Dokumen tersebut membahas tentang hukum acara peradilan agama khususnya sengketa ekonomi syariah. Ringkasannya adalah:
1. Menguraikan pengertian ekonomi syariah dan ruang lingkupnya menurut undang-undang terkait.
2. Sumber hukum ekonomi syariah yang dapat dijadikan pedoman dalam menyelesaikan perkara di peradilan antara lain peraturan perundang-undangan.
3. Cara menyelesa
1. HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
Sengketa Ekonomi Syariah
Disusun oleh :
Irma Suryani Syair (1410112084)
Fadhli Dzil Ikram (1410112002)
Virajati Adhazar (1410111079)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG, 2016
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat , karunia dan hidayah-
Nya kepada kita semua sehingga akhirnya tugas karya tulis ini dapat terselesaikan. Shalawat
serta salam senantiasa tercurah pada Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya yang
setia menemani hingga akhir zaman.
Tugas makalah yang diberi judul “Sengketa Ekonomi Syariah” ialah suatu tugas mandiri
berbentuk makalah yang ditulis dalam memenuhi tugas Delik-Delik Dalam KUHP dari Ibu Dr.
Siska Elvandari, S.H., M.H.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan, terutama
disebabkan oleh kurang spesifiknya informasi yang didapatkan penulis karena hanya
mengandalkan literatur yang ada. Pada akhirnya tugas mandiri ini dapat diselesaikan meskipun
masih terdapat banyak kekurangan.
Penyusunan karya tulis ini tak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
orangtuadansahabatsertateman yang memberikansemangat kepada penulis agar tugas mandiri
inidapatpenulisselesaikandengantepatwaktu. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan rahmat
dan karunia-Nya serta keridhoan-Nya kepada kita semua, amin.
Penulis menyadari bahwa tugas makalah ini masih banyak memiliki kekurangan.Oleh
karena itu segala saran dan kritik yang membangun, penulis harapkan untuk kemajuan masa-
masa mendatang.
Harapan penulis semoga penulis tugas mandiri ini dapat diambil manfaatnya oleh pembaca.
Padang, 1 April 2016
Penulis
3.
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alqur’an dan sunnah Rasullullah saw merupakan sumber tuntutan hidup bagi kaum
muslimin dalam menjalani kehidupannya di dunia. Alqur’an dan sunnah Rasulullah saw
mampu mengikuti perkembangan peradaban manusia di dunia dalam segala aspek kehidupan
termasuk aspek ekonomi.
Kegiatan ekonomi menurut pandangan Islam merupakan sebuah tuntutan kehidupan dan
anjuran yang memiliki nilai Ibadah di mata Allah SWT. Hal ini secara langsung di perintahkan
oleh Allah SWT dalam QS. Al-A’raf : 10 yang terjemahannya sebagai berikut1
:
“Sesungguhnya Kami telah menenpatkan kamu sekalian dimuka bumi dan Kami adakan
bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”
Selanjutnya, QS. Al-Mulk : 15 Allah SWT menegaskan sebagai berikut :
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah (mencari rezeki-Nya).
Hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Selain itu dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Rasulullah saw bersabda:
“Ketahuilah bahwa jika dia berusaha mendapatkan rezeki untuk keperluan kedua orangtuanya
atau salah seorang dari mereka, maka dia berusaha karena Allah. Jika dia berusaha seorang dari
mereka, mka dia berusaha karena Allah. Jika dia berusaha untuk mendapatkan rezeki guna
kepentingan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya (seperti anak, istri, pen),
dia berusaha karena Allah. Bahkan jika dia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
1
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam. Sinar Grafika: 2000:hlm 1
5. sendiri, dia berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, berusaha karena Allah.
Allah Mahabesar dan Agung.2
”
Berdasarkan uraian di atas, aktivitas ekonomi dalam pandangan islam bertujuan untuk :
1. Memenuhi kebutuhan hidup seseorang secara sederhana
2. Memenuhi kebutuhan keluarga
3. Memenuhi kebutuhan jangka panjang
4. Menyediakan kebutuhan keluarga yang ditinggalkan
5. Memberikan bantuan sosial dan sumbangan menurut jalan Allah3
.
Ekonomi syari’ah lahir sebagai solusi dari permasalahan ekonomi yang terjadi pada tahun
90-an. Sistem ekonomi yang dikenal tahun 90-an diantaranya sistem ekonomi yang berorientasi
kapitalis dan sosialis yang menimbulkan dampak negatif yang merugikan negara-negara di
dunia, termasuk Indonesia4
.
