SlideShare a Scribd company logo
1 of 21
Download to read offline
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR P.34/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017
TENTANG
PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18B ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945, negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa peran masyarakat lokal termasuk masyarakat
hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan hidup dengan praktek kearifan lokal sangat
penting untuk kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan;
c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 ayat (1)
huruf t Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu
menetapkan kebijakan dalam implementasi pengakuan
hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum
adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
- 2 -
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan tentang Pengakuan dan Perlindungan
Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3419);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang
Pengesahan United Nations Convention on Biological
Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3556);
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang
Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber
Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan
- 3 -
Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas
Konvensi Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5412);
6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5495);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
8. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Konservasi Tanah dan Air (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5608);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4818);
10. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang
Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);
- 4 -
11. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 17);
12. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.18/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 713);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN
KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA
ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah
upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum.
2. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat setempat antara lain
untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup dan
sumber daya alam secara lestari.
3. Pengetahuan Tradisional adalah bagian dari Kearifan
Lokal yang merupakan substansi pengetahuan dari hasil
- 5 -
kegiatan intelektual dalam konteks tradisional,
keterampilan, inovasi, dan praktik-praktik dari
Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat yang
mencakup cara hidup secara tradisi, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis yang disampaikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan
sumber daya alam secara berkelanjutan.
4. Sumber Daya Genetik adalah materi genetik yang
mengandung nilai aktual atau nilai potensial, yakni
bagian tubuh tumbuhan, hewan, atau mikroorganisme
yang mempunyai fungsi dan kemampuan mewariskan
sifat.
5. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat
yang secara turun-temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan
hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan
pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum yang
mendapatkan pengakuan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6. Komunitas adalah kelompok masyarakat atau satuan
sosial yang menempati wilayah geografis tertentu
didasarkan atas kesamaan wilayah yang saling
berinteraksi dan berhubungan secara fungsional karena
adanya kepentingan bersama untuk memenuhi
kebutuhan kehidupan sosialnya.
7. Pengampu Kearifan Lokal adalah Masyarakat Hukum
Adat atau masyarakat setempat yang memegang hak
ulayat atau hak tradisional dan memperoleh manfaat dari
hak ulayat atau pengelolaan dalam bentuk tanggung
jawab moral, ekonomi, dan budaya.
8. Pengakses Kearifan Lokal adalah orang perseorangan,
kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi
profesi, dan/atau badan usaha, baik dari dalam maupun
luar negeri, yang mengakses dan/atau memanfaatkan
- 6 -
Kearifan Lokal yang diampu oleh Masyarakat Hukum
Adat atau masyarakat setempat.
9. Pengakuan Kearifan Lokal adalah pernyataan Negara
sebagai penerimaan dan penghormatan atas Kearifan
Lokal yang diampu Masyarakat Hukum Adat dan/atau
masyarakat setempat.
10. Perlindungan Kearifan Lokal adalah suatu bentuk
pelayanan Negara kepada Masyarakat Hukum Adat atau
masyarakat setempat dalam rangka menjamin
kelangsungan Kearifan Lokal dan keberadaan
masyarakat pengampunya, serta terpenuhinya hak dan
kewajiban dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, agar dapat hidup, tumbuh, dan
berkembang sebagai satu kelompok masyarakat yang
madani, berpartisipasi sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaannya.
11. Wilayah Kearifan Lokal adalah suatu wilayah tertentu
berupa daratan dan/atau perairan beserta sumber daya
alam yang ada di atasnya, dengan batas-batas tertentu di
mana pemanfaatan Kearifan Lokal dan pengetahuan
tradisional dilaksanakan secara turun termurun dan
berkelanjutan.
12. Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal, yang selanjutnya
disingkat PADIA adalah pemberitahuan dari pemohon
akses kepada Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat
setempat tentang semua informasi dalam rangka
kegiatan pemanfaatan Kearifan Lokal sebagai bahan
pertimbangan dalam memberikan persetujuan akses
terhadap Kearifan Lokal.
13. Kesepakatan Bersama adalah kesepakatan yang adil dan
seimbang antara Pengampu dengan Pengakses Kearifan
Lokal.
14. Protokol Komunitas adalah pranata atau tata cara
pengambilan keputusan dalam pemberian akses yang
berkembang secara turun-temurun pada Masyarakat
Hukum Adat atau masyarakat setempat terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
- 7 -
15. Inventarisasi adalah kegiatan ilmiah untuk mendata
tentang Kearifan Lokal, keberadaan masyarakat
pengampunya, beserta hak-hak masyarakat yang
dilakukan melalui suatu urutan kerja tertentu yang
sesuai dengan kaidah umum tentang proses pendataan
secara ilmiah, partisipatif, dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
16. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan
kehutanan.
17. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang
membidangi Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan.
18. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
Bagian Kedua
Maksud, Tujuan, dan Ruang Lingkup
Pasal 2
(1) Pengaturan Kearifan Lokal dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan hukum bagi pengampu dan
memfasilitasi pengakses Kearifan Lokal dalam
mewujudkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya
alam.
(2) Pengaturan Kearifan Lokal bertujuan agar pengampu
Kearifan Lokal mendapat pengakuan, perlindungan, dan
memperoleh pembagian keuntungan yang adil dan
seimbang dari pemanfaatan Kearifan Lokal dalam
relevansi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup.
Pasal 3
Ruang lingkup pengaturan Kearifan Lokal, meliputi:
a. lingkup, sifat, wilayah, dan kriteria Kearifan Lokal;
- 8 -
b. tata cara pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal;
c. hak dan kewajiban Pengampu dan Pengakses Kearifan
Lokal; dan
d. pembiayaan.
BAB II
LINGKUP, SIFAT, WILAYAH, DAN KRITERIA KEARIFAN LOKAL
Pasal 4
Lingkup Kearifan Lokal paling sedikit mencakup:
a. pengetahuan tradisional di bidang Sumber Daya Genetik,
air, tanah, dan energi;
b. pengetahuan tradisional termasuk namun tidak terbatas
pada mata pencaharian berkelanjutan, kesehatan, dan
lainnya, di bidang wilayah Kearifan Lokal yang dijaga
kelestariannya;
c. peralatan dan teknologi tradisional di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan
sumber daya alam;
d. ekspresi budaya tradisional, tradisi dan upacara
tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dan sumber daya alam termasuk
folklor terkait Sumber Daya Genetik;
