Rigid pavement atau perkerasan kaku menggunakan beton sebagai bahan utama. Terdapat beberapa metode perencanaan rigid pavement seperti konvensional, PPCP, dan AASHTO 1993. Metode konvensional meliputi pekerjaan tanah, lean concrete, dan rigid pavement dengan proses curing dan cutting.
1. RIGID PAVEMENT
Ditulis Oleh :
Gupita Diah Kusuma
NIM : 15 . 4110 . 5061
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SEMARANG
2016
2. Abstrak
Rigid pavement atau perkerasan kaku adalah perkerasan jalan yang menggunakan
beton sebagai bahan utama dalam perkerasan tersebut. Pada umumnya, digunakan pada
jalan yang memiliki kondisi lalu lintas yang padat dan memiliki distribusi beban yang besar.
Perkerasan kaku mempunyai kekakuan dan siftness yang akan mendistribusikan beban pada
daerah relatif luas pada subgrade, dan beton merupakan bagian utama yang akan
menanggung beban struktural. Struktur perkerasan jalan terdiri dari Common Embankment,
Drainage Layer, Lean Concrete, dan Rigid Pavement.
3. DAFTAR ISI
Cover ..........................................................................................................................i
Abstrak .........................................................................................................................ii
Daftar Isi ........................................................................................................................iii
I Pendahuluan
I.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
I.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
I.3 Tujuan ....................................................................................... 1
II Isi
2.1 Rigid Pavement ....................................................................................... 1
2.2 Rigid Pavement Metode ............................................................................. 6
2.2.a. Rigid Pavement Metode Konvensional ............................................ 6
2.2.b. Rigid Pavement Metode PPCP ............................................ 9
2.2.c. Rigid Pavement Metode AASHTO 1993 .......................................... 12
III Penutup ..........................................................................................................................
3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 14
3.2 Saran............ ................................................................................................... 14
Daftar Pustaka .................................................................................................................iv
4. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jalan merupakan prasarana utama dalam transportasi darat. Perkembangan jalan di
Indonesia sedang berkembang, mengingat masih banyak akses-akses jalan yang
dibutuhkan untuk menghubungkan antarkota, khususnya di daerah perbatasan baik
berupa jalan tol ataupun jalan biasa.
Saat ini, Indonesia sedang gencar-gencarnya membangun jalan tol untuk
menghubungkan antar daerah agar roda perekonomian dapat berjalan dengan baik.
Kebanyakan dari akses jalan perkotaan atau antar provinsi masih menggunakan
perkerasan lentur (flexible pavement). Seiring perkembangan jaman, akses jalan tol
sudah banyak yang menggunakan perkerasan kaku (rigid pavement).
Rigid pavement tersebut banyak digunakan pada jalan yang mempunyai beban lalu
lintas besar (LHR) tinggi seperti pada jalan tol. Beberapa keistimewaan rigid pavement,
yaitu : lebih awet dan biaya maintenance lebih rendah dibanding flexible pavement.
1.2 Batasan Masalah
1. Apa definisi perkerasan kaku (Rigid Pavement) ?
2. Bagaimana perencanaan rigid pavement metode (Konvensional, PPCP, dan AASHTO
1993) ?
3. Apa keuntungan dan kelemahan penggunaan Rigid Pavement metode ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa definisi Rigid Pavement.
2. Untuk mengetahui perencanaan rigid pavement dengan beberapa metode.
3. Untuk membandingkan waktu dan biaya yang dibutuhkan pada Rigid Pavement.
4. Untuk mengetahui keuntungan dan kelemahan rigid pavement metode.
1.4 Manfaat
1. Sebagai perbandingan beberapa metode Rigid Pavement.
2. Memberi masukan bagi penelitian lanjutan di bidang perkerasan jalan.
5. BAB II
ISI
2.1 Rigid Pavement
Pada mulanya plat perkerasan kaku hanya di letakkan di atas tanah tanpa
adanya pertimbangan terhadap jenis tanah dasar dan drainasenya. Ukuran saat itu
hanya 6–7 inch. Seiring dengan perkembangan jaman, beban lalu lintas pun
bertambah terutama setelah Perang Dunia ke II. Para engineer akhirnya mulai
menyadari tentang pentingnya pengaruh jenis tanah dasar terhadap pengerjaan
perkerasan terutama sangat pengaruh terhadap terjadinya pumping pada perkerasan.