Kedudukan ekonomi syari’ah telah di cantumkan negara dengan melakukan perubahan
terhadap UU No. 7 tahun 1989 dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang
diundangkan pada tanggal 20 Maret 2006 yang di dalam pasal 49 UU Peradilan Agama tersebut
berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama islam di bidang : perkawinan, waris, wasiat, infaq, hibah, wakaf,
zakat, shadaqah dan ekonomi syari’ah.5
Untuk itu, diakanlah suatu sitem ekonomi yang menggunakan hukum Islam yang disebut
sistem ekonomi Islam atau sistem ekonomi syari’ah. Oleh karena itu, ekonomi syari’ah sebagai
sebuah rezim baru perlu untuk diterapkan dalam kehidupan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah?
2. Apa saja yang menjadi ruang lingkup Ekonomi Syari’ah di Indonesia?
3. Apa yang menjadi sumber atau dasar hukum Ekonomi Syariah?
2
Ibid Hlm: 2
3
Suhrawardi K. Lubis, Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam. Sinar Grafika: 2012: hlm 4
4
Krisis moneter tahun 90-an
5
Illy Yanti dan Habriyanto, 2010. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah: Studi Kasus Sengketa Ekonomi
Syari’ah di Lembaga Keuangan Syari’ah Kota Jambi. Vol. 27 No. 3
6. 4. Bagaimana cara menyelesaikan sengketa Ekonomi Syari’ah di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
2. Untuk memberikan penjelasan mengenai Ekonomi Syari’ah
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai pengetahuan pembaca tentang Ekonomi Syari’ah
2. Sebagai bahan referensi mengenai ruang lingkup Ekonomi Syari’ah
7. BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN EKONOMI SYAR’IAH,
Ekonomi Syari’ah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang,
kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka
memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip syari’ah6
.
Sedangkan sistem ekonomi syari’ah itu sendiri adalah ilmu ekonomi yang dilaksanakan dalam
praktik (penerapan ilmu ekonomi) sehari-harinya bagi individu, keluarga, kelompok
masyarakat maupun pemerintah/penguasa dalam rangka mengorganisasikan faktor produksi,
distribusi, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturan
perundang-undangan islam (Sunnatullah)7
.
Selain itu, dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 mengadili perkara
konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008( Selanjutnya disebut UU Perbankan Syari’ah) tentang
Perbankan Syari’ah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, telah
memberikan kepastian dan keadilan bagi para pihak yang sedang berselisih dalam perbankan
syari’ah. Dalam pasal 55 UU Perbankan Syari’ah menimbulkan paham yang kontradiktif
sehingga kepastian dan keadilan tersebut tidak dapat diwujudkan karena para pihak dapat
memberikan paham sendiri-sendiri. Dalam Pasal 55 ayat (1) UU Perbankan Syari’ah
menegaskan bahwa perselisihan perbankan syari’ah akan diselesaikan oleh Peradilan Agama.
Namun, pasal 55 ayat (2) dan (3) Undang-Undang yang sama menyebutkan bahwa para pihak
dibebaskan memilih cara penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah. Untuk memberikan
6
Pasal 1 angka 1 dalam Bab I PERMA No. 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah.
7
Op. Cit., hlm: 15
8. kepastian dan keadilan, MK memutuskan bahwa kewenangan mengadili sengketa ekonomi
syari’ah sepenuhnya ada pada Peradilan Agama.
Sistem ekonomi syari’ah adalah sistem ekonomi yang mandiri sehingga terdapat beberapa
hal yang membedakan ekonomi syari’ah tersebut dengan sistem ekonomi lainnya. Perbedaan
tersebut dapat dilihat dari uraian sebagai berikut :
Asumsi dasar/norma pokok ataupun aturan main dalam proses maupun interaksi
kegiatan ekonomi yang diberlakukan/ norma pokok dalam proses maupun interaksi
kegiatan ekonomi yang diberlakukan. Dalam sistem ekonomi islam yang menjadi
asumsi dasarnya adalah “syari’at islam”.
Prinsip ekonomi islam adalah penerapan asas efisiensi dan manfaat dengan tetap
menjaga kelestarian lingkungan alam.
Motif ekonomi islam adalah mencari “keberuntungan” di dunia dan akhirat.8
B. RUANG LINGKUP EKONOMI SYARI’AH
Lahirnya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah berawal dari diundangkannya Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989. Dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memperluas kewenangan
peradilan agama meliputi sebagai berikut :
“Pengadilan agama bertuugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang :
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infaq
8
Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Op. Cit., hlm. 16.
