SlideShare a Scribd company logo
1 of 15
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN PARA TOKOH


1. Pemikiran Ibnu Sina
        Abu Ali Al-Husein Ibn Abdullah Ibn Sina lahir di Bukhara tahun 370 h/980 m. Ia dianggap
   seorang yang cerdas, karena dalam usia yang sangat muda (17 Tahun) Ibnu Sina telah di kenal
   sebagai filosof dan dokter terkemuka di Bukhara selain itu Ibnu Sina juga dikenal sebagai tokoh
   yang luar biasa. Kecuali seorang ilmuwan ia juga dapat melakukan berbagai macam pekerjaan
   dengan baik seperti dalam bidang kedokteran, pendidikan, penasehat politik, pengarang dan
   bahkan menjadi waziar (mentri).
        Sebagai ilmuwan Ibnu Sina telah berhasil menyumbangkan buah pemikirannya dalam buku
   karangannya yang berjumlah 276 buah. Diantara karya besarnya adalah Al-Syifa berupa
   ensiklopedi tentang fisika, matematika dan logika. Kemudian Al-Qanur Al-Tabibb adalah
   sebuah ensiklopedi kedokteran.
        Pemikiran Ibnu Sina yang banyak keterkaitannya dengan pendidikan, barangkali
   menyangkut pemikirannya tentang filsafah ilmu.
        Menurut Ibnu Sina ilmu terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:

      1. Ilmu yang tak kekal
      2. Ilmu yang kekal (hikmah). Ilmu yang kekal dipandang dari peranannya sebagai alat
         disebut logika.

        Berdasarkan tujuannya maka ilmu dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

      1. Ilmu praktis seperti ilmu kealaman, matematika, ilmu ketuhanan dan ilmu kulli.
      2. Ilmu praktis adalah ilmu akhlak, ilmu kepengurusan, rumah ilmu, pengurusan kota dan
         ilmu nabi (syariah).

         Menurut Ibnu Sina pendidikan yang diberikanoleh nabi pada hakikatnya adalah pendidikan
   kemanusiaan. Bahwa pemikiran pendidikan Ibnu Sina bersifat komprehensif.
         Menurut Ibnu Sina tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa‘adat)
   kebahagian dicapai secara bertingkat, sesuai dengan tingkat pendidikan yang dikemukakannya,
   yaitu kebahagiaan pribadi, kebahagiaan rumah tangga, kebahagiaan masyarakat, kebahagian
   manusia secara menyeluruh dan kebahagian akhir adalah kebahagian manusia di hari akhirat.
   Kebahagian manusia secara menyeluruh menurut Ibnu Sina hanya akan mungkin dicapai melalui
   risalah kenabian. Jadi para nabilah yang membawa manusia mencapai kebahagian secara
   menyeluruh.
         Dalam pemikiran pendidikannya Ibnu Sina telah menguraikan tentang psikologi
   pendidikan, terlihat dari uraian-uraiannya mengenai hubungan anak dengan tingkatan usia,
   kemauan dan bakat anak. Dengan mengetahui latar belakang tingkat perkembangannya, bakat
   dan kemauan anak maka bimbingan yang di berikan kepada anak akan lebih berhasil. Menurut
   Ibnu Sina kecendrungan manusia untuk memilih pekerjaan yang berbeda dikarenakan didalam
   diri manusia terdapat faktor yang tersembunyi yang sukar dipahami / dimengerti dan sulit untuk
   di ukur kadarnya.
         Pemikiran pendidikan Ibnu Sina tampaknya telah membuka selubung keagungan tokoh ini.
   Di dunia barat sendiri pemikiran pendidikan anak baru dilakukan menjelang abad ke-18.
   Dietrich Tiediman (1787) merupakan orang pertama kali di dunia barat yang menyusun
   psikologi anak-anak. Kemudian disusul oleh buku Die Seele Des Kindes karangan Wilhelm
   Preyer (1882) barulah para ahli pendidikan di barat mempelajari anak-anak melalui kajian
   ilmiah.
         Ahli-ahli pendidikan islam terutama Ibnu Sina dan Al-Ghazali ternyata telah
   mengemukakan pemikiran tentang psikologi perkembangan.
2. Plato
         Socrates adalah sangat besar berpengaruh terhadap pemikiran Plato, ia adalah murid setia
   Socrates yang banyak mewarisi tradisi keilmuan dan filsafat gurunya, malalui Plato pemikiran-
   pemikiran Socrates dilestarikan, Socrates mempunyai kelemahan karena buah atau hasil dari
   pemikirannya tidak ditulis dalam bentuk tulisan oleh Plato, adalah kemudian Plato berinisiatif
   menulis semua pemikiran-pemikiran gurunya, melalui karya Plato yang fenomenal diantarannya;
   dialog, republic, negara dan apologia.
         Nilai-nilai atau pandangan Plato pada dasarnya adalah pandangan tentang kebajikan
   sebagai dasar negara ideal, ajaran Socrates kebajikan pengetahuan adalah diterima secara taken
   for granted, jadi penulis melihat bahwa pemikiran Plato nilai- nilai orisionalitasnya
   dipertannyakan, penulis berani mengatakan bahwa pemikiran Plato tidak ada, tapi yang ada
   adalah kelanjutan pemikiran Socrates saja yang ditulis dan dilanjutkan oleh Plato, artinya Plato
   hanya melanjutkan pemikiran Socrates yang kemudian dikembangkannya yang tidak terlalu
   mendalam, jadi menurut penulis kita tidak boleh terlalu mengagung-agungkan pemikiran Plato
   itu sendiri.
         Menurut Plato negara ideal menganut prinsip yang mementingkan kebajikan. Kebajikan
   menurut Plato adalah pengetahuan. Apapun yang dilakukan atas nama Negara harus dengan
   tujuan untuk mencapai kebajikan, atas dasar itulah kemudian Plato memandang perlunya
   kehidupan bernegara. Tidak ada cara lain menurut Plato untuk membanguan pengetahuan
   kecuali dengan lembaga-lembaga pendidikan, inilah yang kemudian memotivasi Plato untuk
   mendirikan sekolah dan akademi pengetahuan.
         Plato menilai negara yang mengabaikan prinsip kebajikan jauh dari negara yang di
   dambakan oleh manusia, sehinga negara yang ideal menurut Plato adalah negara negara yang
   menjunjung kebajikan. Plato mengambarkan seorang filsuf adalah dokter, filsuf meski
   mengetahui penyakit-penyakit yang dialami oleh masyarakat, mampu mendiagnosa dan
   mendeteksi sejak dini. Plato beranggapan munculnya negara adalah akibat hubungan timbal
   balik dan rasa saling membutuhkan antar sesama manusia.
         Plato berangapan munculnya negara karena adanya hubungan timbal balik dan rasa saling
   membutuhkan antara sesama manusia, manusia juga dianugerahi bakat dan kemampuan yang
   tidak sama, pembagian kerja-kerja sosial muncul akibat adanya perbedaan alami, masing-masing
   memiliki bakat alamiah yang berbeda, perbedaan bakat dan kemampuan justru baik bagi
   kehidupan masyarakat, karena menciptakan saling ketergantungan, setiap manusia tentu tidak
   bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara subsistensi, yang untuk memenuhi kebutuhan
   tersebut membutuhkan orang lain, negara dalam hal ini berkewajiban memperhatikan pertukaran
   timbal balik, dan berusaha agar kebutuhan masyarakat terpenuhi.
         Negara ideal menurut Plato juga didasarkan pada prinsip-prinsip larangan atas kepemilikan
   pribadi, baik dalam bentuk uang atau harta, keluarga, anak dan istri inilah yang disebut nihilism.
   Dengan adanya hak atas kepemilikan menurut filsuf ini akan tercipta kecemburuan dan
   kesenjangan sosial yang menyebabkan semua orang untuk menumpuk kekayaannya , yang
   mengakibatkan kompetisi yang tidak sehat. Anak yang baru lahir tidak boleh dikasuh oleh ibu
   yang melahirkan tapi itu dipelihara oleh Negara, sehinga seorang anak tidak tahu ibu dan
   bapaknya, diharapkan akan menjadi manusia yang unggul, yang tidak terikat oleh ikatan
   keluarga dan hanya memiliki loyalitas mati terhadap negara.
         Plato juga tidak memperkenankan lembaga perkawinan, tak seorang pun yang dapat
   mengklaim istri mereka, istri hanya bisa menjadi hak kolektif, hubungan seks yang dilakukan
   tidak boleh monogam melainkan poligami, Plato melihat lembaga perkawinan membuat
   ketidaksamaan antara laki-laki dan perempuan, yang lembaga perkawinan telah mengekang
   bakat alami manusia dan membuat diskriminasi.
         Pemikiran Plato yang anti individualism yang telah merusak kehidupan sosial masyarakat
   Athena, manusia menjadi individualism hanya mementingkan kebutuhan diri mereka sendiri dan
   mengabaikan kepentingan orang lain. Padahal kehidupan bernegara menekankan petingnya
   saling ketergantungan sesama warga negara.
         Ada tuduhan yang mengatakan bahwa Plato adalah anti demokrasi, adalah argumentasi ini
   membenarkan tuduhan itu. Mengapa Plato menjadi anti demokrasi, pemikiran Plato tidak
   terlepas dalam konteks sosio-hostoris kehancuran Athena. Kehancuran Athena menurut Plato
   bukan hanya karena kekalahan Athena dalam perang peloponesos. Kemenanagan Sparta atas
   Athena menunjukkan prinsip-prinsip dari kenegaraan bersifat Aristokrat militeristik yang
   ternyata lebih unggul dibandingakan dengan struktur kenegaraan Athena yang demokratis. Inilah
   yang melahirkan karya-karya Plato dalam judul republik. Dalam buku ini Plato secara tegas
menunjukkan simpati dan kekagumannya kepada sistem kenegaraan otoriter Sparta dan
   antipatinya kepada demokrasi. Plato menuduh kehancuran Athena disebabkan akibat demokrasi
   yang lemah dan disintegrasi serta tidak stabil.
        Di Negara demokrasi setiap orang berhak dan memiliki kebebasan dalam melakukan apa
   yang dikehendakinya, tanpa ada kontrol yang ketat dari negara, karena adanya kebebasan setiap
   orang berhak dalam mengkritik orang lain, terlepas apakah yang di kritik tersebut rakyat atau
   negara. Bila kekuatan saling mengkritik tanpa adanya control pemerintah, maka akan
   menimbulkan kekacauan sosial.
        Etika Plato
        Apakah tujuan hidup manusia? Bagi Plato adalah kehidupan yang senang dan bahagia,
   manusia harus mengupayakan kesenangan dan kebahagian itu, menurut plato kesenangan itu
   tidak hanya kepuasan hawa nafsu selama hidup di dunia, Plato sepakat dengan kesenangan dua
   dunia itu. Dunia ide semua ide dengan ide yang baik atau kebaikan dengan kebajikan sebagai ide
   yang tertinggi di dunia, ide adalah realitas yang sesunguhnya, sementara segala sesuatu yang ada
   di indrawi merupakan realitas bayangan . Hanya orang yang baik dan bijaksana yang akan dapat
   memahami segala sesuatu yang beraneka ragam yang berubah-ubah yang ada di dunia indrawi.
        Dengan demikian jelas bahwa etika Plato adalah etika yang berdasarkan dengan ilmu
   pengetahuan yang benar itu, sementara pengetahuan hanya dapat diperoleh diraih, dimiliki lewat
   akal budi, maka itulah kenapa etika Plato disebut dengan etika rasional.

3. Aristoteles
        Aristoteles adalah murid Plato di akademi, dikenal sebagai pemikir emperis-realis berbeda
   dengan Plato yang berfikir utopis dan idealis. Bisa jadi pemikiran Aristoteles adalah bentuk
   protes terhadap pemikiran dan gagasan Plato.
        Negara menurut Aristoteles diibaratkan dengan tubuh manusia, negara lahir dalam bentuk
   yang sederhana kemudian berkembang menjadi kuat dan sederhana, setelah itu hancur dan
   tenggelam dalam sejarah. Negara terbentuk karena manusia yang membutuhkan Negara,
   manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain, hubungan saling
   ketergantungan antara individu dengan masyarakat.
        Negara ideal menurut Plato adalah city state, negara yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu
   kecil, negara luas akan sulit untuk menjaganya, sementara negara yang terlalu kecil akan sulit
   untuk dipertahankan karena mudah dikuasai. Menurut Aristoteles, negara adalah lembaga politik
   yang paling berdaulat, bukan berarti lembaga ini tidak memiliki batasan kekuasaan. Tujuan
   terbentuknya negara adalah untuk kesejahteraan seluruh penduduk atau rakyat bukan
   kesejahteraan individu. Negara yang baik menurut Plato adalah negara yang dapat mencapai
   tujuan-tujuan negara. Sementara negara yang tidak dapat melaksanakan tujuan-tujua tersebut
   maka adalah negara gagal.
        Idealnya menurut Aristoteles monarki sebagai negara ideal, karena ia diperintah oleh
   seoarang filsuf, arif dan bijaksana. Kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi Aristoteles
   menyadari sistem monarki nyaris tak mungkin ada dalam realitas, ia hanya gagasan yang lahir
   bersifat normative yang sangat sukar diwujudkan dalam dunia emperis. Oleh karena itu
   demokrasi menurut Aristoteles dari tiga bentuk negara itu yang bisa diwujudkan dalam
   kenyataan. Berbeda dengan Plato tidak bersifat realistik ketimbang Aristoteles .
        Berbeda dengan Plato mengenai hak milik, Aristoteles membenarkan adanya hak milik
   individu, hak milik penting untuk memberikan tanggung jawab bagi seseorang untuk
   mempertahankan kelangsungan kehidupan sosial.
        Karya terbesar filsafat yang dihasilkan oleh Aristoteles adalah logika, sehingga banyak
   orang mengatakan dia sebagai penemu, atau bapak logika, sebebarnya istilah logika tidak pernah
   dipergunakan oleh Aristoteles, tapi juga kita mengenal ini dengan dealetika, inti dari logika
   adalah cara untuk menarik prosisi demi mencari kebenaran, juga sebagai sarana untuk
   pengembangan ilmu pengetahuan.
        Pengaruh Aristoteles terhadap cara berpikir Barat di belakang harisungguh mendalam. Di
   zaman dulu dan zaman pertengahan, hasil karyanyaditerjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Latin,
   Arab, Itali, Perancis,Ibrani, Jerman dan Inggris. Penulis-penulis Yunani yang munculkemudian,
   begitu pula filosof-filosof Byzantium mempelajari karyanyadan menaruh kekaguman yang
   sangat. Perlu juga dicatat, buahpikirannya banyak membawa pengaruh pada filosof Islam dan
   berabad-abad lamanya tulisan-tulisannya mendominir cara berpikir Barat. Ibnu Rusyd
   (Averroes), mungkin filosof Arab yang paling terkemuka, mencoba merumuskan suatu
perpaduan antara Teologi Islam dengan rasionalisme Aristoteles. Maimomides, pemikir paling
   terkemuka Yahudi abad tengah berhasil mencapai sintesa dengan Yudaisme.
         Tetapi, hasil kerja paling gemilang dari perbuatan macam itu adalah Summa Theologia-
   nya cendikiawan Nasrani St. Thomas Aquinas. Di luar daftar ini masih sangat banyak kaum
   cerdik pandai abad tengah yang terpengaruh demikian dalamnya oleh pikiran Aristoteles.
   Kekaguman orang kepada Aristoteles menjadi begitu melonjak di akhir abad tengah tatkala
   keadaan sudah mengarah pada penyembahan berhala. Dalam keadaan itu tulisan-tulisan
   Aristoteles lebih merupakan semacam bungkus intelek yang jitu tempat mempertanyakan
   problem lebih lanjut daripada semacam lampu penerang jalan. Aristoteles yang gemar meneliti
   dan memikirkan ihwal dirinya tak salah lagi kurang sepakat dengan sanjungan membabi buta
   dari generasi berikutnya terhadap tulisan-tulisannya.
        Beberapa ide Aristoteles kelihatan reaksioner diukur dengan kacamata
   sekarang. Misalnya, dia mendukung perbudakan karena dianggapnya sejalan dengan garis
   hukum alam. Dia percaya kerendahan martabat wanita ketimbang laki-laki. Kedua ide ini-tentu
   saja-mencerminkan pandangan yang berlaku pada zaman itu. Tetapi, tak kurang pula
   banyaknya buah pikiran Aristoteles yang mencengangkan modernnya, misalnya kalimatnya,
   ―Kemiskinan adalah bapaknya revolusi dan kejahatan,‖ dan kalimat ―Barangsiapa yang sudah
   merenungi dalam-dalam seni memerintah manusia pasti yakin bahwa nasib sesuatu emperium
   tergantung pada pendidikan anak-anak mudanya.‖ (Tentu saja, waktu itu belum ada sekolah
   seperti yang kita kenal sekarang).

