MODUL AJAR PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Diskusi 2.docx
1. Untuk mengatasi penyelesaian sengketa lintas jurisdiksi khususnya dalam transaksi e-
commerce, berkembang suatu metode penyelesaian sengketa disebut online dispute
resolution. Apa yang saudara ketahui tentang online dispute resolution? bagaimana pengaturan
ODR di Indonesia saat ini? serta berikan contoh kasus terkait ODR.
Jawaban :
Diilhami eksistensi APS dalam dunia offline, Online Dispute Resolution (ODR) lahir sebagai varian
dari APS. Sehingga dapat dikatakan bahwa ODR merupakan implementasi APS dengan
menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagaimana definisi ODR menurut Colin
Rule (dalam Terjemahan Bahasa Indonesia), yakni: “penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi untuk membantu pihak-pihak mengelola, mengubah, dan menyelesaikan konflik
mereka.” Pengertian senada diberikan oleh Pablo Cortes (dalam Terjemahan Bahasa Indonesia)
yakni: “Online Dispute Resolution (ODR) sering disebut sebagai bentuk Alternatif Dispute
Resolution (ADR) yang memanfaatkan kecepatan dan kenyamanan Internet dan ICT. ODR adalah
pilihan terbaik (dan seringkali satu-satunya) untuk meningkatkan penanganan keluhan konsumen,
memperkuat kepercayaan mereka di pasar, dan mempromosikan pertumbuhan e-commerce yang
berkelanjutan”. Di mana ODR diartikan secara umum sebagai suatu proses di mana perselisihan
ditangani secara substansial (melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase atau kombinasi dari
semuanya) melalui jaringan elektronik seperti Internet.
ODR pertama muncul pada Tahun 1995 di Amerika Serikat. The National Centre for Automated
Information Research (Philadelphia, Amerika Serikat) membuat ODR dengan nama Virtual
Magistrate (VM) yang mempunyai kompetensi untuk menyelesaikan sengketa antara penyedia jasa
internet (internet service providers) dan pengguna (users).
Pada awalnya penerapan ODR di Indonesia masih menimbulkan beberapa permasalahan, karena UU
AAPS secara eksplisit belum mengatur tentang penyelesaian sengketa secara online melainkan hanya
mengatur secara jelas penyelesaian sengketa secara konvensional seperti yang termaktub dalam Pasal 6
Ayat (2) UU AAPS yaitu: “Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepekatan
tertulis” Namun, setelah pemerintah Indonesia pada November 2019 mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Selanjutnya ditulis
PP PMSE), maka implementasi ODR di Indonesia sudah memiliki dasar hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 Ayat (2) PP PMSE sebagai berikut: “Penyelesaian sengketa elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik (online dispute resolution) berdasarkan
ketentuan perundang-undangan.” Pasal tersebut dianggap memberikan dasar bagi pelaksanaan ODR di
Indonesia, meskipun peraturan pemerintah ini belum secara khusus menunjuk suatu lembaga sebagai
penyelenggara ODR di Indonesia.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah pusat arbitrase di Indonesia. Lembaga arbitrase ini
memberikan beragam jasa yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari
APS termasuk hybrid arbitration sebagai APS komersial melalui pengadilan. BANI menawarkan kepada
2. para pihak forum yang independen untuk menyelesaikan sengketa bisnis dan memberikan dukungan
kelembagaan yang diperlukan dengan bertindak secara otonomi dan independen dalam penegakan
hukum dan keadilan. BANI membantu para pihak menunjuk arbiter apabila mereka tidak mencapai
kesepakatan dan memantau dan mengawasi proses arbitrase.
