1. 1
UNIVERSITY RESIDENCE - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
KARASIBAZHU
(Kajian Rabu Siang Ba’da Zhuhur)
Memahami Makna Malam Nishfu Sya'ban
Nishfu Sya'ban atau malam pertengahan bulan Sya'ban yaitu tanggal
15 bulan Sya'ban penanggalan Hijriyah adalah malam penuh misteri dan
penuh kontroversi. Banyak hadits yang diyakini lemah bahkan ajaran atau
pengetahuan untuk merayakannya banyak yang dianggap bid'ah oleh
beberapa golongan Islam. Dapat dipahami memang karena klaim untuk
mendapatkan sah atau tidaknya ibadah memang mengacu pada ulama yang
diyakini lebih pintar, lebih tahu dan karena kedangkalan pengetahuan maka
mereka pun akan segera mengamininya dan bertambah banyak yang
mmercayainya. Banyak sekali ibadah yang dikatakan bid'ah dalam
memeringati atau merayakan keagungan Nishfu Sya'ban, sebagai contoh
adalah:
1. Merayakan malam Nishfu Sya’ban .
2. Mengkhususkan shalat seratus raka’at pada malam Nishfu Sya’ban
dengan membaca surah al-Ikhlash sebanyak seribu kali. Shalat ini
dinamakan shalat Alfiyah.
3. Mengkhususkan shalat pada malam Nishfu Sya’ban dan berpuasa
pada siang harinya.
4. Mengkhususkan doa pada malam Nishfu Sya’ban.
5. Shalat enam raka’at dengan maksud menolak bala’, dipanjangkan
umur dan berkecukupan.
6. Seluruh doa yang dibaca ketika memasuki bulan Rajab, Sya’ban dan
Ramadhan. Karena semua bersumber dari hadits yang lemah.
7. Menghidupkan api dan lilin pada malam Nishfu Sya’ban .
8. Berziarah ke kuburan pada malam Nishfu Sya’ban dan menghidupkan
api di sekitarnya. Dan kadang para perempuan juga ikut keluar.
9. Mengkhususkan membaca surah Yasin pada malam Nishfu Sya’ban .
10. Mengkhususkan berziarah kubur pada bulan Rajab, Sya’ban,
Ramadhan dan pada hari ‘Ied.
11. Mengkhususkan bershadaqah bagi ruh yang telah meninggal pada
tiga bulan tersebut.
12. Meyakini bahwa malam Nishfu Sya’ban adalah malam Lailatul Qadr.
13. Membuat makanan pada hari Nishfu Sya’ban kemudian
membagikannya kepada fakir miskin dengan anggapan makanan
untuk kedua orang tua yang meninggal
Mengerikan dan menggetarkan memang, banyaknya ibadah yang
justeru dianggap bid'ah atau penyimpangan. Agama yang penuh kepentingan
kekuasaan dan politik memang penuh dengan intrik seperti ini. Bagaimana
agar terhindar dengan hal seperti ini? Tentu saja tidak ada, karena
alamiahnya memang begitu, jangankan agama, dalam teori-teori ilmu
2. 2
pengetahuan pun banyak pertentangan dan perbedaan. Dan banyak orang
juga mengatakan bahwa perbedaan pendapat dan pertentangan adalah
berkah, namun jika ditelusuri perlakuan tentang bid'ah atau tidak hal ini
merujuk pada keyakinan pada guru tertentu, figur tertentu bahkan mahzab
tertentu yang terfragmentasi sebagaimana kepentingan atau lokalitas. Jadi
memang hanya orang yang benar-benar ahlilah yang bisa menentukannya
dalam konteks pembicaraan yang lebih aman dan tidak menimbulkan
permusuhan, karena perbedaan pendapat adalah biasa dan tak perlu
dipertajam apalagi dengan konflik antar kelompok massa penganut sekte
tertentu.
Diriwayatkan dari ‘Ikrimah - rahimahullâh – bahwasanya ketika ia
menafsirkan firman Allah ta’ala:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan
sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala
urusan yang penuh hikmah” [QS ad-Dukhân/44 : 3 – 4] – ia berkata :
”Bahwasanya yang dimaksud malam dalam ayat tersebut adalah malam Nishfu
Sya’ban ; dibentangkan padanya perkara sunnah, dihapuskannya kehidupan dari
kematian, dan diwajibkannya haji (dari Allah kepada manusia), maka tidaklah
ditambah padanya atau dikurangi darinya seorang pun” [Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li-
Ahkâmil-Qur’ân, juz XVI, hal. 126].