9. h. Shadaqah, dan
i. Ekonomi syari’ah9
Penjelasan untuk huruf (i) tentang Ekonomi Syariah di atas adalah perbuatan atau kegiatan
usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antaranya meliputi :
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah;
c. asuransi syari’ah;
d. resuransi syari’ah;
e. reksadana syari’ah;
f. obligasi dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.10
Sedangkan, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1986 mendefinikan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan
usaha yng dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi:
a. Bank Syariah
b. Asuransi Syariah
c. Reasuransi syariah
d. Reksa Dana Syariah
e. Obligasi syariah dan Surat Berjangka Menengah Syariah
f. Sekuritas Syariah
g. Pembiayaan Syariah
h. Pengadaian syariah
i. Dana pensiun Lembaga Keuangan Syariah
j. Binis Syariah
k. Lembaga Keuangan Mikro syariah
l. Baitul Mal Wat-Tamwil (BMT)
9
Abdul Mughits, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dalam Tinjauan Hukum Islam. Almawarid Edisi
XVIII Tahun 2008
10
Ibid. Hlm. 3
10. m.Lembaga yang diopersionalkan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan
bisnis usaha mikro dalam membela kepentingan kaum fakir miskin,
dditumbuhkembangkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat
ssetempat dengan berlandaskan pada sistem ekonomi yang berintikan keadilan.
n. Koperasi Syariah
Pengaturan mengenai Bank Syari’ah terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah. Pengertian perbankan syariah adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya11
.
C. SUMBER HUKUM EKONOMI SYARIAH YANG DAPAT DIJADIKAN
PEDOMAN DALAM MENYELESAIKAN PERKARA DI PERADILAN
a. Peraturan Perundangan-undangan
Peraturan perundang-undangan yang harus dipahami oleh Hakim peradilan Agama yang
berhubungan dengan Bank Indonesia antara lain:
a. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan
b. Undang-undang Nomor 1998 tentang pembahasan atas Undang Undang Nomor 7
tahun 1992 tentang Perbankan
c. Surat keputusan direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Kep/Dir tentang Bank
Umum berdasarkan prinsip Syariah
d. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/Kep/Dir tentang Bank
Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip Syariah
Sedangkan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2003 tentang Peradilan Agama, Antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf
b. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Zakat
c. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang wakaf tanah milik
d. Keputusan bersama Mentri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 422 Tahun 2004, Nomor 3/SKB/BPN/2004 tentang Sertifikat Tanah
Wakaf.
b. Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional(DSN)
11
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
11. DSN berwenang:
a. Memberi atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai
Anggota Pengawas Syariah (BPS) pada suatu lembaga keuangan Syariah dengan
memperhatikan pertimbangan Badan Pelaksana Harian (BPH)-DSN
b. Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS di setiap lembaga keuangan syariah dan
menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.
c. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang seperti Bank Indonesia dan BAPEPAM. Memberikan
peringatan kepada lembaga keuanagan syariah untuk menghentikan
penyimpangan dari fatwa yang dikeluarkan DSN
Setiap Bank syariah mewakili Dewan Pengawas Syariah (DPS) Yang berfungsi
a. Mengawasi kegiatan usaha agar sesuai dengan ketentuan syariah.
b. Sebagai penasihat dan pemberi saran mengenai hal-hal terkait dengan aspek
syariah
c. Sebahgai mediator antara bank dengan Dewan Syariah Nasional (DSN), terutama
dalam hal kajian produk yang memerlukan kajian dan fatwa DSN.
Saat ini telah mengeluarkanfatwa tentang kegiatan ekonomi syariah sebagai berikut
a. Fatwa Dewen Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/VI/2006 tentang
Murabahah
b. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 06/DSN-MUI/IV/2006 tentang Jual Beli
Istisnah
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2006 tentang
pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
d. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 08/DSN-MUI/IV/2006 tentang
penbiayaan musyawarah
c. Fiqih dan Ushul Fiqih
Sebagian besar kitab fiqih yang Muktabar berisi berbagai masalah muamalah yang dapat
dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syariah. Kitak-kitab fiqih yang
dianjurkan Mentri Agama RI melalui Biro Peradilan Agema berdasarkan Surat Edaran
Nomor B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 agar mempedomani 13 kitab fiqih.