Dalam lingkup BANI, penerapan metode online untuk menyelesaikan sengketa pada awalnya
menggunakan dasar hukum Pasal 4 Ayat (3) dan Pasal 34 UU AAPS untuk penyelenggaraan arbitrase
online. Berdasarkan kedua pasal tersebut, BANI mengelompokkan sengketa yang diajukan pemohon
termasuk pada wanprestasi jual beli online, pelanggaran hak cipta, paten, atau pencemaran nama baik
karena banyak sengketa yang berhubungan dengan kegiatan melalui media online. BANI akan
menetapkan proses penyelesaian sengketa tersebut secara online atau tidak setelah mendapat
persetujuan para pihak bersengketa.
Pada Mei 2020 lalu BANI menerbitkan Surat Keputusan Nomor 20.015/V.SK-BANI/HU tentang Peraturan
dan Prosedur Penyelenggaraan Arbitrase Secara Elektronik yang terdiri dari 12 pasal. SK Arbitrase Secara
Elektronik terbit dengan mempertimbangkan rapat dan sidang Majelis Arbitrase atau Arbiter Tunggal
dapat diadakan pada setiap waktu dan tempat termasuk melalui jaringan internet. Dengan adanya SK
Arbitrase Secara Elektronik ini, maka SK Dewan Pengurus BANI mengenai Penghentian Sementara Proses
Persidangan di BANI Selama Masa Pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) dinyatakan tidak berlaku.
Sedangkan SK Arbitrase Secara Elektronik mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Namun, dari 12 pasal
tersebut tidak ada satupun pasal yang mengatur tentang asas dan prinsip pelaksanaan ODR, aspek
keamanan media yang digunakan, dan perlindungan hukum terhadap kerahasiaan data pribadi para
pihak. Sehingga dapat dikatakan bahwa SK BANI ini belum memberikan pengaturan secara jelas
mengenai ODR.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan ODR di Indonesia, klausul
tersebut juga belum banyak memberikan kejelasan mengenai bagaimana syarat
dilaksanakannya ODR, mekanisme ODR, dan penjelasan lainnya. Perlu disadari bahwa
penyelesaian sengketa secara online juga masih banyak mengalami kendala di Indonesia
seperti belum adanya regulasi secara khusus terkait ODR, tidak meratanya koneksi internet,
masih banyaknya kekhawatiran warga Indonesia yang belum percaya akan sahnya dokumen
berbentuk soft-file, penyelesaian sengketa secara online masih belum terdengar familiar bagi
sebagian masyarakat Indonesia, belum banyaknya sarana-prasarana yang mendukung
penyelesaian sengketa secara online guna memudahkan masyarakat seperti lembaga atau
website dsb. Artinya, Khusus dalam konteks Indonesia, isu yang perlu memperoleh perhatian dalam
pengaturan dan penyelenggaraan ODR di masa mendatang adalah berikut ini: (1) pengaturan ODR yang
tersebar dan tidak lengkap; (2) kesadaran (awareness) atas kehadiran ODR; (3) aksesibilitas dan literasi;
(4) infrastruktur; dan (5) pengembangan kapasitas.
Contoh Kasus : PT. Aneka Tambang Tbk (PT. ANTAM), sebuah BUMN yang bergerak dibidang produksi
emas dan nikel, yang digugat oleh Budi Said di Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur karena
dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini, Budi Said membeli emas sebanyak 7
ton dari pihak ketiga yang bernama Eksi Anggraeni dengan harga di bawah harga resmi yang ditawarkan
3. PT. ANTAM. Setelah disepakati dan dibayar lunas, ternyata Budi Said hanya mendapat emas sebesar
5,935 ton dari total 7 ton yang telah disepakati. Tetapi PT. ANTAM merasa tidak pernah menjual Logam
Mulia selain harga resmi yang tercantum di laman resmi perusahaan. Gugatan Budi Said diajukan
tanggal 7 Februari 2020 dengan nomor perkara 158/Pdt.G/2020/PN-Sby.
Sumber :
Meline Gerarita Sitompul, DKK., Online Dispute Resolution (Odr): Prospek Penyelesaian Sengketa E-
Commerce Di Indonesia, Jurnal Renaissance, Volume 1 No. 02, Agustus 2016, hlm: 75-93.