SlideShare a Scribd company logo
1 of 53
1

QIYAAMUL LAIL

Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya
KEUTAMAAN SHALAT MALAM DAN ANJURANNYA
Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi
Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah menjelaskan di dalam al-Qur-an pada banyak ayat dan juga Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam dalam banyak hadits tentang besarnya pahala yang diperoleh dari melaksanakan
shalat malam. Bahkan, ketahuilah wahai pembaca yang budiman –sebelum kami memaparkan ayat-ayat dan
hadits-hadits tersebut– bahwa shalat yang paling baik setelah shalat wajib adalah shalat malam, dan hal ini telah
menjadi ijma' (kesepakatan) ulama.[1]
Ayat-Ayat Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya
Di dalam banyak ayat, Allah Subhanahu wa Ta‟ala menganjurkan kepada Nabi-Nya yang mulia untuk
melakukan shalat malam. Antara lain adalah:

"Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajjud-lah kamu...." [Al-Israa'/17: 79]

"Dan sebutlah nama Rabb-mu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah
kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari." [Al-Insaan/76: 25-26].

"Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai shalat." [Qaaf/50: 40].

"Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabb-mu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan
Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu ketika kamu bangun berdiri, dan bertasbihlah kepada-Nya
pada be-berapa saat di malam hari dan waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar)." [Ath-Thuur/52: 4849]
Allah Subhanahu wa Ta‟ala bahkan memerintahkan kepada beliau Shallallahu „alaihi wa sallam apabila telah
selesai melakukan shalat wajib agar melakukan shalat malam,[2] hal itu sebagaimana terdapat pada firman
Allah Subhanahu wa Ta‟ala:

"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang
lain, dan hanya kepada Rabb-mu-lah hendaknya kamu berharap." [Asy-Syarh/94 : 7-8)
Allah Subhanahu wa Ta‟ala pun memuji para hamba-Nya yang shalih yang senantiasa melakukan shalat malam
dan bertahajjud, Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman:

"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada
Allah)." [Adz-Dzaariyaat/51: 17-18]
2

Ibnu „Abbas Radhiyallahu anhumamengatakan, "Tak ada satu pun malam yang terlewatkan oleh mereka
melainkan mereka melakukan shalat walaupun hanya beberapa raka'at saja."[3]
Al-Hasan al-Bashri berkata, "Setiap malam mereka tidak tidur kecuali sangat sedikit sekali."[4]
Al-Hasan juga berkata, "Mereka melakukan shalat malam dengan lamanya dan penuh semangat hingga tiba
waktu memohon ampunan pada waktu sahur."[5]
Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman dalam memuji dan menyanjung mereka:

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo‟a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan
harap, dan mereka menafkah-kan sebagian dari rizki yang Kami berikan ke-pada mereka. Seorang pun tidak
mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan
pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." [As-Sajdah/32: 16-17]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, "Yang dimaksud dengan apa yang mereka lakukan adalah shalat malam
dan meninggalkan tidur serta berbaring di atas tempat tidur yang empuk."[6]
Al-'Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Cobalah renungkan bagaimana Allah membalas shalat
malam yang mereka lakukan secara sembunyi dengan balasan yang Ia sembunyikan bagi mereka, yakni yang
tidak diketahui oleh semua jiwa. Juga bagaimana Allah membalas rasa gelisah, takut dan gundah gulana mereka
di atas tempat tidur saat bangun untuk melakukan shalat malam dengan kesenangan jiwa di dalam Surga."[7]
Dari Asma' binti Yazid Radhiyallahu anha, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

.
"Bila Allah mengumpulkan semua manusia dari yang pertama hingga yang terakhir pada hari Kiamat kelak,
maka datang sang penyeru lalu memanggil dengan suara yang terdengar oleh semua makhluk, 'Hari ini semua
yang berkumpul akan tahu siapa yang pantas mendapatkan kemuliaan!' Kemudian penyeru itu kembali seraya
berkata, 'Hendaknya orang-orang yang 'lambungnya jauh dari tempat tidur' bangkit, lalu mereka bangkit, sedang
jumlah mereka sedikit."[8]
Di antara ayat-ayat yang memuji orang-orang yang selalu melakukan shalat malam adalah firman Allah:

"(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu malam
dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya?..." [AzZumar/39: 9].