12. d. Adab Kebiasaan
e. Yurisprudensi
D. PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH DI INDONESIA
1. Perdamaian (Ash-Shulhu)
a. Pengertian
Dalam bahasa arab perdamaian diistilahkan dengan ash-shulhu, secara harfiah
mengandung pengertian memutuskan pertengkaran/perselisihan.dalam pengertian syariat
dirumuskan sebagai, suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan
(perselisihan) antara dua orang yang berlawanan.
Perdamaian tersebut terdapat dua pihak, yang sebelumnya terjadi persengketaan.
Kemudian, para pihak sepakat untuk saling melepaskan sebagian dari tuntutannya. Hal itu
dimaksudkan agar persengkataan di antara mereka berakhir. Pengaturan mengenai
perdamaian dalam hukum islam sangat dianjurkan, sebab dapat menghindari kehancuran
silaturrahmi sekaligus permusuhan diantara para pihak.
Alqur’an menegaskan: “jika dua golongan orang yang beriman bertengkar, damaikanlah
mereka. Tapi jika salah satu dari kedua (golongan) berlaku aniaya terhadap yang lain, maka
perangilah orang yang aniaya sampai kembali kepada perintah allah. Tapi jika ia telah
kembali dmaiknlah keduanya dengan adil, bertindaklah benar. Sungguh Allah cinta akan
orang yang berlaku adil.”12
Dalam sunnah, anjuran perdamaian dapat ditemukan dalam Hadist Nabi Muhammad saw,
dari Abu Daud, ‘Amar Bin Auf, bahwa Rasullullah saw, bersabda : “perjanjian diantara
orang-orang muslim itu boleh, kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal.”
12
QS. Al-Hujarat : 9
13. Sedangkan Umar Bin Khattab di dalam sebuah peristiwa pernah mengatakan : “tolaklah
permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan
mengembangkan kelengkingan diantara mereka (pihak yang bersengketa).”
Dalam perdamaian terdapat rukun perjanjian perdamaian yakni adanya ijab, kabul dan
lafal. Ketiga rukun tersebut sangat penting dan menentukan lahirnya sebuah perdamaian.
Apabila rukun telah terpenuhi maka perjanjin perdamaian diantara para pihak yang
bersengketa telah berlangsung. Selanjutnya perjanjian perdamian yang dibuat akan
melahirkan suatu ikatan hukum yang mana para pihak berkewajiban untuk
memenuhi/menunaikan pasal-pasal perjanjian perdamaian. Dan apabila salah satu pihak tidak
menuaikannya, maka pihak lain dapat menuntut agar perjanjian perdamaian itu dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
b. Pelaksanaan perdamaian
Pelaksanaan perdamaian terdiri dari :
Perdamaian di luar pengadilan
Sebagaimana yang dikemukakan di atas, dalam persengketaan selalu terdapat dua atau
lebih pihak yang bertikaian. Di dalam penyelesaian persengkatan, dapat saja mereka
menyelesaikan sendiri. Misalnya, mereka minta bantuan kepada keluarga, pemuka
masyarakat atau pihak linnya dalam upaya mencari penyelesaian persengketaan diajukan atau
bahkan selama proses persidangan berlangsung. Dengan cara itu, banyak yang berhasil.
Melalui sidang pengadilan
Perdamaian melalui sidang pengadilan berlainan dengan cara perdamaian di luar
pengadilan. Pada saat sidang pertama di pengadilan, hakim wajib mendamaikan kedua belah
pihak sesuai dengan prosedur mediasi yang diamanahkan oleh PERMA No. 1 Tahun 2008
tentang Mediasi.
Seandainya hakim berhasil untuk mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa,maka
dibuatlah akta perdamaian .kedua belah pihak yang bersengketa dihukum menaati isi dari
akta perjanjian perdamaian tersebut. Lazimnya dalam praktik diidtilahkan dengan akta
dadling
14. Akta perdamaian yang dibuat melalui sidang pengadilan tidak dapat diajukan banding,
dengan kata lain mempinyai hukum tetap.
1. Pembatalan perdamaian
Perjanjian perdamaian tidak dapat dibatalkan secara sepihak, dan telah mempunyai
krkustan hukum yang sama dengan keputusan pengadilan tingkat terakhir.
Denganperkataan lain, tidak dapat lagi diajukan gugatan terhadap perkara/persoalan
yang sama dan telahdan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kranch van
gewinjsde).
Meskipun demikian, perjanjian perdamaian masih mungkin dibatalkan, apabila:
a. Telah terjadi suatu kekhalifaan mengenai subjeknya (orangnya).
b. Telah terjadi kekhalifahan terhadap pokok perselisihan.
