Seminar Week_Center for Anthropological Studies_Book Launch_Negara vs Santet_...
MEMAHAMI HUTAN ADAT
1. MEMAHAMI “PRODUK HUKUM DAERAH”
TENTANG MASYARAKAT ADAT SEBAGAI
MEDIUM RESOLUSI KONFLIK DALAM
KAWASAN HUTAN
Muki T. Wicaksono
(Tim Peneliti Epistema Institute dalam Riset Expanding Recognition of Customary Forests)
Kabupaten Lebak, 24 Agustus 2016
Belajar dan Berbagi untuk
Keadilan Eko-Sosial
2. KUTIPAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 35/
PUU-X/2012
“Pasal 18B Ayat 2 dan Pasal 28I Ayat 3 UUD 1945
Merupakan Pengakuan dan Perlindungan atas
Keberadaan Hutan Adat dalam kesatuan dengan
wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat. Hal
demikian merupakan konsekuensi pengakuan terhadap
hukum adat sebagai “living law” yang sudah
berlangsung sejak lama, dan diteruskan sampai sekarang
. Oleh karena itu, menempatkan hutan adat sebagai
bagian dari hutan negara merupakan pengabaian
terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.”
3. Apa yang dimaksud dengan “Produk
Hukum Daerah” ?
• Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80
Tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk
Hukum Daerah
“Produk Hukum Daerah adalah produk hukum
berbentuk peraturan meliputi Perda atau
nama lainnya, Perkada, PB KDH, Peraturan
DPRD dan berbentuk keputusan meliputi
Keputusan Kepala Daerah, Keputusan DPRD,
Keputusan Pimpinan DPRD, dan Keputusan
Badan Kehormatan DPRD.”
4. Bagaimana letak “produk hukum daerah”
dalam meneruskan mandat Putusan MK 35?
Undang-Undang No. 41 tahun 1999
tentang Kehutanan
PERATURAN DAERAH
6. Hutan Adat di Kabupaten Kerinci
•Luas Kab. Kerinci: 420.000 ha
•51,19% atau 215.000 ha
adalah kawasan Taman
Nasional Kerinci Seblat (15,5%
dari total luas TNKS : 1.389.549
ha; Arizona, 2014)
•HP3M /KPHP Model 33.309 ha
(941 hektar sisanya masuk ke
dalam kawasan Kota Sungai
Penuh) / 374 ha di antaranya
merupakan kawasan Hutan
Adat (RPJP KPHP Model, 2014)
•Kawasan Hutan Adat >
2.398,14 ha
7. Kebijakan apa yang tersedia pasca
Putusan MK 35?
Kemendagri
Keputusan
Kepala
Daerah
UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa
1. MHA dijadikan Desa Adat bentuk
pemerintahan otonom terendah
2. Kriteria MHA fakultatif dan berinti pada
penguasaan wilayah
3. Mekanisme penetapan desa adat
berliku
Permendagri 52/2014 tentang Pedoman
Pengakuan dan Perlindungan MHA
1. Mengatur mekanisme pengakuan
(identifikasi, verifikasi-validasi dan
penetapan); berupa kepanitiaan yang
ada di tingkat Kabupaten/Kota
Keputusan
bersama
kepala
daerah
Perda
Sumber: Mumu Muhajir, 2014
8. Kebijakan apa yang tersedia? (2)
Permen LHK No. 32/Menlhk-Setjen/2015
Pasal 6 Ayat 1: Menggunakan
Frasa “Produk Hukum
Daerah”
Memberikan kejelasan
administrasi proses
penetapan hutan adat
sebagai “kawasan hutan”
oleh KLHK
10. Successfull Story: Perda Kab. Bulukumba 2016 tentang
Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan MHA
Ammatoa Kajang
Hutan Produksi
Terbatas
Hutan Adat:
Fungsi Lindung
14. Babak demi babak……
Proses Pengorganisasian
Masyarakat melalui
Pendidikan Kritis sebagai
“amunisi” perjuangan Masy
Proses Pembuktian sebagai
MA (acuan Permenag No.
