WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
AKAD SEBAGAI BINGKAI TRANSAKSI BISNIS SYARIAH.ppt
1.
2. DEFINISI AKAD
Perjanjian atau akad mempunyai arti penting dalan kehidupan masyarakat dan merupakan
dasar dari sekian banyak aktivitas keseharian kita. Akad adalah bingkai transaksi dalam
ekonomi syariah karena melalui akad berbagai kegiatan bisnis dan usaha dapat dijalankan.
Akad menfasilitasi setiap orang dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang
tidak dapat dipenuhinya tanpa bantuan dan jasa orang lain. Karenanya dapat dibenarkan
bila dikatakan bahwa akad merupakan sarana sosial yang ditemukan oleh peradaban umat
manusia untuk mendukung kehidupannya sebagai makhluk sosial.
istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam hukum Islam. Kata akad
berasal dari al-’aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan.
Singkatnya akad adalah “Pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua
pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya”.
• Pada pembahasan Fiqih Muamalah, kontrak atau perjanjian disebut dengan aqad. Hal itu
adalah sebagaimana surat al –Maidah ayat 1 : “Hai orang-orang yang beriman penuhilah
akad diantara kamu” dan juga di jelaskan dalam surat al-Isra ayat 34. “Karena setiap
perjanjian (al-ahdu) pasti akan dimintai pertanggung jawabannya”.
3. RUKUN DAN SYARAT AKAD
Dalam Hukum Islam Untuk Terbentuknya Suatu Akad (Perjanjian) Harus Memenuhi (1) Rukun, dan (2)
Syarat Akad. Syarat Akad Dibedakan Menjadi Empat Macam Yaitu:
(1) Syarat Terbentuknya Akad (Syuruth Al-in’iqad),
(2) Syarat Keabsahan Akad (Syuruth Ash-shihhah),
(3) Syarat Berlakunya Akibat Hukum Akad (Syuruthan-nafadz) Dan
(4) Syarat Mengikatnya Akad (Syuruth Al-luzum).
Dalam hukum Islam, unsur-unsur yang dapat membentuk sesuatu disebut Rukun Akad adalah unsur-
unsur yang membentuk akad, sehingga akad itu terwujud karena adanya unsur-unsur yang
membentuknya. Menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, Rukun yang membentuk akad itu ada
empat, yaitu ;
1. Para pihak yang membuat akad (Al-‘aqidan),
2. Pernyataan kehendak /Kesepakatan para pihak (Shigatul-aqd),
3. Obyek Akad (Mahallul-‘aqd) dan
4. Tujuan Akad (maudhu al-‘aqd).
4. LANJUTAN
Salah satu syarat terbentuknya akad adalah terjadinya penyataan
kehendak/ kesepakatan (ijab qabul) yang dilakukan oleh kedua
belah pihak. Ijab dan qabul adalah bentuk penawaran dan
penerimaan/ persetujuan sebagai pernyataan kehendak untuk
tercapainya kesepakatan. Kesepakatan terjadi pada saat ada
pertemuan dari dua kehendak yakni penawaran dan penerimaan.
Apabila telah diterima atau disetujui oleh pihak lainnya, maka
terjadi penerimaan dan terjadi persesuaian kehendak kedua belah
pihak. Dengan tercapainya kesepakatan maka terjadilah akad/
kontrak/perjanjian. Kesepakatan dapat dilakukan dengan berbagai
cara tertulis, dengan cara lisan maupun dengan simbul-simbul
5. SYARAT TERBENTUKNYA AKAD (SYURTH AL-
IN’IQAD);
Masing-masing rukun (unsur) yang membentuk akad di atas
memerlukan syarat-syarat unsur (rukun) itu dapat berfungsi membentuk
akad. Tanpa adanya syarat-syarat dimaksud, rukun akad tidak dapat
membentuk akad.
