1. 1
Semoga Masjidku
Benar-benar ‘Bisa’ Menjadi Rumahku
Tadi siang, sewaktu shalat zhuhur, saya berkesempatan untuk menjadi Imam Shalat di sebuah masjid yang megah, milik salah satu Kampus Perguruan Tinggi Ternama di Kota Yogyakarta.
Bersama jamaah yang tidak lebih dari 200 orang itu saya bersama- sama mendekatkan diri kepada Allah.
Ironisnya, setelah shalat usai, saya saksikan para jamaan bergegas keluar masjid. Padahal salah seorang mahasiswa sudah mengumumkan bawah stelah shalat jamaah zhuhur akan ‘ada’ kultum dari salah seorang mahasiswa Fakultas Hukum. Akhirnya, saya coba menghitung dengan kurang teliti, jamaah yang masih tersisa. Jumlahnya kurang dari 50 orang.
Pada saat kultum dimulai, lebih ironis lagi. Sebagian jamaah yang masih tersisa di masjid itu tidak memerhatikan isi ceramah ‘kultum’ itu, dan bahkan ‘ngobrol’ sendiri-sendiri.
Padahal, selama ini, saya – yang dha’if ini – benar-benar mendambakan: “suatu saat masjid yang ada di dekat rumahku benar-benar menjadi rumahku. Di tempat inilah saya seharusnya merasa nyaman dan tenteram karena kedekatanku kepada Allah.”
Berkali-kali saya simak nash (teks) ayat al-Quran yang saya baca beserta tafsirnya, dari pelbagi kitab tafsir yang temukan di rak bukuku, dan juga hasil proses pencarian saya di folder al-Maktabah asy-Syâmilah. Masih saya tambah lagi dari hasil proses pencarian pada beragam situs internet.
Firman Allah yang tertera dalam ayat itu adalah: ۚ
ۚۚ
"Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih." (QS at-Taubah/9: 108)
2. 2
Konon, pada masa Rasulullah s.a.w. ada sebuah peristiwa bersejarah tentang pendirian masjid. Di saat telah tersedianya masjid Quba sebagai tempat peribadatan kaum muslimin pada waktu itu, ada sekelompok orang munafik yang bersepakat untuk membangun masjid di dekatnya, tentu saja dengan niat yang tidak baik. Masjid yang dibangun untuk memperkokoh kekuatan komunitasnya dengan mengatasnamakan "Islam". Mereka mohon Nabi s.a.w. untuk melakukan shalat di dalamnya, di samping melakukan shalat di masjid Quba. Tetapi Allah SWT mencegahnya dengan menunjukkan 'dusta' mereka. Dan, pada akhirnya, Nabi s.a.w. dan umatnya pun terselamatkan oleh tipu daya mereka.
Di bagian kisah lain, dengan perasaan cinta yang mendalam kepada sahabatnya -- suatu ketika -- Abu Darda' menulis surat kepada sahabatnya, Salman al-Farisi. Isi suratnya antara lain berbunyi,
''Wahai Saudaraku, pergunakanlah masa hidupmu untuk kepentingan ibadah, sebelum tiba bencana yang menyebabkanmu tidak dapat beribadah.
Wahai Saudaraku, jadikanlah masjid bagaikan rumahmu. Sebab, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda, 'Masjid itu sebagai rumah bagi orang yang bertakwa'. 1
Allah telah menjamin bagi orang-orang yang menjadikan masjid sebagai rumahnya dengan kelapangan hati, kesenangan, kepuasan, kemudahan menyeberangi jembatan, selamat dari api neraka, dan segera menuju keridhaan Allah SWT.''2
Menjadikan masjid sebagai rumah tampak terasa pada hari-hari selama bulan Ramadhan. Terutama sekali pada waktu malam hari, di mana kebanyakan umat Islam memakmurkan masjid dengan buka bersama, shalat berjamaah, shalat tarawih, ta'lim, tadarus al-Quran, hingga beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir di dalamnya. Lepas Ramadhan, masjid kembali sepi.
Bagi mereka yang menjadikan masjid bagaikan rumahnya, yang selalu menambatkan jiwanya ke masjid, rindu melaksanakan ibadah berlama-lama di dalam masjid, dan berusaha menyucikan dirinya dari kotoran-kotoran dosa. Simaklah kembali firman Allah SWT – QS at- Taubah/9: 108 -- di atas.
Menjadikan masjid sebagai rumah, bukan sebatas mendatanginya secara fisik. Tetapi, lebih jauh dari itu, selalu membawa hakikat masjid,
1http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/sepinya-masjidku/
2http://at-taqwacentrecirebon.blogspot.com/2013/03/rumah-sejati-itu-bernama- masjid.html
3. 3
yakni tempat bersujud, dalam setiap derap dan langkah kehidupan. Artinya, ke manapun kita pergi, di manapun kita berada, dalam keadaaan dan cuaca bagaimanapun, serta serumit apa pun masalah yang kita hadapi, hendaklah jangan lupa selalu kita memohon petunjuk-Nya, meminta perlindungan, mengharap pertolongan-Nya, seraya bersujud takluk pada syariat-Nya.
Mudah-mudahan dengan demikian, Allah pun berkenan memanjakan kita hamba-hamba-Nya yang cinta masjid dengan melipatgandakan pahala (balasan kebaikan), mewangikan bau mulut kita kelak dengan minyak kesturi, menghapuskan dosa-dosa kita yang telah lalu, serta menyediakan pintu khusus -- ar-Rayân -- untuk masuk ke dalam surgaNya. Tak terkecuali bagi warga kampus yang sudah saya sebut ‘namanya’ di awal tulisan ini,
Āmîn Yâ Mujîbas Sâilîn.
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Ali Farkhan Tsani, dalam http://muchrojimahmad.blogspot.com/2008/10/masjidku-rumahku- oleh-ali-farkhan-tsani.html)