5/1999) -- Uji coba di
Kasepuhan Citorek dan
Cibedug
Hasil Kajian (akademis)
didukung oleh LIPI dan
diperkuat oleh mediator dari
akademisi (IPB)
• Kasepuhan Citorek dan
Cibedug mengajukan surat
resmi tentang harapan
perlindungan dan pengakuan
MA
• DPRD Lebak memberikan
dukungan perlindungan
terhadap Kasepuhan --- masuk
di dalam Arah Kebijakan Umum
2006
• Dukungan kuat dari SABAKI
tercermin melalui program
kerja yang dibahas di dalam
Riungan Kasepuhan Banten
Kidul IX
• Kunjungan Bupati Jayabaya
pada Riungan Kasepuhan
Banten Kidul IX di Citorek “Janji
Politik Bupati menerbitkan SK
Bupati Pengakuan Kasepuhan
Banten Kidul” --- Momentum
menjelang PILKADA Lebak
Pembahasan draft SK Bupati
Lebak Citorek dan Cibedug di
Pemerintah Kabupaten Lebak
--- tidak ada keberanian
Pemda memasukan data
wilayah adat yang sudah
dipetakan, mengingat
keberadaan Kasepuhan
Citorek dan Cibedug berada
di Kawasan Hutan Konservasi
Representatif Kasepuhan di
Badan Legislatif hanya 1
orang
Sejak
2001
2006-
2007
2008-
2009
Sumber: Ramdhaniaty, 2014
15. 2010
Lahir SK Bupati Lebak No.
430/Kep.318/Disporabudpar/
2010 tentang Pengakuan
Keberadaan Masyarakat
Adat Cisitu Kesatuan
Sesepuh Adat Cisitu Banten
Kidul di Kabupaten Lebak --
- didorong secara langsung
oleh Kasepuhan Cisitu
• Konsolidasi SABAKI pada bulan Maret
2013 yang menghasilkan dorongan
kepada Bupati Lebak untuk segera
menyusun SK Bupati perlindungan
Kasepuhan di Kab. Lebak
• Lahir SK Bupati Lebak No.
430/Kep.298/Disdikbud/2013 tentang
Pengakuan Keberadaan Masyarakat
Adat di Wilayah Kesatuan Adat
Banten Kidul di Kabupaten Lebak
Disahkan 22 Agustus 2013 menjelang
masa jabatan Bupati M. Jayabaya
selesai
2013
Digunakan sebagai
salah satu pemohon
dalam JR UU 41/1999
Lahir Putusan MK
35/PUU-X/2012
pada bulan Mei
2013
Sumber: Ramdhaniaty, 2014
16. • Mengakui 17 Kaolotan
dan lembaga adatnya
• Belum mengatur secara
detail mengenai hak
masyarakat kasepuhan
dan tanggungjawab
pemerintah daerah
melakukan
pemberdayaan
• Belum mengatur secara
detail mengenai wilayah
adat
• Diperlukan Perda yang
mengatur Masyarakat
Kasepuhan
17. Rekomendasi ke arah NA dan Ranperda Pengakuan,
Perlindungan, dan Pemberdayaan MHA Kasepuhan
• Suatu kesepahaman
bersama di dalam
masyarakat
• Persetujuan masyarakat
mengenai pilihan dan
konsekuensinya
• Data sosial, sejarah dan
wilayah masyarakat
• Kelembagaan adat yang
semakin tangguh dalam
mengurus masyarakat
adat
• Diskusi-diskusi kampung
• Pembentukan tim
melalui SK Bupati untuk
menyiapkan Naskah
Akademik Ranperda
• Pemetaan wilayah
diintegrasikan dalam
proses penyusunan
naskah akademik
• Koordinasi dan
melibatkan instansi
terkait lainnya (TNGHS,
Dinas Kehutanan,
BPLH, Kantor
Pertanahan dll)
18. Manfaat Perda Masyarakat
Kasepuhan
• Menjadi dasar untuk penyelesaian
konflik kawasan
• Memperjelas wilayah masyarakat
Kasepuhan
• Meningkatkan kesejahteraan
warga Kasepuhan
• Memberdayakan lembaga adat
dan tradisi masyarakat Kasepuhan
20. Implikasi Peraturan Daerah Kab. Lebak
No. 8/2015 tentang Kasepuhan (2)
Pengakuan luas wilayah adat (Wewengkon) Kasepuhan
116.789 ha (1/3 luas Kab. Lebak 304.472 ha)
•Pengakuan 522 Kasepuhan
Pengakuan Lembaga dan Hukum Adat Kasepuhan “Tatali
Paranti Karuhun”
•Pengakuan Lembaga Adat dari Sesepuh yang kemudian disebut
“Masyarakat Kasepuhan”
Forum Komunikasi Masyarakat Kasepuhan
•Pasal 21 : Majelis Permusyawaratan Masyarakat Kasepuhan
Jaminan Pemberdayaan untuk Masyarakat Kasepuhan:
1. Wilayah Kasepuhan sebagai kawasan “perdesaan” dan masuk dalam
RTRWK Lebak
2. Pembentukan SKPD terkait Wilayah Adat
3. Anggaran APBD -> Untuk Pembangunan Masyarakat Kasepuhan
22. Apakah kepastian hukum melalui perda serta
merta diakui di tingkat tapak?
