1. 1
MATERI KAJIAN KHUSUS TIAP SENIN BAKDA MAGHRIB
AKHLAQ QUR’ANI
MASJID BETENG BINANGUN KADIPATEN WETAN YOGYAKARTA
Tafsir QS Ibrâhîm/14: 7
Memahami Makna Syukur dan Kufur
Nash (Teks) Ayat al-Quran
ْذِإَوْْ
َ
ن
َ
ذ
َ
أ
َ
تْْم
ُ
كُّبَرْْ ِئ
َ
لْْم
ُ
تر
َ
ك
َ
شْْم
ُ
ك
َ
ّن
َ
يدِز
َ َ
َلْۖ ِئ
َ
لَوْْم
ُ
تر
َ
ف
َ
كْْ
َ
نِإْْ ِاب
َ
ذَعْ
ْيدِد
َ
ش
َ
لْ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS
Ibrâhîm/14: 7)
Tafsîr al-Mufradat
ْ
َ
ن
َ
ذ
َ
أ
َ
ت
: Ia (Allah) memaklumkan. Kata taadzdzana terrambil dari kata
yang seakar dengan kata adzân, yang bermakna penyampaian
seseuatu dengan suara keras.
ْم
ُ
تر
َ
ك
َ
ش
: Kamu sekalian bersyukur. Maksudnya membuka dan
menampakkan nikmat, dengan cara – antara lain –
menggunakannya secara proporsional dan sesuai dengan
maksud/keinginan pemberinya, atau menggunakannya sesuai
dengan tujuan penganugerahannya.
ْم
ُ
تر
َ
ف
َ
ك
: Kamu sekalian mengingkari. Lawan kata syukur. Maksudnya
tidak mau menggunakannya secara proporsional, atau
menggunakannya dengan cara yang berseberangan dengan
maksud pemberinya; menggunakannya dengan cara yang
tidak selaras dengan tujuan penganugerahannya atau tidak
mau menggunakannya selaras dengan tujuan
penganugerahannya.
Al-Îdhâh (Penjelasan)
Syukur adalah rasa terimakasih. Sering kita mendengar dalam
bahasa arab ucapan “syukran”, yang artinya adalah terimakasih. Biasanya
ucapan terimakasih disampaikan bilamana kita menerima sesuatu dari
seseorang. Dan itu merupakan hal yang lazim dilakukan.
2. 2
Bila hal di atas ditarik pada ruang yang lebih sempit, artinya bahwa
bila berbicara tantang syukur di dalam al Quran, maka tidak terlepas dari
Allah SWT dan nikmat-Nya. Allah selaku Sang Khaliq tidak akan
membiarkan hambanya hidup dengan kesengsaraan. Ia pasti akan selalu
memberikan nikmatnya yang tak terhingga jumlahnya agar hamba-hamba-
Nya dapat hidup dengan baik.
Namun, menurut hemat penulis Allah memberikan nikmat tersebut
dengan keinginan agar hambanya pandai dalam mensyukuri nikmat.
Sehingga arti syukur sejalan dengan keterangan yang di atas. Adakalanya
rasa syukur tersebut berbentuk ucapan dan bisa juga berbentuk perbuatan,
atau tertanam di dalam hati.
Kata syukur dengan berbagai bentuknya ditemukan di dalam al-
Quran sebanyak enam puluh enam kali. Nah, sejauh mana al-Quran
berbicara tentang syukur dan bagaimana sikap ideal seorang hamba dalam
mensyukuri nikmat Allah SWT. Di dalam tulisan ringkas ini, penulis akan
sedikit berbagi pengetahuan berkenaan dengan hal yang di atas. Semoga
dapat menambah pengetahuan kita bersama.1
Al-Maraghi dalam kitabnya -- Tafsîr al-Marâghiy -- mengawali
pembahasan ayat ini dengan perkataan “Dan ingatlah, hai bani Israil, ketika
Allah memaklumkan janji-Nya kepada kalian dengan berfirman jika kalian
mensyukuri nikmat penyelamat dan lain-lain yang aku berikan kepda kalian, dengan
menaati-Ku dalam segala perintah dan larangan, niscaya Aku akan menambah
nikmat yang telah Kuberikan kepada kalian”.
Beliau menganalogikan syukur sebagai berikut: “Bila anggota tubuh
dilatih terus menerus untuk bekerja dan berbuat, maka dapat dipastikan akan
bertambah kuat dan sehat. Tetapi apabila diberhentikan, maka akan
melemahlah ia dan berkuranglah tenaganya. Sama halnya dengan syukur
nikmat, bila kita terus menerus mensyukurinya, maka kita akan merasakan
hal yang lebih besar dan banyak. Tetapi bila kita berhenti, tidak bersyukur,
maka ia pun akan berkurang.2
Intinya bahwa barangsiapa bersyukur kepada Allah atas rezeki yang
dilimpahkan kepadanya, maka Allah akan melapangkan rezekinya.
1
M. Quraish Shihab yang mengutip dari buku Maqâyis al-Lughah karya
Ahmad Ibnu Faris menyebutkan ada empat arti dasar dari kata syukur, pertama,
pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh. Kedua, kepenuhan dan kelebatan,
seperti kalimat syakarat al-syajarah. Ketiga, sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon
(parasit). Keempat, pernikahan, atau alat kelamin.
2
Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsîr al- Marâghî , juz XIII (Mesir:
Mushthafa al-Babi al-Halabi, t.t.), hal. 130.
3. 3
Barangsiapa bersyukur atas nikmat kesehatan, maka Allah akan menambah
kesehatannya. Dan begitulah seterusnya.