2. Abritrase
a. Pengertian
Dalam perspektif islam, ‘arbitrase’ dapat dipadankan dengan istilah ‘tahkim’.
Tahkim berasal dari kata ‘hakkam’. Secara emitologi, takhim berarti
menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Secara umum, takhim
memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal pemutusan
suatu persengketaan oleh seseorang atau beberapa orang ditunjukan oleh
pihak-pihak diluar hakim atau pengadilan (subekti, 1984: 181) dalam
praktiknya disebut perwasitan. Orang yang menyelesaikan disebut dengan
Hakam.
Ruang lingkuparbitrase hanya terkait dengan persoalan yang menyangkut
‘hulququl ibad’ (hak-hak perorangan) secara penuh, yaitu aturan hukum yang
mengatur hak perorangan berkaitan dengan harta bendanya. Tujuan abritrase
hanya menyelesaikan sengketa dengan jalan damai hanya menurut sifat
menerima untuk didmaikan, yaitu sengketa yang menyangkut dengan harta
benda dan yang sama sifatnya dengan itu.
Pasal 66 huruf b Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrse dan
alternatif penyelesaian sengketa menjelaskan bahwa sengketa-sengketa yang
tidak dapat diselesaikan oleh lembaga arbitrase adalah sengketa-sengketa yany
menurit perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
15. Ruanglingkup ekonomi yang mencakup perniagaan, perbankan, keuangan
penanaman modal, industri, hak kekayaan intelektun dan sejenisnya termasuk
yang dilasanakan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang timbul dalam
pelaksanaanya
Dasar hukum pelaksanaan arbitrase di indonesia adalah pasal 15 s.d 651
Reglement op de Burgerlijke rechttsvordering (RV), Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2009 tentang perubahan kedia atas Undang-Undang Nomor14 Tahun
1985 Tentang Mahkamah Agung ada yang mengemukakan tentang
‘Pewasitan’. Undang-Undang ini mengatur tentang upaya hukum terhadap
putusan abritrase ini.
Keputusan badan perwasitan oleh undang-undang dipandang sebagai putusan
badan peradilan tingkat terakhir, dan sekaligus dapat dimintakan eksekusi,
yaitu melalui ketua pengadilan negri setempat.
Lembaga abritrase telah didirikan pada tanggal 3 Desember 1977dengang
nama Badan Abritrase Nasional Indonesia (disingkat BANI) yang pendirian
disponsori oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin).
Suatu persengketaan dapat diajukan ke depan BANI apabila:
i. Sebelumya antara pihak-pihak yang bersengketa twlah sepakat bahwa
persengketaan mereka diselesaikan berdasarkan keputusan abriter
(wasit).
ii. Apabila pihak-pihak yang bersengketa di dalam perjanjian
mencantumkan bahwa apabila di antara mereka terdapat
persengketaan, maka persengketaan tersekut akan diputus oleh abitrase
(ada klausula abritrase dalam pasal-pasal kontrak yng mereka
lakukan).
Kedia hal itu (persetujuan abitrase dan klausul abitrase) mempunyai kekuatan
hukum yang sama.
Adapun keuntungan menyelesaikan persengketaan melalui abitrase adalah:
1. Persengketaan dapat diselesaikan dengan cepat.
2. Persengketaan diselesaikan oleh ahli yang dipilih pihak-pihak yang
bersengketa semdiri. Dengan demikian memungkinkan para pihak
menemukan rasa keadilan.
16. 3. Penyelesaian persengketean tersebut dilakukan dengan pintu tertutup
sehingga persengketaan tersebut tidak sampai diketahui oleh
masyarakat banyak.
b. Dasar Hukum
Surat An-Nisa’(4);35 berbunyi: Jika kamu khawatir ada persengketaan di antara
keduanya, maka kirimkan seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberikan taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi
Maha Mengenal.’ Dan surat lain yang dijadikan sandaran Arbitrase seperti Surat Al-Hujarat
(49):9, An-Nisa’(4):114 dan 138 sehingga yang dimaksud dengan hakam dalam ayat ini
adalah juru damai di antara suami istri yang bersengketa.Ada beberapa lembaga abitrase di
indonesia yang menyelessaikan sengketa bisnisyang terjadi dalam hubungan perdangangan
yaitu
1. BANI (Badan Abitrase Nasional Indonesia)
Khusus menyelesaikan bisnis non-islam. Secara garis besar prosedur pelaksanaan
arbitrase melalui BANI yaitu:
a. Mendaftarkan surat permohonan untuk mengadakan arbitrase dan didaftarkan
dalam register perkaramasuk.