4. Al Kindi
         Menurut al-Kindī filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang yang benar (knowledge of
   truth). Konsepsi filsafat al-Kindī secara umum memusatkan pada penjelasan tentang metafisika
   dan studi tentang kebenaran. Pencapaian kebenaran menurut al-Kindī adalah dengan filsafat.
   Oleh sebab itu, ilmu filsafat menurut al-Kindī adalah ilmu yang paling mulya. Ia
   mengatakan:‖Sesunggunghnya ilmu manusia yang derajatnya paling mulya adalah ilmu filosof.
   Dengan ilmu ini hakikat ilmu didefinisikan, dan tujuan filosof memperlajari filsafat adalah
   mengetahui Al-Haq (Allah)‖. Sedangkan ilmu filsafat yang paling mulya dan paling tinggi
   derajatnya adalah Filsafat yang Pertama (Falsafah al-‗Ūlā). Yakni ilmu tentang al-Haq al- Ūlā
   yang menjadi Sebab segala sesuatu (‗illah kulli syai‘) yang tidak lain adalah Tuhan Allah SWT.
         Pada asas pokok filsafatnya ini, al-Kindī mempertemukan dengan agama. Dalam arti,
   bahwa tujuan filsafatnya dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya adalah ilmu
   dalam rangka mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar keduanya dapat dilihat
   dari penjelasan al-Kindī, bahwa dasar antar filsafat dan agama memiliki kesamaan. Kesamaan
   tersebut terdapat dalam empat hal; pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, kedua,
   wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian, ketiga, menurut
   ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama dan keempat, teologi adalah bagian dari filsafat
   dan umat Islam wajib belajar teologi juga filsafat.
         Bagi al-Kindī, filsafat Islam didasarkan kepada al-Qur‘ān. Al-Qur‘ān memberikan
   pemecahan-pemecahan atas masalah yang hakiki, misalnya tentang teori penciptaan, hari
   kebangkitan, kiamat dsb. Hal tersebut menurut al-Kindī sangat meyakinkan, jelas dan
   menyeluruh, sehingga al-Qur‘ān telah mengungguli dalih-dalih para filsuf.
         Dengan pemikirannya tersebut, ilmu filsafat oleh al-Kindī ditempatkan sebagai bagian dari
   budaya Islam. Meskipun dalam beberapa teoritik, ia mengadopasi dari Aristoteles Neo-Platonis,
   akan tetapi gagasan-gagasannya dari mengintegrasikan filsafat dan agama itu menghasilkan
   gagasan baru. Tampak sekali, ia berusahan mendamaikan antara warisan Yunani yang tidak
   bertentangan dengan syari‘at dengan agama Islam, dengan asas-asas yang berdasarkan metafisik,
   bukan fisik belaka. Ia menggunakan istilah-istilah filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam
   bahasa Arab. Dia dikenal orang yang pertama menyususn kosa kata Arab untuk istilah-istilah
   filsafat dan menetapkan definisi berbagai kategori. Untuk tujuan ini dia menulis sebuah buku
   Risālah fī Hudūd al-Asyyā wa Rusūmihā.
         Karena asas yang dibangun di atasnya adalah agama, maka ia menyatakan bahwa filsafat
   mengikuti jalur ahli logika dan memandang bahwa agama sebagai sebuah ilmu rabbāniyah dan
   memposisikannya di atas filafat. Ilmu ini diambil melalui jalur para Nabi. Melalui penafsiran
   filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat. Pencapaian kebenaran agama, disamping
   dengan wahyu, sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan juga mempergunakan akal. Sedangakan
   falsafah juga mempergunakan akal, bahkan falsafah al-Kindī juga mendasarkan pada wahyu, hal
itu dibuktikan dalam beberapa konsep dan teorinya secara diametral bersebarangan dengan
konsepsi Aristoteles maupun Plato, seperti konsep keesaan Tuhan, alam, dan penciptaan dari
ketiadaan.
      Jika konsep kunci (konsep Tuhan) berseberangan dengan filsafat Aristoteles, berarti
pandangan hidup (worldview) – nya juga berbeda. Sebab, sebuah teori atau konsep lahir dari
worldview seseorang dan akan menjadi perbeda teori tersebut jika pandangannya tentang Tuhan
berbeda. Thomas F Wall mengatakan, percaya pada Tuhan berimplikasi pada kepercayaan
bahwa sumber pengetahuan dan moralitas adalah Tuhan dan sebaliknya tidak percaya pada
Tuhan akan menghasilkan kepercayaan bahwa sumber pengetahuan adalah subyektifitas
manusia.
      Dalam konteks epistemologi Islam, Tuhan adalah tema sentral. Ia adalah sumber kebenaran
yang utama yang mutlak. Maka, filsafat al-Kindī bisa dikatakan telah memasuki konteks ini.
Sebab, ia memberi penekanan pada konsep keilahian. Ia mengatakan filsafat yang pertama (al-
Falsafah al-Ūlā) adalah pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan penyebab dari semua
kebenaran.
      Sang Penyebab semua sebab itulah adalah Tuhan. Dengan demikian, filsafat al-Kindī
adalah membahas soal Tuhan dan agama menjadi dasar filsafatnya. Dengan demikian kerja
filsafat yang dilakukan al-Kindī adalah mengharmonisasi antara fislafat dan agama, bahwa antar
keduanya tidak ada perbedaan yang kontras. Ia mengatakan ―Falsafah yang termulia dan
tertinggi derajatnya adalah falsafah utama, yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang
menjadi sebab bagi segala yang benar‖. Hal ini yang membedakan dengan orientasi filafat
Aristotele, bahwa filsafat adalah ilmu tentang wujud karena yang wujud memiliki kebenaran.
Berarti, orienatasi filsafat al-Kindī adalah metafisik sedangan Aristotele adalah dibangun di atas
teori fisika.

Pemikiran al-Kindī Tentang Konsep Tuhan
      Tuhan menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa,
Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah keEsaan
belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Pembahasan utama filasfatnya adalah
tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya, adalah menyelidiki kebenaran, maka
filafat pertamanya adalah pengetahuan tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq
al-Awwal), Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan
demikian corak filsafat al-Kindī adalah teistik, semua kajian tentang teori-teori kefilsafatannya
mengandung pendekatan yang teistik. Untuk itu, sebelum memulai kajian tentang teori filsafat,
ia membahas filsafat metafisika, dan konsep Tuhan.
      Argumentasi kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran al-Kindī dalam menjelaskan
ketuhanan. Bagi al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk
mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan
mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah
Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak. Alam semesta berjalan secara teratur atas
dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah
tentang keesaan. Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan
harus ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari segala sesuatu
dan mendiskusikan kebenaran the True One ini.
      Pertama-tama al-Kindī menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya
sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan juz‘iyyāt (particular). Kajian
filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyāt yang jumlahnya tak terbatas itu, akan tetapi yang
paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat dalam partikular itu, yakni kulliyāt (universal).
Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz‘i yang disebut al-aniyah dan hakikat
kulli yang disebut māhiyah yakni hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan
spesies.
      Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah, karena Ia bukan termasuk
dalam benda-benda yang ada dalam alam. Tuhan juga tidak mempunyai bentuk mahiyah karena
Tuhan tidak termasuk genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang srupa dengan
Tuhan. Ia Dzat yang unik, yang lain bisa mengandung arti banyak.
      Al-Kindī berpendapat bahwa setiap jenis predikat menunjukkan kesatuan dan
keanekaragaman. Misalnya hewan, adalah salah satu genus, tetapi terdiri dari sebuah keragaman
spesies. Manusia adalah satu spesies tetapi terdiri dari banyak individu dan manusia yang
tunggal adalah salah satu individu dari individu-individu yang lain terdiri dari banyak bagian
tubuh. Selanjutnya, ia beragurmen, keragaman itu memiliki hubungan produk integral. Satu
bagian, bukanlah disebabkan oleh stipan serangkaian bagian yang lain. Berarti, harus ada
penyebab luar untuk semua keanekaragaman yang integral tersebut, penyebab itu satu, eksklusif
dan sepenuhnya bebas dari keragaman yang multi genus. Yang Satu itulah Yang Benar, yang
tidak lain adalah Tuhan.
      Wujud Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud, eksistensi
dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh akal manusia. Maka, baginya,
untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi, sebagai utusan Allah, yang akan
menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang
dibawa oleh Nabi melalui media yang dinamakan wahyu. Al-Kindī, secara jelas meyakini bahwa
rasio manusi memiliki sisi kelemahan. Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak
bisa ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan akal
maka, manusia perlu dibimbing oleh wahyu. Hanya saja, dalam aspek penjelasan sifat-sifat
Tuhan, al-Kindī masih terpengaruh oleh Mu‘tazilah dan Aristoteles. Hal itu misalnya, dilihat
dari penjelasannya bahwa sifat-sifat Tuhan diungkapkan dengan bentuk kalimat negatif, yaitu
dengan ungkapan ―tidak‖ atau ―bukan‖. Bawa Tuhan itu tidak seperti manusia.
      Tidak seperti Aristoteles, al-Kindī mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta, bukan
penggerak Pertama. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Tuhan adalah
Penyebab dari segala sebab. Setelah melakukan sebab itu, Tuhan tetap melakukan sesuatu (‗Illah
al-Fā‘ilah). Disini Tuhan tidak diposisikan seperti konsep Aristoteles, yang mengatakan Tuhan
tidak bergerak, sehingga ia tidak melakukan sesuatu apapun setelah emanasi. Sehingga Tuhan
dalam pemahaman Aristoteles tidak memahami yang partikular. Berbeda dengan al-Kindī,
menurutnya Tuhan tetap melakukan sesuatu.
      Al-Kindī menyebut, Tuhan yang seperti ini dinamakan agen yang benar. Dia menjadi
penyebab dan bertindak aktif. Tuhan adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan yang lain
adalah pelaku yang metaforis (agen kiasan). Karena, keduanya bertindak dan ditindaklanjuti.
Berkaitan dengan teori penciptakan, al-Kindī memiliki keunikan tersendiri. Ia membagi alam
menjadi dua, alam atas dan alam bahwah. Secara general, wujud alam tersebut disebabkan oleh
Penyebab Pertama, yaitu Tuhan.
      Proses keberadaan antara wujud alam atas dan alam bawah ini berbeda Alam atas yang
terdiri dari wujud spiritual, seperti akal, jiwa dan ruh. Sedangkan alam bahwah adalah teridiri
dari wujud badaniyah manusia, materi bentuk alam dunia dan lain sebagainya. Alam atas sebagai
wujud spiritual keberadaanya tidak melaui prosep penciptaan (creation/khalq), akan tetapi ia ada
melalui emanasi. Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui proses penciptaan.
      Namun, analisis secara umum al-Kindī tetap dikatakan bahwa Tuhan baginya adalah
pencipta bukan penggerak pertama. Konsep Tuhan sebagai penggerak pertama adalah konsep
Aristoteles. Di sini ia berseberangan dengan Aristoteles. Maka, bagi al-Kindī alam dunia
mempunyai permulaan, ia diciptakan dari ketiadaan. Alam menurut al-Kindī tidak qadīm.
Sedangkan menurut Aristoteles alam adalah qadīm. Yang beremanasi dari sebab pertama adalah
alam, dalam arti alam atas tadi.
      Alam atas, pada mulanya beremanasi dari Sebab Pertama, bergantung dan berkaitan dengan
al-Haq. Tetapi terpisah dari-Nya, karena alam terbatas dalam ruang dan waktu. Berarti, akal atau
jiwa setelah terpisah, benar-benar substansi, essensinya berbeda dengan Tuhan. Setelah
beremanasi, wujud intelek dan jiwa tadi memiliki genus, spesises, diferensia, sifat dan aksiden.
Maka setiap benda terdiri atas materi dan bentuk, terbatas raung dan bergerak dalam waktu. Ia
dzat yang terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tidak kekal.
Hanya Allah-lah yang kekal.
      Sedang alam dalam konsep Aristoteles, terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh waktu.
Sebab gerak alam seabadi dengan Sang Penggerak Tak Tergerakkan (Unmomed Mover). Tuhan
bagi Aristoteles adalah Penggerak, akan tetapi Tak Tergerakkan, sebab baginya, jika Tuhan
bergerak, maka ia akan berbilang, karena setiap gerak akan melahirkan sifat baru. Terbilangnya
sifat menjadikan terbilangnya dzat.
      Teori keabadian alam al-Kindī juga berbeda dengan filosof muslim paripatetik setelahnya.
Keabadian alam ditolak oleh al-Kindī, karena alam ini diciptakan. Mengenai hal ini, ia
memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan
secara matematik. Benda-benda fisik teridiri atas materi dan bentuk, dan bergerak di dalam
ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang dan waktu merupakan unsur dari setiap fisik.
Wujud, yang berkait erat dengan fisik, waktu dan ruang adalah terbatas, karena mereka takkan
ada, kecuali dalam keterbatasan.
Waktu bukanlah gerak, melainkan bilangan pengukur gerak karena waktu tidak lain adalah
   yang dahulu dan yang kemudian. Bilangan ada dua macam, yaitu tersendiri dan
   berkesinambungan. Waktu bukanlah bilangan tersendiri, tetapi berkesinambungan. Oleh sebab
   itu, waktu dapat ditentukan, yang berporoses dari dulu hingga kelak. Dengan kata lain, waktu
   merupakan jumlah yang dahulu dan yang berikutnya, yang berkesinambungan. Waktu adalah
   bagian dari pengetahuan tentang kuantitas. Ruang, gerak dan waktu adalah kuantitas.

5. Rene Descrates
         Awalnya Descartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam
   menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Aliran yang mengaku merujuk pada pemikiran
   Aristotelian ini mengandaikan segala sesuatu dipengaruhi ketakhayulan dan cenderung
   spekulatif. Jelas klaim ini amat bertolak belakang dengan pemikiran Aristoteles. Pasalnya,
   filsafat Aristoteles bertolak dari prinsip pertama ‖substansi konkret‖—sebuah prinsip
   fundamental yang abadi bertentangan dengan prinsip filsafat "ide" Plato. Descartes juga
   diresahkan oleh kepercayaan yang kuat kalangan gereja mengenai doktrin Anselmus bahwa
   dasar filasafat hanyalah iman, credo ut intelligam.
         Kecemasan-kecemasan ini memantik Descartes untuk berikhtiar menemukan basis
   ‖kebenaran‖ yang rasional dan sistematis, tidak spekulatif, juga tidak sekedar yakin.
         Karena itu, ia memulai filsafatnya dengan terlebih dahulu meragukan segala sesuatu.
   Gejala-gejala yang nampak, ia ragukan semua. Ia ragu terhadap apa yang ia tangkap melalui
   inderawi. Sampai akhirnya ia menemukan yang pasti; sesuatu yang sama sekali tidak ia
   ragukan—dan tidak bisa diragukan—oleh (si)apapun, yaitu ―saya sedang ragu‖. ―Saya sedang
   ragu‖ disebabkan karena ―saya berpikir‖. ―Saya berpikir‖ merupakan suatu kebenaran karena
   tidak ada yang meragukan lagi. ―Saya berpikir‖ adalah benar, karenanya pasti ―ada‖. Jika ―saya
   berpikir‖ menjadi ―ada‖, maka kesimpulannya ―saya berpikir, maka saya ada‖. Cogito ergo sum.
         Descartes menyebut keraguan itu sebagai ―keraguan metodis universal‖. Maksud kata
   ―keraguan‖ disini bukan dalam arti kebingungan yang tak berkesudahan, melainkan
   mempertanyakan kembali kinerja akal budi. ―Keraguan‖ dipraktekkan sebagai tahap awal
   menuju kepastian, menjaring yang benar dari yang salah, dan meretas jalan kepastian dari
   kemungkinan. Keraguan disebut juga sebagai ―metodis‖ karena ―keraguan‖ adalah cara
   penalaran mengungkap kebenaran secara reflektif-radikal-filosofis. Perjalanan menuju
   kebenaran ini mesti direntang tanpa batas sampai keraguan itu membatasi diri dengan
   menemukan kepastian yang ―benar-benar pasti‖ dan ‖pasti benar‖. Karenanya, keraguan
   metodis, kata Descartes, mesti bersifat ―universal‖.
         Proses penemuan dasar filsafat Descartes amat berkaitan erat dengan tiga hal mendasar.
   Pertama, persoalan pencarian kepastian melalui ide yang jelas dan terpilah—disini Descartes
   menolak basis filsafat yang bersifat kemungkinan atau spekulatif. Kedua, Descartes ingin
   meletakkan dasar filsafatnya bertolak dari diri subyek. Baginya, hanya subyek yang memiliki
   kesadaran tentang dirinya sendiri—metode cogito atau imanentisme Descartes (aku yang secara
   langsung mengenal diriku sendiri). Ketiga, Descartes hendak memberikan basis intelektual bagi
   eksistensi Tuhan sebagai titik tolak seluruh kebenaran, pengetahuan, dan pemahaman. Proses
   rumit epistemik ini telah menggiring Descartes berkelindan menemukan basis filsafatnya secara
   otentik, sekaligus meruntuhkan puing-puing dasar filsafat yang bergema kuat pada waktu itu.
         Metode cogito menuntun Descartes menemukan dasar pemikirannya tentang hakikat
   (ontologis) segala sesuatu yang ia kemukakan melalui tiga titik dasar: substansi, atribut, dan
   modus.
         Pertama, substansi adalah ―apa yang ada sedemikian rupa‖ [9], sehingga keber-ada-annya
   tidak memerlukan sesuatu yang lain. Substansi model ini, oleh Descartes, disebut sebagai
   ‖substansi absolut‖, dan hanya satu, yaitu Tuhan sebagai causa sui atau penyebab bagi dirinya
   sendiri yang sempurna adanya. Descartes juga mengandaikan substansi lain, yang ia sebut
   sebagai ‖substansi relatif‖ atau substaintia creata (substansi buatan). Macamnya ada dua, yaitu
   substansi jiwa/roh—bersifat bebas, aktif dan mental—dan substansi materi/bendawi—bersifat
   fisis dan berjalan menurut hukum-hukum fisika. Eksistensi substansi ini semata-mata tergantung
   bantuan substansi absolut. Oleh karenanya, pengertian substansi relatif tidak dapat disamakan
   dengan pengertian substansi absolut.
         Setiap substansi, kata Descartes, memiliki atribut atau sifat asasi, dimana sifat asasi ini
   mutlak ada dan tidak dapat ditiadakan. Ada-nya sifat asasi ini hanya dapat diketahui secara jelas
   melalui sifat-sifat yang lain. Jika kita lansir dalam substansi bendawi/materi, maka atribut yang
kita temukan berupa keluasan (extentio atau res extensa). Dan jika kita telisik dalam substansi
   roh/jiwa, maka atribut substansi berupa pemikiran (cogitation atau res cogitans) [10]. Melalui
   dua atribut substansi ini, demikian Descartes, maka substansi absolut dapat dikenal oleh akal
   budi manusia.
         Selain atribut, substansi masih mempunyai suatu enstitas lagi, yang Descartes sebut sebagai
   modus (jamak modi). Modus adalah sifat substansi yang dapat berubah, plural dan sebetulnya
   tidak mutlak ada dalam substansi. Artinya, modus ini diandaikan sebagai jejak-jejak—
   meminjam istilah Derrida—atau ciri-ciri yang menuntun kita menuju pengetahuan mengenai
   hakikat substansi—sekalipun, kata Descartes, akal hanya mampu menangkap atribut-atributnya
   saja. Jika kita telusuri dalam substansi bendawi/materi, maka modus yang ditemukan seperti
   bentuk, besar, kecil, gerak, situasi, dan ciri-ciri lahiriyah lainnya. Dan jika kita teliti dalam
   substansi roh/jiwa, maka modus yang muncul berupa gagasan-gagasan individual yang
   dilakukan secara sadar seperti ide, pertimbangan, meragukan, memahami, membayangkan,
   berkehendak, merasa, berimajinasi, dan aktivitas kemampuan lainnya.
         Descartes mengandaikan roh/jiwa memiliki sifat asasi lebih ―cerdas‖ dari sifat asasi
   bendawi/materi, karena secara a priori roh/jiwa membawa pengertian-pengertian tunggal tentang
   substansi roh dan bendawi serta mampu memilah-milah secara jelas (clear and distinctly atau
   self-evident) suatu gagasan atau idea tanpa terpengaruh oleh gagasan atau idea-idea yang lain.
   Melalui sifat asasi roh/jiwa, pengertian yang terungkap bukan hanya substansi bendawi dan
   rohani saja, melainkan menjamah substansi pertama, yaitu substansi Tuhan yang tiada batasnya.
         Disinilah letak perbedaan ontologi Descartes dengan pemikiran ontologi yang lain. Ia
   mengandaikan akal (rasio) mempunyai kemampuan menjangkau pengetahuan tentang segala hal,
   termasuk pengetahuan (substansi) Tuhan. Sekalipun yang mampu dijangkau sebetulnya, kata
   Descartes, hanyalah atribut substansi belaka.
         Justru di titik inilah filsafat Dercartes menemukan kerapuhan fundamental ketika dipaksa
   membicarakan tentang hubungan eksistensi substansi jiwa dan badan. Pendapatnya bahwa
   substansi Tuhan adalah pemegang otoritas atau—meminjam istilah Pak Joksis—―penjamin‖
   eksistensi substansi jiwa dan substansi badan, makin memperjelas bahwa tidak sepenuhnya
   segala kebenaran selalu bermuara dari subyek yang sadar. Menurut kadarnya sendiri muncul
   banyak fakta bahwa manusia sering dihadapkan pada realitas (yang benar dan pasti) diluar
   jangkauannya sebagai subyek yang sadar.
         Dengan demikian akan kesulitan bagi kita mengemukakan secara pasti ―bagaimana‖
   sebenarnya hubungan antara jiwa dan badan terjadi. Descartes hanya menunjukkan akhir
   hubungan jiwa dan badan adalah membentuk manusia sempurna. Sementara, keduanya ia
   anggap sebagai res yang berbeda, terpisah, dan tidak terjalin hubungan yang serius. Maka,
   menjadi aneh ketika tiba-tiba Descartes membawa ―Tuhan‖ yang berada diluar subyek sadar
   sebagai ―penjamin‖ dari eksistensi jiwa dan badan yang berada di dalam subyek sadar.
   Barangkali berangkat dari kegamangan ini banyak orang menyangka pemikiran Descartes
   bernada dualistik (baca: ―dualisme Cartesian‖).
         Lepas dari sangkaan-sangkaan itu, satu hal yang mesti diakui bahwa gagasan Descartes
   berupa ―cogito ergo sum‖ telah memprovokasi lahirnya modernisme, seraya membawa para
   ilmuwan dan filsuf keluar dari kemelut doktrin-doktrin filsafat Skolastik dan Gereja. Filsafatnya
   telah membantu menyulut manusia-manusia jaman sekarang berpikir rasional, sistematis, bahkan
   mengamsusikannya ―benar-benar pasti‖ dan ―pasti benar‖. Sebuah gejala menuju pengabsolutan
   ―rasio‖ sebagai ―logos‖, dan seringkali bersebarangan dengan ―iman‖ maupun ―mitos‖.

