2. Definisi
Pajak Penghasilan Badan (PPh
Badan) merupakan pajak yang
dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh oleh suatu
badan usaha seperti yang
dimaksud dalam UU KUP.
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
3. Subjek PPh Badan
(Pasal 2 UU PPh)
Badan
• Sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas (PT),
Perseroan Komanditer (CV), Perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana pensiun, Persekutuan, Perkumpulan,
Yayasan, Organisasi Massa, Organisasi sosial politik, Organisasi lainnya, Lembaga
dan bentuk badan lainnya
Bentuk Usaha Tetap
Bentuk usaha yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yangdipergunakan oleh orang pribadi dan badanuntuk menjalankan usaha atau
melakukankegiatan di Indonesia yang dapat berupa: a) tempat kedudukan manajemen;
b). cabangperusahaan; c). kantor perwakilan; d). gedungkantor; e). pabrik; f). bengkel;
g). gudang; h). ruang untuk promosi dan penjualan; i). pertambangan dan penggalian
sumber alam; j). wilayah kerja pertambangan minyak dangas bumi; dll (Pasal 2 ayat 5
UU PPh)
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
4. Jenis Subjek PPh Badan
(Pasal 2 UU PPh)
Subjek Pajak Badan Dalam Negeri
• Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia kecuali unit tertentu dari
badan pemerintah yang memenuhi kriteria: 1). pembentukannya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan; 2). pembiayaannya bersumber dari APBN atau APBD; 3).
penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
dan pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara
Subjek Pajak Badan Luar Negeri
• Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang :
- menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di
Indonesia, atau
- menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia
5. Tidak Termasuk Subjek PPh Badan
(Pasal 3 UU PPh)
Yang tidak termasuk subjek pajak penghasilan badan
sbb:
a)Kantor perwakilan negara asing;
b)Organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan
pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
6. Indonesia
Indonesia
Kewajiban Pajak Subjektif
(Pasal 2A UU PPh)
Subjek Pajak Badan
Dalam Negeri
Mulai: saat
didirikan/ bertempat
kedudukan di
Indonesia
Berakhir: saat
dibubarkan atau tidak
lagi bertempat
kedudukan di Indonesia
Subjek Pajak
Badan Luar Negeri
Mulai: saat melakukan
usaha/ kegiatan atau
menerima/ memperoleh
penghasilan dari
Berakhir: saat tidak lagi
menjalankan
usaha/kegiatan atau
menerima/memperoleh di
7. Kewajiban Perpajakan sebagai Wajib
Pajak Badan
(Pasal 2 UU KUP)
Seluruh badan usaha yang terdaftardi Indonesia mempunyai kewajiban:
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
8. Kewajiban Pembukuan
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
(Pasal 28 Ayat 1 UU KUP)
Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan (Pasal 28 Ayat 1 UU
KUP)
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk
periode Tahun Pajak tersebut (Pasal 1 ayat 29)
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen
lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau
secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu
di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan
Wajib Pajak badan (Pasal 28 ayat 11)
9. Tarif Pajak Penghasilan Badan
(Pasal 17 UU PPh)
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
Tahun Pajak UU No. 36
Tahun
2008
UU No. 2
Tahun 2020
UU HPP
2008-2009 28%
2010-2019 25%
2020 – 2021 22%
Mulai tahun 2022 20% 22%
10. Tarif Pajak Penghasilan Badan
(Pasal 31E UU PPh)
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto
sampai dengan Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50% (lima puluh persen) yang dikenakan atas
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai
dengan Rp.4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah).
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
11. Tarif Pajak Penghasilan Badan
(PP No. 23 tahun 2008)
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang
memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp.4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak dikenai Pajak Penghasilan final sebesar O,5% (nol koma
lima persen) atas penghasilan dari usaha setiap bulan.
Besarnya peredaran bruto dimaksud merupakan jumlah peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun
dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan
keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari cabang.
Jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Badan paling lama:
4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer,
atau firma; dan
3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
12. Tarif Pajak Penghasilan Badan
(PP No. 23 tahun 2008)
Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final:
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang
pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri;
penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan tersendiri; dan
penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
13. Tarif Pajak Penghasilan Badan
(PP No. 23 tahun 2008)
Tidak termasuk Wajib Pajak yang dikenakan pajak penghasilan bersifat final:
Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17
atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan;
Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk
oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus
menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas
Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap.
Perubahan UU HPP Bagi orang pribadi pengusaha yang menghitung PPh dengan
tarif final 0,5% (PP23/2018) dan memiliki peredaran bruto sampai Rp.500 juta
setahun tidak dikenai PPh.
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
14. Tarif Pajak Penghasilan Badan
(Pasal 17 UU PPh, Pasal 31E UU PPh, PP No. 23 tahun 2018)
Penghasilan Bruto Setahun > 50M
•Pasal 17 UU PPh
•Tarif Umum Pasal 17 x Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan Bruto Setahun s.d 4,8 M
•PP Nomor 23 tahun 2018
•Tarif Pajak Final 0,5% x Penghasilan Bruto Sebulan
Penghasilan Bruto Setahun 4,8 M s.d 50M
•Pasal 17 dan Pasal 31E UU PPh
•Pengurangan tarif sebesar 50% x Tarif Umum Pasal 17 untuk bagian
Penghasilan Kena Pajak s.d 4,8M
•Tarif Umum Pasal 17 untuk bagian Penghasilan Kena Pajak >4,8M
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
15.
