Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas tentang pengertian inteligensi, faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi, tes-tes inteligensi, dan jenis-jenis kecerdasan lain seperti emotional intelligence dan spiritual intelligence.
2) Jenis-jenis gaya belajar yang dibahas adalah visual, auditori, dan kinestetik beserta karakteristik masing-masing.
3) Kepribadian dan temperamen dijelaskan se
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
keragaman siswa
1. 2.1 INTELIGENSI
Kata inteligensi adalah kata yang berasal dari bahasa latin yaitu “inteligensia“. Sedangkan
kata “inteligensia“ berasal dari kata inter dan lego, “inter” berarti diantara, sedangkan lego
berarti memilih. Sehingga inteligensi pada mulanya mempunyai pengertian kemampuan untuk
memilih suatu penalaran terhadap fakta atau kebenaran.
Inteligensi berasal dari kata latin “intelligere” yang berarti menghubungkan atau
menyatukan satu sama lain (to organize, to relate, to bind together). Masyarakat umum
mengenal inteligensi sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran, ataupun
kemampuan untuk memecahkan problem yang dihadapi.
Inteligensi adalah keahlian memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada,
dan belajar dari, pengalaman hidup sehari-hari. Minat terhadap inteligensi sering kali
difokuskan pada perbedaan individual dan penilaian individual.
Faktor yang memengaruhi kecerdasan, yaitu:
1. Faktor Bawaan atau Biologis
Dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan
atau kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh
faktor bawaan.
2. Faktor Minat dan Pembawaan yang Khas
Dimana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan
dorongan bagi perbuatan itu.
3. Faktor Pembentukan atau Lingkungan
Dimana pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang
mempengaruhi perkembangan inteligensi.
4. Faktor Kematangan
Dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan
perkembangan.
5. Faktor Kebebasan
2. Hal ini berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah
yang dihadapi. Di samping kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih
masalah yang sesuai dengan kebutuhannya.
Tes Inteligensi Individual
Tes inteligensi individual pertama kali dikembangkan oleh psikolog Alfred Binet
dan dibantu oleh mahasiswanya Theopild Simon. Binet dan Simon mengembangkan
konsep mental age (MA) atau usia mental yakni level perkembangan individu yang
berkaitan dengan perkembangan lain. Tak lama kemudian, William Stern menciptakan
konsep Intelligence Quotient (IQ), yaitu usia mental seseorang dibagi dengan usia
kronologis dikalikan dengan 100. Jika usia mental sama dengan usia kronologis maka IQ
orang itu sama dengan 100. Jika usia mental seseorang lebih dari usia kronologis maka IQ
orang itu lebih dari 100. Jika usia mentalnya kurang dari usia kronologis maka IQ orang
itu akan kurang dari 100. Tes Binet ini selanjutnya direvisi dan revisi terakhir yang sampai
sekarang banyak dipakai untuk mengukur inteligensi murid adalah Standford-Binet.
Selain standford-binet, tes lain yang bisa digunakan untuk mengukur inteligensi
seseorang adalah skala wechsler yang dikembangkan oleh David Wechsler. Tes ini
digunakan selain untuk menunjukkan IQ secara keseluruhan juga menunjukkan IQ verbal
dan IQ kinerja
.
Pengukuran Intelegensi
Tingkat intelegensi seseorang tidak dapat diketahui hanya berdasarkan perkiraan
melalui pengamatan, melainkan harus diukur dengan menggunakan alat khusus yang
dinamakan tes intelegensi atau Intelligence Quotient (IQ). Walgito (1997) (dalam
Khadijah, 2009 : 92) mengemukakan bahwa orang yang dapat dipandang sebagai orang
yang pertama menciptakan tes intelegensi adalah Binet.
1. Tes Binet
Konsep mental age (MA)
Dikembangkan lagi oleh Stern yang dikenal IQ
3. MA = Mental Age, usia mental: tingkat kemampuan
mental seseorang.
CA = Cronological Age, usia kronologis: umur
berdasarkan hitungan waktu (kalender).