e. pembelajaran tradisional di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
dan/atau
f. warisan budaya benda dan tak benda.
Pasal 5
(1) Sifat Kearifan Lokal terdiri atas:
a. Kearifan Lokal yang dapat diakses publik; dan
b. Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral dan
dipegang teguh.
(2) Kearifan Lokal yang dapat diakses publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan Kearifan
Lokal yang oleh pengampunya dapat diakses oleh
pengakses atau kelompok lain.
- 9 -
(3) Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral, dan
dipegang teguh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, yang karena sifatnya oleh pengampunya
dirahasiakan dan/atau disakralkan sehingga tidak dapat
diakses oleh pihak lain atau tidak boleh dipublikasi
secara luas kepada masyarakat.
Pasal 6
(1) Wilayah Kearifan Lokal meliputi:
a. Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat;
b. Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar
wilayah ulayat; atau
c. Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa
wilayah ulayat.
(2) Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Kearifan
Lokal yang diampu oleh satu komunitas Masyarakat
Hukum Adat dalam satu Wilayah Kearifan Lokal.
(3) Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah
ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu
Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik
dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal.
(4) Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa
wilayah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh
beberapa kelompok Masyarakat Hukum Adat atau
masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah
Kearifan Lokal.
Pasal 7
Kriteria Kearifan Lokal di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam , terdiri
atas:
a. nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat; dan
- 10 -
b. pernyataan pengakuan masyarakat sekitar yang berbeda
adat dan budaya.
Pasal 8
(1) Indikator kriteria Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf a, terdiri atas:
a. terpelihara praktik pengetahuan dan keterampilan
tradisional yang nyata secara terus menerus dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dan sumber daya alam;
b. terpelihara kualitas lingkungan hidup dan sumber
daya hutan sebagai pelaksanaan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. terpelihara ingatan kolektif masyarakat tentang
Kearifan Lokal yang berkaitan dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
hutan termasuk ekspresi budaya tradisional; dan
d. terwariskan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a yang direpresentasikan antar generasi.
(2) Indikator kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf b berupa surat pernyataan, pernyataan sikap,
dan/atau bentuk pengakuan lainnya tentang kebenaran
Kearifan Lokal dan pengampunya yang diberikan oleh
masyarakat sekitar melalui proses musyawarah mufakat.
BAB III
TATA CARA PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN
KEARIFAN LOKAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya secara aktif mendorong dan
memfasilitasi inventarisasi, verifikasi, dan validasi
- 11 -
Kearifan Lokal dan keberadaan masyarakat Pengampu
Kearifan Lokal.
(2) Inventarisasi dilaksanakan oleh Pengampu Kearifan
Lokal.
(3) Dalam hal Pengampu Kearifan Lokal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak melakukan inventarisasi,
Pemerintah dapat melakukan inventarisasi Kearifan
Lokal untuk melindungi dan mengakui Kearifan Lokal.
Pasal 10
(1) Penyelenggaraan inventarisasi, verifikasi, dan validasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilaksanakan
dengan ketentuan:
a. wilayah lintas daerah provinsi diselenggarakan oleh
Menteri;
b. wilayah lintas daerah kabupaten dan/atau kota
dilaksanakan oleh gubernur; dan
c. dalam satu wilayah daerah kabupaten/kota
dilaksanakan oleh bupati/walikota.
(2) Penyelenggaraan inventarisasi, verifikasi, dan validasi
pada wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dan huruf c dilakukan oleh organisasi perangkat
daerah yang membidangi lingkungan hidup dan
kehutanan.
Bagian Kedua
Inventarisasi
Pasal 11
(1) Pengampu Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (2) dalam melakukan inventarisasi dapat
melibatkan lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat,
perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan dunia usaha.
(2) Dalam hal inventarisasi dilakukan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3) dapat melibatkan lembaga
- 12 -
swadaya masyarakat, lembaga adat, perguruan tinggi,
lembaga penelitian, dan dunia usaha.
(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dan Pengampu
Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dalam melaksanakan inventarisasi berkoordinasi
dengan kementerian/lembaga terkait.
Pasal 12
Masyarakat Pengampu Kearifan Lokal yang melakukan
inventarisasinya sendiri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1), mendaftarkan data Kearifan Lokal dan
pengampunya kepada:
a. Menteri untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh 1 (satu)
atau lebih komunitas yang tersebar di wilayah lintas
provinsi;
b. Gubernur untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh 1
(satu) atau lebih komunitas yang tersebar di wilayah
lintas daerah kabupaten dan/atau kota; atau
c. Bupati/walikota untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh
komunitas dalam satu wilayah daerah kabupaten/kota
untuk selanjutnya diteruskan kepada gubernur.
Pasal 13
(1) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dilakukan melalui kegiatan:
a. studi pustaka;
b. in situ atau kunjungan lapangan;
c. identifikasi dan pembuatan daftar kearifan lokal dan
pengampunya; dan
d. dokumentasi hasil inventarisasi.
(2) Dalam melakukan inventarisasi wajib:
a. mentaati hukum adat dan kode etik yang berlaku;
b. menghormati kesakralan dan kerahasiaan dari
Kearifan Lokal tersebut; dan
c. dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- 13 -
(3) Inventarisasi paling sedikit memuat data atau informasi
mengenai:
a. nama Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat
setempat Pengampu Kearifan Lokal;
b. sejarah perkembangan masyarakat;
c. adat-istiadat atau norma adat yang masih berlaku;
d. keberadaan dan fungsi kelembagaan adat, serta
sistem kekerabatan;
e. protokol komunitas dan sistem pengambilan
keputusan;
f. pengetahuan tentang Sumber Daya Genetik atau
sumber daya hayati;
g. pengetahuan tentang tata ruang dan Wilayah
Kearifan Lokal;
h. pengetahuan tentang tanah dan air;
i. pengetahuan tentang hal-hal tabu dan sakral dalam
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
alam;
j. teknologi dan peralatan tradisional pengelolaan
lingkungan hidup dan sumber daya alam;
k. tradisi tentang pelestarian fungsi lingkungan hidup
dan sumber daya alam ;
l. pola pengawasan lingkungan hidup dan
penyelesaian konflik; dan/atau
m. pengetahuan tentang suksesi, seleksi, dan adaptasi.
(4) Dokumentasi hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d dilakukan setelah mendapatkan
PADIA dari kelompok masyarakat pengampunya.
(5) Dokumentasi Kearifan Lokal yang bersifat sakral dan
rahasia hanya dilakukan terhadap jenis Kearifan Lokal
dan pengampunya dengan tetap menjaga kesakralan dan
kerahasiaannya.
- 14 -
Bagian Ketiga
Pengumuman Hasil Inventarisasi
Pasal 14
(1) Hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 dapat diumumkan melalui media cetak, media
elektronik, dan/atau pengumuman di kantor
Pemerintah/pemerintah daerah.
(2) Dalam hal terdapat keberatan terhadap hasil
inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
masyarakat dapat mengajukan keberatan dalam kurun
waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diumumkan di
media.
(3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan melalui surat tertulis dari pimpinan
lembaga adat atau Pengampu Kearifan Lokal kepada
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Berdasarkan keberatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya, melakukan:
a. verifikasi dan validasi; atau
b. mediasi.
Pasal 15
Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap hasil
inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya menetapkan pengakuan dan perlindungan
Kearifan Lokal dalam bentuk Keputusan Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota.
- 15 -
Bagian Keempat
Verifikasi, Validasi, dan Mediasi
Pasal 16
(1) Verifikasi dan validasi data Kearifan Lokal dan
pengampunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (4) huruf a dilakukan untuk memastikan kebenaran
hasil inventarisasi Kearifan Lokal dan pengampunya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
(2) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan berdasarkan hasil inventarisasi, yang
dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya dibantu oleh Tim
Independen yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Tim Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri dari unsur akademisi yang membidangi Kearifan
Lokal dan lembaga swadaya masyarakat, keanggotaannya
paling banyak 7 (tujuh) orang dengan memperhatikan
kesetaraan gender.
(4) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan melalui kajian lapangan dengan
metode:
a. menyalin manuskrip;
b. diskusi dalam grup;
c. wawancara;
d. pengamatan;
e. pengkajian sejarah kehidupan masyarakat
Pengampu Kearifan Lokal; dan
f. pemetaan partisipatif Wilayah Kearifan Lokal.
(5) Kearifan Lokal yang bersifat sakral dan rahasia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) tidak
dilakukan verifikasi dan validasi.
Pasal 17
(1) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16, meliputi:
- 16 -
a. nama komunitas pengampu Kearifan Lokal;
b. wilayah Kearifan Lokal yang dilindungi;
c. jenis Sumber Daya Genetik yang dilindungi;
d. jenis Kearifan Lokal yang dilindungi; dan
e. skema pemanfaatan kearifan lokal.
(2) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan paling lama 14 (empat belas) hari
kerja setelah ditetapkannya Tim Independen.
(3) Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dituangkan dalam berita acara dan disampaikan
kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 18
(1) Mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4)
huruf b dilakukan oleh mediator bersertifikat.
(2) Hasil mediasi dituangkan dalam berita acara dan
disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota.
Bagian Kelima
Penetapan
Pasal 19
(1) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (3) atau Pasal 18 ayat (2), Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya menetapkan pengakuan dan
perlindungan Kearifan Lokal.
(2) Penetapan pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. nama komunitas pengampu Kearifan Lokal;
b. wilayah Kearifan Lokal yang dilindungi;
c. jenis Sumber Daya Genetik yang dilindungi;
d. jenis Kearifan Lokal yang dilindungi;
e. skema pemanfaatan Kearifan Lokal; dan
- 17 -
f. hak, kewajiban Pengampu, tugas dan tanggung
jawab Pengakses, dan pemerintah.
(3) Gubernur atau bupati/walikota yang telah menerbitkan
keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaporkan kepada Menteri.
Pasal 20
(1) Keputusan penetapan Kearifan Lokal oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota, disimpan pada Balai
Kliring Kearifan Lokal.
(2) Balai Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengelola:
a. data naratif, numerik, visual dan/atau spasial;
b. daftar pengampu;
c. daftar pengakses; dan
d. daftar kesepakatan bersama dan perubahannya.
(3) Pengelolaan Balai Kliring sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal untuk
mencegah penyalahgunaan dan pemanfaatan yang tidak
sah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
(4) Data yang menyangkut Sumber Daya Genetik dan
pengetahuan tradisional yang terkait dengan Sumber
Daya Genetik hanya dapat diakses berupa resume
data/abstrak/metadata.
(5) Data yang menyangkut ekspresi budaya tradisional
terkait sumber daya genetik, warisan budaya benda dan
tak benda dapat diakses dan dipublikasi secara luas.
Pasal 21
Dalam hal terdapat keberatan terhadap penetapan pengakuan
dan perlindungan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19, keberatan dapat diajukan kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
- 18 -
Pasal 22
Tata Cara inventarisasi, verifikasi, dan validasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 17 diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PENGAMPU DAN
PENGAKSES KEARIFAN LOKAL
Pasal 23
(1) Hak Pengampu Kearifan Lokal meliputi:
a. memanfaatkan dan menggunakan pengetahuan
Kearifan Lokal dalam pemanfaatan Sumber Daya
Genetik dan mendapat pembagian keuntungan baik
secara moneter maupun non moneter atas
pemanfaatan Kearifan Lokal baik pada pengetahuan
generik maupun lanjutannya;
b. mengekspresikan Kearifan Lokal baik di dalam
maupun di luar Wilayah Kearifan Lokal;
c. mendapat perlakuan yang adil dan seimbang dalam
PADIA;
d. menolak atau menerima permohonan akses melalui
PADIA;
e. memperoleh kesempatan dalam kegiatan
peningkatan kapasitas dan penguatan kelembagaan
masyarakat;
f. mendapat perlindungan dari gangguan kerusakan
dan pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya
alam;
g. mengajukan keberatan terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan hidup, sumber
daya alam, religi, politik, keamanan, ekonomi, sosial
dan budaya;
h. melakukan pelaporan dan pengaduan akibat dugaan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
dan sumber daya alam;
- 19 -
i. mendapat perlindungan dan pemberdayaan
terhadap Kearifan Lokal dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
alam; dan/atau
j. mengajukan gugatan atas wanprestasi atau
pelanggaran terhadap kesepakatan bersama antara
Pengampu dengan Pengakses Kearifan Lokal.
(2) Kewajiban Pengampu Kearifan Lokal meliputi:
a. memelihara, mengembangkan, dan mempraktikkan
Kearifan Lokal dan pengetahuan tradisional untuk
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dan sumber daya alam secara lestari; dan
b. mewariskan nilai-nilai luhur Kearifan Lokal dan
pengetahuan tradisional dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
alam kepada generasi berikutnya.
(3) Dalam hal pengampu mengembangkan Kearifan Lokal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengampu
menginformasikan kepada Pemerintah dan pemerintah
daerah.
Pasal 24
(1) Pengakses Kearifan Lokal berhak untuk memperoleh
keuntungan finansial dan nonfinansial sebagaimana
ditentukan dalam kesepakatan bersama dari
pemanfaatan Kearifan Lokal dengan cara yang benar,
terbuka, adil, seimbang, keberlanjutan, dan
penghormatan kepada Masyarakat Hukum Adat atau
masyarakat setempat.
(2) Kewajiban Pengakses Kearifan Lokal meliputi:
a. melakukan pemberitahuan kepada Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah sesuai
kewenangannya;
b. melakukan PADIA dan kesepakatan bersama dengan
Pengampu Kearifan Lokal;
c. mematuhi protokol komunitas Pengampu Kearifan
Lokal;
- 20 -
d. membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan
bersama;
e. memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
serta mengendalikan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
f. melindungi Kearifan Lokal yang bersifat generik
dengan tidak mematenkannya;
g. meminta persetujuan dan kesepakatan dari
Pengampu Kearifan Lokal jika mematenkan turunan
dari Kearifan Lokal; dan
h. melaporkan hasil turunan Kearifan Lokal kepada
Pemerintah Pusat dan daerah.
(3) Dalam hal mengakses dan memanfaatkan turunan
Kearifan Lokal sebagai dasar temuan untuk paten,
Pengakses wajib memberikan pembagian keuntungan
yang adil dan seimbang kepada Pengampu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 25
Pembiayaan pelaksanaan pengakuan dan perlindungan
Kearifan Lokal dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi atau Kabupaten/Kota, dan sumber dana lain yang
sah dan tidak mengikat.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 21 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Mei 2017
MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SITI NURBAYA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juni 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 801
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO HUKUM,
ttd.
KRISNA RYA