6. Al-Farabi
         Al-Farabi menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1890 Dieterici
   menerjemahkan beberapa risalah pendek al-Farabi, umumnya yang berkaitan dengan sains.
   Bukunya yang merupakan sumbangan terhadap sosiologi adalah Risalah fi Ara Ahl al-Madinah
   al-Fadilah yang kemudian diedit dan diterjemahkan oleh Dieterici sebagai Philosophia de Araber
   dan Der Mustarstaat Von Al-Farabi. Buku penting lain yang diterjemahkan ke berbagai bahasa
   Barat adalah Musiqi al-Kabir dan Ihsa al-Ulum, sebuah karya ensiklopedis yang kemudian
   banyak berpengaruh atas penulis Barat.
         Bukunya Ihsa al-Ulum merupakan encyclopedia mengenai ilmu akhlak yang terbagi atas
   lima bagian: 1. bahasa, 2. ilmu hitung, 3. logika, 4. ilmu-ilmu alam (natural sciences), dan 5.
   politik dan sosial ekonomi (sosio ekonomi). Para ahli fikir mutakhir mengakui, bahwa mereka
   berhutang budi kepada al-Farabi atas segala yang telah mereka capai di bidang ilmu
pengetahuan. Dalam mengambil sesuatu bahan ilmiah dari asalnya al-Farabi memakai jalan
peng-alasan yang sangat teliti yang berdasarkan dialektika.
      Dan ini dilakukan dengan meletakkan qaedah-qaedah umum lalu daripadanya diambil
alasan yang diperlukan. Pendapat al-Farabi mengenai wujud Allah dan pengetahuan umum yang
bersangkutan dengan Aqlil Awal (first intelegence) dan lainnya diambil kurang lebih dari teori
Aristoteles mengenai penciptaan (creation). Tetapi al-Farabi tidak percaya akan kekekalan alam,
yang menurut pendapat Aristoteles alam itu adalah kekal.
      Menurut al-Farabi alam ini mempunyai pangkal dan ujung (awal dan akhir). Selanjutnya al-
Farabi percaya pula akan adanya hidup setelah mati; yang menjadi hari pengadilan bagi manusia,
yang berakhir mendapat ganjaran baik atau buruk menurut perbuatan mereka di masa hidup di
atas bumi. Telah pasti bahwa pendapat al-Farabi ini adalah bawaan dari al-Qur‘an dan Hadits.
Maka bagi al-Farabi logika bukanlah satu jalan untuk mencapai ma‘rifat, tetapi ia adalah alat
pencapai ma‘rifat. Logika bukanlah jalan untuk mendapatkan hakikat, tetapi ia sendirilah
pendapat dari hakikat itu.
      Tata kerja akal dalam proses pemikiran (amaliyat al-fikri), menurut al-Farabi meningkat
secara bertahap. Akal pada seseorang bayi bersifat potensial (aqlu bil quwwati), yang disebut
oleh al-Farabi dengan aqlul-hayuli (material intelect). Aqlul-hayuli itu bersifat pasif (passive
intelect), dan mulai bergerak menjadi akal berkarya (aqlu bil-fi‘li, actual intellect) setelah
menerimakan gambaran bentuk-bentuk (al surah, forms) melalui kodrat indriani (al hassat)
maupun kodrat imajinasi (al mutakhayyilat). Ia pun mengolahnya menjadi pengertian-pengertian
(al ma‘ani, conceptions) dan pada tahap itu ia pun berubah menjadi akal berdaya guna (aqlul-
mustafad, acquired intellect).
      Akal berdaya guna (aqlul-mustafad, acquired intellect) itu sekedar bertindak mengolah,
mencari hubungan-hubungan diantara segala pengertian, untuk merekamkan tahu (al‘ilm,
knowledge) pada perbendaharaan ingatan. Akan tetapi tahu itu sendiri menurut al-Farabi adalah
anugerah dari akal giat (aqlul-fa‘al, active intellect) yakni kodrat ilahi, sebagai akibat dari
kegiatan akal berdayaguna itu. Tahu di dalam perbendaharaan ingatan itu berpangkal pada
materi dan bentuk (al madah dan al shurah) yang ditangkap oleh kodrat indriani dari alam luar.
Materi itu tidak punya perwujudan tanpa bentuk. Akan tetapi di dalam proses pemikiran
(amaliyat alfikri) senantiasa materi itu dipisahkan dengan bentuk hingga diperkirakan
perwujudan materi tanpa bentuk, yang oleh al-Farabi disebut dengan al hayuli dan oleh
Aristoteles, disebut dengan hyule.

Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi
      Al-farabi telah memberikan klasifikasi tentang ilmu pengetahuan dalam tujuh bagian, yaitu:
logika, percakapan, matematika, physika, metaphysika, politik, dan ilmu fikhi (jurisprudence).
Ketujuh ilmu pengetahuan ini telah melingkupi seluruh kebudayaan Islam pada masa itu.
Ilmu pengetahuan tentang percakapan, yang dikenal sebagai ilmu al-lisan, dibaginya pula atas
tujuh bagian, yaitu: bahasa gramatika, syntax (ilmu tarkib al-kalam), syair, menulis dan
membaca. Aturan ilmu bahasa yang melingkupi ketujuh pembagian ini, merupakan tujuh bagian
pula, yaitu: ilmu kalimat mufrad, ilmu kalimat yang dihubungkan oleh harf el-jar (proposition),
undang-undang tentang penulisan yang benar, undang-undang tentang pembacaan yang betul,
dan aturan tentang syair yang baik.
      Ilmu logika, diajarkan kepada tingkatan tinggi, bagi orang-orang yang hendak menyediakan
dirinya menjadi sarjana. Oleh karena itu, ilmu logika itu lebih dipandang bersifat seni daripada
sifatnya sebagai ilmu. Ilmu atau seni logika pada umumnya terdiri sebagai berikut: ―Supaya
dapat mengoreksi fikiran seseorang, untuk mendapatkan kebenaran‖. Logika itu dibagi dalam
delapan bagian, dimulainya dengan Catagory dan disudahi dengan syair (poetry).
Orang Arab juga memasukkan ilmu balaghah (rothorika) dan syair menjadi bagian dari ilmu
logika. Kemudian setelah diselidiki, ternyata bahwa itu termasuk dalam bagian mantik, maka
sekarang ini pembagian ilmu logika menjadi sembilan fasal.
      Tentang matematika, al-Farabi membaginya menjadi tujuh bagian, yaitu: arithmatika,
geometri, optika, astronomi, musik, hisabaqi (Latin: arte ponderum), dan mekanika.
Metaphysika, ditujukan pada dua jenis pelajaran. Pertama, pengetahuan tentang makhluk dan
kedua, contoh-contoh dasar atau filsafat ilmu. Tentang ilmu makhluk, dikatakannya sebagai ilmu
yang mempelajari dasar-dasar makhluk yang tidak didasarkan kepada bentuk jasmani atau
benda-benda berupa tubuh.
      Politik, dikatakannya juga sebagai ilmu sipil, yang menjurus kepada etika dan politika.
Filsuf-filusuf Islam, menyalin perkataan Politeia dari bahasa Yunani, dengan perkataan Madani.
Arti perkataan ini adalah sipil yang berhubungan dengan kota. Ilmu agama, dibaginya kepada
  fikih (Yurisprudence) dan kalam (theology). Ilmu kalam ada dua cabangnya yang kemudian
  dimasukkan menjadi ilmu agama, adalah pengetahuan baru yang dimasukkan ke dalam Islam.
  Klasifikasinya dalam perincian ilmu pengetahuan dapat disimpulkan sebagai berikut:
  a. Ilmu bahasa: syntaksis, gramatika, pengucapan dan tuturan, dan puisi.
  b. Logika: pembagian, definisi dan komposisi gagasan-gagasan yang sederhana. Bagian-bagian
      logika setelah istilah-istilahnya didefinisikan ada lima:
      1) Syarat-syarat yang perlu bagi premis-premis yang akan menuju suatu sylogisme untuk
          ilmu tertentu.
      2) Definisi sylogisme yang berguna dan cara untuk menemukan bukti dialektal.
      3) Penelitian kesalahan dalam bukti-bukti, penelitian atas hal-hal yang dilewatkan dan
          kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam penalaran dan cara-cara untuk mencegahnya.
      4) Definisi oratori: sylogisme yang digunakan untuk membawakan pembahasan di depan
          publik.
      5) Studi mengenai puisi, bagaimana harus menyesuaikannya dengan tiap subyek, kesalahan
          dan ketidaksempurnaannya.
  c. Sains persiapan:
      1) Aritmetika: praktis teoritis
      2) Geometri: praktis teoritis
      3) Optika
      4) Sains tentang langit: astrologi, gerak dan sosok benda-benda langit.
      5) Musik: praktis teoritis
      6) Ilmu tentang timbangan.
      7) Ilmu membuat alat-alat (pembuatan mesin-mesin dan instrumen-instrumen sederhana
          untuk digunakan dalam berbagai seni dan sains, seperti astronomi dan musik).
  d. Fisika (sains kealaman), metafisika (sains yang berhubungan dengan Tuhan dan prinsip-
      prinsip benda). Fisika:
      1) Ilmu tentang prinsip-prinsip yang mendasari benda-benda alam.
      2) Ilmu tentang sifat dan ciri elemen, dan prinsip yang mengatur kombinasi elemen menjadi
          benda.
      3) Ilmu tentang pembentukan dan kerusakan benda.
      4) Ilmu tentang reaksi yang terjadi pada elemen-elemen dalam membentuk ikatan.
      5) Ilmu tentang benda-benda ikatan yang terbentuk dari empat elemen dan sifat-sifatnya.
      6) Ilmu mineral.
      7) Ilmu tumbuhan.
      8) Ilmu hewan.
      9) Metafisika:
          a) Ilmu tentang hakikat benda.
          b) Ilmu tentang prinsip-prinsip sains khusus dan sains pengamatan.
          c) Ilmu tentang benda non-jasadi, kualitas-kualitas dan ciri-cirinya yang akhirnya
              menuju kepada ilmu tentang kebenaran, yaitu mengenai Allah yang salah satu nama-
              Nya ialah kebenaran(al-Haqq).
  e. Ilmu kemasyarakatan:
      1) Jurisprudensi
      2) Retorik.

7. Ibnu Khaldun
  Pada kitab yang dibuat oleh Ibnu Khaldun tersebut, banyak uraian yang menjelaskan tentang
  kegiatan-kegiatan perekonomian, yaitu:
  a. Mekanisme Pasar
         Ibnu Khaldun secara khusus memberikan ulasan tentang harga dalam bukunya al-
     Muqaddimah pada suatu bab berjudul ‖Harga-harga di Kota‖. Ia membagi jenis barang
     menjadi dua jenis, yaitu barang kebutuhan pokok dan barang pelengkap.
          Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan populasinya bertambah banyak, maka
     pengadaan barang-barang kebutuhan pokok menjadi prioritas. Jadi suatu harga ditentukan
     oleh jumlah distribusi ataupun penawaran suatu daerah, dikarenakan jumlah penduduk suatu
     kota besar yang padat dan memiliki jumlah persediaan barang pokok yang melebihi
     kebutuhan dan kemudian memiliki tingkat penawaran yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kota kecil yang memiliki jumlah penduduk yang relatif lebih sedikit. Yang kemudian
  akan berdampak pada harga yang relatif lebih murah.
      Begitu sebaliknya, supply bahan pokok suatu kota kecil yang relatif lebih sedikit, dengan
  terbatasnya persediaan maka harga juga akan relatif mahal.
      Sedangkan permintaan pada bahan-bahan pelengkap akan meningkat sejalan dengan
  berkembangnya suatu kota dan berubahnya gaya hidup, dikarenakan segala kebutuhan pokok
  dengan mudah mereka dapati dan seiring dengan bertambahnya kebutuhan lain, maka tingkat
  permintaan pada bahan pelengkap akan naik, walaupun dengan tingkat harga yang relatif
  mahal dan jumlah barang yang relatif sedikit, dikarenakan terdapat banyak jumlah orang
  kaya disana, maka mereka pun sanggup membayar dengan tingkat permintaan yang tinggi
  yang kemudian akan berdampak pada naiknya harga tersebut.
      Istilah dari ekonomi kontemporer terhadap teori pada paragraf sebelumnya ialah,
  terjadinya suatu peningkatan disposible income dari penduduk suatu kota besar. Dengan
  naiknya disposible income tersebut dapat meningkatkan marginal propensity to consume
  terhadap barang-barang mewah dari setiap penduduk kota tersebut.
      Pada bagian lain, Ibnu Khaldun menjelaskan pengaruh naik dan turunnya penawaran
  terhadap harga. Ketika barang-barang yang tersedia sedikit, harga akan naik. Namun, bila
  jarak antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, akan banyak barang yang
  diimpor sehingga ketersediaan barang akan melimpah, dan harga-harga akan turun. Jadi
  kemudahan dalam hal pendistribusian akan berpengaruh pada kestabilan harga.
      Berikut beberapa faktor menurut Ibnu Khaldun yang dijadikan indikator dalam kegiatan
  suatu perekonomian di suatu pasar.
1) Faktor-faktor penentu keseimbangan harga
    a) Kekuatan Permintaan dan Penawaran
    b) Tinggi rendahnya suatu pajak (bea cukai)
    c) Biaya Produksi
    d) Perilaku penimbuan (Monopoli)
2) Faktor-faktor penentu Penawaran
    a) Tingkat Permintaan
    b) Tingkat keuntungan relatif
    c) Tingkat usaha manusia
    d) Besarnya tenaga buruh (tingkat ketrampilan)
    e) Ketenangan dan Keamanan
3) Faktor-faktor penentu Permintaan
    a) Pendapatan
    b) Jumlah penduduk
    c) Kebiasaan masyarakat (adat istiadat)
    d) Tingkat pembangunan
    e) Tingkat kesejahteraan masyarakat

       Dalam hal ini, pengaruh permintaan dan penawaran terhadap penentuan harga tidak
   begitu baik dipahami di dunia barat sampai akhir abad ke-19 dan 20. Para ekonom Inggris
   pra-klasik dan bahkan pendiri aliran klasik, Adam Smith, secara umum hanya menekankan
   pada peranan biaya produksi, khususnya peranan pekerja buruh dalam penentuan harga.
       Istilah permintaan dan penawaran dalam literatur bahasa Inggris pertama kali digunakan
   sekitar tahun 1767, meski demikian pengaruh permintaan dan penawaran dalam penentuan
   harga di pasar baru dikenal pada dekade kedua di abad ke-19. Padahal Ibnu Khaldu telah
   menemukan pengaruh permintaan dan penawaran terhadap penentuan harga. Ia
   mengemukakan bahwa dalam keadaan nilai uang yang tidak berubah, kenaikan atau
   penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan.

b. Keuntungan
       Keuntungan menurut Ibnu Khaldun, adalah nilai yang timbul dari kerja manusia, yang
   diperoleh dari usaha untuk mencapai barang-barang dan perhatian untuk memilikinya. Oleh
   karena itu, kerja manusia merupakan elemen penting dalam proses produksi.
       Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa nilai sesuatu itu terletak pada kerja manusia yang
   dicurahkan kepadanya, atau dengan kata lain subtansi nilai itu adalah kerja, dan segala yang
   terpenting dalam kerja tersebut adalah pencurahan tenaga untuk memproduksi sesuatu yang
   dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Khalifah
Ali ra, ‖Nilai setiap orang terletak pada keahlian yang dimilikinya‖. Pengertian tersebut
   mengartikan bahwasanya derajat seseorang ditentukan oleh ilmu yang dimilikinya.
       Terdapat hubungan timbal balik antara nilai kerja dan hasil kerja produksi, ini berarti bila
   kualitas dan kuantitas nilai kerja menurun, maka nilai produksi pun akan menurun,
   begitupun sebaliknya.
       Dalam konsep keuntungan menurut Ibnu Khaldun, nilai kerja menempati poin sentral
   dalam teori produksi, ia mengharuskan dalam setiap penentuan biaya produksi, biaya tenaga
   kerja harus dimasukkan kedalamnya karena dengan adanya usaha dan kerja, laba dan
   keuntungan akan diperoleh, dan bila tidak ada kerja maka tidak akan ada produksi.