Klasifikasi IQ menurut Binet:
KLASIFIKASI IQ
Genius 140 ke atas
Sangat cerdas 130 – 139
Cerdas (superior) 120 – 129
Di atas rata-rata 110 – 119
Rata-rata 90 – 109
Di bawah rata-rata 80 – 89
Garis Batas (bodoh) 70 – 79
Moron (lemah pikir) 50 – 69
Imbisil,idiot 49 ke bawah
2. Skala Wechsler
Weshsler Pre school and Primary scale of Intellegensi Revised (WPPSI-R) untuk
menguji anak usia 4-6,5 tahun
Weshsler Intellegensi Scale for Children- Revised (WISC-R) untuk anak dan remaja
dari usia 6-16 tahun
Weshsler Adult Intellegensi Scale-Revised (WAIS-R) untuk orang dewasa.
Klasifikasi IQ menurut Wechsler:
IQ =
𝑴𝑨
𝑪𝑨
X 100
4. KLASIFIKASI IQ
Very Superior 130 ke atas
Superior 120 –129
Bright Normal 110 –119
Average 90 – 109
Dull Normal 80 – 89
Borderline 70 –79
Mental
Deffective
69 ke
bawah
Emotional Intelligence
Emotional Intelligence atau sering disebut Emotional Quotient (EQ) adalah
kecerdasan emosional yang mencakup kesadaran diri, pengendalian dorongan hati,
ketekunan, semangat atau motivasi diri, empati, dan kecakapan sosial.
Menurut Goleman, emotional intelligence terdiri dari 4 area :
1. Developing emotional, seperti : kemampuan untuk memisahkan perasaa dari tindakan.
2. Managing emotions, seperti : mampu untuk mengendalikan amarah.
3. Reading emotions, seperti : memahami perspektif orang lain.
5. 4. Handing relationships, seperti : kemampuan untuk memecahkan problem hubungan.
Kecerdasan emosi (EQ) yang tinggi berbicara menggenai tidak mudah takut ataupun
gelisah, mudah bergaul, mampu melibatkan diri dengan orang lain atau dengan
permasalahan, tanggung jawabdan simpatik, erat dalam hubungan social.
Daniel Goleman mengungkapkan mengapa orang ber-IQ tinggi gagal dan orang yang
ber-IQ sedang-sedang menjadi berhasil. Hal ini disebabkan oleh satu faktor penting, yang
selama ini selalu diabaikan, yaitu faktor EQ. Kecerdasan emosional ini memiliki ciri-ciri
yang menandai orang yang menonjol dalam hubungan interpersonal yang dekat dan hangat,
penyesuaian dan pengendalian diri yang baik (dalam hal emosi, perasaan, frustrasi),
menjadi bintang di pergaulan linkungan sosial dan dunia kerja. Seandainya seorang yang
memiliki kecerdasan emosional yang rendah maka dia akan mengalami kesulitan bergaul
(sulit berteman), kesulitan mendapat pekerjaan, kesulitan perkawinan, kecanggungan
mendidik anak, memburuknya kesehatan, dan akhirnya menghambat perkembangan
intelektual dan menghancurkan karir. Barangkali kerugian terbesar diderita oleh anak-
anak, yaitu dapat terjerumus stres, depresi, gangguan makan, kehamilan yang tak
diinginkan, agresivitas, dan kejahatan dengan kekerasan.
Dalam lingkungan sosial, orang yang berhasil belum tentu orang yang waktu masih
sebagai siswa yang mempunyai nilai sekolah yang baik sekali, juga belum tentu yang
keluaran dari sekolah favourit/terkenal. Mereka yang berhasil adalah kebanyakan dari
mereka yang dalam memanfaatkan dan mengembangkan faktor EQ dalam hubungan
sosial. Seperti : penghargaan satu dengan yang lainnya, kesadaran diri, pengendalian diri,
kesabaran, sikap halus (lembut), optimistik, dan lain-lain. Disini digunakan kata
memanfaatkan dan mengembangkan seperti disebutkan diatas karena EQ itu selain
dipengaruhi oleh faktor keturunan (nature) juga dipengaruhi oleh faktor belajar/setelah
lahir (nurture).
Spiritual Inteligensi
“Kemampuan yang membuat seseorang mampu melakukan integrasi kehidupannya
yang mencakup arti hidup, tujuan hidup dan motivasi untuk hidup”. (Zohar dan Marshall,
1997).
6. Kecerdasan spiritual atau yang biasa dikenal dengan SQ (bahasa Inggris: spiritual
quotient) adalah kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan
dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif.
SQ merupakan fasilitas yang membantu seseorang untuk mengatasi persoalan dan
berdamai dengan persoalannya itu. Ciri utama dari SQ ini ditunjukkan dengan kesadaran
seseorang untuk menggunakan pengalamannya sebagai bentuk penerapan nilai dan makna.
Kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik akan ditandai dengan
kemampuan seseorang untuk bersikap fleksibel dan mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungan, memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, mampu menghadapi penderitaan dan
rasa sakit, mampu mengambil pelajaran yang berharga dari suatu kegagalan, mampu
mewujudkan hidup sesuai dengan visi dan misi, mampu melihat keterkaitan antara
berbagai hal, mandiri, serta pada akhirnya membuat seseorang mengerti akan makna
hidupnya.
2.2 GAYA BELAJAR
Menurut DePorter dan Hernacki (2002), gaya belajar adalah kombinasi dari menyerap,
mengatur, dan mengolah informasi. Terdapat tiga jenis gaya belajar berdasarkan modalitas
yang digunakan individu dalam memproses informasi (perceptual modality).
A. Pengertian Gaya Belajar dan Macam-macam Gaya Belajar:
1. VISUAL (Visual Learners)
Gaya Belajar Visual (Visual Learners) menitikberatkan pada ketajaman
penglihatan. Artinya, bukti-bukti konkret harus diperlihatkan terlebih dahulu agar
mereka paham Gaya belajar seperti ini mengandalkan penglihatan atau melihat dulu
buktinya untuk kemudian bisa mempercayainya.
Karakteristik belajar visual
1. Pertama adalah kebutuhan melihat sesuatu (informasi/pelajaran) secara visual
untuk mengetahuinya atau memahaminya
2. kedua memiliki kepekaan yang kuat terhadap warna
7. 3. ketiga memiliki pemahaman yang cukup terhadap masalah artistik
4. keempat memiliki kesulitan dalam berdialog secara langsung
5. kelima terlalu reaktif terhadap suara
6. keenam sulit mengikuti anjuran secara lisan
7. ketujuh seringkali salah menginterpretasikan kata atau ucapan.
Ciri-ciri gaya belajar visual ini yaitu :
1. Cenderung melihat sikap, gerakan, dan bibir guru yang sedang mengajar
2. Bukan pendengar yang baik saat berkomunikasi
3. Saat mendapat petunjuk untuk melakukan sesuatu, biasanya akan melihat
teman-teman lainnya baru kemudian dia sendiri yang bertindak
4. Tak suka bicara didepan kelompok dan tak suka pula mendengarkan orang lain.
Terlihat pasif dalam kegiatan diskusi.
5. Kurang mampu mengingat informasi yang diberikan secara lisan
6. Lebih suka peragaan daripada penjelasan lisan
7. Dapat duduk tenang ditengah situasi yang rebut dan ramai tanpa terganggu
2. AUDITORI (Auditory Learners )
Gaya belajar Auditori (Auditory Learners) mengandalkan pada pendengaran untuk
bisa memahami dan mengingatnya. Karakteristik model belajar seperti ini benar-benar
menempatkan pendengaran sebagai alat utama menyerap informasi atau pengetahuan.
Karakter pertama orang yang memiliki gaya belajar ini adalah semua informasi hanya
bisa diserap melalui pendengaran, kedua memiliki kesulitan untuk menyerap informasi
dalam bentuk tulisan secara langsung, ketiga memiliki kesulitan menulis ataupun
membaca.
Ciri-ciri gaya belajar Auditori yaitu :
1. Mampu mengingat dengan baik penjelasan guru di depan kelas, atau materi
yang didiskusikan dalam kelompok/ kelas
8. 2. Pendengar ulung: anak mudah menguasai materi iklan/ lagu di televise/ radio
3. Cenderung banyak omong
4. Tak suka membaca dan umumnya memang bukan pembaca yang baik karena
kurang dapat mengingat dengan baik apa yang baru saja dibacanya
5. Kurang cakap dalm mengerjakan tugas mengarang/ menulis
6. Senang berdiskusi dan berkomunikasi dengan orang lain
7. Kurang tertarik memperhatikan hal-hal baru dilingkungan sekitarnya, seperti
hadirnya anak baru, adanya papan pengumuman di pojok kelas, dll
3. KINESTETIK (Kinesthetic Learners)
Gaya belajar Kinestetik (Kinesthetic Learners) mengharuskan individu yang
bersangkutan menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa
mengingatnya. Tentu saja ada beberapa karakteristik model belajar seperti ini yang tak
semua orang bisa melakukannya. Karakter pertama adalah menempatkan tangan
sebagai alat penerima informasi utama agar bisa terus mengingatnya. Hanya dengan
memegangnya saja, seseorang yang memiliki gaya ini bisa menyerap informasi tanpa
harus membaca penjelasannya.