More Related Content

What's hot

METODE PENELITIAN AGRIBISNIS
METODE PENELITIAN AGRIBISNISMETODE PENELITIAN AGRIBISNIS
METODE PENELITIAN AGRIBISNISAna Puja Prihatin
 
PPT TKP M3KB1 - Perkembangan Irigasi dan Peranannya dalam Pertanian
PPT TKP M3KB1 - Perkembangan Irigasi dan Peranannya dalam PertanianPPT TKP M3KB1 - Perkembangan Irigasi dan Peranannya dalam Pertanian
PPT TKP M3KB1 - Perkembangan Irigasi dan Peranannya dalam PertanianPPGHybrid1
 
Pertanian Modern
Pertanian Modern Pertanian Modern
Pertanian Modern tani57
 
Dasar-Dasar Ilmu Tanah: kimia kesuburan tanah dan unsur hara tanaman
Dasar-Dasar Ilmu Tanah: kimia kesuburan tanah dan unsur hara tanamanDasar-Dasar Ilmu Tanah: kimia kesuburan tanah dan unsur hara tanaman
Dasar-Dasar Ilmu Tanah: kimia kesuburan tanah dan unsur hara tanamanPurwandaru Widyasunu
 
Pertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanaman
Pertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanamanPertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanaman
Pertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanamanAndary Aindåapryl
 
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian Terpadu
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian TerpaduBahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian Terpadu
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian TerpaduPurwandaru Widyasunu
 
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) KabupatenPedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) KabupatenPenataan Ruang
 
Analisis Transek
Analisis TransekAnalisis Transek
Analisis TransekSiti Sahati
 
Tugas sosiologi pedesaan perbedaan pertanian BERPINDAH FEODALISTIK KAPITALIST...
Tugas sosiologi pedesaan perbedaan pertanian BERPINDAH FEODALISTIK KAPITALIST...Tugas sosiologi pedesaan perbedaan pertanian BERPINDAH FEODALISTIK KAPITALIST...
Tugas sosiologi pedesaan perbedaan pertanian BERPINDAH FEODALISTIK KAPITALIST...Joel mabes
 
Laporan kegitan penyuluhan pertanian 14
Laporan kegitan penyuluhan pertanian 14Laporan kegitan penyuluhan pertanian 14
Laporan kegitan penyuluhan pertanian 14Begawan Lereng Muria
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota MakassarRencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota MakassarPenataan Ruang
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota MalangRencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota MalangPenataan Ruang
 
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah Joy Irman
 
Kelembagaan P3A tahun 2014 bappeda
Kelembagaan P3A tahun 2014 bappedaKelembagaan P3A tahun 2014 bappeda
Kelembagaan P3A tahun 2014 bappedaSigit Pramulia
 
Konsep desa-mandiri
Konsep desa-mandiriKonsep desa-mandiri
Konsep desa-mandirisofwan23
 
Kearifan lokal dalam bidang pertanian
Kearifan lokal dalam bidang pertanianKearifan lokal dalam bidang pertanian
Kearifan lokal dalam bidang pertanianAnisa Salma
 
Peraturan dan Standar Pengelolaan Persampahan (2/4)
Peraturan dan Standar Pengelolaan Persampahan (2/4)Peraturan dan Standar Pengelolaan Persampahan (2/4)
Peraturan dan Standar Pengelolaan Persampahan (2/4)Joy Irman
 

What's hot (20)

Pertanian berkelanjutan
Pertanian berkelanjutanPertanian berkelanjutan
Pertanian berkelanjutan
 
METODE PENELITIAN AGRIBISNIS
METODE PENELITIAN AGRIBISNISMETODE PENELITIAN AGRIBISNIS
METODE PENELITIAN AGRIBISNIS
 
PPT TKP M3KB1 - Perkembangan Irigasi dan Peranannya dalam Pertanian
PPT TKP M3KB1 - Perkembangan Irigasi dan Peranannya dalam PertanianPPT TKP M3KB1 - Perkembangan Irigasi dan Peranannya dalam Pertanian
PPT TKP M3KB1 - Perkembangan Irigasi dan Peranannya dalam Pertanian
 
Pertanian Modern
Pertanian Modern Pertanian Modern
Pertanian Modern
 
Dasar-Dasar Ilmu Tanah: kimia kesuburan tanah dan unsur hara tanaman
Dasar-Dasar Ilmu Tanah: kimia kesuburan tanah dan unsur hara tanamanDasar-Dasar Ilmu Tanah: kimia kesuburan tanah dan unsur hara tanaman
Dasar-Dasar Ilmu Tanah: kimia kesuburan tanah dan unsur hara tanaman
 
Panduan Pengajuan Perhutanan Sosial
Panduan Pengajuan Perhutanan SosialPanduan Pengajuan Perhutanan Sosial
Panduan Pengajuan Perhutanan Sosial
 
Pertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanaman
Pertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanamanPertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanaman
Pertemuan 1 prinsip dan teknik budidaya tanaman
 
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian Terpadu
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian TerpaduBahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian Terpadu
Bahan Kuliah Pertanian Terpadu Bab 3 Prinsip Dasar Pertanian Terpadu
 
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) KabupatenPedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
 
Analisis Transek
Analisis TransekAnalisis Transek
Analisis Transek
 
Tugas sosiologi pedesaan perbedaan pertanian BERPINDAH FEODALISTIK KAPITALIST...
Tugas sosiologi pedesaan perbedaan pertanian BERPINDAH FEODALISTIK KAPITALIST...Tugas sosiologi pedesaan perbedaan pertanian BERPINDAH FEODALISTIK KAPITALIST...
Tugas sosiologi pedesaan perbedaan pertanian BERPINDAH FEODALISTIK KAPITALIST...
 
Laporan kegitan penyuluhan pertanian 14
Laporan kegitan penyuluhan pertanian 14Laporan kegitan penyuluhan pertanian 14
Laporan kegitan penyuluhan pertanian 14
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota MakassarRencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar
 
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota MalangRencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang
 
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
 
Kelembagaan P3A tahun 2014 bappeda
Kelembagaan P3A tahun 2014 bappedaKelembagaan P3A tahun 2014 bappeda
Kelembagaan P3A tahun 2014 bappeda
 
Konsep desa-mandiri
Konsep desa-mandiriKonsep desa-mandiri
Konsep desa-mandiri
 
Kearifan lokal dalam bidang pertanian
Kearifan lokal dalam bidang pertanianKearifan lokal dalam bidang pertanian
Kearifan lokal dalam bidang pertanian
 
Peraturan dan Standar Pengelolaan Persampahan (2/4)
Peraturan dan Standar Pengelolaan Persampahan (2/4)Peraturan dan Standar Pengelolaan Persampahan (2/4)
Peraturan dan Standar Pengelolaan Persampahan (2/4)
 
Pertanian 4.0
Pertanian 4.0Pertanian 4.0
Pertanian 4.0
 

Similar to Peraturan Menteri LHK Tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

Perda malinau nomor 10 tentang pengakuan hak adat masyarakat inisiatif dprd
Perda malinau nomor 10 tentang pengakuan hak adat masyarakat inisiatif dprdPerda malinau nomor 10 tentang pengakuan hak adat masyarakat inisiatif dprd
Perda malinau nomor 10 tentang pengakuan hak adat masyarakat inisiatif dprdMedan Comonity
 
Qanun 21 tahun 2002 ttg pengelolaan sda
Qanun 21 tahun 2002  ttg pengelolaan sdaQanun 21 tahun 2002  ttg pengelolaan sda
Qanun 21 tahun 2002 ttg pengelolaan sdawalhiaceh
 
03g. P.32 Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (hal 8).pdf
03g. P.32 Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (hal 8).pdf03g. P.32 Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (hal 8).pdf
03g. P.32 Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (hal 8).pdfMeldaYeni3
 
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem GambutPermen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem GambutJaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 
Perdes Pelestarian Lingkungan Hidup
Perdes Pelestarian Lingkungan HidupPerdes Pelestarian Lingkungan Hidup
Perdes Pelestarian Lingkungan HidupPemdes Wonoyoso
 
Perda no.17-2008 Pelestarian Lingkungan Hidup
Perda no.17-2008 Pelestarian Lingkungan HidupPerda no.17-2008 Pelestarian Lingkungan Hidup
Perda no.17-2008 Pelestarian Lingkungan HidupArifuddin Ali.
 
Uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi
Uu no 5 tahun 1990 tentang konservasiUu no 5 tahun 1990 tentang konservasi
Uu no 5 tahun 1990 tentang konservasiwalhiaceh
 
PERDES 3 TENTANG PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
PERDES 3 TENTANG PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUPPERDES 3 TENTANG PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
PERDES 3 TENTANG PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUPPemdes Seboro Sadang
 
Perdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidup
Perdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidupPerdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidup
Perdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidupari saridjo
 
Perdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidup
Perdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidupPerdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidup
Perdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidupari saridjo
 
Uu ri no 05 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosist...
Uu ri no 05 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosist...Uu ri no 05 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosist...
Uu ri no 05 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosist...Rizki Fitrianto
 
UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya
UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan EkosistemnyaUU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya
UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan EkosistemnyaPenataan Ruang
 
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan ber...
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan ber...Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan ber...
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan ber...CIFOR-ICRAF
 
Mendagri 1 2007
Mendagri 1 2007Mendagri 1 2007
Mendagri 1 2007071090is
 
Panduan Pengajuan Perhutanan Sosial
Panduan Pengajuan Perhutanan SosialPanduan Pengajuan Perhutanan Sosial
Panduan Pengajuan Perhutanan SosialRyadhi EthniCitizen
 
Perda RTRW Kabupaten Tanggamus.doc
Perda RTRW Kabupaten Tanggamus.docPerda RTRW Kabupaten Tanggamus.doc
Perda RTRW Kabupaten Tanggamus.docYulius Swardana
 
Uu kehutanan no 41 thn 1999
Uu kehutanan no 41 thn 1999Uu kehutanan no 41 thn 1999
Uu kehutanan no 41 thn 1999walhiaceh
 

Similar to Peraturan Menteri LHK Tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (20)

Perda malinau nomor 10 tentang pengakuan hak adat masyarakat inisiatif dprd
Perda malinau nomor 10 tentang pengakuan hak adat masyarakat inisiatif dprdPerda malinau nomor 10 tentang pengakuan hak adat masyarakat inisiatif dprd
Perda malinau nomor 10 tentang pengakuan hak adat masyarakat inisiatif dprd
 
Qanun 21 tahun 2002 ttg pengelolaan sda
Qanun 21 tahun 2002  ttg pengelolaan sdaQanun 21 tahun 2002  ttg pengelolaan sda
Qanun 21 tahun 2002 ttg pengelolaan sda
 
03g. P.32 Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (hal 8).pdf
03g. P.32 Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (hal 8).pdf03g. P.32 Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (hal 8).pdf
03g. P.32 Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (hal 8).pdf
 
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem GambutPermen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut
Permen LHK P.37/2019 tentang Perhutanan Sosial Pada Ekosistem Gambut
 
Perdes Pelestarian Lingkungan Hidup
Perdes Pelestarian Lingkungan HidupPerdes Pelestarian Lingkungan Hidup
Perdes Pelestarian Lingkungan Hidup
 
Perda no.17-2008 Pelestarian Lingkungan Hidup
Perda no.17-2008 Pelestarian Lingkungan HidupPerda no.17-2008 Pelestarian Lingkungan Hidup
Perda no.17-2008 Pelestarian Lingkungan Hidup
 
Uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi
Uu no 5 tahun 1990 tentang konservasiUu no 5 tahun 1990 tentang konservasi
Uu no 5 tahun 1990 tentang konservasi
 
PERDES 3 TENTANG PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
PERDES 3 TENTANG PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUPPERDES 3 TENTANG PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
PERDES 3 TENTANG PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
 
Perdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidup
Perdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidupPerdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidup
Perdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidup
 
Perdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidup
Perdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidupPerdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidup
Perdes no. 7 tahun 2017 tentang lingkungan hidup
 
Uu ri no 05 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosist...
Uu ri no 05 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosist...Uu ri no 05 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosist...
Uu ri no 05 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosist...
 
UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya
UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan EkosistemnyaUU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya
UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya
 
Uu 05 1990
Uu 05 1990Uu 05 1990
Uu 05 1990
 
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan ber...
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan ber...Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan ber...
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan ber...
 
UU RI Nomor 5 Tahun 1990
UU RI Nomor 5 Tahun 1990UU RI Nomor 5 Tahun 1990
UU RI Nomor 5 Tahun 1990
 
Mendagri 1 2007
Mendagri 1 2007Mendagri 1 2007
Mendagri 1 2007
 
Perundangan masyarakat adat
Perundangan masyarakat adatPerundangan masyarakat adat
Perundangan masyarakat adat
 
Panduan Pengajuan Perhutanan Sosial
Panduan Pengajuan Perhutanan SosialPanduan Pengajuan Perhutanan Sosial
Panduan Pengajuan Perhutanan Sosial
 
Perda RTRW Kabupaten Tanggamus.doc
Perda RTRW Kabupaten Tanggamus.docPerda RTRW Kabupaten Tanggamus.doc
Perda RTRW Kabupaten Tanggamus.doc
 
Uu kehutanan no 41 thn 1999
Uu kehutanan no 41 thn 1999Uu kehutanan no 41 thn 1999
Uu kehutanan no 41 thn 1999
 

More from Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis Spasial
Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis SpasialPemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis Spasial
Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis SpasialJaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
 

More from Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (20)

Potret Krisis Ruang Sulawesi
Potret Krisis Ruang SulawesiPotret Krisis Ruang Sulawesi
Potret Krisis Ruang Sulawesi
 
Potret Ketimpangan Ruang Kalimantan
Potret Ketimpangan Ruang KalimantanPotret Ketimpangan Ruang Kalimantan
Potret Ketimpangan Ruang Kalimantan
 
Sustainable Land Use Planning (SLUP) Working Paper 2015
Sustainable Land Use Planning (SLUP) Working Paper 2015Sustainable Land Use Planning (SLUP) Working Paper 2015
Sustainable Land Use Planning (SLUP) Working Paper 2015
 
Panduan Pemetaan Berbasis Masyarakat Oleh Alix Flavelle
Panduan Pemetaan Berbasis Masyarakat Oleh Alix FlavellePanduan Pemetaan Berbasis Masyarakat Oleh Alix Flavelle
Panduan Pemetaan Berbasis Masyarakat Oleh Alix Flavelle
 
24.2 Manifesto Forestry Land Reform oleh Dianto Bachriadi
24.2 Manifesto Forestry Land Reform oleh Dianto Bachriadi24.2 Manifesto Forestry Land Reform oleh Dianto Bachriadi
24.2 Manifesto Forestry Land Reform oleh Dianto Bachriadi
 
Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis Spasial
Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis SpasialPemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis Spasial
Pemanfaatan Dana Desa untuk Pemetaan Sumberdaya Desa Berbasis Spasial
 
Kertas posisi bersama MPMK (RMI, JKPP dan Huma)
Kertas posisi bersama MPMK (RMI, JKPP dan Huma)Kertas posisi bersama MPMK (RMI, JKPP dan Huma)
Kertas posisi bersama MPMK (RMI, JKPP dan Huma)
 
Reforma Agraria Untuk Pemula
Reforma Agraria Untuk PemulaReforma Agraria Untuk Pemula
Reforma Agraria Untuk Pemula
 
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan PetaniKonsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
Konsesi Mencaplok Sawah Food Estate Mematikan Petani
 
Anggota Individu JKPP Periode 2017 2021
Anggota Individu JKPP Periode 2017 2021Anggota Individu JKPP Periode 2017 2021
Anggota Individu JKPP Periode 2017 2021
 
Kabar JKPP Edisi 22
Kabar JKPP Edisi 22Kabar JKPP Edisi 22
Kabar JKPP Edisi 22
 
Laporan BRWA 2018 2019
Laporan BRWA 2018 2019Laporan BRWA 2018 2019
Laporan BRWA 2018 2019
 
Memahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat
Memahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat AdatMemahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat
Memahami Dimensi-dimensi Kemiskinan Masyarakat Adat
 
Kebijakan Satu Peta Untuk Pembangunan Indonesia
Kebijakan Satu Peta Untuk Pembangunan IndonesiaKebijakan Satu Peta Untuk Pembangunan Indonesia
Kebijakan Satu Peta Untuk Pembangunan Indonesia
 
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...
Keputusan Kepala BIG No. 27 tahun 2019 tentang Walidata Informasi Geospasial ...
 
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...
Panduan Pemetaan dan Perencanaan Tata Guna Lahan Secara Partisipatif Berbasis...
 
Panduan Teknis Penetapan dan Penegasan Batas Desa_ MCA Indonesia
Panduan Teknis Penetapan dan Penegasan Batas Desa_ MCA IndonesiaPanduan Teknis Penetapan dan Penegasan Batas Desa_ MCA Indonesia
Panduan Teknis Penetapan dan Penegasan Batas Desa_ MCA Indonesia
 
Perpres Nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia
Perpres Nomor 39 tahun 2019   tentang Satu Data IndonesiaPerpres Nomor 39 tahun 2019   tentang Satu Data Indonesia
Perpres Nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia
 