c. Pembagian Kerja
       Ibnu Khaldun berpendapat bahwa apabila pekerjaan dibagi-bagi diantara masyarakat
   berdasarkan spesialisasi, menurutnya akan menghasilkan output yang lebih besar. Konsep
   pembagian kerja Ibnu Khaldun ini berimplikasi pada peningkatan hasil produksi.
       Dan sebagaimana teori division of labor nya Adam Smith (1729-1790), pembagian kerja
   akan mendorong spesialisasi, dimana orang akan memilih mengerjakan yang terbaik sesuai
   dengan bakat dan kemampuannya masing-masing, hal ini akan meningkatkan produktivitas
   tenaga kerja, pada akhirnya akan meningkatkan hasil produksi secara total.[18]

d. Keuangan Publik
      Berkenaan dengan keuangan publik dalam hal ini pajak, yang berfungsi sebagai sumber
   utama pemasukan negara, haruslah dikelola dengan sebaik mungkin, sehingga dapat
   memberikan hasil yang maksimal, yang nantinya dapat digunakan untuk memperbaiki
   kesejahteraan sosial rakyat.
      Dalam hal ini, menurut Ibnu Khaldun, keberadaan departemen perpajakan sangat penting
   bagi kekuasaan raja (pemerintah). Jabatan ini berkaitan dengan operasi pajak dan
   memelihara hak-hak negara dalam masalah pendapatan dan pengeluaran negara.
      Ibnu Khaldun berpendapat dalam hal pajak, haruslah berdasarkan pemerataan,
   kenetralan, kemudahan, dan produktivitas.

e. Standar Kekayaan Negara
       Menurut Ibnu Khaldun, kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di
   negara tersebut, tetapi kekayaan suatu negara ditentukan oleh tingkat produksi domestik dan
   neraca pembayaran yang positif dari negara tersebut.[19] Dengan demikian, negara yang
   makmur adalah negara yang mampu memproduksi lebih banyak dari yang dibutuhkan,
   sehingga kelebihan hasil produksi tersebut diekspor, dan pada akhirnya akan menambah
   kemakmuran di negara tersebut.
       Berikut merupakan konsep ekonomi menurut Ibnu Khaldun sebagai indikator dari
   kekayaan suatu negara,
   1) Tingkat Produk Domestik Bruto
            Bila suatu negara mencetak uang dengan sebanyak-banyaknya, itu bukan
        merupakan refleksi dari pesatnya pertumbuhan sektor produksi (baik barang maupun
        jasa). Maka uang yang melimpah itu tidak ada artinya, yang membuat jumlah uang
        lebih banyak dibanding jumlah ketersediaan barang dan jasa.
   2) Neraca Pembayaran Positif

       Ibnu Khaldun menegaskan bahwa neraca pembayaran yang positif akan meningkatkan
   kekayaan negara tersebut. Neraca pembayaran yang positif menggambarkan dua hal:
   a) Tingkat produksi yang tinggi.
         Jika tingkat produksi suatu negara tinggi dan melebihi dari jumlah permintaan
         domestik negara tersebut, atau supply lebih besar dibanding demand. Maka
         memungkinkan negara tersebut melakukan kegiatan ekspor.
   b) Tingkat efisiensi yang tinggi
         Bila tingkat efisiensi suatu negara lebih tinggi dibanding negara lain, maka dengan
         tingkat efisiensi yang lebih tinggi maka komoditi suatu negara mampu masuk ke
         negara lain dengan harga yang lebih kompetitif.
f. Perdagangan Internasional
       Teori Ibnu Khaldun tentang pembagian kerja (division of labor) merupakan embrio dari
   teori perdagangan internasional yang berkembang pesat pada era merkantilisme di abad ke-
17. Hal itu disadari analisisnya tentang pertukaran atau perdagangan diantara negara-negara
   miskin dan negara kaya yang menimbulkan kecenderungan suatu negara untuk mengimpor
   ataupun menekspor dari negara lain. Bagi penganut paham merkantilisme, sumber kekayaan
   negara adalah dari perdagangan luar negeri, dan uang sebagai hasil surplus perdagangan
   adalah sumber kekuasaan.
       Ibnu Khaldun mengatakan bahwa melalui perdagangan luar negeri, kepuasan
   masyarakat, keuntungan pedagang dan kekayaan negara semuanya meningkat. Dan barang-
   barang dagangan menjadi lebih bernilai ketika para pedagang membawanya dari suatu
   negara ke negara lain. Perdagangan luar negeri ini dapat menyumbang secara positif kepada
   tingkat pendapatan negara lain.
       Perdagangan luar negeri ini dapat menyumbang secara positif kepada tingkat pendapatan
   negara, tingkat pertumbuhan serta tingkat kemakmuran. Jika barang-barang luar negeri
   memiliki kualitas yang lebih baik dari dalam negeri, ini akan memicu impor. Pada saat yang
   sama produsen dalam negeri harus berhadapan dengan produk berkualitas tinggi dan
   kompetitif sehingga mereka harus berusaha untuk meningkatkan produksi mereka.

g. Konsep Uang
       Ibnu Khaldun secara jelas mengemukakan bahwa emas dan perak selain berfungsi
   sebagai uang juga digunakan sebagai medium pertukaran dan alat pengukur nilai sesuatu.
   Juga pula uang itu tidak harus mengandung emas dan perak, hanya saja emas dan perak
   dijadikan standar nilai uang, sementara pemerintah menetapkan harganya secara konsisten.
   Oleh karena itu Ibnu Khaldun menyarankan agar harga emas dan perak itu konstan meskipun
   harga-harga lain berfluktuasi.
       Berdasarkan pendapat Ibnu Khaldun diatas, sebenarnya standar mata uang yang ia
   sarankan masih merupakan standar emas hanya saja standar emas dengan sistem the gold
   bullion standard, yaitu ketika logam emas bukan merupakan alat tukar namun otoritas
   moneter menjadikan logam tersebut sebagai parameter dalam menentukan nilai tukar uang
   yang beredar. Koin emas tidak lagi secara langsung dipakai sebagai mata uang. Dalam
   sistem ini, diperlukan suatu kesetaraan antara uang kertas yang beredar dengan jumlah emas
   yang disimpan sebagai back up. Setiap orang bebas memperjualbelikan emas, tetapi
   pemerintah menetapkan harga emas.
       Mengenai nilai tukar mata uang, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekayaan suatu
   negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang yang beredar di negara tersebut, tetapi oleh
   tingkat produksi dan neraca pembayaran yang positif. Ia menyatakan bahwa nilai uang di
   suatu negara merefleksikan kemampuan produksi dari negara tersebut. sehingga bila
   kemampuan produksinya menurun, maka nilai uangnya akan menurun, dan harga secara
   berkesinambungan akan meningkat, dan pada kondisi ini inflasi terjadi. Karena itu, dalam
   perdagangan internasional, nilai tukar uang antar negara sebenarnya tergantung pada
   kemampuan masing-masing negara memperoleh neraca pembayaran positif.

h. Kesejahteraan Masyarakat
       Kesejahteraan dan pembangunan, menurut Ibnu Khaldu, bergantung pada aktivitas
   ekonomi, jumlah dan pembagian tenaga kerja, luasnya pasar, tunjangan dan fasilitas yang
   disediakan negara, serta peralatan. Pada gilirannya tergantung pada tabungan atau surplus
   yang dihasilkan setelah memenuhi kebutuhan masyarakat. Semakin banyak aktivitas yang
   dilakukan, maka negara akan semakin besar. Pendapatan yang besar akan memberikan
   kontribusi terhadap tingkat tabungan yang lebih tinggi dan investasi yang lebih besar untuk
   peralatan dan dengan demikian akan ada kontribusi yang lebih besar di dalama
   pembangunan dan kesejahteraan.
       Alat untuk mencapai kesejahteraan dan pembangunan yang paling utama menurut Ibnu
   Khaldun adalah masyarakat, pemerintah, dan keadilan. Di masyarakat, solidaritas diperlukan
   untuk meningkatkan kerja sama, sehingga akan meningkatkan produktivitas, solidaritas akan
   menguat jika ada keadilan.
8. Ibnu Thufail
       Beberapa pemikiran/pendapat Ibnu Thufail, yaitu Ada dua jalan untuk mengenal Tuhan,
   yaitu dengan jalan akal atau dengan jalan syariat. Kedua jalan tidaklah bertentangan, karena
   akhir daripada filsafat adalah mengenai Allah (marifatullah).
       Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada manusia
   bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat
   disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya
   tentu akan sampai kepada Tuhan.
   1. Sifat Allah itu pada dua kelompok:
       a. Sifat-sifat yang menetapkan wujud Zat Allah, ilmu, kudrat dan hikmah. Sifat-sifat ini
           adalah Zat-Nya sendiri. Hal ini untuk meniadakan ta’addud al-qudama (berbilangnya
           yang qadim) sebagaimana paham mu‘tazilah.
       b. Sifat salab, yakni sifat-sifat yang menafikan paham kebendaan dari Zat Allah. Dengan
           demikian, Allah suci dari kaitan dengan kebendaan.
   2. Filsafat dan agama tidak bertentangan dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan
       Wahyu. Allah tidak hanya dapat diketahui dengan Wahyu, tetapi juga dapat diketahui
       dengan akal.
       Agama penuh dengan perbandingan, persamaan dan persepsi-persepsi antropomorfosis,
   sehingga cukup mudah dipahami oleh orang banyak. Filsafat merupakan bagian dari kebenaran
   esoteris, yang menafsirkan lambang-lambang agama agar diperoleh pengertian-pengertian yang
   hakiki.
       Walaupun Ibnu Thufail menyadari tingkatan akal manusia itu berbeda-beda Roman Hayy
   Ibn Yaqzhan: “Hayy pun menjadi tahu akan tingkatan-tingkatan manusia. Ia dapati” tiap-tiap
   golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada diri mereka (masing-masing). ―mereka
   menjadikan hawa nafsu mereka sebagai Ilah mereka. Dan mereka sama halnya seperti hewan
   yang tak berpikir. Qadimnya dunia (bumi dan alam semesta alam), hal ini bertolak belakang
   dengan pendapat Al-Ghazali.



9. Ibnu Rusyd
       Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa
   dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal
   yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ‘ibrah darinya, sebagai
   sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan
   seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa
   mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan
   mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-
   ciptaanNya.
       Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar syar‘iy
   maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang
   memadai berkecimpung dalam dunia filsafat , kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan
   diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama dan yang ketiga adalah
   ketiadaan pendamping /guru yang handal yang bisa membimbingnya memmahami dengan benar
   tentang suatu obyek pemikiran tertentu.
       Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah enjadi mul;hid, tidak mempercayai
   eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam
   itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat dalam dirinya
   gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemmapuan manusia dalam manusia dalam
   menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd
   berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:
   a) Lewat metode Khatabi (Retorika)
   b) lewat metode Jadali (dialektika)
   c) Lewat metode Burhani (demonstratif)
       Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil , yaitu
   orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ad
   seorangpun yang berakal sehat kecuali dari elompok manusia dengan kriteria pembuktian
   semacam ini (khatabi).
Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta‘wil
dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik
Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta‘wil yaqini.
Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu
berfikir secara demonstratif.
Konsep Ibn Rusyd Tentang Teori Penciptaan Alam
    Berkaitan dengan penciptaan alam, Rusyd yang menganut teori Kausalitas (hukum sebab-
akibat), berpendapat bahwa memahami alam harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat sampai
kepada hakikat dan eksistensi alam.
    Setidaknya ada tiga dalil untuk menjelaskan teori itu, kata Rusyd, yaitu:
    Pertama, dalil inayah yakni dalil yang mengemukakan bahwa alam dan seluruh kejadian
yang ada di dalamnya, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, semuanya menunjukkan
adanya penciptaan yang teratur dan rapi yang didasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan. Dalil ini
mendorong orang untuk melakukan penyelidikan dan penggalian yang terus menerus sesuai
dengan pandangan akal fikirannya. Dalil ini pula yang akan membawa kepada pengetahuan yang
benar sesuai dengan ketentuan Alquran.
    Kedua, dalil ikhtira' yaitu asumsi yang menunjukkan bahwa penciptaan alam dan makhluk di
dalamnya nampak jelas dalam gejala-gejala yang dimiliki makhluk hidup. Semakin tinggi
tingkatan makhluk hidup itu, kata Rusyd, semakin tinggi pula berbagai macam kegiatan dan
pekerjaannya. Hal ini tidak terjadi secara kebetulan. Sebab, bila terjadi secara kebetulan, tentu
saja tingkatan hidup tidak berbeda-beda. Ini menunjukkan adanya pencipta yang mengatur
kehidupan. Dalil ini sesuai dengan syariat Islam, dimana banyak ayat yang menunjukkan
perintah untuk memikirkan seluruh kejadian alam ini.
    Ketiga, dalil gerak disebut juga dalil penggerak pertama yang diambil dari Aristoteles. Dalil
tersebut mengungkapkan bahwa alam semesta bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, dan
gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan berbenda, yaitu
Tuhan.
    Menurut Rusyd, benda-benda langit beserta gerakannya dijadikan oleh Tuhan dari tiada dan
bukan dalam zaman. Sebab, zaman tidak mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak,
selama zaman itu kita anggap sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya
penggerak pertama atau sesuatu sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi wujud. Rusyd yang
juga dikenal sebagai 'pelanjut' aliran Aristoteles ini, menilai bahwa substansi yang lebih dahulu
itulah yang memberikan wujud kepada substansi yang kemudian tanpa memerlukan kepada
pemberi form (Tuhan) yang ada di luarnya.
    Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah bangkitnya kembali manusia setelah
meninggal. Menurut Rusyd, pembangkitan yang di maksud kaum filsuf adalah pembangkitan
ruhy, bukan jasmani. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Bagi Rusyd, juga
kaum filosof lainnya, yang penting bagi manusia adalah jiwanya. Kebahagiaan dan ketenangan
hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedang bagi Al Ghazali, kebangkitan kembali manusia tak
hanya secara ruh, tapi juga jasmaniyah.
    Rusyd juga mengajari kita bagaimana membangun rules of dialogue, dalam kaitan
memahami 'orang lain' di luar kita. Teorinya ini ia dasarkan pada tiga prinsip epistemologis,
yaitu:
    Pertama, keharusan untuk memahami 'yang lain' dalam sistem referensinya sendiri. Dalam
kasus ini, terlihat dari penerapan metode aksiomatik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu-
ilmu Yunani.
    Kedua, dalam kaitan relasi kita dengan barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan
yang subur antara dua kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd membela
pendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tapi terjadi harmoni
di antara keduanya. Harmoni tidak berarti sama dan identik. Karena itu, hak untuk berbeda harus
dihargai.
    Ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Rusyd menolak cara-cara Al Ghazali menguliti
para filosof tidak dengan tujuan mencari kebenaran. "Tujuan saya," kata Al Ghazali, "adalah
mempertanyakan tesis mereka dan saya berhasil." Ibnu Rusyd menjawab, "Ini tidak sewajarnya
dilakukan oleh orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain adalah mencari kebenaran
dan bukan menyebarkan karaguan."
    Terlepas dari perbedaan itu, betapapun Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan nilai-
nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik di masa
lalu itu pula yang pernah mengantarkan kejayaan Islam di abad pertengahan.

More Related Content

What's hot

What's hot (20)

Filsafat aristoteles
Filsafat aristotelesFilsafat aristoteles
Filsafat aristoteles
 
Aristoteles
AristotelesAristoteles
Aristoteles
 
2 aristoteles
2 aristoteles2 aristoteles
2 aristoteles
 
Present aristoteles
Present aristotelesPresent aristoteles
Present aristoteles
 
Plato
PlatoPlato
Plato
 
Sejarah Filsafat Barat & Sejarah Filsafat Islam, Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Sejarah Filsafat Barat & Sejarah Filsafat Islam, Mata Kuliah Filsafat IlmuSejarah Filsafat Barat & Sejarah Filsafat Islam, Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Sejarah Filsafat Barat & Sejarah Filsafat Islam, Mata Kuliah Filsafat Ilmu
 
Aristoteles
AristotelesAristoteles
Aristoteles
 
SOCRATES
SOCRATESSOCRATES
SOCRATES
 
Makalah filsafat ilmu (aristoteles)
Makalah filsafat ilmu (aristoteles)Makalah filsafat ilmu (aristoteles)
Makalah filsafat ilmu (aristoteles)
 
Filsafat ilmu aristoteles
Filsafat ilmu aristotelesFilsafat ilmu aristoteles
Filsafat ilmu aristoteles
 
Filsafat ilmu
Filsafat ilmuFilsafat ilmu
Filsafat ilmu
 
Tokoh Pembaharu : Plato, Aristoteles, Ptolomeus
Tokoh Pembaharu : Plato, Aristoteles, PtolomeusTokoh Pembaharu : Plato, Aristoteles, Ptolomeus
Tokoh Pembaharu : Plato, Aristoteles, Ptolomeus
 
Pra socrates
Pra socratesPra socrates
Pra socrates
 
fisuf zaman yunani kuno
fisuf zaman yunani kunofisuf zaman yunani kuno
fisuf zaman yunani kuno
 
Tugas filsafat hukum uas
Tugas filsafat hukum uasTugas filsafat hukum uas
Tugas filsafat hukum uas
 
Powerpoint chie noth
Powerpoint chie nothPowerpoint chie noth
Powerpoint chie noth
 
Apa itu ilmu politik (ii)
Apa itu ilmu politik (ii)Apa itu ilmu politik (ii)
Apa itu ilmu politik (ii)
 
Kul fil 01_fpk
Kul fil 01_fpkKul fil 01_fpk
Kul fil 01_fpk
 
Kritisisme dan kehidupan bersama
Kritisisme dan kehidupan bersamaKritisisme dan kehidupan bersama
Kritisisme dan kehidupan bersama
 
Pengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara Filsafat
Pengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara FilsafatPengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara Filsafat
Pengertian Macam-macam Ideologi Dunia Secara Filsafat
 

Viewers also liked

Metode Induksi
Metode InduksiMetode Induksi
Metode InduksiRadyastuti
 
Hubungan teori ibnu sina dengan pendidikan
Hubungan teori ibnu sina dengan pendidikanHubungan teori ibnu sina dengan pendidikan
Hubungan teori ibnu sina dengan pendidikanahmad_aza
 
Persentasi pu kelompok
Persentasi pu kelompokPersentasi pu kelompok
Persentasi pu kelompokdianta physico
 
Ibnu sina (avicena)
Ibnu sina (avicena)Ibnu sina (avicena)
Ibnu sina (avicena)elmakrufi
 
Tokoh Islam : Ibnu Sina
Tokoh Islam : Ibnu SinaTokoh Islam : Ibnu Sina
Tokoh Islam : Ibnu SinaAnnis Najwa
 