"Mereka itu tidak sama, di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat
Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (shalat)." [Ali „Imraan/3: 113]

"Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka." [Al-Furqaan/25: 64]

"Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud...." [Al-Fat-h/48: 29]
3

"(Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan
yang memohon ampun di waktu sahur." [Ali-'Imran/3: 17].
Dan lain sebagainya dari ayat-ayat al-Qur-an.
Saya katakan, "Barangsiapa yang menginginkan pengetahuan yang bermanfaat dan faidah yang banyak,
hendaknya menelaah penafsiran ayat-ayat ini dalam kitab-kitab tafsir, karena di sana terdapat manfaat dan
faidah yang amat besar. Saya sengaja tidak memaparkannya di sini, semata karena komitmen saya untuk
membahas secara ringkas dan tidak mendalam."
Hadits-Hadits Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya:
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan kepada para Sahabatnya untuk melakukan shalat
malam dan membaca al-Qur-an di dalamnya. Hadits-hadits yang mengungkapkan tentang hal ini sangat banyak
untuk dapat dihitung. Namun kami hanya akan menyinggung sebagiannya saja, berikut panda-ngan para ulama
sekitar masalah ini.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
"Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat yang dilakukan di malam hari."[9]
Al-Bukhari rahimahullah berkata: "Bab Keutamaan Shalat Malam." Selanjutnya ia membawakan hadits dengan
sanadnya yang sampai kepada Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa ia berkata: "Seseorang di masa hidup
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam apabila bermimpi menceritakannya kepada beliau. Maka aku pun
berharap dapat bermimpi agar aku ceritakan kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam. Saat aku muda
aku tidur di dalam masjid lalu aku bermimpi seakan dua Malaikat membawaku ke Neraka. Ternyata Neraka itu
berupa sumur yang dibangun dari batu dan memiliki dua tanduk. Di dalamnya terdapat orang-orang yang aku
kenal. Aku pun ber ucap, 'Aku berlindung kepada Allah dari Neraka!' Ibnu 'Umar melanjutkan ceritanya,
'Malaikat yang lain menemuiku seraya berkata, 'Jangan takut!' Akhirnya aku ceritakan mimpiku kepada
Hafshah dan ia menceritakannya kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda:
.
'Sebaik-baik hamba adalah „Abdullah seandainya ia melakukan shalat pada sebagian malam.'
Akhirnya 'Abdullah tidak pernah tidur di malam hari kecuali hanya beberapa saat saja."[10]
Ibnu Hajar berkata: "Yang menjadi dalil dari masalah ini adalah sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam:
'Sebaik-baik hamba adalah 'Abdullah seandainya ia melakukan shalat pada sebagian malam.' Kalimat ini
mengindikasikan bahwa orang yang melakukan shalat malam adalah orang yang baik."[11]
Ia berkata lagi, "Hadits ini menunjukkan bahwa shalat malam bisa menjauhkan orang dari adzab."[12]
„Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata: "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam selalu melakukan shalat
malam hingga kedua telapak kakinya pecah-pecah."[13]
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

.
"Syaitan mengikat di pangkal kepala seseorang darimu saat ia tidur dengan tiga ikatan yang pada masingmasingnya tertulis, 'Malammu sangat panjang, maka tidurlah!' Bila ia bangun lalu berdzikir kepada Allah, maka
satu ikatan lepas, bila ia berwudhu‟ satu ikatan lagi lepas dan bila ia shalat satu ikatan lagi lepas. Maka di pagi
hari ia dalam keadaan semangat dengan jiwa yang baik. Namun jika ia tidak melakukan hal itu, maka di pagi
hari jiwanya kotor dan ia menjadi malas."[14]
4

Ibnu Hajar berkata: "Apa yang terungkap dengan jelas dalam hadits ini adalah, bahwa shalat malam memiliki
hikmah untuk kebaikan jiwa walaupun hal itu tidak dibayangkan oleh orang yang melakukannya, dan demikian
juga sebaliknya. Inilah yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:

"Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu') dan bacaan di waktu itu lebih
terkesan." [Al-Muzzammil/73: 6]
Sebagian ulama menarik kesimpulan dari hadits ini bahwa orang yang melakukan shalat malam lalu ia tidur
lagi, maka syaitan tidak akan kembali untuk mengikat dengan beberapa ikatan seperti semula."[15]
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
"Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah (berpuasa pada) bulan Allah yang mulia (Muharram)
dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam."[16]
An-Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini menjadi dalil bagi kesepakatan ulama bahwa shalat sunnah di
malam hari adalah lebih baik daripada shalat sunnah di siang hari."[17]
Ath-Thibi berkata: "Demi hidupku, sungguh, seandainya tidak ada keutamaan dalam melakukan shalat Tahajjud
selain pada firman Allah:

"Dan pada sebagian malam hari bershalat ta-hajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudahmudahan Rabb-mu mengang-katmu ke tempat yang terpuji." [Al-Israa‟/17: 79]
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala:

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo‟a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan
harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak
mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan
pandangan mata..." [As-Sajdah/32: 16-17].
Juga ayat-ayat yang lainnya, maka hal itu sudah cukup menjadi bukti keistimewaan shalat ini."[18]
Dari 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash Radhiyallahu anhuma ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda:
.
"Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Nabi Dawud Alaihissallam dan puasa yang paling dicintai Allah
juga puasa Nabi Dawud Alaihissallam. Beliau tidur setengah malam, bangun sepertiga malam dan tidur lagi
seperenam malam serta berpuasa sehari dan berbuka sehari."[19]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Al-Mahlabi mengatakan Nabi Dawud Alaihissallam
mengistirahatkan dirinya dengan tidur pada awal malam lalu ia bangun pada waktu di mana Allah menyeru,
'Adakah orang yang meminta?, niscaya akan Aku berikan permintaannya!' lalu ia meneruskan lagi tidurnya
pada malam yang tersisa sekedar untuk dapat beristirahat dari lelahnya melakukan shalat Tahajjud. Tidur
terakhir inilah yang dilakukan pada waktu Sahur. Metode seperti ini lebih dicintai Allah karena bersikap sayang
terhadap jiwa yang dikhawatirkan akan merasa bosan (jika dibebani dengan beban yang berat,-ed) dan
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah bersabda:
.
5

'Sesungguhnya Allah tidak akan pernah merasa bosan sampai kalian sendiri yang akan merasa bosan.'
Allah Subhanahu wa Ta‟ala ingin selalu melimpahkan karunia-Nya dan memberikan kebaikan-Nya."[20]
Dari Jabir bin 'Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
.
"Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu tertentu, yang bila seorang muslim memohon kepada Allah dari
kebaikan dunia dan akhirat pada waktu itu, maka Allah pasti akan memberikan kepadanya, dan hal tersebut ada
di setiap malam."[21]
An-Nawawi rahimahullah berkata, "Hadits ini menetapkan adanya waktu dikabulkannya do‟a pada setiap
malam, dan mengandung dorongan untuk selalu berdo‟a di sepanjang waktu malam, agar mendapatkan waktu
itu."[22]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:

.
"Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun di waktu malam lalu shalat dan ia pun membangunkan
isterinya lalu sang istri juga shalat. Bila istri tidak mau bangun ia percikkan air ke wajahnya. Semoga Allah
merahmati seorang isteri yang bangun di waktu malam lalu ia shalat dan ia pun membangunkan suaminya. Bila
si suami enggan untuk bangun ia pun memercikkan air ke wajahnya."[23]
Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
"Barangsiapa yang bangun di waktu malam dan ia pun membangunkan isterinya lalu mereka shalat bersama dua
raka'at, maka keduanya akan dicatat termasuk kaum laki-laki dan wanita yang banyak berdzikir kepada
Allah."[24]
Al-Munawi berkata, "Hadits ini seperti dikemukakan oleh ath-Thibi menunjukkan bahwa orang yang
mendapatkan kebaikan seyogyanya menginginkan untuk orang lain apa yang ia inginkan untuk dirinya berupa
kebaikan, lalu ia pun memberikan kepada yang terdekat terlebih dahulu."[25]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
"Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang perilakunya kasar, sombong, tukang makan dan minum serta
suka berteriak di pasar. Ia seperti bangkai di malam hari dan keledai di siang hari. Dia hanya tahu persoalan
dunia tapi buta terhadap urusan akhirat.'"[26]
Dari Anas Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
“Allah telah menjadikan pada kalian shalat kaum yang baik; mereka shalat di waktu malam dan berpuasa di
waktu siang. Mereka bukanlah para pelaku dosa dan orang-orang yang jahat.”[27]
Dari 'Abdullah bin Salam Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Yang pertama kali aku dengar dari Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam adalah sabda beliau:
6