Ciri-ciri gaya belajar Kinestetik yaitu :
1. Menyentuh segala sesuatu yang dijumapinya, termasuk saat belajar
2. Sulit berdiam diri atau duduk manis, selalu ingin bergerak
3. Mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan tangannya aktif. Contoh: saat
guru menerangkan pelajaran, dia mendengarkan sambil tangannya asyik
menggambar
4. Suka menggunakan objek nyata sebagai alat bantu belajar
5. Sulit menguasai hal-hal abstrak seperti peta, symbol dan lambing
6. Menyukai praktek/ percobaan
7. Menyukai permainan dan aktivitas fisik
2.3 KEPRIBADIAN DAN TEMPRAMEN
9. Kepribadian atau personalitas ialah pemikiran, emosi dan perilaku tertentu yang menjadi
ciri dari seseorang menghadapi dunianya. Kepribadian mencakup lima hal yang menjadi ciri
bawaan yang menonjol yakni, openness (keterbukaan terhadap pengalaman),
conscientiousness (kepatuhan), extraversion (keterbukaan terhadap orang lain), agreebleness
(kepekaan nurani), neoroticism (stabilitas emosional).
Dalam konteks pembelajaran, guru harus dapat mendalami dan memahami
keanekaragaman karakteristik kepribadian muridnya. Dengan demikian, kegiatan
pembelajaran menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan walau dijalankan dalam situasi
yang beragam.
A. Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian.
Menurut Purwanto (2006)
1. Faktor Biologis
Faktor biologis merupakan faktor yang berhubungan dengan keadaan jasmani, atau
seringkali pula disebut faktor fisiologis seperti keadaan genetik, pencernaan,
pernafasaan, peredaran darah, kelenjar-kelenjar, saraf, tinggi badan, berat badan, dan
sebagainya. Kita mengetahui bahwa keadaan jasmani setiap orang sejak dilahirkan
telah menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan. Hal ini dapat kita lihat pada setiap
bayi yang baru lahir. Ini menunjukkan bahwa sifat-sifat jasmani yang ada pada setiap
orang ada yang diperoleh dari keturunan, dan ada pula yang merupakan pembawaan
anak/orang itu masing-masing. Keadaan fisik tersebut memainkan peranan yang
penting pada kepribadian seseorang.
2. Faktor Sosial
Faktor sosial yang dimaksud di sini adalah masyarakat ; yakni manusia-manusia
lain disekitar individu yang bersangkutan. Termasuk juga kedalam faktor sosial adalah
tradisi-tradisi, adat istiadat, peraturan-peraturan, bahasa, dan sebagainya yang berlaku
dimasyarakat itu.
10. Sejak dilahirkan, anak telah mulai bergaul dengan orang-orang disekitarnya.
Dengan lingkungan yang pertama adalah keluarga. Dalam perkembangan anak,
peranan keluarga sangat penting dan menentukan bagi pembentukan kepribadian
selanjutnya. Keadaan dan suasana keluarga yang berlainan memberikan pengaruh
yang bermacam-macam pula terhadap perkembangan kepribadian anak.
Pengaruh lingkungan keluarga terhadap perkembangan anak sejak kecil adalah
sangat mendalam dan menentukan perkembangan pribadi anak selanjutnya. Hal ini
disebabkan karena pengaruh itu merupakan pengalaman yang pertama, pengaruh yang
diterima anak masih terbatas jumlah dan luasnya, intensitas pengaruh itu sangat tinggi
karena berlangsung terus menerus, serta umumnya pengaruh itu diterima dalam
suasana bernada emosional. Kemudian semakin besar seorang anak maka pengaruh
yang diterima dari lingkungan sosial makin besar dan meluas. Ini dapat diartikan
bahwa faktor sosial mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan pembentukan
kepribadian.
3. Faktor Kebudayaan
Perkembangan dan pembentukan kepribadian pada diri masing-masing orang tidak
dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat di mana seseorang itu dibesarkan.