Artikel Filsafat Ilmu dan Logika Metode Induksi dan Deduksi
Artikel Filsafat Ilmu dan Logika Metode Induksi dan DeduksiArtikel Filsafat Ilmu dan Logika Metode Induksi dan Deduksi
Artikel Filsafat Ilmu dan Logika Metode Induksi dan DeduksiNasruddin Asnah
 

Viewers also liked (10)

Metode Induksi
Metode InduksiMetode Induksi
Metode Induksi
 
Hubungan teori ibnu sina dengan pendidikan
Hubungan teori ibnu sina dengan pendidikanHubungan teori ibnu sina dengan pendidikan
Hubungan teori ibnu sina dengan pendidikan
 
Ibnu sina
Ibnu sinaIbnu sina
Ibnu sina
 
Persentasi pu kelompok
Persentasi pu kelompokPersentasi pu kelompok
Persentasi pu kelompok
 
Ibnu sina
Ibnu sinaIbnu sina
Ibnu sina
 
Ibnu sina
Ibnu sinaIbnu sina
Ibnu sina
 
Definisi Filsafat Ilmu
Definisi Filsafat IlmuDefinisi Filsafat Ilmu
Definisi Filsafat Ilmu
 
Ibnu sina (avicena)
Ibnu sina (avicena)Ibnu sina (avicena)
Ibnu sina (avicena)
 
Tokoh Islam : Ibnu Sina
Tokoh Islam : Ibnu SinaTokoh Islam : Ibnu Sina
Tokoh Islam : Ibnu Sina
 
Artikel Filsafat Ilmu dan Logika Metode Induksi dan Deduksi
Artikel Filsafat Ilmu dan Logika Metode Induksi dan DeduksiArtikel Filsafat Ilmu dan Logika Metode Induksi dan Deduksi
Artikel Filsafat Ilmu dan Logika Metode Induksi dan Deduksi
 

Similar to Pemikiran pemikiran para tokoh

Makalah pancasila sebagai sistem filsafat
Makalah pancasila sebagai sistem filsafatMakalah pancasila sebagai sistem filsafat
Makalah pancasila sebagai sistem filsafatMujid Rical
 
Pemikiran filosof yunani klasik
Pemikiran filosof yunani klasikPemikiran filosof yunani klasik
Pemikiran filosof yunani klasikTriSatriaAtmaja
 
Pancasila sebagai dasar negara, asas etika politik dan acuan kritik ideologi
Pancasila sebagai dasar negara, asas etika politik dan acuan kritik ideologiPancasila sebagai dasar negara, asas etika politik dan acuan kritik ideologi
Pancasila sebagai dasar negara, asas etika politik dan acuan kritik ideologiswirawan
 
Manusia dan peradaban
Manusia dan peradabanManusia dan peradaban
Manusia dan peradabanastro-z
 
Ppt pancasila
Ppt pancasilaPpt pancasila
Ppt pancasilaUNIMUS
 
makalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdf
makalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdfmakalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdf
makalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdfBudiarto39
 
1B_YUNANI KUNO.pdf
1B_YUNANI KUNO.pdf1B_YUNANI KUNO.pdf
1B_YUNANI KUNO.pdfAkuSiapa71
 
Materi 9-10. .Pancasila Sebagai Sistem Filsafat.ppt
Materi 9-10. .Pancasila Sebagai Sistem Filsafat.pptMateri 9-10. .Pancasila Sebagai Sistem Filsafat.ppt
Materi 9-10. .Pancasila Sebagai Sistem Filsafat.pptRasyAlam
 
Perbandingan idea moraliti di antara aristotle dan nietzsche
Perbandingan idea moraliti di antara aristotle dan nietzschePerbandingan idea moraliti di antara aristotle dan nietzsche
Perbandingan idea moraliti di antara aristotle dan nietzscheKatherin Suda Masthy Tom
 
Pancasila dalam gaya hidup remaja ppt
Pancasila dalam gaya hidup remaja pptPancasila dalam gaya hidup remaja ppt
Pancasila dalam gaya hidup remaja pptEkaRadianti
 
Filsafat Umum- PPT 10 Filsum Kel 10.pptx
Filsafat Umum- PPT 10 Filsum Kel 10.pptxFilsafat Umum- PPT 10 Filsum Kel 10.pptx
Filsafat Umum- PPT 10 Filsum Kel 10.pptxVina764744
 
Filsafat Umum-Salinan PPT 10 Filsum Kel 10.pptx
Filsafat Umum-Salinan PPT 10 Filsum Kel 10.pptxFilsafat Umum-Salinan PPT 10 Filsum Kel 10.pptx
Filsafat Umum-Salinan PPT 10 Filsum Kel 10.pptxVina764744
 
Filsafat Umum 2023-Mata Kuliah-Plato.pptx
Filsafat Umum 2023-Mata Kuliah-Plato.pptxFilsafat Umum 2023-Mata Kuliah-Plato.pptx
Filsafat Umum 2023-Mata Kuliah-Plato.pptxVina764744
 
Pengertian dan tujuan pendidikan kewarganegaraan
Pengertian dan tujuan pendidikan kewarganegaraanPengertian dan tujuan pendidikan kewarganegaraan
Pengertian dan tujuan pendidikan kewarganegaraanAdy Purnomo
 

Similar to Pemikiran pemikiran para tokoh (20)

Makalah pancasila sebagai sistem filsafat
Makalah pancasila sebagai sistem filsafatMakalah pancasila sebagai sistem filsafat
Makalah pancasila sebagai sistem filsafat
 
Pemikiran filosof yunani klasik
Pemikiran filosof yunani klasikPemikiran filosof yunani klasik
Pemikiran filosof yunani klasik
 
Filsafat Pancasila
Filsafat PancasilaFilsafat Pancasila
Filsafat Pancasila
 
Bahan perkuliahan ke 3
Bahan perkuliahan ke 3Bahan perkuliahan ke 3
Bahan perkuliahan ke 3
 
Pancasila sebagai dasar negara, asas etika politik dan acuan kritik ideologi
Pancasila sebagai dasar negara, asas etika politik dan acuan kritik ideologiPancasila sebagai dasar negara, asas etika politik dan acuan kritik ideologi
Pancasila sebagai dasar negara, asas etika politik dan acuan kritik ideologi
 
1.manusia, masyarakat dan budaya
1.manusia,  masyarakat dan budaya1.manusia,  masyarakat dan budaya
1.manusia, masyarakat dan budaya
 
Manusia dan peradaban
Manusia dan peradabanManusia dan peradaban
Manusia dan peradaban
 
Ppt pancasila
Ppt pancasilaPpt pancasila
Ppt pancasila
 
makalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdf
makalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdfmakalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdf
makalah hakikat manusia dan pengetahuan.pdf
 
Pendidikan pancasila
Pendidikan pancasilaPendidikan pancasila
Pendidikan pancasila
 
1B_YUNANI KUNO.pdf
1B_YUNANI KUNO.pdf1B_YUNANI KUNO.pdf
1B_YUNANI KUNO.pdf
 
Tugas ideologi
Tugas ideologiTugas ideologi
Tugas ideologi
 
Materi 9-10. .Pancasila Sebagai Sistem Filsafat.ppt
Materi 9-10. .Pancasila Sebagai Sistem Filsafat.pptMateri 9-10. .Pancasila Sebagai Sistem Filsafat.ppt
Materi 9-10. .Pancasila Sebagai Sistem Filsafat.ppt
 
Perbandingan idea moraliti di antara aristotle dan nietzsche
Perbandingan idea moraliti di antara aristotle dan nietzschePerbandingan idea moraliti di antara aristotle dan nietzsche
Perbandingan idea moraliti di antara aristotle dan nietzsche
 
Pancasila dalam gaya hidup remaja ppt
Pancasila dalam gaya hidup remaja pptPancasila dalam gaya hidup remaja ppt
Pancasila dalam gaya hidup remaja ppt
 
Filsafat Pancasila
Filsafat PancasilaFilsafat Pancasila
Filsafat Pancasila
 
Filsafat Umum- PPT 10 Filsum Kel 10.pptx
Filsafat Umum- PPT 10 Filsum Kel 10.pptxFilsafat Umum- PPT 10 Filsum Kel 10.pptx
Filsafat Umum- PPT 10 Filsum Kel 10.pptx
 
Filsafat Umum-Salinan PPT 10 Filsum Kel 10.pptx
Filsafat Umum-Salinan PPT 10 Filsum Kel 10.pptxFilsafat Umum-Salinan PPT 10 Filsum Kel 10.pptx
Filsafat Umum-Salinan PPT 10 Filsum Kel 10.pptx
 
Filsafat Umum 2023-Mata Kuliah-Plato.pptx
Filsafat Umum 2023-Mata Kuliah-Plato.pptxFilsafat Umum 2023-Mata Kuliah-Plato.pptx
Filsafat Umum 2023-Mata Kuliah-Plato.pptx
 
Pengertian dan tujuan pendidikan kewarganegaraan
Pengertian dan tujuan pendidikan kewarganegaraanPengertian dan tujuan pendidikan kewarganegaraan
Pengertian dan tujuan pendidikan kewarganegaraan
 