Dalam hukum Islam, syarat-syarat dimaksud disebut syarat-syarat
terbentuknya akad (syuruth al-in ‘iqad). Rukun Pertama, yaitu para pihak
harus memenuhi dua syarat yaitu (1) tamyis, dan (2) berbilang (at-
ta’addud). Rukun Kedua yaitu pernyataan kehendak, harus memenuhi dua
syarat juga, yaitu (1) Adanya persesuaian ijab dan qabul, dengan kata lain
adanya kata sepakat, dan (2) Kesatuan Majelis Akad. Rukun Ketiga, yaitu
obyek akad, harus memenuhi tiga syarat, yaitu (1) obyek itu dapat
diserahkan, (2) tertentu, atau dapat ditentukan, dan (3) obyek itu dapat
ditransaksikan. Rukum Keempat, memerlukan satu syarat, tidak
6. Syarat-syarat Keabsahan Akad (Syuruth Ash-shihab)
Rukun-rukun dan syarat-syarat terbentuknya akad yang disebutkan di atas memerlukan kualitas tambahan sebagai unsur
penyempurnaan. Perlu ditegaskan bahwa dengan memenuhi rukun dan syarat-syarat terbentuknya, suatu akad memang sudah
terbentuk dan mempunyai wujud yuridis syar’i, namun belum serta merta sah. Untuk sahnya suatu akad, maka rukun dan syarat
terbentuknya akad tersebut memerlukan unsur-unsur penyempurnaan yang menjadikan suatu akad sah. Unsur-unsur penyempurnaan
ini disebut syarat keabsahan akad. Syarat keabsahan ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) syarat keabsahan umum yang berlaku
terhadap semua akad dan (2) syarat –syarat khusus yang berlaku bagi masing-masing aneka akad khusus.
Rukun pertama, yaitu para pihak, dengan dua syarat terbentuknya, yaitu tamyiz dan berbilang, tidak memerlukan sifat
penyempurnaan.
Rukun kedua, yaitu pernyataan kehendak dengan kedua syaratnya, juga tidak memerlukan sifat penyempunaan.
Namun menurut jumhur ahli hukum islam syarat kedua dari rukun kedua ini memerlukan penyempurnaan, yaitu
persetujuan ijab dan qabul itu harus dicapai secara bebas tanpa paksaan. Bilamana terjadi dengan paksaan, maka
akadnya fasid.
Rukun ketiga, yaitu obyek akad,
Dengan ketiga syaratnya memerlukan penyempurnaan. “Syarat dapat diserahkan” memerlukan unsur penyempurnaan yaitu bahwa
penyerahan itu tidak menimbulkan kerugian (dharar) dan apabila menimbulkan kerugian maka akadnya fasid. Syarat ‘obyek harus
tertentu’ memerlukan kualifikasi penyempurnaan yaitu tidak boleh mengandung gharar, dan apabila mengandung unsur gharar, maka
akdnya menjadi fasid. Begitu pula syarat “obyek harus bisa ditransaksikan” memerlukan unsur penyempurnaan, yaitu harus bebas dari
syarat fasid dan bagi akad atas beban harus bebas dari riba. Dengan demikian secara keseluruhan ada empat sebab yang menjadikan
fasid suatu akad meskipun telah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya, yaitu (1) penyerahan yang menimbulkan kerugian (2)
gharar, (3) syarat-syarat fasid, dan (4) riba. Bebas dari keempat faktor ini merupakan syarat keabsahan akad.
Akad yang telah memenuhi rukunnya, syarat terbentuknya dan syarat keabsahannya dinyatakan sebagai akad yang sah. Apabila syarat-
7. Syarat Berlakunya Akibat Hukum (Syuruth An-
nafadz)
Pada asasnya, akad yang telah memenuhi rukunnya, serta syarat-syarat terbentuknya, syarat-
syarat keabsahan dan syarat berlakunya maka akad tersebut akan menjadi akad yang sah dan
dapat dilaksanakan akibat hukumnya yaitu mengikat kepada para pihak dan tidak boleh salah
satu pihak menarik kembali persetujuannya secara sepihak tanpa kesepakatan pihak lain.
Untuk dapat dilaksanakan akibat hukumnya, akad yang sudah sah itu harus memenuhi dua syarat
berlakunya akibat hukum, yaitu:
1. Adanya kewenangan sempurna atas objek akad. Maksudnya terpenuhinya dengan para pihak
mempunyai kepemilikan atas objek bersangkutan, atau mendapat kuasa dari pemilik, dan pada
objek tersebut tidak tersangkut hak orang lain seperti objek yang sedang digadaikan atau
disewakan.
2. Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan. Maksudnya kewenangan atas
tindakan hukum terpenuhi dengan para pihak telah mencapai tingkat kecakapan bertindak
hukum yang dibutuhkan bagi tindakan hukum yang dilakukannya. Ada tindakan hukum yang
hanya memerlukan tingkat kecakapan bertindak hukum minimal, yaitu tamyiz, di mana apabila
ini dipenuhi tindakan hukum itu sah dan dapat dilaksanakan akibat hukumnya. Ada pula
tindakan hukum yang memerlukan kecakapan bertindak hukum sempurna, yaitu kedewasaan,
di mana apabila initelah dipenuhi tindakan hukum itu sudah sah dan akibat hukumnya dapat
8. Syarat Mengikatnya Akad (Syuruth Al-
Luzum).
Pada asasnya, akad yang telah memenuhi rukunya, serta syarat terbentuknya, syarat
keabsahannya dan syarat berlakunya akibat hukum – yang karena itu akad tersebut sah dan
dapat dilaksanakan akibat hukumnya adalah mengikat para pihak dan tidak boleh satu
pihak menarik kembali persetujuannya secara sepihak tanpa kesepakatan pihak lain.
Namun ada beberapa akad yang menyimpang dari asas ini dan tidak serta merta mengikat,
meskipun rukun dan semua syaratnya telah dipenuhi. Hal itu disebabkan oleh sifat akad itu
sendiri atau oleh adanya hak khiyar (hak opsi untuk meneruskan atau membatalkan
perjanjian secara sepihak) pada salah satu pihak. Di lain pihak, akad-akad yang di
dalamnya terdapat salah satu jenis khiyar juga tidak mengikat. Akad mengikat apabila di
dalamnya tidak ada lagi hak khiyar. Bebas dari khiyar inilah yang disebut syarat
mengikatnya akad (Syuruth Al-Luzum).
Misalnya akad penitipan atau akad gadai, akad yang menurut sifat aslinya tidak mengikat,
dalam pengertian salah satu pihak atau keduanya dapat membatalkannya secara sepihak
sewaktu-waktu, dan akibat pembatalan itu tidak berlaku surut, tetapi berlaku sejak saat
pembatalan.
Akad penitipan dapat dibatalkan secara sepihak oleh kedua belah pihak, sementara akad
gadai tidak mengikat bagi sebelah pihak, yaitu penerima gadai, di mana ia dapat
9. PERBANDINGAN HUKUM ISLAM DAN KUH PERDATA
Rukun dan Syarat Terbentuknya Akad
Dalam Hukum Perjanjian Islam
I. Para Pihak :
Tamyiz
Berbilang Pihak
II. Pernyataan Kehendak :
Sesuai Ijab dan Kabul (Kata Sepakat)
Kesatuan Majelis
III. Objek Akad :
Dapat diserahkan
Tertentu atau dapat ditentukan
Dapat ditransaksikan
IV. Tujuan Akad :
Tidak Bertentangan dengan Syara’
Syarat Sah Perjanjian Menurut
Pasal 1320 KUH Perdata
1. Kecakapan
2. Kata Sepakat
3. Objek Perjanjian
4. Kausa yang Halal
10. PARA PIHAK DALAM AKAD
Dalam hukum Islam, kecakapan hukum disebut al-ahliyyah yang berarti kelayakan. Atas dasar itu, kecakapan hukum
(al-ahliyyah) didefinisikan sebagai kelayakan seseorang untuk menerima hukum atau bertindak hukum, atau sebagai
“kelayakan seseorang unutk menerima hak dan kewajiban dan untuk diakui tindakan-tindakannya secara hukum
syariah.