Jenis Temperamen
1. Sanguine
Seseorang yang memiliki tipe sanguine adalah orang yang ramah dan hangat,
berusaha menyenangkan hati orang lain, supel dalam bergaul, kehadirannya
meramaikan suasana, mudah tertawa tapi mudah pula terharu. Tetapi orang jenis ini
punya kekurangan, seperti sembrono, sering berbohong/membual, kurang bisa
diandalkan dalam melaksanakan tanggung jawabnya, kurang berpikir panjang, kurang
tekun, jika dimarahi dia akan menangis tersedu-sedu tetapi ia akan langsung
melupakannya.
11. 2. Melankolis
Seseorang yang memiliki tipe melankolis ini adalah orang yang tekun dalam
melakukan sesuatu, berbakat, pefeksionis, suka yang indah-indah, setia, biasanya tanpa
disuruh dia akan langsung mengerjakan tugasnya, sangat menjaga barang pribadi, hanya
dengan disindir saja dia sudah langsung tahu letak kesalahannya dan berusaha untuk
memperbaikinya. Tapi orang jenis ini sangat perasa dan cenderung pemurung, sangat
sensitif dan mudah tersinggung, kata-kata kasar yang dituju padanya akan sangat
melukai hatinya dan sulit untuk dia lupakan, cenderung pendendam dan menarik diri
dari lingkungan luar serta mengasihani diri sendiri.
3. Kolerik
Seseorang yang mempunyai temperamen jenis ini merupakan orang yang
berkemauan keras, berjuang untuk mendapatkan apa yang diinginkannya (ambisius),
mandiri, punya rasa percaya diri yang kuat, suka menjadi pemimpin, aktif dan produktif.
Tapi orang jenis ini cenderung keras kepala, cenderung ingin menjadi dominan di antara
teman-temannya, cenderung bertindak agresif, dan cenderung menentang otoritas
pemimpin secara terang-terangan.
4. Flegmatik
Berasal dari kata flegma yang artinya ketidakacuhan atau sikap dingin yang apatis
dan menjemukan. Keseluruhan sifat ini tampaknya kebalikan dari kolerik. Orang
dengan tipe ini adalah orang yang cinta ketenangan dan kedamaian, pendiam, tidak
rewel, penurut, easy going, dan tidak banyak menuntut. Tapi orang jenis ini terkesan
lamban, pasif, kurang motivasi, egois, pelit, tidak menyerang otoritas pemimpin secara
terang-terangan, tapi sebenarnya dia keras kepala juga dan cenderung sembunyi-
sembunyi untuk tidak mematuhi peraturan. Banyak orang yang menganggapnya sebagai
pemalas karena sifat dasarnya yang sangat santai dan kurang berambisi.
1.4 KULTUR DAN ETNIS
A. Definisi Kultur dan Etnis
Kultur adalah pola perilaku, keyakinan, dan semua produk dari kelompok orang
tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi lainnya.
12. Etnisitas adalah pola umum karakteristik seperti warisan kultural, nasionalitas, ras,
agama, dan bahasa.
B. Pengaruh Kultur dan Etnis Terhadap Pengalaman Sekolah Siswa
Kultur sangat mempengaruhi pengajaran dan pembelajaran. Banyak aspek budaya
mempunyai andil bagi identitas dan konsep diri pelajar dan mempengaruhi keyakinan dan
nilai, sikap, dan harapan, hubungan sosial, penggunaan bahasa, dan perilaku lain pelajar.
Siswa yang merupakan anggota kelompok yang kurang terwakili cenderung
mempunyai nilai yang lebih rendah dari kelompok yang lebih maju dalam pencapaian
akademis yang terstandarisasi. Nilai yang rendah tersebut berkolerasi dengan status
sosioekonomi yang lebih rendah dan sebagian mencerminkan warisan diskriminasi
terhadap kelompok yang kurang terwakili dan kemiskinan yang diakibatkannya.
1.5 STATUS SOSIOEKONOMI
A. Definisi
Status ekonomi adalah kelompok orang berdasarkan karakteristik ekonomi,
individual, dan pekerjaannya. Kelas sosial menunjukkan lebih dari sekedar tingkat
penghasilan dan pendidikan. Bersama kelas sosial terdapat seperangkat perilaku, harapan,
dan sikap yang ditemukan dimana-mana, yang saling bersinggungan dengan dan
dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya lainnya. Asal kelas sosial siswa mempunyai efek
yang sangat besar terhadap sikap dan perilaku di sekolah.