Adapun Ibnu Katsir – rahimahullâh -- ketika menafsirkan ayat yang
sama berkata: ”Allah ta’ala telah berfirman ketika menjelaskan al-Qur’an al-
’Azhim bahwasanya Dia menurunkannya di malam yang diberkahi. Malam
tersebut adalah Lailatul-Qadar sebagaimana firman Allah
ta’ala: ”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam
kemuliaan” (QS al-Qadr/97: 1). Malam tersebut berada di bulan Ramadlan
sebagaimana firman Allah Ta’ala: ”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an” (QS
al-Baqarah/2: 185). Kami telah menyebutkan beberapa hadits yang
3. 3
menjelaskan tentang hal tersebut dalam (pembahasan) QS al-Baqarah
sehingga telah mencukupi dan tidak perlu diulangi kembali” [Tafsîr Ibni
Katsîr , juz I, hal. 215,216].
Beliau berkata pula: ”Barangsiapa yang berkata bahwasanya malam
tersebut adalah malam Nishfu Sya’ban sebagaimana diriwayatkan dari ’Ikrimah,
sungguh hal ini sangat jauh (dari pengertian yang benar). Karena Al-Qur’an telah
menetapkannya bahwa hal itu terjadi di bulan Ramadhan” [Tafsîr Ibni Katsîr, juz
IV, hal. 570].
Dalam menetapkan makna firman Allah ta’ala : ”pada suatu malam
yang diberkahi” , para ulama terbagi menjadi dua pendapat :
Malam yang dimaksud adalah: “Lailatul-Qadr” – dan ini adalah
pendapat jumhur ’ulama’.
Malam yang dimaksud adalah: “Malam Nishfu Sya’ban” – dan ini
adalah pendapat ’Ikrimah.
Yang râjih - wallâhu a’lam - adalah pendapat jumhur ulama yang
mengatakan bahwa yang dimaksud malam yang diberkahi pada ayat tersebut
adalah Lailatul-Qadr. Bukan malam Nishfu Sya’ban . Hal tersebut
dikarenakan Allah Ta’ala telah menyatakannya dalam bentuk global : ”pada
suatu malam yang diberkahi”; dan kemudian menjelaskannya (makna
global/umum itu) dalam ayat : ”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an”; dan juga
firman Allah : ”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada
malam kemuliaan” [lihat: Asy-Syaukani, Fathul-Qâdir , juz IV, hal. 137].
Maka dengan ini, anggapan yang menyatakan bahwa malam tersebut
adalah malam Nishfu Sya’ban – tidak diragukan lagi – merupakan anggapan
yang ‘bathil’ (salah) yang menyelisihi nash al-Qur’an yang sharih (jelas). Dan
tidak diragukan lagi bahwa segala sesuatu yang menyelisihi kebenaran maka
hal itu adalah kebathilan. Adapun beberapa hadits yang menjelaskan bahwa
malam dimaksud adalah malam Nishfu Sya’ban , maka hadits tersebut telah
menyelisihi kejelasan makna yang ditetapkan al-Qur’an sehingga tidak
berdasar, tidak shahih sanadnya sedikitpun – sebagaimana dijelaskan oleh al-
’Arabiy dan yang lainnya dari kalangan muhaqqiqîn. Sungguh sangat
mengherankan jika ada seorang yang mengaku muslim menyelisihi nash al-
Qur’an yang sharih tanpa adanya sandaran Al-Qur’an dan Sunnah yang
shahih [lihat Adhwâul-Bayân, juz VII, hal. 319].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah (di sela-sela penjelasanya tentang
waktu-waktu yang mempunyai keutamaan yang sering dianggap mempunyai
keutamaan, padahal tidak benar bahkan terlarang) berkata: ”Dalam bab ini,
yaitu tentang malam Nishfu Sya’ban , maka telah diriwayatkan padanya keutamaan
yang datang dari hadits-hadits marfu’ dan atsar-atsar yang menunjukkan bahwa
malam tersebut adalah malam yang utama/mulia. Beberapa ulama salaf ada yang
4. 4
mengkhususkan padanya shalat dan juga puasa Sya’ban sebagaimana tertera dalam
hadits-hadits yang shahih.
Di antara ulama salaf dari kalangan penduduk Madinah dan yang
lainnya dari kalangan ulama khalaf mengingkari tentang keutamaannya dan
mencela (medha’ifkan) hadits-hadits yang menjelaskan tentangnya, seperti
hadits: ”Sesungguhnya Allah mengampuni dosa lebih banyak dari jumlah domba
Bani Kalb”.1
Tidak ada perbedaan antara malam tersebut dengan malam
yang lainnya.