Kecakapan hukum menurut hukum Islam terbagi kepada dua macam, yaitu:
1. Kecakapan Menerima Hukum (kecakapan hukum pasif), dalam istilah hukum Islam disebut al-ahliyyah Wujub,
dan
2. Kecakapan Bertindak Hukum (kecakapan menerima hukum aktif), dalam istilah hukum Islam disebut al-
ahliyyah Ada’
Masing masing dari dua kecakapan hukum di atas dibedakan menjadi kecakapan tidak sempurna dan kecakapan
sempurna. Dengan demikian, secara keseluruhan terdapat 4 tingkat kecakapan hukum, yaitu:
a. Kecakapan Menerima Hukum Tidak Sempurna (ahliyyatul wujub an-naqishah), yang dimiliki subjek hukum
ketika dalam kandungan ibu;
b. Kecakapan Menerima Hukum Sempurna (ahliyyatul wujub al-kamilah), yang dimiliki oleh subjek hukum sejak
lahir hingga meninggal;
c. Kecakapan Bertindak Hukum Tidak Sempurna (ahliyyatul ada’ an-naqishah), yang dimiliki subjek hukum ketika
dalam usia tamyiz;
d. Kecakapan Bertindak Hukum Sempurna (ahliyyatul ada’ al-kamilah), yang dimiliki oleh subjek hukum sejak
menginjak dewasa hingga meninggal.
12. PERKEMBANGAN KECAKAPAN HUKUM
DAN KAITANNYA DENGAN USIA
Kecakapan mengalami perkembangan melalui tahapan kehidupan manusia, yaitu periode janin, periode kanak-kanak, periode
tamyiz, dan periode dewasa. Dalam literatur fikih dan usul fikih ditegaskan bahwa kecakapan bertindak hukum baru dikatakan
sempurna dimiliki subjek hukum sejak memasuki usia dewasa. Menurut jumhur ahli hukum Islam kedewasaan itu pada
pokoknya ditandai dengan tanda-tanda fisik berupa ihtilam (keluar mani) atau haid, namun apabila tanda-tanda tersebut
tidak muncul pada saatnya, maka kedewasaan ditandai dengan umur, yaitu 15 Tahun .
Ahli Hukum Hanafi mengatakan dewasa itu umur 18 tahun untuk laki-laki, dan 17 tahun untuk perempuan.
Dikatakan Dewasa : Dalam Pasal 330 KUHP 21 Tahun, Pasal 433 KUHP (dibawah Pengampunan), UU Perkawinan 19 Tahun.
Kedewasaan dan tamyiz haruslah dibedakan dalam kaitannya dengan ibadah (QS An-Nur ayat 56) lebih banyak terkait dengan
etika pergaulan anggota keluarga dalam rumah, sedangkan kedewasaan dan tamyiz dalam lapangan hukum harta kekayaan
lebih tepat bila didasarkan kepada (QS. 4: ayat 6), ayat ini sangat jelas konteksnya, yaitu berbicara tentang tindakan hukum di
lapangan harta kekayaan. Dalam ayat ini tampak jelas bahwa anak-anak yatim yang masih di bawah umur harta kekayaannya
berada di bawah kekuasaan wali dan “untuk dapat diserahkan kekayaan itu kepada mereka harus dipenuhi dua syarat, yaitu
balig untuk menikah dan matang.
Jadi periodesasi hidup manusia dalam kaitan dengan tingkatan kecakapan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan
adalah :
1. Periode Janin, dimana subjek hukum memiliki kecakapan menerima hukum tidak sempurna;
2. Periode Kanak-kanak, yaitu usia 0 sampai hingga 11 tahun, di mana ia memiliki kecakapan menerima hukum
sempurna, hanya saja untuk kewajiban ia Cuma dapat menerima beberapa kewajiban terbatas.
3. Anak mumayyiz, yaitu usia 12 tahun hingga 18 tahun, di mana ia memiliki kecakapan bertindak hukum tidak
sempurna di samping kecakapan menerima hukum sempurna
13. TERMINASI AKAD
Terminasi akad merupakan suatu tindakan untuk mengakhiri suatu perjanjian yang telah tercipta sebelum
dilaksanakan atau belum selesai dilaksanakan. Dalam istilah fiqh sering disebut dengan fasakh (pemutusan), ini
berbeda dengan pengertian berakhirnya akad yang merupakan kondisi selesainya suatu perjanjian. Pemutusan
akad dapat terjadi pada 4 hal sebagai berikut:
1. Pemutusan terhadap akad fasid.
2. Pemutusan terhadap akad yang tidak mengikat baik dikarenakan adanya hak khiar maupun karena sifat akad
tersebut yang tidak mengikat.