b. Apabila perjanjian arbitrase ada klausula yang mengatakan bahwa akan
diselesaikan melalui arbitrase maka dianggap telah mencukupi. Ketua BANI
mengeluarkan perintah menyampaikan salinan dari surat permohonan kepada
si termohon disertai perintah untuk menaggapi permohonan tersebut dan
memberi jawaban secara tertulis dalam waktu 30 hari.
c. Majelis arbitrase akan memeriksa sengketa antara para pihak atas nama BANI
dan menyesuaikan serta memutus sengketa.
d. Ketua BANI memerintahkan kedia belah pihak menghadap di muka sidang
arbitrase pada waktu selambatnya 14 hari terhitung dari dikeluarkanya
perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakili kepada
seorang kuasa dengan surat kusa khusus.
e. Majelis akan mengusahakan tercapainya perdamaian antara kedua belah pihak
yang bersengketa.
f. Kediabelah pihak dipersilahkan menjelaskan masing-masing pendirian serta
nengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap perlu menguatkanya.
17. g. Selama belum dijatuhkan putusan , pemohon dapat mencabut permohonanya
h. Apabila Majelis Arbitrase menganggap pemeriksaan sudah cukup, maka ketua
majelis akan menutupdan menghentikan pemeriksaan dan menetapkan hari
sidang selanjutnya untuk mengucapkan putusan yang diambil.
i. Biaya pelaksamaan (eksekusi) suatu putusan arbitrase ditetapkan dengan
peraturan bersama antara BANI dan Pengadilan Negri yang bersengketa.
2. (BAMUI) Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
MUI memprakasai berdiri BAMUI dan dioperasionalkan pada tanggal pada tanggal 1
oktober 1993. Tujuan dibentuk:
a. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-segketa
muamalahperdata yang timbul dalam bidang perdagangan, industri, keuangan,
jasa dan lain-lain.
b. Menerima permintaan yang diajukaoleh para pihak dalam suatu perjanjian
tanpa adanya sengketa untuk memberikan suatu pendapat yang
mengikatmengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
Syarat menjadi arbriter tunggal/Arbriter majelis adalah beragama Islam dan tidak
melanggar undang-undang. Apabila usaha damai Arbriter berhasil maka dibuakkan
akta perdamaian dan menghukum kedua pihak menaati dan memenuhi perdamaian
tersebut. Jika tidak berhasil maka arbriter akan melanjutkan pemeriksaanya dengan
cara para pihak membuktikan dalil-dalil gugatanya, mengajukan saksi-saksi atau
mendengarkan pendapat para ahli dan sebelum mengajukan keterangan harus
disumpahkan terlebih dahulu.
Asas pemeriksaan sidang arbitrase bersifat tertutup demi menjaga nama baik
perusahaan masing-masing dan tidak mutlak atau permanen. Tetap bisa terbuka bila
ada persetujuan kedua belah pihak setuju.
Putusan BAMUI bersifat final dan mengikat bagi para pihak bersengketa dan wajib
menaati putusan itu. Apabila tidak maka menurut ketentuan Pasal 637 dan pasal 639
Rv, Pegadilan Negri memiliki peran dalam memberi exequatur bagi putusan arbitrase.
3. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
Dasar hukum pembentukan lembaga sebagai berikut:
a. Undang-undang nomor 30 tahum 1999 tentang Arbitrase dan alternatif
Penyelesaian Sengketa.
18. Arbitrase menurut Undang-Undang nomor 30 tahun1999 adalah penyelesaian
sengketa perdata di luar peradilan peradilan umum, sedangkan lembada
arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BARSYARNAS) adalah lembaga
arbitrase sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999.
b. SK MUI (Majelis Ulama Indonesia)
SK. Dewan Pimpinan MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember
2003 tentang BARSYARNAS yaitu lembaga hakam (arbitrase syariah) yang
berwenang mmeriksa dan memutuskan sengketa muamalah yang timbul
dalam bidang perdangangan, keuangan,industri, jasa dan lain-lain.
c. Fatwa DSN-MUI
Perihal hubungan muamalah (perdata) senantiasa diakhiri dengan ketentuan:
“jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibanya atau terjadi perselisihan
antar kedia belah pihak, maka penyelesaian dilakukan melalui badan Badan
Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”
(Fatwa No. 07 tentang Pembiayaan Mudharabah, Fatwa No. 08 tentang
Pembiayaan musyarakah, dan seterunya)
BASYARNAS berwenang:
a. Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketah muamalah (perdata) Yang
timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain, yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa, dan secara tertulis untuk menyerahkan
penyelesaianya kepada BASYARNAS sesuai dengan Prosedur mereka.
b. Memberikan pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa
adanya suatu sengketa mengenai persioalan berkenaan dengan suatu
perjanjian.