B. Pengaruh Sosioekonomi Terhadap Pencapaian Siswa
Status sosioekonomi yang didasarkan atas penghasilan, pekerjaan, pendidikan dan
gensi social dapat sangat mempengaruhi sikap pembelajar terhadap sekolah, pengetahuan
latar belakang, kesiapan sekolah dan pencapaian akademis. Keluarga kelas pekerja dan
berpenghasilan rendah mengalami tekanan yang mempunyai andil dalam praktik
pengasuhan anak, pola komunikasi, dan harapan rendah yang mungkin akan kurang
menguntungkan anak-anak ketika mereka memasuki sekolah. Siswa yang mempunyai SSE
yang rendah sering mempelajari budaya normative yang berbeda dari budaya kelas
menengah sekolah tersebut, yang menuntut daya saing, dan penentuan tujuan.
13. 1.6 BAHASA
A. Pengaruh Bahasa Terhadap Pencapaian Siswa
Perbedaan bahasa yang digunakan siswa dalam lingkungan keluarga dan
sekolahnya akan menjadi masalah yang besar dalam melaksanakan pembelajaran. Riset
terakhir menunjukkan bahwa pendidikan dwibahasa (bilingual education), khususnya
pendidikan dwibahasa berpasangan dapat memberi manfaat bagi siswa.
Hal ini sangat terasa dalam konteks pendidikan yang diselenggarakan dalam suatu
wilayah yang beragama bahasa. Guru yang baik dan profesional harus memiliki
kemampuan untuk mempelajari bahasa lokal di mana dia mengabdi.
1.7 GENDER
A. Pengaruh Gender terhadap Pengalaman Sekolah Siswa
Jenis kelamin individu sebagai perempuan dan laki-laki merupakan ciri biologis
yang terlihat jelas dan abadi. Namun demikian, banyak perbedaan peran antara perempuan
dan laki-laki yang merupakan ciptaan masyarakat sosial. Kebanyakan dalam masyarakat,
selalu ada pemisahan dan perbedaan peran yang jelas antara perempuan dan laki-laki. Hal
ini memang merupakan suatu budaya yang telah diwariskan turun temurun.
Lembaga pendidikan sebagai tempat membina dan mendidik generasi muda juga
mengalami imbas bias gender ini. Sering muncul dalam proses pembelajaran suatu
pandangan yang sterotipe dan perlakuan yang berbeda terhadap pria dan wanita, yang
biasanya selalu menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak lainnya.
Ketidakadilan gender di ruang kelas atau yang dikenal dengan bias jender dalam
pembelajaran (pendidikan) sangat memengaruhi pilihan dan pencapaian siswa dalam
belajar. Oleh karena itu diharapkan pendidikan harus mengedepankan pendidikan
berperspektif kesetaraan gender.
Dalm kelas misalnya, guru harus menghindari sterotipe gender, menumbuhkan
integritas peserta didik tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, dan memperlakukan
perempuan dan laki-laki secara setara.
14. 1.8 BUDAYA
A. Pengaruh Gender terhadap Pengalaman Sekolah Siswa
Setiap manusia hidup dan dibesarkan dalam budaya tertentu. Budaya telah
diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Semuanya diwariskan dan
berurat akar dalam diri dan kehidupan setiap individu. Hal ini jelas juga akan
berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan. Setiap siswa yang berasal dari budaya
dan kebiasaan yang berbeda-beda disatukan dalam satu lingkup pendidikan.
Budaya sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pembelajaran. Banyak aspek
budaya mempunyai andil bagi identitas dan konsep diri pelajar dan mempengaruhi nilai,
sikap dan harapan, hubungan sosial, penggunaan bahasa, dan perilaku lain dari para
pelajar.
1.9 PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
A. Definisi
Konsep tentang pendidikan yang memperlakukan sama terhadap siswa dengan
perbedaan latar belakang, baik ras, etnik, budaya, bahasa, kelas sosial, agama dan lainnya.
Tiga Asumsi Richard Race yaitu :
1. perbedaan budaya adalah sesuatu yang positif, memperkaya pengalaman. Maka,
program pendidikan multikultural mempunyai tanggungjawab untuk merefleksikan
perbedaan latar belakang siswa dalam kurikulum
2. pendidikan multikultural adalah untuk semua siswa,, pendidikan multikultural harus
disediakan di sekolah-sekolah dan bukan hanya pada sekolah dengan populasi
minoritas yang tinggi.
3. realisasi multikultural yaitu, “mengajar adalah pertemuan lintas budaya”.