16. Pengukuran Biaya
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
Menurut pajak, tidak semua biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dapat
diakui sebagai pengurang, meskipun biaya tersebut berkaitan dengan
kegiatan usaha. Hal ini disebabkan karena menurut ketentuan pajak, biaya
fiskal digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1.Biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (Pasal 6
UU PPh)
2.Biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
(Pasal 9 ayat 1 UU PPh)
17. Pengukuran Biaya
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
Biaya-biaya yangboleh dikurangkandari penghasilanbruto(Pasal6UU PPh)
1.biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha;
2.penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun;
3.iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
4.kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
5.kerugian selisih kurs mata uang asing;
6.biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
7.biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
8.piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat;
18. Pengukuran Biaya
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
Biaya-biaya yangboleh dikurangkandari penghasilanbruto(Pasal6UU PPh)
9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah;
10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
13. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
dUaUnHdPaPp:aPtemberiannatura tertentu bukan merupakan penghasilan bagi penerima
dibiayakan (Dedectible Expense) yaitu:
19. Pengukuran
Biaya
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
(Pasal 6 UU PPh)
UU HPP : Pemberian natura tertentu
a. Penyediaan makan/minum bagi seluruh pegawai
b. Natura di daerah tertentu
c. Natura karena keharusan pekerjaaan, contoh: alat keselamatan kerja
atau seragam
d. Natura yang bersumber dari APBN/APBD
e. Natura dengan jenis dan Batasan tertentu.
20. Kompensasi Kerugian
terjadinyakerugian tersebut.
Misalkan:
PT ABC mengalami kerugian fiskal tahun 2015.
Kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal
tahun
2016, 2017, 2018, 2019 dan 2020.
Apabila setelah tahun 2020 masih terdapat sisa kerugian yang belum
dikompensasikan, maka
sisa kerugian tersebut dianggap hangus atau tidak dapat dikompensasikan lagi.
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang (UU) PPh
Apabila Penghasilan Bruto setelah dikurangi dengan pengurangan yang diperkenankan
diperoleh
atau laba
kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto
fiskal selama 5 tahun berturut-turut, dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun
21. Kompensasi Kerugian
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
Contoh:
PT A dalam tahun 2015 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1,2 M. Selama 5
tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A:
2016 : laba fiskal
2017 : rugi fiskal
2018 : laba fiskal
2019 : laba fiskal
2020 : laba fiskal
Rp 200 juta
(Rp 300 juta)
Rp N I H I L
Rp 100 juta
Rp 800 juta
Perhitungan kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal thn 2015
Laba fiskal thn 2016
Sisa rugi fiskal thn 2015
(Rp 1,2 M)
Rp 200 juta PPh Badan terutang = 0
Thn-1 (Rp 1 M)
22. Kompensasi Kerugian
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
Sisa rugi fiskal thn 2015
Rugi fiskal thn 2017
Sisa rugi fiskal thn 2015
Laba fiskal thn 2018
Thn-2
(Rp 1 M)
(Rp 300 juta) PPh Badan terutang = 0
(Rp 1 M)
Rp N I H I L PPh Badan terutang = 0
Sisa rugi fiskal thn 2015 Thn-3 (Rp 1 M) 2018 = Rugi fiskal thn 2017 Thn -1
Laba fiskal thn 2019 Rp 100 juta PPh Badan terutang = 0
Sisa rugi fiskal thn 2015
Laba fiskal thn 2020
Thn-4 (Rp 900 juta) 2019 = Rugi fiskal thn 2017 Thn -2
Rp 800 juta PPh Badan terutang = 0
Sisa rugi fiskal thn 2015 Thn-5 (Rp 100 juta) 2020 = Rugi fiskal thn 2017 Thn -3
Sisa rugi fiskal thn 2015 sebesar Rp.100 juta yang masih tersisa pada akhir thn 2020 tidak boleh
dikompensasikan lagi dengan laba fiskal thn 2021, karena jangka waktu 5 tahun sudah selesai.
Sedangkan rugi fiskal tahun 2017 sebesar Rp.300 juta hanya boleh dikompensasikan dengan
laba fiskal tahun 2021 dan tahun 2022, karena jangka waktu 5 tahun yang dimulai sejak tahun
2017berakhir pada akhir tahun 2022.
23. Rekonsiliasi Fiskal
1 0 / 2 8 / 2 0 2 1
Beberapa perbedaan pengakuan pendapatan dan biaya dalam penyusunan Laporan Keuangan
yang mengacu kepada Standar Akuntansi Keuangan dengan Perhitungan Pajak Penghasilan
yang mengacu kepada Ketentuan Perpajakan menghasilkan jumlah angka laba yang berbeda
(Laba Komersial vs Laba fiskal). Perbedaan inilah yang menyebabkan perlunya dilakukan
“Rekonsiliasi Fiskal”, yaitu: suatu mekanisme untuk menyesuaikan laporan keuangan
komersial perusahaan menjadi sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Inti dari rekonsiliasi fiskal adalah koreksi fiskal, yaitu:
Semua
Semua
1. Koreksi Positif, yaitu Koreksi Menambah Penghasilan Kena Pajak.
koreksi biaya, kecuali penyusutan, termasuk koreksi positif.
2. Koreksi Negatif, yaitu Koreksi Mengurangi Penghasilan Kena Pajak.
koreksi pendapatan termasuk koreksi negatif.
Rekonsiliasi dilakukan terhadap pos-pos biaya & pos-pos penghasilan dalam Laporan
KeuanganKomersial.