Pemikiran pemikiran para tokoh

  • 1. PEMIKIRAN-PEMIKIRAN PARA TOKOH 1. Pemikiran Ibnu Sina Abu Ali Al-Husein Ibn Abdullah Ibn Sina lahir di Bukhara tahun 370 h/980 m. Ia dianggap seorang yang cerdas, karena dalam usia yang sangat muda (17 Tahun) Ibnu Sina telah di kenal sebagai filosof dan dokter terkemuka di Bukhara selain itu Ibnu Sina juga dikenal sebagai tokoh yang luar biasa. Kecuali seorang ilmuwan ia juga dapat melakukan berbagai macam pekerjaan dengan baik seperti dalam bidang kedokteran, pendidikan, penasehat politik, pengarang dan bahkan menjadi waziar (mentri). Sebagai ilmuwan Ibnu Sina telah berhasil menyumbangkan buah pemikirannya dalam buku karangannya yang berjumlah 276 buah. Diantara karya besarnya adalah Al-Syifa berupa ensiklopedi tentang fisika, matematika dan logika. Kemudian Al-Qanur Al-Tabibb adalah sebuah ensiklopedi kedokteran. Pemikiran Ibnu Sina yang banyak keterkaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang filsafah ilmu. Menurut Ibnu Sina ilmu terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Ilmu yang tak kekal 2. Ilmu yang kekal (hikmah). Ilmu yang kekal dipandang dari peranannya sebagai alat disebut logika. Berdasarkan tujuannya maka ilmu dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Ilmu praktis seperti ilmu kealaman, matematika, ilmu ketuhanan dan ilmu kulli. 2. Ilmu praktis adalah ilmu akhlak, ilmu kepengurusan, rumah ilmu, pengurusan kota dan ilmu nabi (syariah). Menurut Ibnu Sina pendidikan yang diberikanoleh nabi pada hakikatnya adalah pendidikan kemanusiaan. Bahwa pemikiran pendidikan Ibnu Sina bersifat komprehensif. Menurut Ibnu Sina tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa‘adat) kebahagian dicapai secara bertingkat, sesuai dengan tingkat pendidikan yang dikemukakannya, yaitu kebahagiaan pribadi, kebahagiaan rumah tangga, kebahagiaan masyarakat, kebahagian manusia secara menyeluruh dan kebahagian akhir adalah kebahagian manusia di hari akhirat. Kebahagian manusia secara menyeluruh menurut Ibnu Sina hanya akan mungkin dicapai melalui risalah kenabian. Jadi para nabilah yang membawa manusia mencapai kebahagian secara menyeluruh. Dalam pemikiran pendidikannya Ibnu Sina telah menguraikan tentang psikologi pendidikan, terlihat dari uraian-uraiannya mengenai hubungan anak dengan tingkatan usia, kemauan dan bakat anak. Dengan mengetahui latar belakang tingkat perkembangannya, bakat dan kemauan anak maka bimbingan yang di berikan kepada anak akan lebih berhasil. Menurut Ibnu Sina kecendrungan manusia untuk memilih pekerjaan yang berbeda dikarenakan didalam diri manusia terdapat faktor yang tersembunyi yang sukar dipahami / dimengerti dan sulit untuk di ukur kadarnya. Pemikiran pendidikan Ibnu Sina tampaknya telah membuka selubung keagungan tokoh ini. Di dunia barat sendiri pemikiran pendidikan anak baru dilakukan menjelang abad ke-18. Dietrich Tiediman (1787) merupakan orang pertama kali di dunia barat yang menyusun psikologi anak-anak. Kemudian disusul oleh buku Die Seele Des Kindes karangan Wilhelm Preyer (1882) barulah para ahli pendidikan di barat mempelajari anak-anak melalui kajian ilmiah. Ahli-ahli pendidikan islam terutama Ibnu Sina dan Al-Ghazali ternyata telah mengemukakan pemikiran tentang psikologi perkembangan.
  • 2. 2. Plato Socrates adalah sangat besar berpengaruh terhadap pemikiran Plato, ia adalah murid setia Socrates yang banyak mewarisi tradisi keilmuan dan filsafat gurunya, malalui Plato pemikiran- pemikiran Socrates dilestarikan, Socrates mempunyai kelemahan karena buah atau hasil dari pemikirannya tidak ditulis dalam bentuk tulisan oleh Plato, adalah kemudian Plato berinisiatif menulis semua pemikiran-pemikiran gurunya, melalui karya Plato yang fenomenal diantarannya; dialog, republic, negara dan apologia. Nilai-nilai atau pandangan Plato pada dasarnya adalah pandangan tentang kebajikan sebagai dasar negara ideal, ajaran Socrates kebajikan pengetahuan adalah diterima secara taken for granted, jadi penulis melihat bahwa pemikiran Plato nilai- nilai orisionalitasnya dipertannyakan, penulis berani mengatakan bahwa pemikiran Plato tidak ada, tapi yang ada adalah kelanjutan pemikiran Socrates saja yang ditulis dan dilanjutkan oleh Plato, artinya Plato hanya melanjutkan pemikiran Socrates yang kemudian dikembangkannya yang tidak terlalu mendalam, jadi menurut penulis kita tidak boleh terlalu mengagung-agungkan pemikiran Plato itu sendiri. Menurut Plato negara ideal menganut prinsip yang mementingkan kebajikan. Kebajikan menurut Plato adalah pengetahuan. Apapun yang dilakukan atas nama Negara harus dengan tujuan untuk mencapai kebajikan, atas dasar itulah kemudian Plato memandang perlunya kehidupan bernegara. Tidak ada cara lain menurut Plato untuk membanguan pengetahuan kecuali dengan lembaga-lembaga pendidikan, inilah yang kemudian memotivasi Plato untuk mendirikan sekolah dan akademi pengetahuan. Plato menilai negara yang mengabaikan prinsip kebajikan jauh dari negara yang di dambakan oleh manusia, sehinga negara yang ideal menurut Plato adalah negara negara yang menjunjung kebajikan. Plato mengambarkan seorang filsuf adalah dokter, filsuf meski mengetahui penyakit-penyakit yang dialami oleh masyarakat, mampu mendiagnosa dan mendeteksi sejak dini. Plato beranggapan munculnya negara adalah akibat hubungan timbal balik dan rasa saling membutuhkan antar sesama manusia. Plato berangapan munculnya negara karena adanya hubungan timbal balik dan rasa saling membutuhkan antara sesama manusia, manusia juga dianugerahi bakat dan kemampuan yang tidak sama, pembagian kerja-kerja sosial muncul akibat adanya perbedaan alami, masing-masing memiliki bakat alamiah yang berbeda, perbedaan bakat dan kemampuan justru baik bagi kehidupan masyarakat, karena menciptakan saling ketergantungan, setiap manusia tentu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara subsistensi, yang untuk memenuhi kebutuhan tersebut membutuhkan orang lain, negara dalam hal ini berkewajiban memperhatikan pertukaran timbal balik, dan berusaha agar kebutuhan masyarakat terpenuhi. Negara ideal menurut Plato juga didasarkan pada prinsip-prinsip larangan atas kepemilikan pribadi, baik dalam bentuk uang atau harta, keluarga, anak dan istri inilah yang disebut nihilism. Dengan adanya hak atas kepemilikan menurut filsuf ini akan tercipta kecemburuan dan kesenjangan sosial yang menyebabkan semua orang untuk menumpuk kekayaannya , yang mengakibatkan kompetisi yang tidak sehat. Anak yang baru lahir tidak boleh dikasuh oleh ibu yang melahirkan tapi itu dipelihara oleh Negara, sehinga seorang anak tidak tahu ibu dan bapaknya, diharapkan akan menjadi manusia yang unggul, yang tidak terikat oleh ikatan keluarga dan hanya memiliki loyalitas mati terhadap negara. Plato juga tidak memperkenankan lembaga perkawinan, tak seorang pun yang dapat mengklaim istri mereka, istri hanya bisa menjadi hak kolektif, hubungan seks yang dilakukan tidak boleh monogam melainkan poligami, Plato melihat lembaga perkawinan membuat ketidaksamaan antara laki-laki dan perempuan, yang lembaga perkawinan telah mengekang bakat alami manusia dan membuat diskriminasi. Pemikiran Plato yang anti individualism yang telah merusak kehidupan sosial masyarakat Athena, manusia menjadi individualism hanya mementingkan kebutuhan diri mereka sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain. Padahal kehidupan bernegara menekankan petingnya saling ketergantungan sesama warga negara. Ada tuduhan yang mengatakan bahwa Plato adalah anti demokrasi, adalah argumentasi ini membenarkan tuduhan itu. Mengapa Plato menjadi anti demokrasi, pemikiran Plato tidak terlepas dalam konteks sosio-hostoris kehancuran Athena. Kehancuran Athena menurut Plato bukan hanya karena kekalahan Athena dalam perang peloponesos. Kemenanagan Sparta atas Athena menunjukkan prinsip-prinsip dari kenegaraan bersifat Aristokrat militeristik yang ternyata lebih unggul dibandingakan dengan struktur kenegaraan Athena yang demokratis. Inilah yang melahirkan karya-karya Plato dalam judul republik. Dalam buku ini Plato secara tegas
  • 3. menunjukkan simpati dan kekagumannya kepada sistem kenegaraan otoriter Sparta dan antipatinya kepada demokrasi. Plato menuduh kehancuran Athena disebabkan akibat demokrasi yang lemah dan disintegrasi serta tidak stabil. Di Negara demokrasi setiap orang berhak dan memiliki kebebasan dalam melakukan apa yang dikehendakinya, tanpa ada kontrol yang ketat dari negara, karena adanya kebebasan setiap orang berhak dalam mengkritik orang lain, terlepas apakah yang di kritik tersebut rakyat atau negara. Bila kekuatan saling mengkritik tanpa adanya control pemerintah, maka akan menimbulkan kekacauan sosial. Etika Plato Apakah tujuan hidup manusia? Bagi Plato adalah kehidupan yang senang dan bahagia, manusia harus mengupayakan kesenangan dan kebahagian itu, menurut plato kesenangan itu tidak hanya kepuasan hawa nafsu selama hidup di dunia, Plato sepakat dengan kesenangan dua dunia itu. Dunia ide semua ide dengan ide yang baik atau kebaikan dengan kebajikan sebagai ide yang tertinggi di dunia, ide adalah realitas yang sesunguhnya, sementara segala sesuatu yang ada di indrawi merupakan realitas bayangan . Hanya orang yang baik dan bijaksana yang akan dapat memahami segala sesuatu yang beraneka ragam yang berubah-ubah yang ada di dunia indrawi. Dengan demikian jelas bahwa etika Plato adalah etika yang berdasarkan dengan ilmu pengetahuan yang benar itu, sementara pengetahuan hanya dapat diperoleh diraih, dimiliki lewat akal budi, maka itulah kenapa etika Plato disebut dengan etika rasional. 3. Aristoteles Aristoteles adalah murid Plato di akademi, dikenal sebagai pemikir emperis-realis berbeda dengan Plato yang berfikir utopis dan idealis. Bisa jadi pemikiran Aristoteles adalah bentuk protes terhadap pemikiran dan gagasan Plato. Negara menurut Aristoteles diibaratkan dengan tubuh manusia, negara lahir dalam bentuk yang sederhana kemudian berkembang menjadi kuat dan sederhana, setelah itu hancur dan tenggelam dalam sejarah. Negara terbentuk karena manusia yang membutuhkan Negara, manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain, hubungan saling ketergantungan antara individu dengan masyarakat. Negara ideal menurut Plato adalah city state, negara yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu kecil, negara luas akan sulit untuk menjaganya, sementara negara yang terlalu kecil akan sulit untuk dipertahankan karena mudah dikuasai. Menurut Aristoteles, negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat, bukan berarti lembaga ini tidak memiliki batasan kekuasaan. Tujuan terbentuknya negara adalah untuk kesejahteraan seluruh penduduk atau rakyat bukan kesejahteraan individu. Negara yang baik menurut Plato adalah negara yang dapat mencapai tujuan-tujuan negara. Sementara negara yang tidak dapat melaksanakan tujuan-tujua tersebut maka adalah negara gagal. Idealnya menurut Aristoteles monarki sebagai negara ideal, karena ia diperintah oleh seoarang filsuf, arif dan bijaksana. Kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi Aristoteles menyadari sistem monarki nyaris tak mungkin ada dalam realitas, ia hanya gagasan yang lahir bersifat normative yang sangat sukar diwujudkan dalam dunia emperis. Oleh karena itu demokrasi menurut Aristoteles dari tiga bentuk negara itu yang bisa diwujudkan dalam kenyataan. Berbeda dengan Plato tidak bersifat realistik ketimbang Aristoteles . Berbeda dengan Plato mengenai hak milik, Aristoteles membenarkan adanya hak milik individu, hak milik penting untuk memberikan tanggung jawab bagi seseorang untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan sosial. Karya terbesar filsafat yang dihasilkan oleh Aristoteles adalah logika, sehingga banyak orang mengatakan dia sebagai penemu, atau bapak logika, sebebarnya istilah logika tidak pernah dipergunakan oleh Aristoteles, tapi juga kita mengenal ini dengan dealetika, inti dari logika adalah cara untuk menarik prosisi demi mencari kebenaran, juga sebagai sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Pengaruh Aristoteles terhadap cara berpikir Barat di belakang harisungguh mendalam. Di zaman dulu dan zaman pertengahan, hasil karyanyaditerjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Latin, Arab, Itali, Perancis,Ibrani, Jerman dan Inggris. Penulis-penulis Yunani yang munculkemudian, begitu pula filosof-filosof Byzantium mempelajari karyanyadan menaruh kekaguman yang sangat. Perlu juga dicatat, buahpikirannya banyak membawa pengaruh pada filosof Islam dan berabad-abad lamanya tulisan-tulisannya mendominir cara berpikir Barat. Ibnu Rusyd (Averroes), mungkin filosof Arab yang paling terkemuka, mencoba merumuskan suatu
  • 4. perpaduan antara Teologi Islam dengan rasionalisme Aristoteles. Maimomides, pemikir paling terkemuka Yahudi abad tengah berhasil mencapai sintesa dengan Yudaisme. Tetapi, hasil kerja paling gemilang dari perbuatan macam itu adalah Summa Theologia- nya cendikiawan Nasrani St. Thomas Aquinas. Di luar daftar ini masih sangat banyak kaum cerdik pandai abad tengah yang terpengaruh demikian dalamnya oleh pikiran Aristoteles. Kekaguman orang kepada Aristoteles menjadi begitu melonjak di akhir abad tengah tatkala keadaan sudah mengarah pada penyembahan berhala. Dalam keadaan itu tulisan-tulisan Aristoteles lebih merupakan semacam bungkus intelek yang jitu tempat mempertanyakan problem lebih lanjut daripada semacam lampu penerang jalan. Aristoteles yang gemar meneliti dan memikirkan ihwal dirinya tak salah lagi kurang sepakat dengan sanjungan membabi buta dari generasi berikutnya terhadap tulisan-tulisannya. Beberapa ide Aristoteles kelihatan reaksioner diukur dengan kacamata sekarang. Misalnya, dia mendukung perbudakan karena dianggapnya sejalan dengan garis hukum alam. Dia percaya kerendahan martabat wanita ketimbang laki-laki. Kedua ide ini-tentu saja-mencerminkan pandangan yang berlaku pada zaman itu. Tetapi, tak kurang pula banyaknya buah pikiran Aristoteles yang mencengangkan modernnya, misalnya kalimatnya, ―Kemiskinan adalah bapaknya revolusi dan kejahatan,‖ dan kalimat ―Barangsiapa yang sudah merenungi dalam-dalam seni memerintah manusia pasti yakin bahwa nasib sesuatu emperium tergantung pada pendidikan anak-anak mudanya.‖ (Tentu saja, waktu itu belum ada sekolah seperti yang kita kenal sekarang). 4. Al Kindi Menurut al-Kindī filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth). Konsepsi filsafat al-Kindī secara umum memusatkan pada penjelasan tentang metafisika dan studi tentang kebenaran. Pencapaian kebenaran menurut al-Kindī adalah dengan filsafat. Oleh sebab itu, ilmu filsafat menurut al-Kindī adalah ilmu yang paling mulya. Ia mengatakan:‖Sesunggunghnya ilmu manusia yang derajatnya paling mulya adalah ilmu filosof. Dengan ilmu ini hakikat ilmu didefinisikan, dan tujuan filosof memperlajari filsafat adalah mengetahui Al-Haq (Allah)‖. Sedangkan ilmu filsafat yang paling mulya dan paling tinggi derajatnya adalah Filsafat yang Pertama (Falsafah al-‗Ūlā). Yakni ilmu tentang al-Haq al- Ūlā yang menjadi Sebab segala sesuatu (‗illah kulli syai‘) yang tidak lain adalah Tuhan Allah SWT. Pada asas pokok filsafatnya ini, al-Kindī mempertemukan dengan agama. Dalam arti, bahwa tujuan filsafatnya dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya adalah ilmu dalam rangka mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar keduanya dapat dilihat dari penjelasan al-Kindī, bahwa dasar antar filsafat dan agama memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut terdapat dalam empat hal; pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian, ketiga, menurut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama dan keempat, teologi adalah bagian dari filsafat dan umat Islam wajib belajar teologi juga filsafat. Bagi al-Kindī, filsafat Islam didasarkan kepada al-Qur‘ān. Al-Qur‘ān memberikan pemecahan-pemecahan atas masalah yang hakiki, misalnya tentang teori penciptaan, hari kebangkitan, kiamat dsb. Hal tersebut menurut al-Kindī sangat meyakinkan, jelas dan menyeluruh, sehingga al-Qur‘ān telah mengungguli dalih-dalih para filsuf. Dengan pemikirannya tersebut, ilmu filsafat oleh al-Kindī ditempatkan sebagai bagian dari budaya Islam. Meskipun dalam beberapa teoritik, ia mengadopasi dari Aristoteles Neo-Platonis, akan tetapi gagasan-gagasannya dari mengintegrasikan filsafat dan agama itu menghasilkan gagasan baru. Tampak sekali, ia berusahan mendamaikan antara warisan Yunani yang tidak bertentangan dengan syari‘at dengan agama Islam, dengan asas-asas yang berdasarkan metafisik, bukan fisik belaka. Ia menggunakan istilah-istilah filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dia dikenal orang yang pertama menyususn kosa kata Arab untuk istilah-istilah filsafat dan menetapkan definisi berbagai kategori. Untuk tujuan ini dia menulis sebuah buku Risālah fī Hudūd al-Asyyā wa Rusūmihā. Karena asas yang dibangun di atasnya adalah agama, maka ia menyatakan bahwa filsafat mengikuti jalur ahli logika dan memandang bahwa agama sebagai sebuah ilmu rabbāniyah dan memposisikannya di atas filafat. Ilmu ini diambil melalui jalur para Nabi. Melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat. Pencapaian kebenaran agama, disamping dengan wahyu, sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan juga mempergunakan akal. Sedangakan falsafah juga mempergunakan akal, bahkan falsafah al-Kindī juga mendasarkan pada wahyu, hal
  • 5. itu dibuktikan dalam beberapa konsep dan teorinya secara diametral bersebarangan dengan konsepsi Aristoteles maupun Plato, seperti konsep keesaan Tuhan, alam, dan penciptaan dari ketiadaan. Jika konsep kunci (konsep Tuhan) berseberangan dengan filsafat Aristoteles, berarti pandangan hidup (worldview) – nya juga berbeda. Sebab, sebuah teori atau konsep lahir dari worldview seseorang dan akan menjadi perbeda teori tersebut jika pandangannya tentang Tuhan berbeda. Thomas F Wall mengatakan, percaya pada Tuhan berimplikasi pada kepercayaan bahwa sumber pengetahuan dan moralitas adalah Tuhan dan sebaliknya tidak percaya pada Tuhan akan menghasilkan kepercayaan bahwa sumber pengetahuan adalah subyektifitas manusia. Dalam konteks epistemologi Islam, Tuhan adalah tema sentral. Ia adalah sumber kebenaran yang utama yang mutlak. Maka, filsafat al-Kindī bisa dikatakan telah memasuki konteks ini. Sebab, ia memberi penekanan pada konsep keilahian. Ia mengatakan filsafat yang pertama (al- Falsafah al-Ūlā) adalah pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan penyebab dari semua kebenaran. Sang Penyebab semua sebab itulah adalah Tuhan. Dengan demikian, filsafat al-Kindī adalah membahas soal Tuhan dan agama menjadi dasar filsafatnya. Dengan demikian kerja filsafat yang dilakukan al-Kindī adalah mengharmonisasi antara fislafat dan agama, bahwa antar keduanya tidak ada perbedaan yang kontras. Ia mengatakan ―Falsafah yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafah utama, yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar‖. Hal ini yang membedakan dengan orientasi filafat Aristotele, bahwa filsafat adalah ilmu tentang wujud karena yang wujud memiliki kebenaran. Berarti, orienatasi filsafat al-Kindī adalah metafisik sedangan Aristotele adalah dibangun di atas teori fisika. Pemikiran al-Kindī Tentang Konsep Tuhan Tuhan menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Pembahasan utama filasfatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya, adalah menyelidiki kebenaran, maka filafat pertamanya adalah pengetahuan tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal), Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan demikian corak filsafat al-Kindī adalah teistik, semua kajian tentang teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik. Untuk itu, sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia membahas filsafat metafisika, dan konsep Tuhan. Argumentasi kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran al-Kindī dalam menjelaskan ketuhanan. Bagi al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak. Alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini. Pertama-tama al-Kindī menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan juz‘iyyāt (particular). Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyāt yang jumlahnya tak terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat dalam partikular itu, yakni kulliyāt (universal). Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz‘i yang disebut al-aniyah dan hakikat kulli yang disebut māhiyah yakni hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies. Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah, karena Ia bukan termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Tuhan juga tidak mempunyai bentuk mahiyah karena Tuhan tidak termasuk genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang srupa dengan Tuhan. Ia Dzat yang unik, yang lain bisa mengandung arti banyak. Al-Kindī berpendapat bahwa setiap jenis predikat menunjukkan kesatuan dan keanekaragaman. Misalnya hewan, adalah salah satu genus, tetapi terdiri dari sebuah keragaman spesies. Manusia adalah satu spesies tetapi terdiri dari banyak individu dan manusia yang tunggal adalah salah satu individu dari individu-individu yang lain terdiri dari banyak bagian
