal ini disederhanakan menjadi
yang bersifat objektif. Kelebihan lainnya yang dimiliki oleh skoring AIR data
yang diperoleh berdasarkan data prospektif, variabel bersifat objektif dan lebih
spesifik, serta memiliki kekuatan diskriminasi yang lebih baik dibandingkan skor
Alvarado. Untuk mengurangi resiko terjadinya apendisitis perforasi seringkali ahli
13. 19
bedah melakukan operasi lebih awal meskipun belum ada diagnosis secara
definitif. Tindakan ini seringkali menyebabkan meningkatnya angka apendektomi
negatif, beberapa literatur menyebutkan angka apendektomi negatif sebesar 15-
30% dan tentunya angka ini akan menjadi lebih besar jika tidak dilakukan
pemeriksaan klinis dan laboratorium secara teliti dan sistematis.
Castro de, (2012) mengatakan nilai ROC yang dicapai oleh skoring AIR
mencapai 0.96 lebih unggul dibandingkan dengan Alvarado skor 0,82. Chong, et
al.,(2010) menyebutkan nilai sensitivitas, spesifisitas dan akurasi dari skoring AIR
96 %, 99%, dan 97%. Pada skor AIR didapatkan variabel C – Reactive Protein
(CRP) yang tidak terdapat pada skor Alvarado, dimana banyak penelitian telah
membuktikan peranan protein ini dalam penilaian pasien dengan apendisitis akut.
Chen dan Wang, (1996) menyebutkan CRP memiliki tingkat akurasi yang tinggi
91 %. Skoring AIR cukup menjanjikan dan memiliki nilai sensitivitas, spesifisitas
serta akurasi diagnostik yang baik dan lebih unggul daripada skor Alvarado
(Andersson, M., 2008; Chong; Castro de, 2012).
Berdasarkan sistem skoring ini, pasien yang dicurigai menderita
apendisitis akut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
- Skor AIR 0-4 (low probability)
Kelompok pasien yang tidak menderita apendisitis akut.
- Skor AIR 5-8 (intermediate group).
Semua penderita dengan skor ini dirawat inap dan dilakukan observasi
selama 24 jam dan di evaluasi secara berulang terhadap data klinis dan
skoring. Jika kondisi pasien membaik yang ditunjukkan dengan penurunan
14. 20
skor, penderita dapat dipulangkan dengan catatan harus kembali bila gejala
menetap atau memburuk.
- Skor AIR 9-12 (high probability)
kelompok pasien yang menderita apendisitis akut.
Tabel 2.2
Sistem Skoring AIR
Skor
1 Vomiting 1
2 Pain in RLQ 1
3 Rebound tenderness or muscular
defense
Light
Medium
Strong
1
2
3
4 Body temperature >38,5° 1
5 Polymorphonuclear leukocytes
70-84%
≥ 85%
1
2
6 WBC count
>10.0 x 109
/l
≥ 15.0 x 109
/l
1
2
7 CRP concentration
10-49 g/l
≥ 50 g/l
1
2
Total score 12
Pada pemeriksaan histopatologi yang merupakan standar emas (gold
standard) untuk apendisitis akut,didapatkan gambaran morfologi appendik pada
apendisitis akut yang berlanjut adalah sebagai berikut :
1. Early acute appendicitis
15. 21
Proses inflamasi mulai tampak, kemudian reaksi menjadi progresif.
Awalnya appendik mengalami inflamasi akut, tampak keluar
eksudasi netrofil di mukosa, sub mukosa, dan otot. Biasanya pada
mukosa yang banyak terlibat. Pada fase reaksi ini, pembuluh darah
membengkak dan isinya dibatasi oleh neutrofil dan sering adanya
gambaran perivaskuler, dan terjadinya perpindahan neutrofil.
2. Acute suppurative appendicitis
Bila berlanjut, neutrofil yang mengalami eksudasi akan keluar
lebih banyak dari dinding appendik. Dengan banyaknya leukosit
polimorphonuklear dan lapisan fibropurulent sebagai reaksi di atas
serosa. Proses inflamasi memburuk dan terbentuk abses di dinding
apendik, ulserasi dan fokus nekrotik supuratif di mukosa. Pada
stadium ini serosa biasanya dilapisi eksudat yang fibrosupuratif.
3. Acute ganggrenosa appendicitis
Bila reaksi berlanjut lebih buruk lagi, maka akan timbul daerah
ulserasi yang luas di mukosa. Sepanjang ini timbul nekrosis
ganggrenous berwarna hijau kehitaman di dinding apendik dan
berlanjut serosa, pada saat ini bisa terjadi ruptur.
16. 22
2.5 Penatalaksanaan
Pengobatan definitif dari apendisitis akut adalah apendektomi, yang
merupakan satu-satunya tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah/
mengurangi angka morbiditas. Selain tindakan apendektomi yang biasa dilakukan,
dapat pula dilakukan apendektomi laparoskopi ( Ellis, 1997; Guller, et al., 2004).