Pumping merupakan proses pengocokan butiran – butiran subgrade atau subbase pada
daerah – daerah sambungan (basah atau kering) akibat gerakan vertikal pelat karena
beban lalu lintas yang mengakibatkan turunnya daya dukung lapisan bawah tersebut.
Pada konstruksi perkerasan kaku, perkerasan tidak dibuat menerus sepanjang
jalan seperti halnya yang dilakukan pada perkerasan lentur. Hal ini dilakukan untuk
mencegah terjadinya pemuaian yang besar pada permukaan perkerasan sehingga dapat
menyebabkan retaknya perkerasan. Salah satu cara yang digunakan untuk mencegah
terjadinya hal diatas adalah dengan cara membuat konstruksi segmen pada perkerasan
kaku dengan sistem joint untuk menghubungkan tiap segmennya. Ada 3 jenis joint
yang digunakan pada perkerasan beton, yaitu :
1. Constraction Joint
Diperlukan untuk mengendalikan retak alamiah akibat beton mengkerut.,
kontraksi termal dan kadar air pada beton. Pada umumnya dipasang melintang
tegak lurus as jalan, namun ada yang dipasang menyudut terhadap as jalan untuk
mengurangi beban dinamis melintas satu garis.
6. 2. Construction Joint
Diperlukan jika perkerasan beton dilakukan dalam waktu yang berbeda.
a. Transfer Construction Joint diperlukan pada akhir segmen pengecoran, atau
pada saat pengecoran terganggu, atau melintas jalan dan jembatan.
b. Longitudinal Construction Joint adalah pelaksanaan pengecoran yang
dilakukan pada waktu yang berbeda atau joint curb, gutter atau lajur
berdekatan.
3. Isolation Joint
Merupakan pemisahan perkerasan dari objek atau struktur dan menjadikannya
bergerak secara independen. Digunakan bila perkerasan berbatasan dengan
manholes, drainase, trotoar bangunan intersection perkerasan lain atau jembatan.
Pada saat ini, jenis perkerasan kaku yang populer dan banyak digunakan di
negara-negara maju adalah jenis perkerasan beton bertulang menerus. Dalam
konstruksinya, plat beton sering disebut sebagai lapis pondasi karena dimungkinkan
masih adanya lapisan aspal beton pada bagian atasnya yang berfungsi sebagai lapis
permukaan.
7. Perkerasan beton yang kaku dan memiliki modulus elastisitas yang tinggi,
mendistribusikan beban dari atas menuju ke bidang tanah dasar yang cukup luas
sehingga bagian terbesar dari kapasitas struktur perkerasan diperoleh dari plat beton
sendiri. Hal ini berbeda dengan perkerasan lentur dimana kekuatan perkerasan
diperoleh dari tebal lapis pondasi bawah, lapis pondasi dan lapis permukaan.
Karena yang paling penting adalah mengetahui kapasitas struktur yang menanggung
beban, maka faktor yang paling diperhatikan dalam perencanaan tebal perkerasan
beton semen adalah kekuatan beton itu sendiri.
Adanya beragam kekuatan dari tanah dasar dan atau pondasi hanya
berpengaruh kecil terhadap kapasitas struktural perkerasannya. Lapis pondasi bawah
dapat digunakan di bawah plat beton dengan beberapa pertimbangan, yaitu : untuk
menghindari terjadinya pumping, kendali terhadap sistem drainasi, kendali terhadap
kembang-susut yang terjadi pada tanah dasar dan untuk menyediakan lantai kerja
(working platform) untuk pekerjaan konstruksi.