Tidak jauh berbeda dengan al-Maraghi, HAMKA -- di dalam Tafsir
al-Azhar -- juga menjelaskan bahwa yang menjadi mukhâtab (yang
dibicarakan) dari ayat di atas adalah Bani Israil setelah dibebaskan dari
penindasan Fir’aun. Kebebasan ini merupakan hal yang patut disyukuri.
Dalam beryukur tetaplah berusaha guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang
dihadapi. Hamka menyebutkan bahwa kaum Bani Israil harus dapat bangkit
kembali tanpa mengeluh atas nikmat yang menurut mereka sangat sedikit
dan terbatas. Bila mengeluh -- ini kurang, itu tidak cukup -- maka itulah yang
disebut dengan kufur, melupakan nikmat Tuhan, tidak mau berterimakasih.3
Sementara itu, M. Quraish Shihab dalam kitabnya -- Tafsîr al-Misbâh
-- menafsirkan ayat ini dengan memulai perkataan Musa a.s. kepada
kaumnya: “Dan ingat jugalah nikmat Allah kepada kamu semua tatkala
Tuhan pemelihara dan penganugerah aneka kebajikan kepada kamu
memaklumkan: “Sesungguhnya Aku, yakni Allah bersumpah demi kekuasaan-
Ku, jika kamu bersyukur pasti Aku tambah nikmat-nikmat-Ku kepada kamu
karena sungguh nikmat-Ku amat melimpah. Karena itu berharaplah yang
banyak dari-Ku dengan mensyukurinya dan jika kamu kufur, yakni
mengingkari nikmat-nikmat yang telah aku anugerahkan, dengan tidak
menggunakan dan memanfaatkannya sebagaimana Aku kehendaki, maka
akan Aku kurangi nikmat itu bahkan kamu terancam mendapat siksa-Ku
sesengguhnya siksa-Ku dengan berkurang atau hilangnya nikmat itu, atau
jatuhnya petaka atas kamu akan kamu rasakan amat pedih.4
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ayat di atas secara tegas
menyatakan bahwa jika bersyukur maka pasti nikmat Allah akan ditambah,
tetapi ketika berbicara tentang kufur nikmat, tidak ada penegasan bahwa
pasti siksa-Nya akan jatuh. Ayat ini hanya menegaskan bahwa siksa Allah
amatlah pedih. Dengan demikian, penggalan akhir ayat ini dapat dipahami
hanya sekadar ancaman. Di sisi lain, tidak tertutup kemungkinan
keterhindaran dari siksa duniawi bagi yang mengkufuri nikmat Allah,
bahkan boleh jadi nikmat tersebut ditambah-Nya dalam rangka mengulur
kedurhakaan.
Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat antara lain
menggunakannya pada tempatnya dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh
pemberinya, juga menyebut-nyebut pemberinya dengan baik. Ini berarti
setiap nikmat yang dianugerahkan Allah, menuntut perenungan, untuk apa
3
HAMKA, Tafsir al-Azhar juz XIII-XIV (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983),
hal.. 122.
4
M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran,
Vol. 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 14.
4. 4
‘ia’ dianugerahkan oleh-Nya, lalu menggunakan nikmat tersebut dengan
tujuan penganugerahannya.
Syukur, sebagaimana disebutkan M. Quraish Shihab, mencakup
tiga sisi. Pertama, syukur dengan hati (kepuasan batin atas anugerah). Kedua,
syukur dengan lidah (mengakui anugerah dan memuji pemberinya). Ketiga,
syukur dengan perbuatan (memanfaatkan anugerah sesuai dengan tujuan
pemberian anugerah tersebut).
Mencermati ayat di atas beserta penafsiran-penafsirannya, penulis
berasumsi tidak ada hal yang perlu dikomentari lebih lanjut. Hanya saja,
yang perlu adalah bagaimana membentuk diri sejalan dengan yang
diinginkan al-Quranberdasarkan penafsiran-penafsiran yang ada. Dan bila
memungkinkan, dapat menjadi seperti Luqman dan bahkan lebih. Karena
kita sering terlena dengan nikmat-nikmat Tuhan tanpa menyadari bahwa itu
semua bukanlah semata-mata hasil usaha kita, akan tetapi merupakan
nikmat pemberian Tuhan.
Banyak hamba-hamba Allah yang tidak menyadari kehadiran
nikmat Allah. Dan biasanya seorang hamba akan merasakan nikmat tersebut
bilamana ia sudah dicabut dari dirinya. Seperti nikmat sehat, kita baru akan
merasakan alangkah nikmat sehat itu bila ia sudah diambil atau sudah
merasakan sakit. Dan begitulah yang lainnya.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa syukur
merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang hamba
kepada Tuhannya. Pertama, syukur dengan hati (kepuasan batin atas
anugerah yang diberikan oleh Allah; kedua, syukur dengan ucapan, seperti
mengucapkan syukur dengan lafazh alhamdulillâh dan bentuk-bentuk
lainnya; dan ketiga, syukur dengan perbuatan, seperti menjaga kesehatan
dengan cara makan teratur pada waktunya, tidur secukupnya, dan lain
sebagainya. Hal lain yang dapat disimpulkan adalah bahwa perintah untuk
bersyukur adalah perintah untuk bersikap proporsional. Artinya adalah kita
selaku hamba harus berkemauan dan berkemampuan untuk meletakkan
sesuatu sesuai dengan fungsinya. Sebaliknya, bila kita tidak mau dan mampu
berbuat seperti itu (bersyukur), maka kita dinyatakan telah bersikap kufur.
Sikap syukur dan kufur, masing-masing memiliki konsekuensi.
Yang pertama (syukur), akan mendapatkan tambahan kenikmatan dari
Allah; dan yang kedua (kufur) akan mendatangkan azab dari Allah.
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.
Yogyakarta, 19 Januari 2015