1
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari ‘Aisyah, hadis nomor 739 dengan
lafazh :
”Sesungguhnya Allah Ta’ala turun ke langit dunia pada malam Nishfu Sya’ban, dimana pada
malam itu Allah mengampuni (dosa) yang jumlahnya lebih banyak dari bulu domba milik Bani
Kalb” .
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad (6/238 no. 26060), ’Abdun bin
Humaid (no. 1509), Ibnu Majah (no. 1389), dan Ath-Thabarani dalam Al-Ausath (no.
199). Sanad hadits ini adalah dha’if sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Syu’aib Al-
Arna’uth dan Syaikh Al-Albani. Letak kedha’ifannya adalah pada Hajjâj bin Arthâh.
Ia seorang mudallis yang telah meriwayatkan secara ‘an’anah (menyatakan dari
seseorang dan dari seseorang). Akan tetapi, hadits ini adalah shahih dengan
keseluruhan jalannya sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah
Ash-Shahîhah no. 1144. Beliau menyebutkan sekurangnya ada delapan shahabat yang
meriwayatkan hadits tersebut yang masing-masing jalannya saling menguatkan satu
sama lain. Wallâhu a’lam. – Abul-Jauzaa’
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa keutamaan yang tertera pada
hadits tersebut bukanlah keutamaan yang khusus dimiliki oleh malam Nishfu
Sya’ban tanpa dimiliki oleh malam-malam yang lain. Bahkan keutamaan yang
dimiliki oleh malam Nishfu Sya’ban telah tercakup pada keumuman hadits :
”Rabb kami tabâraka wa ta’âlâ turun ke langit dunia setiap malam ketika sepertiga malam
yang terakhir, seraya berfirman : ’Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan
mengabulkan doanya. Dan barangsiapa yang meminta, maka aku akan memberinya. Dan
barangsiapa yang meminta ampunan dari-Ku, maka Aku akan mengampuninya” [HR.
5. 5
Akan tetapi kebanyakan ulama atau kebanyakan dari shahabat kami
dan yang lainnya menganggapnya sebagai malam mulia. Hal tersebut telah
ditunjukkan oleh nash (teks) Ahmad karena banyaknya hadits-hadits dan
atsar-atsar kaum salaf yang menjelaskan tentang keutamaan malam Nishfu
Sya’ban . Telah diriwayatkan sebagaian keutamaan malam Nishfu Sya’ban
dalam kitab-kitab musnad, sunan. Jika riwayat-riwayat tersebut adalah
lemah/palsu, tentu perkaranya adalah lain” [lihat Iqtidhâ’ Shirâthil-Mustaqîm
3/626-627, Majmû’ Fatâwâ, 23/123, dan Al-Ikhtiyârât al-Fiqhiyyah, hal. 65].
Telah shahih dari hadits Nabi shallallâhu ’alaihi wa sallam yang
menyebutkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban sehingga kita tidak perlu
berdalam-dalam dalam membahasnya.2
Akan tetapi, jika keutamaan tersebut
dihubungkan dengan amalan-amalan khusus tertentu, maka pendapat ini
perlu dikaji lebih lanjut. 3
Menurut para peneliti, hadits-hadits yang
menjelaskan amalan-amalan khusus di waktu Nishfu Sya’ban semuanya
bukan merupakan hadits yang shahih. Di antara hadits-hadits tersebut
adalah :
1. Hadits riwayat Ibnu Majah dari ’Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ’anhu:
”Apabila datang malam Nishfu Sya’ban , maka lakukanlah shalat di waktu
malamnya dan puasa di waktu siangnya”
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hadis nomor 1378, Ibnul-Jauzi
dalam Al-’Ilal, juz II, hal. 561 serta al-Baihaqi dalam Syu’abul-Îmân
3/378-379 dan Fadhâilul-Auqât, hal. 24. Status hadits ini adalah sangat
Bukhari, hadis nomor 1094 dan Muslim, hadis nomor 758 dari shahabat Abu
Hurairah radliyallâhu ’anhu].
Dengan kalimat ringkas dapat dikatakan: Keutamaan yang dimiliki malam
Nishfu Sya’ban juga dimiliki oleh malam-malam yang lainnya, terutama pada waktu
sepertiga malam yang terakhir.
2
Sebagaimana telah dituliskan penjelasanya pada catatan kaki no. 1.