STRUKTUR RIGID PAVEMENT
Struktur pada perkerasan kaku (jalan beton) mempunyai spesifikasi khusus.
Gambar CROSS SECTION pada perkerasan kaku
8. Pada gambar diatas merupakan timbunan tanah (Common Embankment) biasa karena
memang elevasi rencana sangat tinggi. Namun, tidak semua struktur jalan beton seperti itu.
Berikut struktur dan penjelasannya :
1. Common Embankment
Tanah timbunan sangat diperlukan untuk mengejar elevasi rencana. Proses
pemadatannya pun tidak sembarangan. Dibutuhkan beberapa trial pemadatan terlebih
dahulu untuk mencapai nilai kepadatan sesuai spesifikasi. Tiap proyek melakukan
jumlah passing yang berbeda-beda tergantung dari hasil trial.
Yang paling penting disini adalah material timbunan harus benar-benar
berkualitas yang lulus uji lab pada saat pengambilan di quarry. Jangan sampai ada
tanah lempung karena sifat dari tanah lempung susah dipadatkan walaupun digilas
berulang-ulang. Biasanya pemadatan dilakukan tiap layer dengan ketebalan tanah
gembur 50 cm dan dipadatkan menjadi 30 cm. Setelah satu layer tanah selesai
dipadatkan kemudian diuji sandcone. Apabila hasil uji sandcone lebih dari 90% maka
bisa dilanjutkan ke layer berikutnya.
2. Drainage layer
Drainage layer adalah suatu layer atau lapisan di atasnya timbunan yang
digunakan sebagai pengalir aliran air secara horizontal agar tidak merusak badan
jalan. Pada pekerjaan jalan tol, drainage layer menggunakan material agregat A.
Agregat A mempunyai spesifikasi tingkat kepadatan 100%. Sehingga hampir sama
fungsinya pada lapis pondasi struktur perkerasan aspal. Biasanya tebal drainage layer
ini sekitar 15 cm padat. Sehingga penghamparan material sekitar 17 cm dan setelah
9. dipadatkan menggunakan vibro roller menjadi 15 cm. Apabila pemadatan selesai
maka dilanjut dengan uji sandcone (kepadatan). Minimal hasil uji harus 100%.
3. Lean Concrete
Lean concrete atau disebut LC ini adalah lantai kerja untuk pekerjaan rigid
pavement. Sehingga lapisan ini bukan termasuk lapisan struktur. Namun wajib ada
sebelum pekerjaan beton (rigid). Fungsinya hanya sebagai lantai kerja agar air semen
tidak meresap ke dalam lapisan bawahnya. Tebal LC ini biasanya 10 cm. LC ini pada
dasarnya terbuat dari beton dengan mutu K175. Proses pelaksanaannya cukup mudah.
Beton dari truck mixer dituang kemudian diratakan menggunakan jidar oleh tukang.
4. Rigid Pavement
Pekerjaan rigid adalah pekerjaan yang berbobot besar dalam kontrak dan
termasuk pekerjaan utama pada jalan Tol. Beton yang digunakan menggunakan kelas
mutu P dengan tebal 29 cm. Proses pengecoran beton rigid ini menggunakan bantuan
alat berat Wirgent dan GNZ. Kedua alat berat tersebut termasuk alat canggih khusus
untuk menggelar dan memadatkan beton. Berikut mutu yang harus diikuti sesuai
spesifikasi rigid pavement.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas perkerasan jalan beton ini adalah mutu
beton dan pelaksanaan. Beton harus benar-benar terjaga mutunya sampai di lokasi
pengecoran. Syarat slump yang digunakan adalah 4-6 cm. Apabila terlalu
encer Wirgent atau GNZ tidak bisa menggelar dan memadatkan beton dengan baik
sehingga kualitasnya pun berpengaruh. Metode pelaksanaan di lapangan juga akan
berpengaruh terhadap hasil rigid pavement. Diperlukan tenaga kerja yang
berpengalaman dan mengerti penggunaan alat wirgent dan GNZ.
