Kebijakan pemerintah kolonial inggris dan pelaksanaan tanam paksa :)
1. Kebijakan Pemerintah
Kolonial Inggris dan
Pelaksanaan tanam paksa
Nama Kelompok :
1. Probo suasono
2. Fuji mulki s.
3. Astrid clara
4. Miftahul Huda
5. Alviannur
6. Marsela
2. Pendahuluan
peristiwa Belanda menyerah kepada Inggris melalui Kapitulasi Tuntang
(1811), menjadi awal pendudukan kolonial Inggris di Indonesia. Thomas Stamford
Raffles diangkat menjadi Letnan Gubernur EIC di Indonesia. Ia memegang
pemerintahan selama lima tahun (1811-1816) dengan membawa perubahan
berasas liberal. Raffles adalah seorang liberalis. Ia juga seorang terpelajar yang
berusaha memajukan ilmu pengetahuan bagi masa depan. Dia tertarik pada
sejarah, kebudayaan, dan seni. Hasil penyelidikannya dikumpulkan dalam buku
History of Java (1817). Ia juga menghidupkan kembali perkumpulan para ahli ilmu
pengetahuan, (Bataviaasch Genootschap). Ia juga membangun penelitian kebun
pertanian (sekarang Kebun Raya di Bogor). Ia juga menemukan bunga bangkai
yang diberi nama Rafflesia arnoldii yang berada di Kebun Raya Bogor tersebut.
3. Pendudukan Inggris atas wilayah Indonesia tidak berbeda dengan penjajahan
bangsa Eropa lainnya. Raffles banyak mengadakan perubahan-perubahan, baik di
bidang ekonomi maupun pemerintahan. Raffles bermaksud menerapkan politik
kolonial seperti yang dijalankan oleh Inggris di India. Kebijakan Daendels yang
dikenal dengan nama Contingenten diganti dengan sistem sewa tanah (Landrent).
Sistem sewa tanah disebut juga sistem pajak tanah. Rakyat atau para petani harus
membayar pajak sebagai uang sewa, karena semua tanah dianggap milik negara.
Berikut ini pokok-pokok sistem Landrent.
a. Penyerahan wajib dan wajib kerja dihapuskan.
b. Hasil pertanian dipungut langsung oleh pemerintah tanpa perantara bupati.
c. Rakyat harus menyewa tanah dan membayar pajak kepada pemerintah sebagai
pemilik tanah.
4. Pemerintahan Raffles didasarkan atas prinsip-prinsip liberal yang hendak
mewujudkan kebebasan dan kepastian hukum. Prinsip kebebasan mencakup
kebebasan menanam dan kebebasan perdagangan. Kesejahteraan hendak
dicapainya dengan memberikan kebebasan dan jaminan hukum kepada rakyat
sehingga tidak menjadi korban kesewenang-wenangan para penguasa.
Dalam pelaksanaannya, sistem Landrent di Indonesia mengalami
kegagalan, karena:
a. sulit menentukan besar kecilnya pajak untuk pemilik tanah yang luasnya
berbeda,
b. sulit menentukan luas sempit dan tingkat kesuburan tanah,
c. terbatasnya jumlah pegawai, dan
d. masyarakat pedesaan belum terbiasa dengan sistem uang.
5. Tindakan yang dilakukan oleh Raffles berikutnya adalah membagi wilayah
Jawa menjadi 16 daerah karesidenan. Hal ini mengandung maksud untuk
mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap daerah-daerah
yang dikuasai. Setiap karesidenan dikepalai oleh seorang residen dan dibantu
oleh asisten residen.
Di samping itu Thomas Stamford Raffles juga memberi sumbangan positif bagi
Indonesia yaitu:
a. membentuk susunan baru dalam pengadilan yang didasarkan pengadilan
Inggris,
b. menulis buku yang berjudul History of Java,
c. menemukan bunga Rafflesia-arnoldii, dan
d. merintis adanya Kebun Raya Bogor.
6. Perubahan politik yang terjadi di Eropa mengakhiri pemerintahan Raffles di
Indonesia. Pada tahun 1814, Napoleon Bonaparte akhirnya menyerah kepada
Inggris. Belanda lepas dari kendali Prancis. Hubungan antara Belanda dan
Inggris sebenarnya akur, dan mereka mengadakan pertemuan di
London, Inggris. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan yang tertuang
dalam Convention of London 1814. Isinya Belanda memperoleh kembali
daerah jajahannya yang dulu direbut Inggris. Status Indonesia dikembalikan
sebagaimana dulu sebelum perang, yaitu di bawah kekuasaan Belanda.
Penyerahan wilayah Hindia Belanda dari Inggris kepada Belanda berlangsung
di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1816. Inggris diwakili oleh John Fendall
dan Belanda diwakili oleh Mr. Ellout, van der Capellen, dan Buyskes.
7. Tanam paksa
Cultuurstelsel (harafiah: Sistem Kultivasi atau secara kurang tepat
diterjemahkan sebagai Sistem Budaya) yang oleh sejarawan Indonesia
disebut sebagai Sistem Tanam Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan
oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang
mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami
komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan
dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan
hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak
memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun
milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
8. Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh
wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya
diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk
praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak
memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan
pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia
Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding
sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara
yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib
menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman
tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada
pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar
bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda
pada1835 hingga 1940.
9. Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda
ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja
Belanda, pada 25 Desember 1839.
Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan
dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era
liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.
11. Undang-Undang Agraria 1870
Undang-Undang Agraria 1870 (bahasa Belanda: Agrarische Wet 1870) diberlakukan pada
tahun 1870 oleh Engelbertus de Waal (menteri jajahan) sebagai reaksi atas kebijakan
pemerintahHindia-Belanda di Jawa. Latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang Agraria
(Agrarische Wet) antara lain karena kesewenangan pemerintah mengambil alih tanah rakyat.
Politikus liberal yang saat itu berkuasa di Belanda tidak setuju dengan Tanam Paksa di Jawa
dan ingin membantu penduduk Jawa sambil sekaligus keuntungan ekonomi dari tanah jajahan
dengan mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta.
UU Agraria memastikan bahwa kepemilikan tanah di Jawa tercatat. Tanah penduduk dijamin
sementara tanah tak bertuan dalam sewaan dapat diserahkan. UU ini dapat dikatakan
mengawali berdirinya sejumlah perusahaan swasta di Hindia-Belanda.
UU Agraria sering disebut sejalan dengan Undang-Undang Gula 1870, sebab kedua UU itu
menimbulkan hasil dan konsekuensi besar atas perekonomian di Jawa.
12. Undang-undang Gula
Undang-undang Gula (bahasa Belanda: Suikerwet) yang disahkan pada
tahun 1870 mengatur penghapusan kewajiban budidaya tebu kepada petani secara
bertahap di Hindia-Belanda. Pada tahun 1891, proses itu berjalan sempurna.
Keluarnya aturan ini, yang dikeluarkan pada tahun yang sama dengan Undang-
undang Agraria 1870, adalah untuk menghapus Cultuurstelsel. Pola yang dicontoh
adalah perkebunan tembakau di Sumatera Utara.
Melalui UU Gula, perusahaan-perusahaan swasta Eropa mulai berinvestasi di
Hindia-Belanda di bidang perkebunan. Gula mentah yang diekstrak dari tebu oleh
pabrik-pabrik gula dikirim ke Belanda untuk dirafinasi dan dipasarkan. Akibat praktik
ini, Hindia-Belanda, khususnya Jawa, tetap terkungkung kemiskinan, sementara
ekonomi Belanda berkembang.
13. 16 karesidenan
• Karesidenan Banten (Bantam)
• Karesidenan Banyumas
• Karesidenan Bogor (Buitenzorg)
• Karesidenan Cirebon (Tjirebon)
• Karesidenan Jakarta (Batavia)
• Karesidenan Karawang (Kerawang)
• Karesidenan Kediri
• Karesidenan Madiun (Madioen)
• Karesidenan Madura (Madoera)
• Karesidenan Malang (Pasoeroewan)
• Karesidenan Pekalongan
• Karesidenan Semarang (Samarang)
• Karesidenan Surabaya
• Karesidenan
Surakarta (Soerakarta), statusnya
dinaikkan menjadi provinsi
• Karesidenan
Yogyakarta (Jogjakarta), statusnya
dinaikkan menjadi provinsi pada tahun
1928
• Karesidenan Priangan (Preanger)
14. East Indies Company (EIC)
East Indies Company (EIC) adalah sebuah kantor dagang Inggris yang
didirikan tahun 1600 di London, EIC mengemban misi untuk hubungan dagang
dengan Indonesia. karena dalam kenyataannya Inggris memang lebih dulu
datang ke Indonesia sebelum Belanda. Mereka mengirimkan beberapa
voyages (gugusan kapal) ke kepulauan nusantara. Inggris memberanikan diri
untuk berlayar sejauh itu karena sebelumnya telah ikut dengan armada
Portugis.
15. Liberalisme
Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan
individu, baik dalam kehidupan politik, ekonomi dan kebudayaan. Paham
liberalisme muncul karena kekuasaan raja sangat mutlak atau absolut yaitu
tidak memberikan kebebasan pada rakyatnya.
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni
Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property).[2]
16. Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang
bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme
tadi:
Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia
mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan
baik politik, sosial, ekonomidan kebudayaan. [2] Namun karena kualitas manusia yang
berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan
tergantung kepada kemampuannya masing-masing
Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang
mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap
penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan
politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan
dilaksanakan dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan
egoisme individu.( Treat the Others Reason Equally.)[2]
Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh
bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak
rakyat.(Government by the Consent of The People or The Governed)[2]
17. Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela
dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan
hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah
adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk
menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi
(Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.[2]
Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu.(The Emphasis of
Individual)[2]
Negara hanyalah alat (The State is Instrument). [2] Negara itu sebagai suatu
mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar
dibandingkan negara itu sendiri. [2] Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan
bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya
sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang
secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.[2]
Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse
Dogatism).[2] Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John
Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu
didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah
berubah.[2]