Kabar jkpp edisi 21
Kabar jkpp edisi 21Kabar jkpp edisi 21
Kabar jkpp edisi 21
 
Kabar jkpp 20
Kabar jkpp 20Kabar jkpp 20
Kabar jkpp 20
 

Peraturan Menteri LHK Tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup

  • 1. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.34/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. bahwa peran masyarakat lokal termasuk masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan praktek kearifan lokal sangat penting untuk kelestarian sumber daya alam dan lingkungan; c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 ayat (1) huruf t Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan kebijakan dalam implementasi pengakuan hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  • 2. - 2 - d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3556); 3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan
  • 3. - 3 - Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5412); 6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 8. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 299, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5608); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4818); 10. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);
  • 4. - 4 - 11. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 17); 12. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/MENLHK-SETJEN/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 713); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP. BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Pengertian Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. 2. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat setempat antara lain untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam secara lestari. 3. Pengetahuan Tradisional adalah bagian dari Kearifan Lokal yang merupakan substansi pengetahuan dari hasil
  • 5. - 5 - kegiatan intelektual dalam konteks tradisional, keterampilan, inovasi, dan praktik-praktik dari Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat yang mencakup cara hidup secara tradisi, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara berkelanjutan. 4. Sumber Daya Genetik adalah materi genetik yang mengandung nilai aktual atau nilai potensial, yakni bagian tubuh tumbuhan, hewan, atau mikroorganisme yang mempunyai fungsi dan kemampuan mewariskan sifat. 5. Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum yang mendapatkan pengakuan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 6. Komunitas adalah kelompok masyarakat atau satuan sosial yang menempati wilayah geografis tertentu didasarkan atas kesamaan wilayah yang saling berinteraksi dan berhubungan secara fungsional karena adanya kepentingan bersama untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sosialnya. 7. Pengampu Kearifan Lokal adalah Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat yang memegang hak ulayat atau hak tradisional dan memperoleh manfaat dari hak ulayat atau pengelolaan dalam bentuk tanggung jawab moral, ekonomi, dan budaya. 8. Pengakses Kearifan Lokal adalah orang perseorangan, kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, organisasi profesi, dan/atau badan usaha, baik dari dalam maupun luar negeri, yang mengakses dan/atau memanfaatkan
  • 6. - 6 - Kearifan Lokal yang diampu oleh Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat. 9. Pengakuan Kearifan Lokal adalah pernyataan Negara sebagai penerimaan dan penghormatan atas Kearifan Lokal yang diampu Masyarakat Hukum Adat dan/atau masyarakat setempat. 10. Perlindungan Kearifan Lokal adalah suatu bentuk pelayanan Negara kepada Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat dalam rangka menjamin kelangsungan Kearifan Lokal dan keberadaan masyarakat pengampunya, serta terpenuhinya hak dan kewajiban dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang sebagai satu kelompok masyarakat yang madani, berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya. 11. Wilayah Kearifan Lokal adalah suatu wilayah tertentu berupa daratan dan/atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya, dengan batas-batas tertentu di mana pemanfaatan Kearifan Lokal dan pengetahuan tradisional dilaksanakan secara turun termurun dan berkelanjutan. 12. Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal, yang selanjutnya disingkat PADIA adalah pemberitahuan dari pemohon akses kepada Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat tentang semua informasi dalam rangka kegiatan pemanfaatan Kearifan Lokal sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan persetujuan akses terhadap Kearifan Lokal. 13. Kesepakatan Bersama adalah kesepakatan yang adil dan seimbang antara Pengampu dengan Pengakses Kearifan Lokal. 14. Protokol Komunitas adalah pranata atau tata cara pengambilan keputusan dalam pemberian akses yang berkembang secara turun-temurun pada Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
  • 7. - 7 - 15. Inventarisasi adalah kegiatan ilmiah untuk mendata tentang Kearifan Lokal, keberadaan masyarakat pengampunya, beserta hak-hak masyarakat yang dilakukan melalui suatu urutan kerja tertentu yang sesuai dengan kaidah umum tentang proses pendataan secara ilmiah, partisipatif, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 16. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. 17. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. 18. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Bagian Kedua Maksud, Tujuan, dan Ruang Lingkup Pasal 2 (1) Pengaturan Kearifan Lokal dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pengampu dan memfasilitasi pengakses Kearifan Lokal dalam mewujudkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam. (2) Pengaturan Kearifan Lokal bertujuan agar pengampu Kearifan Lokal mendapat pengakuan, perlindungan, dan memperoleh pembagian keuntungan yang adil dan seimbang dari pemanfaatan Kearifan Lokal dalam relevansi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pasal 3 Ruang lingkup pengaturan Kearifan Lokal, meliputi: a. lingkup, sifat, wilayah, dan kriteria Kearifan Lokal;
  • 8. - 8 - b. tata cara pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal; c. hak dan kewajiban Pengampu dan Pengakses Kearifan Lokal; dan d. pembiayaan. BAB II LINGKUP, SIFAT, WILAYAH, DAN KRITERIA KEARIFAN LOKAL Pasal 4 Lingkup Kearifan Lokal paling sedikit mencakup: a. pengetahuan tradisional di bidang Sumber Daya Genetik, air, tanah, dan energi; b. pengetahuan tradisional termasuk namun tidak terbatas pada mata pencaharian berkelanjutan, kesehatan, dan lainnya, di bidang wilayah Kearifan Lokal yang dijaga kelestariannya; c. peralatan dan teknologi tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam; d. ekspresi budaya tradisional, tradisi dan upacara tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam termasuk folklor terkait Sumber Daya Genetik; e. pembelajaran tradisional di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan/atau f. warisan budaya benda dan tak benda. Pasal 5 (1) Sifat Kearifan Lokal terdiri atas: a. Kearifan Lokal yang dapat diakses publik; dan b. Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral dan dipegang teguh. (2) Kearifan Lokal yang dapat diakses publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan Kearifan Lokal yang oleh pengampunya dapat diakses oleh pengakses atau kelompok lain.
  • 9. - 9 - (3) Kearifan Lokal yang bersifat rahasia, sakral, dan dipegang teguh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yang karena sifatnya oleh pengampunya dirahasiakan dan/atau disakralkan sehingga tidak dapat diakses oleh pihak lain atau tidak boleh dipublikasi secara luas kepada masyarakat. Pasal 6 (1) Wilayah Kearifan Lokal meliputi: a. Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat; b. Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah ulayat; atau c. Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa wilayah ulayat. (2) Kearifan Lokal dalam satu wilayah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu komunitas Masyarakat Hukum Adat dalam satu Wilayah Kearifan Lokal. (3) Kearifan Lokal yang ada di dalam dan di luar wilayah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh satu Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal. (4) Kearifan Lokal bersama yang tersebar di beberapa wilayah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Kearifan Lokal yang diampu oleh beberapa kelompok Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat baik dalam satu atau lebih Wilayah Kearifan Lokal. Pasal 7 Kriteria Kearifan Lokal di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam , terdiri atas: a. nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat; dan
  • 10. - 10 - b. pernyataan pengakuan masyarakat sekitar yang berbeda adat dan budaya. Pasal 8 (1) Indikator kriteria Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, terdiri atas: a. terpelihara praktik pengetahuan dan keterampilan tradisional yang nyata secara terus menerus dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam; b. terpelihara kualitas lingkungan hidup dan sumber daya hutan sebagai pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. terpelihara ingatan kolektif masyarakat tentang Kearifan Lokal yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya hutan termasuk ekspresi budaya tradisional; dan d. terwariskan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang direpresentasikan antar generasi. (2) Indikator kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b berupa surat pernyataan, pernyataan sikap, dan/atau bentuk pengakuan lainnya tentang kebenaran Kearifan Lokal dan pengampunya yang diberikan oleh masyarakat sekitar melalui proses musyawarah mufakat. BAB III TATA CARA PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN KEARIFAN LOKAL Bagian Kesatu Umum Pasal 9 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya secara aktif mendorong dan memfasilitasi inventarisasi, verifikasi, dan validasi
  • 11. - 11 - Kearifan Lokal dan keberadaan masyarakat Pengampu Kearifan Lokal. (2) Inventarisasi dilaksanakan oleh Pengampu Kearifan Lokal. (3) Dalam hal Pengampu Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melakukan inventarisasi, Pemerintah dapat melakukan inventarisasi Kearifan Lokal untuk melindungi dan mengakui Kearifan Lokal. Pasal 10 (1) Penyelenggaraan inventarisasi, verifikasi, dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilaksanakan dengan ketentuan: a. wilayah lintas daerah provinsi diselenggarakan oleh Menteri; b. wilayah lintas daerah kabupaten dan/atau kota dilaksanakan oleh gubernur; dan c. dalam satu wilayah daerah kabupaten/kota dilaksanakan oleh bupati/walikota. (2) Penyelenggaraan inventarisasi, verifikasi, dan validasi pada wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan oleh organisasi perangkat daerah yang membidangi lingkungan hidup dan kehutanan. Bagian Kedua Inventarisasi Pasal 11 (1) Pengampu Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dalam melakukan inventarisasi dapat melibatkan lembaga swadaya masyarakat, lembaga adat, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan dunia usaha. (2) Dalam hal inventarisasi dilakukan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dapat melibatkan lembaga