10. 2.2 RIGID PAVEMENT METODE
I. Rigid Pavement Metode Konvensional
curing compound selama 3 hari
cutting concrete setelah ± 8 jam pengerjaan
Penjelasan dari alur pekerjaan rigid pavement metode konvensional adalah sbb:
1. Pekerjaan Tanah
Pekerjaan tanah dilakukan untuk memenuhi persyaratan rencana sebelum
dilakukan pengecoran LC dan rigid pavement. Adapun persyaratan yang dimaksud
adalah lebar, elvasi dan kepadatan. Pekerjaan tanah berupa galian apabila elevasi
tanah asli lebih tinggi dari elevasi rencana. Sedangkan pekerjaan timbunan dilakukan
apabila elevasi tanah Asli lebih rendah dari elevasi rencana. Untuk mendapatkan
elevasi lapangan sesuai dengan elevasi rencana maka dilakukan dengan survey elevasi
menggunakan alat Total Station (TS). Pemadatan tanah dilakukan hingga
mendapatkan nilai CBR rencana 6%.
START
PEKERJAAN
TANAH
PEKERJAAN LEAN
CONRETE
PEKERJAAN RIGID
PAVEMENT
FINISH
11. 2. Pekerjaan Lean Concrete
Persiapan Pekerjaan Lean Concrete (LC) diawali dengan survey elevasi top
timbunan dan top LC rencana dilapangan agar hasil pengecoran LC sesuai dengan
tebal rencana. Survey dilakukan menggunakan alat TS (Total Station). Kemudian
dilakukan pemasangan bekisting sesuai hasil survey. Bekisting berfungsi sebagai
cetakan/pembatas pada saat pengecoran LC. Beton pada LC menggunakan mutu K-
125. Perawatan beton LC dilakukan selama 3 hari menggunakan Curing Compuond.
3. Pekerjaan Rigid Pavement
Sebelum pelaksanaan pengecoran rigid, dilakukan persiapan lahan dan
pemasangan patok stick untuk survey elevasi top rigid sesuai tebal rigid yang
direncanakan. Survey elevasi top rigid dilakukan oleh tim surveyor dengan
menggunakan alat TS (Total Station). Selanjutnya dilakukan pemasangan string line
untuk elevasi ketebalan rigid yang telah ditentukan dari hasil survey dan dilakukan
pengesetan alat slipform paver SP500 sesuai dengan lebar lajur yang sudah
ditentukan. Setelah itu proses pemasangan plastik cor untuk menghindari kontak
langsung antara rigid dan LC sehingga rigid pavement dan LC tidak monolit. Setiap
4,5 m dilakukan pengeboran pada LC untuk pengaku dowel bars. Setelah itu
persiapan rangkaian dowel beserta dudukan dan memasang plastik kondom dan
mengolesi grease pada sebagian dowel. Selanjutnya beton dibawa dari batching plant
menggunakan dump truk dengan slump 3–4 cm pada saat dihampar. Setelah
dilakukan pengecekan slump, beton dihampar dengan bantuan excavator dan ditata
agar proses penghamparan merata dan bagus danmelakukan pemasangan tie bars
dengan space 60 cm. Setelah di cor kurang lebih 1 jam, lalu di grooving untuk
memberikan alur pada permukaan rigid dan di curing compound selama 3 hari.
Setelah ±8 jam, dilakukan proses cutting pada tiap segmen di posisi dowel setebal 7
cm (1/4 h). Finishing pengerjaan rigid dilakukan dengan memberi sealant pada hasil
cutting tiap segmen.
4. Volume Pekerjaan
Dalam mencari volume pekerjaan rigid pavement metode konvensional
diawali dengan mencari luasan pekerjaan terlebih dahulu. Luasan pekerjaan dapat
dihitung dari gambar potongan melintang. Dari gambar potongan melintang dapat
dihitung luas pekerjaan. Volume pekerjaan didapatkan dengan mengalikan Luas
pekerjaan dengan panjang pekerjaan.