2. Al QADHA (PERADILAN)
Menurut arti bahasa, al Qadha yaitu memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah berarti
‘menetapkan hukum syara pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikan secara
adil dan mengikat’. Kewenangan yang dimiliki lembaga ini adalah menyelesaikan perkara-
19. perkara berhubungan masalah al ahwal asy sykhsiyah (masalah keperdataan, termasuk di
dalamnya hukum keluarga), dan masalah jinayat (yakni hal-hal yang menyangkut pidana).
Orang yang berwenang menyelesaikan perkara di pengadilan disebut qadhi(hakim).
Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam Pasal 49-53 Undang-Undang
Nomot 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Wewenang tersebut terdiri atas wewenang relatif dan wewenang absolut
(gemala dewi,dkk,2004; 101.
a. Kewenangan Relatif
Kewenagan atau kekuasaan relatif berhubungan dengandaerah hukum suatu pengadilan ,
baik pengadilantingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding. Cakupan dan
batasan kekuasan relatif pengadilan ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan (Cik Hasan Bisri, 2000:220)
Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama
menyatakan: “Pada dasarnya tempat kedudukan pengadilan Agama yang ada di kota atau
ibukota Kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kota atau kabupaten, tetapi
tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian”.
b. Kewenagan Absolut
Artinya kekuaasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis
pengadilan, dalam jes perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainya.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama memiliki kekuasaan memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan “perkara tertentu” di kalangan “golongan rakyat tertentu”,
yaitu orang-orang yang beragama islam.
Menurut Bab I Pasal 2 jo Bab Bab III Pasal 49 Undang-undang nomor7 tahun 1989
menetapkan tugas kewenagannya yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun
1986 mendefinikan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yng dilaksanakan
menurut prinsip syariah, meliputi:
a. Bank Syariah
b. Asuransi Syariah
c. Reasuransi syariah
20. d. Reksa Dana Syariah
e. Obligasi syariah dan Surat Berjangka Menengah Syariah
f. Sekuritas Syariah
g. Pembiayaan Syariah
h. Pengadaian syariah
i. Dana pensiun Lembaga Keuangan Syariah
j. Binis Syariah
k. Lembaga Keuangan Mikro syariah
l. Baitul Mal Wat-Tamwil (BMT)
Lembaga yang diopersionalkan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis
usaha mikro dalam membela kepentingan kaum fakir miskin, dditumbuhkembangkan
atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat ssetempat dengan
berlandaskan pada sistem ekonomi yang berintikan keadilan.
m. Koperasi Syariah
21. BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dijabarkan dalam makalah ini, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa :
1. Ekonomi Syari’ah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang,
kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum
dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial
menurut prinsip syari’ah.. Sedangkan sistem ekonomi syari’ah itu sendiri adalah ilmu
ekonomi yang dilaksanakan dalam praktik (penerapan ilmu ekonomi) sehari-harinya
bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat maupun pemerintah/penguasa dalam
rangka mengorganisasikan faktor produksi, distribusi, dan pemanfaatan barang dan
jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturan perundang-undangan islam
(Sunnatullah).
2. Ekonomi Syariah di atas adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut prinsip syari’ah, antaranya meliputi :
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah;
c. asuransi syari’ah;
d. resuransi syari’ah;
e. reksadana syari’ah;
f. obligasi dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
22. k. bisnis syari’ah.13
3. Sumber atau Dasar Hukum Ekonomi Syariah
o Peraturan Perundangan-undangan
Peraturan perundang-undangan yang harus dipahami oleh Hakim peradilan Agama yang
berhubungan dengan Bank Indonesia antara lain:
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan
Undang-undang Nomor 1998 tentang pembahasan atas Undang Undang Nomor 7 tahun
1992 tentang Perbankan
Surat keputusan direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Kep/Dir tentang Bank Umum
berdasarkan prinsip Syariah
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/Kep/Dir tentang Bank
Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip Syariah
Sedangkan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2003 tentang Peradilan Agama, Antara lain:
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Zakat
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang wakaf tanah milik
Keputusan bersama Mentri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 422 Tahun 2004, Nomor 3/SKB/BPN/2004 tentang Sertifikat Tanah
Wakaf.
o Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional(DSN)
DSN berwenang:
Memberi atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai
Anggota Pengawas Syariah (BPS) pada suatu lembaga keuangan Syariah dengan
memperhatikan pertimbangan Badan Pelaksana Harian (BPH)-DSN
Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS di setiap lembaga keuangan syariah dan
menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.
Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang seperti Bank Indonesia dan BAPEPAM. Memberikan
13
Ibid. Hlm. 3
23. peringatan kepada lembaga keuanagan syariah untuk menghentikan
penyimpangan dari fatwa yang dikeluarkan DSN
Setiap Bank syariah mewakili Dewan Pengawas Syariah (DPS) Yang berfungsi
Mengawasi kegiatan usaha agar sesuai dengan ketentuan syariah.
Sebagai penasihat dan pemberi saran mengenai hal-hal terkait dengan aspek
syariah
Sebahgai mediator antara bank dengan Dewan Syariah Nasional (DSN), terutama
dalam hal kajian produk yang memerlukan kajian dan fatwa DSN.
Saat ini telah mengeluarkanfatwa tentang kegiatan ekonomi syariah sebagai berikut
Fatwa Dewen Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/VI/2006 tentang
Murabahah
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 06/DSN-MUI/IV/2006 tentang Jual Beli
Istisnah
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2006 tentang
pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 08/DSN-MUI/IV/2006 tentang
penbiayaan musyawarah
o Fiqih dan Ushul Fiqih
Sebagian besar kitab fiqih yang Muktabar berisi berbagai masalah muamalah yang dapat
dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syariah. Kitak-kitab fiqih yang
dianjurkan Mentri Agama RI melalui Biro Peradilan Agema berdasarkan Surat Edaran
Nomor B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 agar mempedomani 13 kitab fiqih.
o Adab Kebiasaan
o Yurisprudensi
4. Cara Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah
Pelaksanaan perdamaian terdiri dari :
Perdamaian di luar pengadilan
24. Sebagaimana yang dikemukakan di atas, dalam persengketaan selalu terdapat dua atau
lebih pihak yang bertikaian. Di dalam penyelesaian persengkatan, dapat saja mereka
menyelesaikan sendiri. Misalnya, mereka minta bantuan kepada keluarga, pemuka
masyarakat atau pihak linnya dalam upaya mencari penyelesaian persengketaan diajukan atau
bahkan selama proses persidangan berlangsung. Dengan cara itu, banyak yang berhasil.
Melalui sidang pengadilan
Perdamaian melalui sidang pengadilan berlainan dengan cara perdamaian di luar
pengadilan. Pada saat sidang pertama di pengadilan, hakim wajib mendamaikan kedua belah
pihak sesuai dengan prosedur mediasi yang diamanahkan oleh PERMA No. 1 Tahun 2008
tentang Mediasi.
Al QADHA (PERADILAN)
Menurut arti bahasa, al Qadha yaitu memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah berarti
‘menetapkan hukum syara pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikan secara
adil dan mengikat’. Kewenangan yang dimiliki lembaga ini adalah menyelesaikan perkara-
perkara berhubungan masalah al ahwal asy sykhsiyah (masalah keperdataan, termasuk di
dalamnya hukum keluarga), dan masalah jinayat (yakni hal-hal yang menyangkut pidana).
Orang yang berwenang menyelesaikan perkara di pengadilan disebut qadhi(hakim).
B. Saran
Dari penjelasan-penjelasan di atas, penulis memberikan saran sebagai berikut :
1. Adanya regulasi yang lebih tegas mengenai ruang lingkup dari ekonomi syariah.
2. Adanya pembekalan kepada masyarakat produk dari ekonomi syariah, dan
menjelaskan cara penyelesesaiannya.
3. Ekonomi syariah berkembang pesat di Indonesia pasca reformasi mengharuskan
pemerintah Indonesia untuk menyediakan sarana ekonomi syariah tersebut agar
cita-cita Bangsa Indonesia yang tercantum dalam Alinea ke-4 Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia dapat tercapai.
4. Optimalisasi terhadap penyelesaian sengketa melalui perdamaian sebagaimana
yang diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi.
25. DAFTAR PUSTAKA
Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi. 2012. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Suhrawardi K. Lubis. 2000. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Abdul Mughits, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dalam Tinjauan Hukum Islam. Almawarid
Edisi XVIII Tahun 2008.
Illy Yanti dan Habriyanto. 2010. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah: Studi Kasus Sengketa
Ekonomi Syari’ah di Lembaga Keuangan Syari’ah Kota Jambi. Vol. 27 No. 3
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
PERMA Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012