3. Pemutusan terhadap akad dengan persetujuan kedua belah pihak.
4. Pemutusan terhadap akad disebabkan oleh salahsatu pihak tidak melaksanakan perjanjian karena tidak
mungkin melakanakannya maupun karena akad tersebut mutahil untuk dilaksanakan.
Pemutusan yang disebabkan akad fasid, merupakan hal yang menjadi kewajaran karena akad tersebut tidak
memenuhi rukun dan syaratnya, sehingga mengakibatkan kerugian disatu pihak atau bahkan dikedua belah pihak.
Sedangkan pemutusan dikarenakan adanya hak khiyar maupun karena sifat akad tersebut yang tidak mengikat,
maka kedua belah pihak mempunyai hak untuk membatalkannya. Untuk pemutusan akad yang mengikat kedua
belah pihak (akad tersebut telah memenuhi rukan dan syarat), maka pemutusan tidak bisa dilakukan secara
sepihak. Hal ini didasarkan bahwa pembuatan akad dilakukan dengan kesepakatan para pihak yang ditunjukan
dengan ijab dan qabul, tentunya logis jika pemutusan akad tersebut harus juga melalui persetujuan para pihak
yang membuat.
Tindakan yang dilakukan para pihak berdasarkan kesepakatan bersama untuk mengakhiri suatu akad, yang dalam
hukum Islam dikenal dengan al Iqalah, dengan ini, dapat menghapus akibat hukum pada akad yang diputus, dan
14. Sedangkan untuk tuntutan pemutusan akad oleh salah satu pihak, dikarenakan pihak yang lain tidak menunaikan
kewajibannya, membuat pihak yang dirugikan dapat menuntut mitra janjinya dengan dasar cidera janji dan dapat
menuntut ganti rugi, tetapi tidak dapat dilakukan fasakh. Akad-akad yang dapat terjadi dalam kondisi ini seperti
akad jual beli, gadai dan akad perdamaian. Untuk akad sewa menyewa, keadaan untuk dapat memfasakh lebih
fleksibel, di mana akad sewa menyewa dapat difaskh oleh yang menyewakan (disewa) apa bila pihak penyewa tidak
memenuhi kewajibannya membayar sewa. Hal ini sangat berbeda dengan akad jual beli yang tidak dapat di faskh satu
pihak, apabila pihak lain tidak dapat memenuhi kewajibannya tetapi bisa dilakukan paksaan untuk menjalankan
kewajibannya oleh pihak pengadilan.
Tidak dapat difasakhnya akad jual beli jika salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya seperti dijelaskan di
atas, berbeda dengan apa yang tedapat dalam KUH Perdata yang mengizinkan salah satu pihak untuk menuntut pihak
tergugat (pihak yang tidak dapat memenuhi kewajiban) untuk menjalankan kewajibannya atau membatalkan
perjanjian jual beli serta meminta ganti kerugian
yang ditimbulkan.Terutama jika pihak tergugat tidak dapat memenuhi kewajibannya baik perjanjian jual beli tersebut
dilangsungkan secara tunai atau dilakukan pada waktu tertentu melalui pengadilan.
Perbedaan yang timbul dalam pemutusan (fasakh) yang dilakukan satu pihak atas kelalayan pihak lain, antara antara
hukum Islam dan KUH Perdata lebih disebabkan asas perjanjian yang digunakan. Dalam hukum Islam kaidah
keberlangsungan akad, yang telah dibuat kedua belah pihak lebih diutamakan dalam mengambil keputusan suatu
perjanjian sehingga pihak yang tidak melaksanakan kewajiban diwajibkan melaksanakannya agar tidak menimbulkan
kerugian pihak lain. Sedangkan pada KUH Perdata, lebih mendahulukan kepentingan kedua belah pihak untuk tidak
mengalami kerugian atas tindakan pihak lain.
Putusnya akad disebabkan oleh mustahilnya akad untuk dilakukan karena musnah atau hilangnya objek perjanjian
yang disebabkan oleh sebab luar. Seperti keadaan memaksa yang tidak dapat diantisipasi, dan bukan diakibatkan