  • 6. tubuh. Selanjutnya, ia beragurmen, keragaman itu memiliki hubungan produk integral. Satu bagian, bukanlah disebabkan oleh stipan serangkaian bagian yang lain. Berarti, harus ada penyebab luar untuk semua keanekaragaman yang integral tersebut, penyebab itu satu, eksklusif dan sepenuhnya bebas dari keragaman yang multi genus. Yang Satu itulah Yang Benar, yang tidak lain adalah Tuhan. Wujud Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud, eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi, sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang dinamakan wahyu. Al-Kindī, secara jelas meyakini bahwa rasio manusi memiliki sisi kelemahan. Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak bisa ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan akal maka, manusia perlu dibimbing oleh wahyu. Hanya saja, dalam aspek penjelasan sifat-sifat Tuhan, al-Kindī masih terpengaruh oleh Mu‘tazilah dan Aristoteles. Hal itu misalnya, dilihat dari penjelasannya bahwa sifat-sifat Tuhan diungkapkan dengan bentuk kalimat negatif, yaitu dengan ungkapan ―tidak‖ atau ―bukan‖. Bawa Tuhan itu tidak seperti manusia. Tidak seperti Aristoteles, al-Kindī mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta, bukan penggerak Pertama. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Tuhan adalah Penyebab dari segala sebab. Setelah melakukan sebab itu, Tuhan tetap melakukan sesuatu (‗Illah al-Fā‘ilah). Disini Tuhan tidak diposisikan seperti konsep Aristoteles, yang mengatakan Tuhan tidak bergerak, sehingga ia tidak melakukan sesuatu apapun setelah emanasi. Sehingga Tuhan dalam pemahaman Aristoteles tidak memahami yang partikular. Berbeda dengan al-Kindī, menurutnya Tuhan tetap melakukan sesuatu. Al-Kindī menyebut, Tuhan yang seperti ini dinamakan agen yang benar. Dia menjadi penyebab dan bertindak aktif. Tuhan adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan yang lain adalah pelaku yang metaforis (agen kiasan). Karena, keduanya bertindak dan ditindaklanjuti. Berkaitan dengan teori penciptakan, al-Kindī memiliki keunikan tersendiri. Ia membagi alam menjadi dua, alam atas dan alam bahwah. Secara general, wujud alam tersebut disebabkan oleh Penyebab Pertama, yaitu Tuhan. Proses keberadaan antara wujud alam atas dan alam bawah ini berbeda Alam atas yang terdiri dari wujud spiritual, seperti akal, jiwa dan ruh. Sedangkan alam bahwah adalah teridiri dari wujud badaniyah manusia, materi bentuk alam dunia dan lain sebagainya. Alam atas sebagai wujud spiritual keberadaanya tidak melaui prosep penciptaan (creation/khalq), akan tetapi ia ada melalui emanasi. Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui proses penciptaan. Namun, analisis secara umum al-Kindī tetap dikatakan bahwa Tuhan baginya adalah pencipta bukan penggerak pertama. Konsep Tuhan sebagai penggerak pertama adalah konsep Aristoteles. Di sini ia berseberangan dengan Aristoteles. Maka, bagi al-Kindī alam dunia mempunyai permulaan, ia diciptakan dari ketiadaan. Alam menurut al-Kindī tidak qadīm. Sedangkan menurut Aristoteles alam adalah qadīm. Yang beremanasi dari sebab pertama adalah alam, dalam arti alam atas tadi. Alam atas, pada mulanya beremanasi dari Sebab Pertama, bergantung dan berkaitan dengan al-Haq. Tetapi terpisah dari-Nya, karena alam terbatas dalam ruang dan waktu. Berarti, akal atau jiwa setelah terpisah, benar-benar substansi, essensinya berbeda dengan Tuhan. Setelah beremanasi, wujud intelek dan jiwa tadi memiliki genus, spesises, diferensia, sifat dan aksiden. Maka setiap benda terdiri atas materi dan bentuk, terbatas raung dan bergerak dalam waktu. Ia dzat yang terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tidak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal. Sedang alam dalam konsep Aristoteles, terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh waktu. Sebab gerak alam seabadi dengan Sang Penggerak Tak Tergerakkan (Unmomed Mover). Tuhan bagi Aristoteles adalah Penggerak, akan tetapi Tak Tergerakkan, sebab baginya, jika Tuhan bergerak, maka ia akan berbilang, karena setiap gerak akan melahirkan sifat baru. Terbilangnya sifat menjadikan terbilangnya dzat. Teori keabadian alam al-Kindī juga berbeda dengan filosof muslim paripatetik setelahnya. Keabadian alam ditolak oleh al-Kindī, karena alam ini diciptakan. Mengenai hal ini, ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik. Benda-benda fisik teridiri atas materi dan bentuk, dan bergerak di dalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang dan waktu merupakan unsur dari setiap fisik. Wujud, yang berkait erat dengan fisik, waktu dan ruang adalah terbatas, karena mereka takkan ada, kecuali dalam keterbatasan.
  • 7. Waktu bukanlah gerak, melainkan bilangan pengukur gerak karena waktu tidak lain adalah yang dahulu dan yang kemudian. Bilangan ada dua macam, yaitu tersendiri dan berkesinambungan. Waktu bukanlah bilangan tersendiri, tetapi berkesinambungan. Oleh sebab itu, waktu dapat ditentukan, yang berporoses dari dulu hingga kelak. Dengan kata lain, waktu merupakan jumlah yang dahulu dan yang berikutnya, yang berkesinambungan. Waktu adalah bagian dari pengetahuan tentang kuantitas. Ruang, gerak dan waktu adalah kuantitas. 5. Rene Descrates Awalnya Descartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Aliran yang mengaku merujuk pada pemikiran Aristotelian ini mengandaikan segala sesuatu dipengaruhi ketakhayulan dan cenderung spekulatif. Jelas klaim ini amat bertolak belakang dengan pemikiran Aristoteles. Pasalnya, filsafat Aristoteles bertolak dari prinsip pertama ‖substansi konkret‖—sebuah prinsip fundamental yang abadi bertentangan dengan prinsip filsafat "ide" Plato. Descartes juga diresahkan oleh kepercayaan yang kuat kalangan gereja mengenai doktrin Anselmus bahwa dasar filasafat hanyalah iman, credo ut intelligam. Kecemasan-kecemasan ini memantik Descartes untuk berikhtiar menemukan basis ‖kebenaran‖ yang rasional dan sistematis, tidak spekulatif, juga tidak sekedar yakin. Karena itu, ia memulai filsafatnya dengan terlebih dahulu meragukan segala sesuatu. Gejala-gejala yang nampak, ia ragukan semua. Ia ragu terhadap apa yang ia tangkap melalui inderawi. Sampai akhirnya ia menemukan yang pasti; sesuatu yang sama sekali tidak ia ragukan—dan tidak bisa diragukan—oleh (si)apapun, yaitu ―saya sedang ragu‖. ―Saya sedang ragu‖ disebabkan karena ―saya berpikir‖. ―Saya berpikir‖ merupakan suatu kebenaran karena tidak ada yang meragukan lagi. ―Saya berpikir‖ adalah benar, karenanya pasti ―ada‖. Jika ―saya berpikir‖ menjadi ―ada‖, maka kesimpulannya ―saya berpikir, maka saya ada‖. Cogito ergo sum. Descartes menyebut keraguan itu sebagai ―keraguan metodis universal‖. Maksud kata ―keraguan‖ disini bukan dalam arti kebingungan yang tak berkesudahan, melainkan mempertanyakan kembali kinerja akal budi. ―Keraguan‖ dipraktekkan sebagai tahap awal menuju kepastian, menjaring yang benar dari yang salah, dan meretas jalan kepastian dari kemungkinan. Keraguan disebut juga sebagai ―metodis‖ karena ―keraguan‖ adalah cara penalaran mengungkap kebenaran secara reflektif-radikal-filosofis. Perjalanan menuju kebenaran ini mesti direntang tanpa batas sampai keraguan itu membatasi diri dengan menemukan kepastian yang ―benar-benar pasti‖ dan ‖pasti benar‖. Karenanya, keraguan metodis, kata Descartes, mesti bersifat ―universal‖. Proses penemuan dasar filsafat Descartes amat berkaitan erat dengan tiga hal mendasar. Pertama, persoalan pencarian kepastian melalui ide yang jelas dan terpilah—disini Descartes menolak basis filsafat yang bersifat kemungkinan atau spekulatif. Kedua, Descartes ingin meletakkan dasar filsafatnya bertolak dari diri subyek. Baginya, hanya subyek yang memiliki kesadaran tentang dirinya sendiri—metode cogito atau imanentisme Descartes (aku yang secara langsung mengenal diriku sendiri). Ketiga, Descartes hendak memberikan basis intelektual bagi eksistensi Tuhan sebagai titik tolak seluruh kebenaran, pengetahuan, dan pemahaman. Proses rumit epistemik ini telah menggiring Descartes berkelindan menemukan basis filsafatnya secara otentik, sekaligus meruntuhkan puing-puing dasar filsafat yang bergema kuat pada waktu itu. Metode cogito menuntun Descartes menemukan dasar pemikirannya tentang hakikat (ontologis) segala sesuatu yang ia kemukakan melalui tiga titik dasar: substansi, atribut, dan modus. Pertama, substansi adalah ―apa yang ada sedemikian rupa‖ [9], sehingga keber-ada-annya tidak memerlukan sesuatu yang lain. Substansi model ini, oleh Descartes, disebut sebagai ‖substansi absolut‖, dan hanya satu, yaitu Tuhan sebagai causa sui atau penyebab bagi dirinya sendiri yang sempurna adanya. Descartes juga mengandaikan substansi lain, yang ia sebut sebagai ‖substansi relatif‖ atau substaintia creata (substansi buatan). Macamnya ada dua, yaitu substansi jiwa/roh—bersifat bebas, aktif dan mental—dan substansi materi/bendawi—bersifat fisis dan berjalan menurut hukum-hukum fisika. Eksistensi substansi ini semata-mata tergantung bantuan substansi absolut. Oleh karenanya, pengertian substansi relatif tidak dapat disamakan dengan pengertian substansi absolut. Setiap substansi, kata Descartes, memiliki atribut atau sifat asasi, dimana sifat asasi ini mutlak ada dan tidak dapat ditiadakan. Ada-nya sifat asasi ini hanya dapat diketahui secara jelas melalui sifat-sifat yang lain. Jika kita lansir dalam substansi bendawi/materi, maka atribut yang
  • 8. kita temukan berupa keluasan (extentio atau res extensa). Dan jika kita telisik dalam substansi roh/jiwa, maka atribut substansi berupa pemikiran (cogitation atau res cogitans) [10]. Melalui dua atribut substansi ini, demikian Descartes, maka substansi absolut dapat dikenal oleh akal budi manusia. Selain atribut, substansi masih mempunyai suatu enstitas lagi, yang Descartes sebut sebagai modus (jamak modi). Modus adalah sifat substansi yang dapat berubah, plural dan sebetulnya tidak mutlak ada dalam substansi. Artinya, modus ini diandaikan sebagai jejak-jejak— meminjam istilah Derrida—atau ciri-ciri yang menuntun kita menuju pengetahuan mengenai hakikat substansi—sekalipun, kata Descartes, akal hanya mampu menangkap atribut-atributnya saja. Jika kita telusuri dalam substansi bendawi/materi, maka modus yang ditemukan seperti bentuk, besar, kecil, gerak, situasi, dan ciri-ciri lahiriyah lainnya. Dan jika kita teliti dalam substansi roh/jiwa, maka modus yang muncul berupa gagasan-gagasan individual yang dilakukan secara sadar seperti ide, pertimbangan, meragukan, memahami, membayangkan, berkehendak, merasa, berimajinasi, dan aktivitas kemampuan lainnya. Descartes mengandaikan roh/jiwa memiliki sifat asasi lebih ―cerdas‖ dari sifat asasi bendawi/materi, karena secara a priori roh/jiwa membawa pengertian-pengertian tunggal tentang substansi roh dan bendawi serta mampu memilah-milah secara jelas (clear and distinctly atau self-evident) suatu gagasan atau idea tanpa terpengaruh oleh gagasan atau idea-idea yang lain. Melalui sifat asasi roh/jiwa, pengertian yang terungkap bukan hanya substansi bendawi dan rohani saja, melainkan menjamah substansi pertama, yaitu substansi Tuhan yang tiada batasnya. Disinilah letak perbedaan ontologi Descartes dengan pemikiran ontologi yang lain. Ia mengandaikan akal (rasio) mempunyai kemampuan menjangkau pengetahuan tentang segala hal, termasuk pengetahuan (substansi) Tuhan. Sekalipun yang mampu dijangkau sebetulnya, kata Descartes, hanyalah atribut substansi belaka. Justru di titik inilah filsafat Dercartes menemukan kerapuhan fundamental ketika dipaksa membicarakan tentang hubungan eksistensi substansi jiwa dan badan. Pendapatnya bahwa substansi Tuhan adalah pemegang otoritas atau—meminjam istilah Pak Joksis—―penjamin‖ eksistensi substansi jiwa dan substansi badan, makin memperjelas bahwa tidak sepenuhnya segala kebenaran selalu bermuara dari subyek yang sadar. Menurut kadarnya sendiri muncul banyak fakta bahwa manusia sering dihadapkan pada realitas (yang benar dan pasti) diluar jangkauannya sebagai subyek yang sadar. Dengan demikian akan kesulitan bagi kita mengemukakan secara pasti ―bagaimana‖ sebenarnya hubungan antara jiwa dan badan terjadi. Descartes hanya menunjukkan akhir hubungan jiwa dan badan adalah membentuk manusia sempurna. Sementara, keduanya ia anggap sebagai res yang berbeda, terpisah, dan tidak terjalin hubungan yang serius. Maka, menjadi aneh ketika tiba-tiba Descartes membawa ―Tuhan‖ yang berada diluar subyek sadar sebagai ―penjamin‖ dari eksistensi jiwa dan badan yang berada di dalam subyek sadar. Barangkali berangkat dari kegamangan ini banyak orang menyangka pemikiran Descartes bernada dualistik (baca: ―dualisme Cartesian‖). Lepas dari sangkaan-sangkaan itu, satu hal yang mesti diakui bahwa gagasan Descartes berupa ―cogito ergo sum‖ telah memprovokasi lahirnya modernisme, seraya membawa para ilmuwan dan filsuf keluar dari kemelut doktrin-doktrin filsafat Skolastik dan Gereja. Filsafatnya telah membantu menyulut manusia-manusia jaman sekarang berpikir rasional, sistematis, bahkan mengamsusikannya ―benar-benar pasti‖ dan ―pasti benar‖. Sebuah gejala menuju pengabsolutan ―rasio‖ sebagai ―logos‖, dan seringkali bersebarangan dengan ―iman‖ maupun ―mitos‖. 6. Al-Farabi Al-Farabi menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1890 Dieterici menerjemahkan beberapa risalah pendek al-Farabi, umumnya yang berkaitan dengan sains. Bukunya yang merupakan sumbangan terhadap sosiologi adalah Risalah fi Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah yang kemudian diedit dan diterjemahkan oleh Dieterici sebagai Philosophia de Araber dan Der Mustarstaat Von Al-Farabi. Buku penting lain yang diterjemahkan ke berbagai bahasa Barat adalah Musiqi al-Kabir dan Ihsa al-Ulum, sebuah karya ensiklopedis yang kemudian banyak berpengaruh atas penulis Barat. Bukunya Ihsa al-Ulum merupakan encyclopedia mengenai ilmu akhlak yang terbagi atas lima bagian: 1. bahasa, 2. ilmu hitung, 3. logika, 4. ilmu-ilmu alam (natural sciences), dan 5. politik dan sosial ekonomi (sosio ekonomi). Para ahli fikir mutakhir mengakui, bahwa mereka berhutang budi kepada al-Farabi atas segala yang telah mereka capai di bidang ilmu
  • 9. pengetahuan. Dalam mengambil sesuatu bahan ilmiah dari asalnya al-Farabi memakai jalan peng-alasan yang sangat teliti yang berdasarkan dialektika. Dan ini dilakukan dengan meletakkan qaedah-qaedah umum lalu daripadanya diambil alasan yang diperlukan. Pendapat al-Farabi mengenai wujud Allah dan pengetahuan umum yang bersangkutan dengan Aqlil Awal (first intelegence) dan lainnya diambil kurang lebih dari teori Aristoteles mengenai penciptaan (creation). Tetapi al-Farabi tidak percaya akan kekekalan alam, yang menurut pendapat Aristoteles alam itu adalah kekal. Menurut al-Farabi alam ini mempunyai pangkal dan ujung (awal dan akhir). Selanjutnya al- Farabi percaya pula akan adanya hidup setelah mati; yang menjadi hari pengadilan bagi manusia, yang berakhir mendapat ganjaran baik atau buruk menurut perbuatan mereka di masa hidup di atas bumi. Telah pasti bahwa pendapat al-Farabi ini adalah bawaan dari al-Qur‘an dan Hadits. Maka bagi al-Farabi logika bukanlah satu jalan untuk mencapai ma‘rifat, tetapi ia adalah alat pencapai ma‘rifat. Logika bukanlah jalan untuk mendapatkan hakikat, tetapi ia sendirilah pendapat dari hakikat itu. Tata kerja akal dalam proses pemikiran (amaliyat al-fikri), menurut al-Farabi meningkat secara bertahap. Akal pada seseorang bayi bersifat potensial (aqlu bil quwwati), yang disebut oleh al-Farabi dengan aqlul-hayuli (material intelect). Aqlul-hayuli itu bersifat pasif (passive intelect), dan mulai bergerak menjadi akal berkarya (aqlu bil-fi‘li, actual intellect) setelah menerimakan gambaran bentuk-bentuk (al surah, forms) melalui kodrat indriani (al hassat) maupun kodrat imajinasi (al mutakhayyilat). Ia pun mengolahnya menjadi pengertian-pengertian (al ma‘ani, conceptions) dan pada tahap itu ia pun berubah menjadi akal berdaya guna (aqlul- mustafad, acquired intellect). Akal berdaya guna (aqlul-mustafad, acquired intellect) itu sekedar bertindak mengolah, mencari hubungan-hubungan diantara segala pengertian, untuk merekamkan tahu (al‘ilm, knowledge) pada perbendaharaan ingatan. Akan tetapi tahu itu sendiri menurut al-Farabi adalah anugerah dari akal giat (aqlul-fa‘al, active intellect) yakni kodrat ilahi, sebagai akibat dari kegiatan akal berdayaguna itu. Tahu di dalam perbendaharaan ingatan itu berpangkal pada materi dan bentuk (al madah dan al shurah) yang ditangkap oleh kodrat indriani dari alam luar. Materi itu tidak punya perwujudan tanpa bentuk. Akan tetapi di dalam proses pemikiran (amaliyat alfikri) senantiasa materi itu dipisahkan dengan bentuk hingga diperkirakan perwujudan materi tanpa bentuk, yang oleh al-Farabi disebut dengan al hayuli dan oleh Aristoteles, disebut dengan hyule. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-Farabi Al-farabi telah memberikan klasifikasi tentang ilmu pengetahuan dalam tujuh bagian, yaitu: logika, percakapan, matematika, physika, metaphysika, politik, dan ilmu fikhi (jurisprudence). Ketujuh ilmu pengetahuan ini telah melingkupi seluruh kebudayaan Islam pada masa itu. Ilmu pengetahuan tentang percakapan, yang dikenal sebagai ilmu al-lisan, dibaginya pula atas tujuh bagian, yaitu: bahasa gramatika, syntax (ilmu tarkib al-kalam), syair, menulis dan membaca. Aturan ilmu bahasa yang melingkupi ketujuh pembagian ini, merupakan tujuh bagian pula, yaitu: ilmu kalimat mufrad, ilmu kalimat yang dihubungkan oleh harf el-jar (proposition), undang-undang tentang penulisan yang benar, undang-undang tentang pembacaan yang betul, dan aturan tentang syair yang baik. Ilmu logika, diajarkan kepada tingkatan tinggi, bagi orang-orang yang hendak menyediakan dirinya menjadi sarjana. Oleh karena itu, ilmu logika itu lebih dipandang bersifat seni daripada sifatnya sebagai ilmu. Ilmu atau seni logika pada umumnya terdiri sebagai berikut: ―Supaya dapat mengoreksi fikiran seseorang, untuk mendapatkan kebenaran‖. Logika itu dibagi dalam delapan bagian, dimulainya dengan Catagory dan disudahi dengan syair (poetry). Orang Arab juga memasukkan ilmu balaghah (rothorika) dan syair menjadi bagian dari ilmu logika. Kemudian setelah diselidiki, ternyata bahwa itu termasuk dalam bagian mantik, maka sekarang ini pembagian ilmu logika menjadi sembilan fasal. Tentang matematika, al-Farabi membaginya menjadi tujuh bagian, yaitu: arithmatika, geometri, optika, astronomi, musik, hisabaqi (Latin: arte ponderum), dan mekanika. Metaphysika, ditujukan pada dua jenis pelajaran. Pertama, pengetahuan tentang makhluk dan kedua, contoh-contoh dasar atau filsafat ilmu. Tentang ilmu makhluk, dikatakannya sebagai ilmu yang mempelajari dasar-dasar makhluk yang tidak didasarkan kepada bentuk jasmani atau benda-benda berupa tubuh. Politik, dikatakannya juga sebagai ilmu sipil, yang menjurus kepada etika dan politika. Filsuf-filusuf Islam, menyalin perkataan Politeia dari bahasa Yunani, dengan perkataan Madani.