12. 5. Produktivitas Pekerjaan
Kemampuan tenaga kerja dan peralatan sangat mempengaruhi kecepatan
pekerjaan serta kualitas pada setiap item pekerjaan. Produktivitas pekerjaan dalam
rigid pavement metode konvensional adalah sbb:
a. Produktivitas Pekerjaan Galian
b. Produktivitas Pekerjaan Timbunan
c. Produktivitas Pekerjaan Lean Concrete
d. Produktivitas Rigid Pavement konvensional
6. Analisa Waktu dan Biaya
Analisa waktu metode konvensional dilakukan dalam 100 m terlebih dahulu.
Waktu yang dibutuhkan sangat tergantung pada durasi dan hubungan keterkaitan antar
aktivitas didalam pengerjaan rigid pavement metode konvensional.
Durasi = VolumePekerjaan ÷ Produktifitas Pekerjaan.
Analisa Biaya, setelah diketahui volume pekerjaan dan waktu yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan pekerjaan setiap item pekerjaan, maka dapat dilanjutkan
perhitungan biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan item pekerjaan. Untuk
menghitung anggaran biaya, terlebih dahulu menghitung harga satuan pekerjaan.
13. II. Rigid Pavement Mettode PPCP (Precast Prestress Concrete Pavement)
1. Pekerjaan Tanah
Dilakukan untuk memenuhi persyaratan rencana sebelum dilakukan
pengecoran LC dan rigid pavement. Adapun persyaratan yang dimaksud adalah lebar,
elevasi dan kepadatan. Pekerjaan tanah berupa dan pekerjaan timbunan. Untuk
mendapatkan elevasi lapangan sesuai dengan elevasi rencana maka dilakukan dengan
survey elevasi menggunakan alat Total Station (TS). Pemadatan tanah dilakukan
hingga mendapatkan nilai CBR rencana 6%.
2. Pekerjaan Lean Concrete
Persiapan Pekerjaan Lean Concrete (LC) diawali dengan survey elevasi top
timbunan dan top LC rencana dilapangan agar hasil pengecoran LC sesuai dengan
tebal rencana yaitu 10 cm. Kemudian dilakukan pemasangan bekisting sesuai hasil
survey. Beton pada LC menggunakan mutu K-125. Perawatan beton LC dilakukan
selama 3 hari menggunakan Curing Compuond.
3. Instalasi Panel
Secara garis besar proses instalasi panel adalah penggabungan Central Panel,
Base Panel dan Joint Panel menjadi satu segmen. Arah pemasangan panel berlawanan
dengan arah lalu lintas rencana. Adapun penjelasan urutan-urutan dalam instalasi
panel yaitu;
PEKERJAAN
PERSIAPAN
PEKERJAAN
TANAH
PRODUKSI
PANEL PPCP
LEAN
CONCRETE
INSTALL PANEL
GROUTING
LOADING
PANEL
PPCP
14. a. Unloading Panel
Penurunan panel pada posisi rencana dilakukan dengan menggunakan
mobil crane kapasitas 35 T.
b. Epoxy panel, memasukkan kabel Strand dan Turn buckle
Epoxy panel dimaksudkan untuk merekatkan dan memperkuat
sambungan antara bagian male dengan female sehingga menjadi sambungan
yang kuat. Setelah itu, panel dikunci sementara dengan Turn buckle sehingga
sambungan panel dapat rata dan lurus.
c. Stressing Longitudinal Stressing Longitudinal
Merupakan post tension dengan arah longitudinal dilakukan setelah
panel PPCP terpasang 50 m atau 21 panel. Pada panel ke-21 (central panel)
dilakukan stressing longitudinal tahap I. Setelah itu dilanjutkan kembali
sampai panel ke 41(joint panel) kemudian distressing tahap II. Urutan
pemasangan panel adalah 1 joint panel, 19 base panel, 1 central panel, 19 base
panel, 1 joint panel. Proses stressing dilakukan dengan menggunakan mesin
Mono jack.