3
Para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini. Sebagian ulama
mengatakan bahwa tidak dimakruhkan shalat seseorang di rumahnya atau
berjama’ah (di masjid) secara khusus di malam Nishfu Sya’ban sebagaimana
pendapat Al-Auza’i, Ibnu Rajab, dan Ibnu Taimiyyah. Kebalikannya, ’Atha’, Ibnu
Abi Mulaikah, Abu Syammah al-Maqdisi, dan jumhur ulama Malikiyyah mengatakan
bid’ahnya amalan tersebut di malam Nishfu Sya’ban [Al-Bida’ Al-Hauliyyah hal. 148;
Maktabah ash-Shaid].
6. 6
lemah atau bahkan palsu. Letak kelemahan hadits ini terletak pada
rawi yang bernama Ibnu Abi Sabrah (Abu Bakr bin ’Abdillah bin
Muhammad bin Abi Sabrah). Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Ma’in
berkata tentangnya : ”Seorang yang memalsukan hadits”. Lihat
selengkapnya dalam Silsilah adh-Dha’îfah, hadis nomor 2132.
2. Hadits Ibnul Jauzi dari Abu Hurairah radhiyallâhu ’anhu:
”Barangsiapa yang melakukan shalat di malam Nishfu Sya’ban sebanyak 12
raka’at, dimana setiap raka’atnya membaca ”Qul Huwallâhu Ahad”
sebanyak 30 kali, tidaklah ia keluar hingga ia melihat tempat duduknya di
surga dan memberikan syafa’at terhadap 10 orang anggota keluarganya yang
telah ditentukan nasibnya di neraka”.
Hadits ini adalah palsu. Dibawakan oleh Ibnul-Jauzi dalam Al-
Maudhû’ât, 2/129. Sanadnya gelap yang terdiri dari para perawi yang
tidak diketahui identitasnya (majhûl). Lihat juga Al-Manârul-Munîf
karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, hadits nomor 177).
3. Hadits Riwayat al-Baihaqi dari ’Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ’anhu:
7. 7
”Aku melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam pada malam Nishfu
Sya’ban . Beliau berdiri dan kemudian shalat sebanyak 14 raka’at.
Kemudian beliau duduk setelah selesai dan membaca Al-Fatihah sebanyak 14
kali, Qul- Huwallâhu Ahad sebanyak 14 kali, Qul A’ûdzu bi Rabbil-Falaq
sebanyak 14 kali, Qul A’ûdzu bi Rabbin-Nâs sebanyak 14 kali, dan ayat
Kursi sekali; sungguh akan mendatangi kalian utusan -- dari ayat-ayat tadi --
(QS al-Taubah, 9: 128). Ketika beliau telah menyelesaikan shalatnya, aku
bertanya tentang apa yang aku lihat dari yang beliau lakukan. Maka beliau
(Rasulullâh) shallallâhu ’alaihi wa sallam menjawab: ”Barangsiapa yang
mengerjakan seperti yang yang engkau lihat tadi, maka baginya seperti 20
kali haji mabrur, puasa yang diterima selama 20 tahun. Apabila di keesokan
harinya dia berpuasa, maka puasanya itu sama dengan puasa dua tahun
lamanya pada masa lampau dan setahun masa yang akan datang”.
Hadits ini adalah palsu. Dibawakan oleh Ibnul-Jauzi dalam Al-
Maudhû’ât, juz II, hal. 131.
4. Dan yang lainnya dari hadits-hadits lemah dan palsu.
Oleh karena itu Asy-Syaikh ’Abdul-’Aziz bin ’Abdillah bin Bâz
berkata: ”Adapun pendapat yang dipilih oleh Al-Auza’i – rahimahullâh – bahwa
disunnahkannya shalat malam sendirian pada malam Nishfu Sya’ban – dan
didukung oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab – maka hal itu sangatlah aneh dan lemah,
karena segala sesuatu yang tidak ditetapkan oleh dalil syar’i yang disyari’atkan,
maka tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mengatakan sebagai bagian dari
agama. Walaupun dikerjakan secara individu atau kelompok, baik dirahasiakan
atau diumumkan kepada orang banyak. Hal ini sesuai dengan makna umum dari
sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mengerjakan satu
amalan yang bukan berasal perintah kami, maka ia tertolak”. Dan yang lainnya dari
dalil-dalil yang menunjukan pengingkaran bid’ah dan menyuruhnya agar berhati-
hati darinya” [At-Tahdzîr minal-Bida’, hal 13].
Wallâhu A'lam.