  • 10. Arti perkataan ini adalah sipil yang berhubungan dengan kota. Ilmu agama, dibaginya kepada fikih (Yurisprudence) dan kalam (theology). Ilmu kalam ada dua cabangnya yang kemudian dimasukkan menjadi ilmu agama, adalah pengetahuan baru yang dimasukkan ke dalam Islam. Klasifikasinya dalam perincian ilmu pengetahuan dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Ilmu bahasa: syntaksis, gramatika, pengucapan dan tuturan, dan puisi. b. Logika: pembagian, definisi dan komposisi gagasan-gagasan yang sederhana. Bagian-bagian logika setelah istilah-istilahnya didefinisikan ada lima: 1) Syarat-syarat yang perlu bagi premis-premis yang akan menuju suatu sylogisme untuk ilmu tertentu. 2) Definisi sylogisme yang berguna dan cara untuk menemukan bukti dialektal. 3) Penelitian kesalahan dalam bukti-bukti, penelitian atas hal-hal yang dilewatkan dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam penalaran dan cara-cara untuk mencegahnya. 4) Definisi oratori: sylogisme yang digunakan untuk membawakan pembahasan di depan publik. 5) Studi mengenai puisi, bagaimana harus menyesuaikannya dengan tiap subyek, kesalahan dan ketidaksempurnaannya. c. Sains persiapan: 1) Aritmetika: praktis teoritis 2) Geometri: praktis teoritis 3) Optika 4) Sains tentang langit: astrologi, gerak dan sosok benda-benda langit. 5) Musik: praktis teoritis 6) Ilmu tentang timbangan. 7) Ilmu membuat alat-alat (pembuatan mesin-mesin dan instrumen-instrumen sederhana untuk digunakan dalam berbagai seni dan sains, seperti astronomi dan musik). d. Fisika (sains kealaman), metafisika (sains yang berhubungan dengan Tuhan dan prinsip- prinsip benda). Fisika: 1) Ilmu tentang prinsip-prinsip yang mendasari benda-benda alam. 2) Ilmu tentang sifat dan ciri elemen, dan prinsip yang mengatur kombinasi elemen menjadi benda. 3) Ilmu tentang pembentukan dan kerusakan benda. 4) Ilmu tentang reaksi yang terjadi pada elemen-elemen dalam membentuk ikatan. 5) Ilmu tentang benda-benda ikatan yang terbentuk dari empat elemen dan sifat-sifatnya. 6) Ilmu mineral. 7) Ilmu tumbuhan. 8) Ilmu hewan. 9) Metafisika: a) Ilmu tentang hakikat benda. b) Ilmu tentang prinsip-prinsip sains khusus dan sains pengamatan. c) Ilmu tentang benda non-jasadi, kualitas-kualitas dan ciri-cirinya yang akhirnya menuju kepada ilmu tentang kebenaran, yaitu mengenai Allah yang salah satu nama- Nya ialah kebenaran(al-Haqq). e. Ilmu kemasyarakatan: 1) Jurisprudensi 2) Retorik. 7. Ibnu Khaldun Pada kitab yang dibuat oleh Ibnu Khaldun tersebut, banyak uraian yang menjelaskan tentang kegiatan-kegiatan perekonomian, yaitu: a. Mekanisme Pasar Ibnu Khaldun secara khusus memberikan ulasan tentang harga dalam bukunya al- Muqaddimah pada suatu bab berjudul ‖Harga-harga di Kota‖. Ia membagi jenis barang menjadi dua jenis, yaitu barang kebutuhan pokok dan barang pelengkap. Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan populasinya bertambah banyak, maka pengadaan barang-barang kebutuhan pokok menjadi prioritas. Jadi suatu harga ditentukan oleh jumlah distribusi ataupun penawaran suatu daerah, dikarenakan jumlah penduduk suatu kota besar yang padat dan memiliki jumlah persediaan barang pokok yang melebihi kebutuhan dan kemudian memiliki tingkat penawaran yang lebih tinggi dibandingkan
  • 11. dengan kota kecil yang memiliki jumlah penduduk yang relatif lebih sedikit. Yang kemudian akan berdampak pada harga yang relatif lebih murah. Begitu sebaliknya, supply bahan pokok suatu kota kecil yang relatif lebih sedikit, dengan terbatasnya persediaan maka harga juga akan relatif mahal. Sedangkan permintaan pada bahan-bahan pelengkap akan meningkat sejalan dengan berkembangnya suatu kota dan berubahnya gaya hidup, dikarenakan segala kebutuhan pokok dengan mudah mereka dapati dan seiring dengan bertambahnya kebutuhan lain, maka tingkat permintaan pada bahan pelengkap akan naik, walaupun dengan tingkat harga yang relatif mahal dan jumlah barang yang relatif sedikit, dikarenakan terdapat banyak jumlah orang kaya disana, maka mereka pun sanggup membayar dengan tingkat permintaan yang tinggi yang kemudian akan berdampak pada naiknya harga tersebut. Istilah dari ekonomi kontemporer terhadap teori pada paragraf sebelumnya ialah, terjadinya suatu peningkatan disposible income dari penduduk suatu kota besar. Dengan naiknya disposible income tersebut dapat meningkatkan marginal propensity to consume terhadap barang-barang mewah dari setiap penduduk kota tersebut. Pada bagian lain, Ibnu Khaldun menjelaskan pengaruh naik dan turunnya penawaran terhadap harga. Ketika barang-barang yang tersedia sedikit, harga akan naik. Namun, bila jarak antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan melimpah, dan harga-harga akan turun. Jadi kemudahan dalam hal pendistribusian akan berpengaruh pada kestabilan harga. Berikut beberapa faktor menurut Ibnu Khaldun yang dijadikan indikator dalam kegiatan suatu perekonomian di suatu pasar. 1) Faktor-faktor penentu keseimbangan harga a) Kekuatan Permintaan dan Penawaran b) Tinggi rendahnya suatu pajak (bea cukai) c) Biaya Produksi d) Perilaku penimbuan (Monopoli) 2) Faktor-faktor penentu Penawaran a) Tingkat Permintaan b) Tingkat keuntungan relatif c) Tingkat usaha manusia d) Besarnya tenaga buruh (tingkat ketrampilan) e) Ketenangan dan Keamanan 3) Faktor-faktor penentu Permintaan a) Pendapatan b) Jumlah penduduk c) Kebiasaan masyarakat (adat istiadat) d) Tingkat pembangunan e) Tingkat kesejahteraan masyarakat Dalam hal ini, pengaruh permintaan dan penawaran terhadap penentuan harga tidak begitu baik dipahami di dunia barat sampai akhir abad ke-19 dan 20. Para ekonom Inggris pra-klasik dan bahkan pendiri aliran klasik, Adam Smith, secara umum hanya menekankan pada peranan biaya produksi, khususnya peranan pekerja buruh dalam penentuan harga. Istilah permintaan dan penawaran dalam literatur bahasa Inggris pertama kali digunakan sekitar tahun 1767, meski demikian pengaruh permintaan dan penawaran dalam penentuan harga di pasar baru dikenal pada dekade kedua di abad ke-19. Padahal Ibnu Khaldu telah menemukan pengaruh permintaan dan penawaran terhadap penentuan harga. Ia mengemukakan bahwa dalam keadaan nilai uang yang tidak berubah, kenaikan atau penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. b. Keuntungan Keuntungan menurut Ibnu Khaldun, adalah nilai yang timbul dari kerja manusia, yang diperoleh dari usaha untuk mencapai barang-barang dan perhatian untuk memilikinya. Oleh karena itu, kerja manusia merupakan elemen penting dalam proses produksi. Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa nilai sesuatu itu terletak pada kerja manusia yang dicurahkan kepadanya, atau dengan kata lain subtansi nilai itu adalah kerja, dan segala yang terpenting dalam kerja tersebut adalah pencurahan tenaga untuk memproduksi sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Khalifah
  • 12. Ali ra, ‖Nilai setiap orang terletak pada keahlian yang dimilikinya‖. Pengertian tersebut mengartikan bahwasanya derajat seseorang ditentukan oleh ilmu yang dimilikinya. Terdapat hubungan timbal balik antara nilai kerja dan hasil kerja produksi, ini berarti bila kualitas dan kuantitas nilai kerja menurun, maka nilai produksi pun akan menurun, begitupun sebaliknya. Dalam konsep keuntungan menurut Ibnu Khaldun, nilai kerja menempati poin sentral dalam teori produksi, ia mengharuskan dalam setiap penentuan biaya produksi, biaya tenaga kerja harus dimasukkan kedalamnya karena dengan adanya usaha dan kerja, laba dan keuntungan akan diperoleh, dan bila tidak ada kerja maka tidak akan ada produksi. c. Pembagian Kerja Ibnu Khaldun berpendapat bahwa apabila pekerjaan dibagi-bagi diantara masyarakat berdasarkan spesialisasi, menurutnya akan menghasilkan output yang lebih besar. Konsep pembagian kerja Ibnu Khaldun ini berimplikasi pada peningkatan hasil produksi. Dan sebagaimana teori division of labor nya Adam Smith (1729-1790), pembagian kerja akan mendorong spesialisasi, dimana orang akan memilih mengerjakan yang terbaik sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-masing, hal ini akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja, pada akhirnya akan meningkatkan hasil produksi secara total.[18] d. Keuangan Publik Berkenaan dengan keuangan publik dalam hal ini pajak, yang berfungsi sebagai sumber utama pemasukan negara, haruslah dikelola dengan sebaik mungkin, sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal, yang nantinya dapat digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan sosial rakyat. Dalam hal ini, menurut Ibnu Khaldun, keberadaan departemen perpajakan sangat penting bagi kekuasaan raja (pemerintah). Jabatan ini berkaitan dengan operasi pajak dan memelihara hak-hak negara dalam masalah pendapatan dan pengeluaran negara. Ibnu Khaldun berpendapat dalam hal pajak, haruslah berdasarkan pemerataan, kenetralan, kemudahan, dan produktivitas. e. Standar Kekayaan Negara Menurut Ibnu Khaldun, kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi kekayaan suatu negara ditentukan oleh tingkat produksi domestik dan neraca pembayaran yang positif dari negara tersebut.[19] Dengan demikian, negara yang makmur adalah negara yang mampu memproduksi lebih banyak dari yang dibutuhkan, sehingga kelebihan hasil produksi tersebut diekspor, dan pada akhirnya akan menambah kemakmuran di negara tersebut. Berikut merupakan konsep ekonomi menurut Ibnu Khaldun sebagai indikator dari kekayaan suatu negara, 1) Tingkat Produk Domestik Bruto Bila suatu negara mencetak uang dengan sebanyak-banyaknya, itu bukan merupakan refleksi dari pesatnya pertumbuhan sektor produksi (baik barang maupun jasa). Maka uang yang melimpah itu tidak ada artinya, yang membuat jumlah uang lebih banyak dibanding jumlah ketersediaan barang dan jasa. 2) Neraca Pembayaran Positif Ibnu Khaldun menegaskan bahwa neraca pembayaran yang positif akan meningkatkan kekayaan negara tersebut. Neraca pembayaran yang positif menggambarkan dua hal: a) Tingkat produksi yang tinggi. Jika tingkat produksi suatu negara tinggi dan melebihi dari jumlah permintaan domestik negara tersebut, atau supply lebih besar dibanding demand. Maka memungkinkan negara tersebut melakukan kegiatan ekspor. b) Tingkat efisiensi yang tinggi Bila tingkat efisiensi suatu negara lebih tinggi dibanding negara lain, maka dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi maka komoditi suatu negara mampu masuk ke negara lain dengan harga yang lebih kompetitif. f. Perdagangan Internasional Teori Ibnu Khaldun tentang pembagian kerja (division of labor) merupakan embrio dari teori perdagangan internasional yang berkembang pesat pada era merkantilisme di abad ke-
  • 13. 17. Hal itu disadari analisisnya tentang pertukaran atau perdagangan diantara negara-negara miskin dan negara kaya yang menimbulkan kecenderungan suatu negara untuk mengimpor ataupun menekspor dari negara lain. Bagi penganut paham merkantilisme, sumber kekayaan negara adalah dari perdagangan luar negeri, dan uang sebagai hasil surplus perdagangan adalah sumber kekuasaan. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa melalui perdagangan luar negeri, kepuasan masyarakat, keuntungan pedagang dan kekayaan negara semuanya meningkat. Dan barang- barang dagangan menjadi lebih bernilai ketika para pedagang membawanya dari suatu negara ke negara lain. Perdagangan luar negeri ini dapat menyumbang secara positif kepada tingkat pendapatan negara lain. Perdagangan luar negeri ini dapat menyumbang secara positif kepada tingkat pendapatan negara, tingkat pertumbuhan serta tingkat kemakmuran. Jika barang-barang luar negeri memiliki kualitas yang lebih baik dari dalam negeri, ini akan memicu impor. Pada saat yang sama produsen dalam negeri harus berhadapan dengan produk berkualitas tinggi dan kompetitif sehingga mereka harus berusaha untuk meningkatkan produksi mereka. g. Konsep Uang Ibnu Khaldun secara jelas mengemukakan bahwa emas dan perak selain berfungsi sebagai uang juga digunakan sebagai medium pertukaran dan alat pengukur nilai sesuatu. Juga pula uang itu tidak harus mengandung emas dan perak, hanya saja emas dan perak dijadikan standar nilai uang, sementara pemerintah menetapkan harganya secara konsisten. Oleh karena itu Ibnu Khaldun menyarankan agar harga emas dan perak itu konstan meskipun harga-harga lain berfluktuasi. Berdasarkan pendapat Ibnu Khaldun diatas, sebenarnya standar mata uang yang ia sarankan masih merupakan standar emas hanya saja standar emas dengan sistem the gold bullion standard, yaitu ketika logam emas bukan merupakan alat tukar namun otoritas moneter menjadikan logam tersebut sebagai parameter dalam menentukan nilai tukar uang yang beredar. Koin emas tidak lagi secara langsung dipakai sebagai mata uang. Dalam sistem ini, diperlukan suatu kesetaraan antara uang kertas yang beredar dengan jumlah emas yang disimpan sebagai back up. Setiap orang bebas memperjualbelikan emas, tetapi pemerintah menetapkan harga emas. Mengenai nilai tukar mata uang, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang yang beredar di negara tersebut, tetapi oleh tingkat produksi dan neraca pembayaran yang positif. Ia menyatakan bahwa nilai uang di suatu negara merefleksikan kemampuan produksi dari negara tersebut. sehingga bila kemampuan produksinya menurun, maka nilai uangnya akan menurun, dan harga secara berkesinambungan akan meningkat, dan pada kondisi ini inflasi terjadi. Karena itu, dalam perdagangan internasional, nilai tukar uang antar negara sebenarnya tergantung pada kemampuan masing-masing negara memperoleh neraca pembayaran positif. h. Kesejahteraan Masyarakat Kesejahteraan dan pembangunan, menurut Ibnu Khaldu, bergantung pada aktivitas ekonomi, jumlah dan pembagian tenaga kerja, luasnya pasar, tunjangan dan fasilitas yang disediakan negara, serta peralatan. Pada gilirannya tergantung pada tabungan atau surplus yang dihasilkan setelah memenuhi kebutuhan masyarakat. Semakin banyak aktivitas yang dilakukan, maka negara akan semakin besar. Pendapatan yang besar akan memberikan kontribusi terhadap tingkat tabungan yang lebih tinggi dan investasi yang lebih besar untuk peralatan dan dengan demikian akan ada kontribusi yang lebih besar di dalama pembangunan dan kesejahteraan. Alat untuk mencapai kesejahteraan dan pembangunan yang paling utama menurut Ibnu Khaldun adalah masyarakat, pemerintah, dan keadilan. Di masyarakat, solidaritas diperlukan untuk meningkatkan kerja sama, sehingga akan meningkatkan produktivitas, solidaritas akan menguat jika ada keadilan.
  • 14. 8. Ibnu Thufail Beberapa pemikiran/pendapat Ibnu Thufail, yaitu Ada dua jalan untuk mengenal Tuhan, yaitu dengan jalan akal atau dengan jalan syariat. Kedua jalan tidaklah bertentangan, karena akhir daripada filsafat adalah mengenai Allah (marifatullah). Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan. 1. Sifat Allah itu pada dua kelompok: a. Sifat-sifat yang menetapkan wujud Zat Allah, ilmu, kudrat dan hikmah. Sifat-sifat ini adalah Zat-Nya sendiri. Hal ini untuk meniadakan ta’addud al-qudama (berbilangnya yang qadim) sebagaimana paham mu‘tazilah. b. Sifat salab, yakni sifat-sifat yang menafikan paham kebendaan dari Zat Allah. Dengan demikian, Allah suci dari kaitan dengan kebendaan. 2. Filsafat dan agama tidak bertentangan dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan Wahyu. Allah tidak hanya dapat diketahui dengan Wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Agama penuh dengan perbandingan, persamaan dan persepsi-persepsi antropomorfosis, sehingga cukup mudah dipahami oleh orang banyak. Filsafat merupakan bagian dari kebenaran esoteris, yang menafsirkan lambang-lambang agama agar diperoleh pengertian-pengertian yang hakiki. Walaupun Ibnu Thufail menyadari tingkatan akal manusia itu berbeda-beda Roman Hayy Ibn Yaqzhan: “Hayy pun menjadi tahu akan tingkatan-tingkatan manusia. Ia dapati” tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada diri mereka (masing-masing). ―mereka menjadikan hawa nafsu mereka sebagai Ilah mereka. Dan mereka sama halnya seperti hewan yang tak berpikir. Qadimnya dunia (bumi dan alam semesta alam), hal ini bertolak belakang dengan pendapat Al-Ghazali. 9. Ibnu Rusyd Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ‘ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan- ciptaanNya. Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar syar‘iy maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat , kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping /guru yang handal yang bisa membimbingnya memmahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu. Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah enjadi mul;hid, tidak mempercayai eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemmapuan manusia dalam manusia dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni: a) Lewat metode Khatabi (Retorika) b) lewat metode Jadali (dialektika) c) Lewat metode Burhani (demonstratif) Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ad seorangpun yang berakal sehat kecuali dari elompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi).
  • 15. Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta‘wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta‘wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Konsep Ibn Rusyd Tentang Teori Penciptaan Alam Berkaitan dengan penciptaan alam, Rusyd yang menganut teori Kausalitas (hukum sebab- akibat), berpendapat bahwa memahami alam harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat sampai kepada hakikat dan eksistensi alam. Setidaknya ada tiga dalil untuk menjelaskan teori itu, kata Rusyd, yaitu: Pertama, dalil inayah yakni dalil yang mengemukakan bahwa alam dan seluruh kejadian yang ada di dalamnya, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, semuanya menunjukkan adanya penciptaan yang teratur dan rapi yang didasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan. Dalil ini mendorong orang untuk melakukan penyelidikan dan penggalian yang terus menerus sesuai dengan pandangan akal fikirannya. Dalil ini pula yang akan membawa kepada pengetahuan yang benar sesuai dengan ketentuan Alquran. Kedua, dalil ikhtira' yaitu asumsi yang menunjukkan bahwa penciptaan alam dan makhluk di dalamnya nampak jelas dalam gejala-gejala yang dimiliki makhluk hidup. Semakin tinggi tingkatan makhluk hidup itu, kata Rusyd, semakin tinggi pula berbagai macam kegiatan dan pekerjaannya. Hal ini tidak terjadi secara kebetulan. Sebab, bila terjadi secara kebetulan, tentu saja tingkatan hidup tidak berbeda-beda. Ini menunjukkan adanya pencipta yang mengatur kehidupan. Dalil ini sesuai dengan syariat Islam, dimana banyak ayat yang menunjukkan perintah untuk memikirkan seluruh kejadian alam ini. Ketiga, dalil gerak disebut juga dalil penggerak pertama yang diambil dari Aristoteles. Dalil tersebut mengungkapkan bahwa alam semesta bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan berbenda, yaitu Tuhan. Menurut Rusyd, benda-benda langit beserta gerakannya dijadikan oleh Tuhan dari tiada dan bukan dalam zaman. Sebab, zaman tidak mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak, selama zaman itu kita anggap sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya penggerak pertama atau sesuatu sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi wujud. Rusyd yang juga dikenal sebagai 'pelanjut' aliran Aristoteles ini, menilai bahwa substansi yang lebih dahulu itulah yang memberikan wujud kepada substansi yang kemudian tanpa memerlukan kepada pemberi form (Tuhan) yang ada di luarnya. Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah bangkitnya kembali manusia setelah meninggal. Menurut Rusyd, pembangkitan yang di maksud kaum filsuf adalah pembangkitan ruhy, bukan jasmani. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Bagi Rusyd, juga kaum filosof lainnya, yang penting bagi manusia adalah jiwanya. Kebahagiaan dan ketenangan hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedang bagi Al Ghazali, kebangkitan kembali manusia tak hanya secara ruh, tapi juga jasmaniyah. Rusyd juga mengajari kita bagaimana membangun rules of dialogue, dalam kaitan memahami 'orang lain' di luar kita. Teorinya ini ia dasarkan pada tiga prinsip epistemologis, yaitu: Pertama, keharusan untuk memahami 'yang lain' dalam sistem referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode aksiomatik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu- ilmu Yunani. Kedua, dalam kaitan relasi kita dengan barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan yang subur antara dua kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd membela pendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tapi terjadi harmoni di antara keduanya. Harmoni tidak berarti sama dan identik. Karena itu, hak untuk berbeda harus dihargai. Ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Rusyd menolak cara-cara Al Ghazali menguliti para filosof tidak dengan tujuan mencari kebenaran. "Tujuan saya," kata Al Ghazali, "adalah mempertanyakan tesis mereka dan saya berhasil." Ibnu Rusyd menjawab, "Ini tidak sewajarnya dilakukan oleh orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain adalah mencari kebenaran dan bukan menyebarkan karaguan." Terlepas dari perbedaan itu, betapapun Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan nilai- nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik di masa lalu itu pula yang pernah mengantarkan kejayaan Islam di abad pertengahan.