4. Volume Pekerjaan
Volume pekerjaan pada rigid pavement metode PPCP bersifat typical. Dengan
panjang tiap segmen PPCP adalah 100 m, sedangkan geometrik jalannya dibatasi oleh
jari-jari lengkung horizontal minimum 1000 m dan kelandaian maksimum 7%. Maka
perlu diadakan pengecekan terhadap gambar geometrik jalan, bagian yang melebihi
batas geometrik rigid pavement metode PPCP tetap menggunakan rigid pavement
metode konvensional.
5. Produktivitas Pekerjaan
Pada rigid pavement metode PPCP, kemampuan tenaga kerja dan peralatan
sangat mempengaruhi kecepatan pekerjaan serta kualitas pada setiap item pekerjaan.
Produktivitas pekerjaan dalam rigid pavement metode PPCP yaitu;
a. Produktivitas pekerjaan galian
b. Produktivitas Pekerjaan Timbunan/jam.
c. Produktivitas Pekerjaan Lean Concrete/hari.
15. 6. Analisa Waktu dan Biaya
Analisa waktu rigid pavement metode PPCP dilakukan satu segmen jalan
terlebih dahulu. Waktu yang dibutuhkan sangat tergantung pada durasi dan hubungan
keterkaitan antar aktivitas didalam pengerjaan. Perhitungan durasi pekerjaan
dilakukan pada setiap item pekerjaan.
Analisa Biaya Langsung metode PPCP terlebih dahulu menghitung harga
satuan pekerjaan. Analisa harga satuan pekerjaan galian, pekerjaaan timbunan dan
pekerjaan lean concrete sama dengan metode konvensional.
16. III. Rigid Pavement Metode AASHTO 1993
Metode ini sudah dipakai secara umum di seluruh dunia untuk perencanaan
serta di adopsi sebagai standar perencanaan di berbagai negara. Metoda AASHTO’93
ini pada dasarnya adalah metoda perencanaan yang didasarkan pada metoda empiris.
Parameter yang dibutuhkan pada perencanaan menggunakan metoda AASHTO’93 ini
antara lain adalah :
a. Structural Number (SN)
b. Lalu lintas
c. Reliability
d. Faktor lingkungan
e. Serviceablity
1. Lalu Lintas
Lalu Lintas Prosedur perencanaan untuk parameter lalu lintas didasarkan
pada kumulatif beban gandar standar ekivalen (Cumulative Equivalent Standard
Axle, CESA). Perhitungan untuk CESA ini didasarkan pada konversi lalu lintas
yang lewat terhadap beban gandar standar 8.16 kN dan mempertimbangkan umur
rencana, volume lalu lintas, faktor distribusi lajur, serta faktor bangkitan lalu lintas
(growth factor).
2. Reliability Konsep
Reliability untuk perencanaan perkerasan didasarkan pada beberapa
ketidaktentuan dalam proses perencaaan untuk meyakinkan alternatif‐alternatif
berbagai perencanaan. Tingkatan reliability ini yang digunakan tergantung pada
volume lalu lintas, klasifikasi jalan yang akan direncanakan maupun ekspetasi dari
pengguna jalan. Reliability didefinisikan sebagai kemungkinan bahwa tingkat
pelayanan dapat tercapai pada tingkatan tertentu dari sisi pandangan para
pengguna jalan sepanjang umur yang direncanakan. Pengaplikasian dari konsep
reliability ini diberikan juga dalam parameter standar deviasi yang
mempresentasikan kondisi‐kondisi lokal dari ruas jalan yang direncanakan.