  • 12. - 12 - swadaya masyarakat, lembaga adat, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan dunia usaha. (3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dan Pengampu Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam melaksanakan inventarisasi berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Pasal 12 Masyarakat Pengampu Kearifan Lokal yang melakukan inventarisasinya sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), mendaftarkan data Kearifan Lokal dan pengampunya kepada: a. Menteri untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh 1 (satu) atau lebih komunitas yang tersebar di wilayah lintas provinsi; b. Gubernur untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh 1 (satu) atau lebih komunitas yang tersebar di wilayah lintas daerah kabupaten dan/atau kota; atau c. Bupati/walikota untuk Kearifan Lokal yang diampu oleh komunitas dalam satu wilayah daerah kabupaten/kota untuk selanjutnya diteruskan kepada gubernur. Pasal 13 (1) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan melalui kegiatan: a. studi pustaka; b. in situ atau kunjungan lapangan; c. identifikasi dan pembuatan daftar kearifan lokal dan pengampunya; dan d. dokumentasi hasil inventarisasi. (2) Dalam melakukan inventarisasi wajib: a. mentaati hukum adat dan kode etik yang berlaku; b. menghormati kesakralan dan kerahasiaan dari Kearifan Lokal tersebut; dan c. dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • 13. - 13 - (3) Inventarisasi paling sedikit memuat data atau informasi mengenai: a. nama Masyarakat Hukum Adat dan masyarakat setempat Pengampu Kearifan Lokal; b. sejarah perkembangan masyarakat; c. adat-istiadat atau norma adat yang masih berlaku; d. keberadaan dan fungsi kelembagaan adat, serta sistem kekerabatan; e. protokol komunitas dan sistem pengambilan keputusan; f. pengetahuan tentang Sumber Daya Genetik atau sumber daya hayati; g. pengetahuan tentang tata ruang dan Wilayah Kearifan Lokal; h. pengetahuan tentang tanah dan air; i. pengetahuan tentang hal-hal tabu dan sakral dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam; j. teknologi dan peralatan tradisional pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam; k. tradisi tentang pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam ; l. pola pengawasan lingkungan hidup dan penyelesaian konflik; dan/atau m. pengetahuan tentang suksesi, seleksi, dan adaptasi. (4) Dokumentasi hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan setelah mendapatkan PADIA dari kelompok masyarakat pengampunya. (5) Dokumentasi Kearifan Lokal yang bersifat sakral dan rahasia hanya dilakukan terhadap jenis Kearifan Lokal dan pengampunya dengan tetap menjaga kesakralan dan kerahasiaannya.
  • 14. - 14 - Bagian Ketiga Pengumuman Hasil Inventarisasi Pasal 14 (1) Hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dapat diumumkan melalui media cetak, media elektronik, dan/atau pengumuman di kantor Pemerintah/pemerintah daerah. (2) Dalam hal terdapat keberatan terhadap hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat mengajukan keberatan dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diumumkan di media. (3) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui surat tertulis dari pimpinan lembaga adat atau Pengampu Kearifan Lokal kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (4) Berdasarkan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya, melakukan: a. verifikasi dan validasi; atau b. mediasi. Pasal 15 Dalam hal tidak terdapat keberatan terhadap hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal dalam bentuk Keputusan Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
  • 15. - 15 - Bagian Keempat Verifikasi, Validasi, dan Mediasi Pasal 16 (1) Verifikasi dan validasi data Kearifan Lokal dan pengampunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf a dilakukan untuk memastikan kebenaran hasil inventarisasi Kearifan Lokal dan pengampunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3). (2) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil inventarisasi, yang dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dibantu oleh Tim Independen yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Tim Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari unsur akademisi yang membidangi Kearifan Lokal dan lembaga swadaya masyarakat, keanggotaannya paling banyak 7 (tujuh) orang dengan memperhatikan kesetaraan gender. (4) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui kajian lapangan dengan metode: a. menyalin manuskrip; b. diskusi dalam grup; c. wawancara; d. pengamatan; e. pengkajian sejarah kehidupan masyarakat Pengampu Kearifan Lokal; dan f. pemetaan partisipatif Wilayah Kearifan Lokal. (5) Kearifan Lokal yang bersifat sakral dan rahasia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) tidak dilakukan verifikasi dan validasi. Pasal 17 (1) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, meliputi:
  • 16. - 16 - a. nama komunitas pengampu Kearifan Lokal; b. wilayah Kearifan Lokal yang dilindungi; c. jenis Sumber Daya Genetik yang dilindungi; d. jenis Kearifan Lokal yang dilindungi; dan e. skema pemanfaatan kearifan lokal. (2) Verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah ditetapkannya Tim Independen. (3) Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara dan disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 18 (1) Mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b dilakukan oleh mediator bersertifikat. (2) Hasil mediasi dituangkan dalam berita acara dan disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota. Bagian Kelima Penetapan Pasal 19 (1) Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) atau Pasal 18 ayat (2), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menetapkan pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal. (2) Penetapan pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. nama komunitas pengampu Kearifan Lokal; b. wilayah Kearifan Lokal yang dilindungi; c. jenis Sumber Daya Genetik yang dilindungi; d. jenis Kearifan Lokal yang dilindungi; e. skema pemanfaatan Kearifan Lokal; dan
  • 17. - 17 - f. hak, kewajiban Pengampu, tugas dan tanggung jawab Pengakses, dan pemerintah. (3) Gubernur atau bupati/walikota yang telah menerbitkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan kepada Menteri. Pasal 20 (1) Keputusan penetapan Kearifan Lokal oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota, disimpan pada Balai Kliring Kearifan Lokal. (2) Balai Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengelola: a. data naratif, numerik, visual dan/atau spasial; b. daftar pengampu; c. daftar pengakses; dan d. daftar kesepakatan bersama dan perubahannya. (3) Pengelolaan Balai Kliring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal untuk mencegah penyalahgunaan dan pemanfaatan yang tidak sah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. (4) Data yang menyangkut Sumber Daya Genetik dan pengetahuan tradisional yang terkait dengan Sumber Daya Genetik hanya dapat diakses berupa resume data/abstrak/metadata. (5) Data yang menyangkut ekspresi budaya tradisional terkait sumber daya genetik, warisan budaya benda dan tak benda dapat diakses dan dipublikasi secara luas. Pasal 21 Dalam hal terdapat keberatan terhadap penetapan pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, keberatan dapat diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • 18. - 18 - Pasal 22 Tata Cara inventarisasi, verifikasi, dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 17 diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal. BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN PENGAMPU DAN PENGAKSES KEARIFAN LOKAL Pasal 23 (1) Hak Pengampu Kearifan Lokal meliputi: a. memanfaatkan dan menggunakan pengetahuan Kearifan Lokal dalam pemanfaatan Sumber Daya Genetik dan mendapat pembagian keuntungan baik secara moneter maupun non moneter atas pemanfaatan Kearifan Lokal baik pada pengetahuan generik maupun lanjutannya; b. mengekspresikan Kearifan Lokal baik di dalam maupun di luar Wilayah Kearifan Lokal; c. mendapat perlakuan yang adil dan seimbang dalam PADIA; d. menolak atau menerima permohonan akses melalui PADIA; e. memperoleh kesempatan dalam kegiatan peningkatan kapasitas dan penguatan kelembagaan masyarakat; f. mendapat perlindungan dari gangguan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam; g. mengajukan keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, sumber daya alam, religi, politik, keamanan, ekonomi, sosial dan budaya; h. melakukan pelaporan dan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam;
  • 19. - 19 - i. mendapat perlindungan dan pemberdayaan terhadap Kearifan Lokal dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan/atau j. mengajukan gugatan atas wanprestasi atau pelanggaran terhadap kesepakatan bersama antara Pengampu dengan Pengakses Kearifan Lokal. (2) Kewajiban Pengampu Kearifan Lokal meliputi: a. memelihara, mengembangkan, dan mempraktikkan Kearifan Lokal dan pengetahuan tradisional untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara lestari; dan b. mewariskan nilai-nilai luhur Kearifan Lokal dan pengetahuan tradisional dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam kepada generasi berikutnya. (3) Dalam hal pengampu mengembangkan Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengampu menginformasikan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 24 (1) Pengakses Kearifan Lokal berhak untuk memperoleh keuntungan finansial dan nonfinansial sebagaimana ditentukan dalam kesepakatan bersama dari pemanfaatan Kearifan Lokal dengan cara yang benar, terbuka, adil, seimbang, keberlanjutan, dan penghormatan kepada Masyarakat Hukum Adat atau masyarakat setempat. (2) Kewajiban Pengakses Kearifan Lokal meliputi: a. melakukan pemberitahuan kepada Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya; b. melakukan PADIA dan kesepakatan bersama dengan Pengampu Kearifan Lokal; c. mematuhi protokol komunitas Pengampu Kearifan Lokal;
  • 20. - 20 - d. membagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan bersama; e. memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam; f. melindungi Kearifan Lokal yang bersifat generik dengan tidak mematenkannya; g. meminta persetujuan dan kesepakatan dari Pengampu Kearifan Lokal jika mematenkan turunan dari Kearifan Lokal; dan h. melaporkan hasil turunan Kearifan Lokal kepada Pemerintah Pusat dan daerah. (3) Dalam hal mengakses dan memanfaatkan turunan Kearifan Lokal sebagai dasar temuan untuk paten, Pengakses wajib memberikan pembagian keuntungan yang adil dan seimbang kepada Pengampu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB V PEMBIAYAAN Pasal 25 Pembiayaan pelaksanaan pengakuan dan perlindungan Kearifan Lokal dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota, dan sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 26 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
  • 21. - 21 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Mei 2017 MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SITI NURBAYA Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Juni 2017 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 801 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO HUKUM, ttd. KRISNA RYA