• Resistensi terhadap pembentukan
peraturan desa terkait
pengambilan manfaat hasil hutan
• Masalah Open Access – ketiadaan
aturan main antarpihak yang jelas
melahirkan relasi elite chapter di
tingkat desa dengan pengelola
kawasan TNGHS.
23. Apakah kepastian hukum melalui perda serta
merta diakui di tingkat tapak? (2)
• Belum terbentuknya SKPD di tingkat
Kabupaten Daerah yang
bertanggungjawab menangani
persoalan MHA seperti dalam amanat
Perda Kab. Lebak No. 8/2015?
26. Di mana letak wilayah Kasepuhan dalam
TNGHS?
No Nama Kasepuhan Luas wilayah 8
Kasepuhan (ha)
Luas Wilayah
Kasepuhan yang
masuk TNGHS
Pengurangan
Luas TNGHS
(SK.Menlhk
327/2016)
1 Karang 1.081,28 585,6 TNGHS: 87.699 ha
2 Cirompang 639 352,3 Kawasan HL:
3.738 ha
3 Citorek 7.422,4 7.422,4 H.Produksi
Terbatas: 9.477 ha
4 Cibedug 2.137,2 2.137,2 H. Produksi Tetap:
4.158 ha
5 Cisitu 7.266,5 6.878,2 Enclave:
7.847 ha
6 Pasir Eurih 1.145,6 652
7 Sindang Agung 160,3 124,5
8 Cibarani 1.207 0
Jumlah luas 21.059,2* ha 18.152,2 ha
Sumber: Pemetaan Partisipatif RMI, JKPP, AMAN;
dalam Ramadhaniaty dan Vitasari, 2015
27. Pertanyaan diskusi:
Di mana posisi Masyarakat
Kasepuhan dalam perubahan luas
Kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak tersebut?
28. Rekomendasi
• Sejumlah kawasan hutan adat telah dilakukan pemetaan partisipatif dan
mendapatkan kepastian hukum lewat penetapan wilayah adat kasepuhan
dalam Perda Kab. Lebak. No. 8/2015.
• Keberadaan peta tersebut seharusnya dapat dibahas bersama TNGHS dan
Pemda Kab. Lebak dalam merancang tata kelola kawasan hutan, dan
mengarah ke penetapan hutan adat lewat SK Menlhk.
• Beberapa kasus di Bulukumba dan Kerinci, memperlihatkan dengan
penetapan hutan adat dan penguatan kelembagaan pengelola hutan adat
dapat menjadi medium resolusi konflik tenurial di kawasan kehutanan antara
masyarakat adat dengan pihak lainnya.
• Belajar dari kasus Hutan Adat di Kerinci, mungkin saja masyarakat Kasepuhan
dapat membuat MoU bersama dengan pihak kedua (misal. TNGHS) untuk
memperjelas pembagian peran dalam pengelolaan kawasan hutan.
Kolaborasi antarpihak perlu dilakukan.
• Perda Kab. Lebak No. 8/2015 hanyalah menjadi titik awal untuk meretas
sengkarut konflik di kawasan hutan. Perlu diperjelas sistem administrasi
pertanahan yang memberikan kepastian hukum, dan sosial-ekonomi bagi
setiap pihak.
29. SEKIAN DAN TERIMA KASIH
“PENGAKUAN BUKAN HANYA DIUCAPKAN MELALUI PERUNDANG-UNDANGAN, TAPI
PERLU DINYATAKAN DALAM TINDAKAN. MASYARAKAT ADAT SAJA MENGAKUI
KEBERADAAN NEGARA DENGAN MENGIBARKAN BENDERA RI SAAT 17 AGUSTUS 2016 DI
ATAS TANAH (HUTAN) NEGARA. TAPI, KENAPA NEGARA MASIH BELUM DAPAT
MENGAKUI KAMI?” – SEREN TAUN AGUSTUS 2016
Sekian dan terima kasih