Secara garis besar pengaplikasian dari konsep reliability adalah sebagai
berikut:
17. a. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan klasifikasi dari ruas
jalan yang akan direncanakan. Klasifikasi ini mencakup apakah jalan
tersebut adalah jalan dalam kota (urban) atau jalan antar kota (rural).
b. Tentukan tingkat reliability yang dibutuhkan dengan menggunakan tabel
yang ada pada metoda perencanaan AASHTO’93. Semakin tinggi tingkat
reliability yang dipilih, maka akan semakin tebal lapisan perkerasan yang
dibutuhkan.
c. Satu nilai standar deviasi (So) harus dipilih. Nilai ini mewakili dari
kondisi‐kondisi lokal yang ada. Berdasarkan data dari jalan percobaan
AASHTO ditentukan nilai So sebesar 0.25 untuk rigid.
3. Faktor Lingkungan
Satu hal yang menarik dari faktor lingkungan ini adalah pengaruh dari kondisi
swell dan frost heave dipertimbangkan, maka penurunan serviceability
diperhitungkan selama masa analisis yang kemudian berpengaruh pada umur
rencana perkerasan. Metode dan tata cara perhitungan penurunan serviceability ini
dimuat pada Appendix G dari metoda AASHTO’93.
4. Serviceability Serviceability
Merupakan tingkat pelayanan yang diberikan oleh sistem perkerasan yang
kemudian dirasakan oleh pengguna jalan. Untuk serviceability ini parameter
utama yang dipertimbangkan adalah nilai Present Serviceability Index (PSI). Nilai
serviceability ini merupakan nilai yang menjadi penentu tingkat pelayanan
fungsional dari suatu sistem perkerasan jalan. Nilai serviceability ini diberikan
dalam beberapa tingkatan antara lain :
a. Untuk perkerasan yang baru dibuka (open traffic) nilai serviceability ini
diberikan sebesar 4.0-4.2. Nilai ini dalam terminologi perkerasan diberikan
sebagai nilai initial serviceability (Po).
b. Untuk perkerasan yang harus dilakukan perbaikan pelayanannya, nilai
serviceability ini diberikan sebesar 2.0. Nilai ini dalam terminologi
perkerasan diberikan sebagai nilai terminal serviceability (Pt).
c. Untuk perkerasan yang sudah rusak dan tidak bisa dilewati, maka nilai
serviceability ini akan diberikan sebesar 1.5. Nilai ini diberikan dalam
terminologi failure serviceability (Pf).
18. BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Perencanaan rigid pavement menggunakan jenis perkerasan beton semen
bersambung beton tulangan.
2. Volume pekerjaan
Pada Metode Konvensional, luasan pekerjaan dapat dihitung dari
gambar potongan melintang. Volume pekerjaan didapatkan dengan
mengalikan Luas pekerjaan dengan panjang pekerjaan.
Pada Metode PPCP, volume bersifat typical dengan panjang tiap
segmen PPCP adalah 100 m, sedangkan geometrik jalannya dibatasi oleh
jari-jari lengkung horizontal minimum 1000 m dan kelandaian maksimum
7% dan bagian yang melebihi batas geometrik rigid pavement metode
PPCP tetap menggunakan rigid pavement metode konvensional.
3. Analisa biaya dan waktu
Analisa waktu rigid pavement metode Konvensional dilakukan dalam
100m terlebih dahulu. Sedangkan analisa waktu rigid pavement metode
PPCP dilakukan satu segmen jalan terlebih dahulu.
Analisa Biaya, rigid pavement metode Konvensional dan rigid
pavement metode PPCP cenderung sama, yaitu setelah diketahui volume
pekerjaan dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan
setiap item pekerjaan, maka dapat dilanjutkan perhitungan biaya yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan item pekerjaan. Namun, terlebih dahulu
menghitung harga satuan pekerjaan. Dan analisa Biaya Langsung metode
PPCP dilnjutkan dengan analisa harga satuan pekerjaan galian, pekerjaaan
timbunan dan pekerjaan lean concrete sama dengan metode konvensional.
3.2 Saran
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengamati perbedaan dan
persaman Rigid Pavement Metode Konvensional, PPCP dan AASHTO 1993.