.
"Wahai manusia, tebarkan salam, berilah makan, sambunglah tali silaturahmi dan shalatlah di malam hari saat
manusia tertidur, niscaya kalian akan masuk ke dalam Surga dengan selamat."[28]
'Abdullah bin Qais mengatakan, bahwa „Aisyah Radhiyallahun anhuma berkata: "Janganlah kalian
meninggalkan shalat malam karena Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya.
Jika beliau sakit atau malas, beliau shalat dalam keadaan duduk."[29]
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
"Keutamaan shalat malam atas shalat siang, seperti keutamaan bersedekah secara sembunyi atas bersedekah
secara terang-terangan."[30]
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu ia menuturkan pula, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

.
"Ketahuilah, sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua orang laki-laki: Seseorang yang bangun pada malam
yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudhu‟ dan melakukan shalat. Allah Subhanahu wa Ta‟ala
berfirman kepada para Malaikat-Nya, 'Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?' Mereka menjawab,
'Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu dan takut dari apa yang ada di
sisi-Mu pula.' Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan dan
memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan.'"[31]
Masih banyak lagi hadits-hadits Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang keutamaan shalat
malam, dorongan terhadapnya dan kedudukan orang-orang yang senantiasa melakukannya.
Atsar Sahabat Dan Kaum Salaf Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Sesungguhnya di dalam Taurat tertulis, 'Sungguh Allah telah
memberikan kepada orang-orang yang lambungnya jauh dari tempat tidur apa yang tidak pernah terlihat oleh
mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia, yakni apa yang tidak diketahui oleh Malaikat yang dekat kepada Allah dan Nabi yang diutus-Nya.'"[32]
Dari Ya‟la bin „Atha' ia meriwayatkan dari bibinya Salma, bahwa ia berkata, "'Amr bin al-'Ash berkata, 'Wahai
Salma, shalat satu raka'at di waktu malam sama dengan shalat sepuluh raka'at di waktu siang."[33]
'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, "Seandainya tidak ada tiga perkara; seandainya aku tidak
pergi berjihad di jalan Allah, seandainya aku tidak mengotori dahiku dengan debu karena ber-sujud kepada
Allah dan seandainya aku tidak duduk bersama orang-orang yang mengambil kata-kata yang baik seperti
mereka mengambil kurma-kurma yang baik, maka aku merasa senang berjumpa dengan Allah."[34]
Saat menjelang wafatnya Ibnu 'Umar, ia berkata, "Tidak ada sesuatu yang sangat aku sedihkan di dunia ini
selain rasa dahaga di siang hari dan kelelahan di malam hari."
Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, "Kemulian seseorang terletak pada shalatnya di malam hari dan
sikapnya menjauhi apa yang ada pada tangan orang lain."[35]
Thalhah bin Mashraf berkata, "Aku mendengar bila seorang laki-laki bangun di waktu malam untuk melakukan
shalat malam, Malaikat memanggilnya, 'Berbahagialah engkau karena engkau telah menempuh jalan para ahli
ibadah sebelummu.'" Thalhah mengatakan lagi, "Malam itu pun berwasiat kepada malam setelahnya agar
membangunkannya pada waktu di mana ia bangun." Thalhah mengatakan lagi, "Kebaikan turun dari atas langit
ke pembelahan rambutnya dan ada penyeru yang berseru, 'Seandainya seorang yang bermunajat tahu siapa yang
ia seru, maka ia tidak akan berpaling (dari munajatnya).‟”[36]
Dari al-Hasan al-Bashri berkata, “Kami tidak mengetahui amal ibadah yang lebih berat daripada lelahnya
7

melakukan shalat malam dan menafkahkan harta ini.”[37]
Al-Hasan juga pernah ditanya, “Mengapa orang yang selalu melakukan shalat Tahajjud wajahnya lebih indah?”
Ia menjawab, “Sebab mereka menyendiri bersama ar-Rahman (Allah), sehingga Allah memberikan kepadanya
cahaya-Nya.”[38]
Syuraik berkata, “Barangsiapa yang banyak shalatnya di malam hari, maka wajahnya akan tampak indah di
siang hari."[39]
Yazid ar-Riqasyi berkata, "Shalat malam akan menjadi cahaya bagi seorang mukmin pada hari Kiamat kelak
dan cahaya itu akan berjalan dari depan dan belakangnya. Sedangkan puasa seorang hamba akan
menjauhkannya dari panasnya Neraka Sa'ir."[40]
Wahab bin Munabih berkata, "Shalat di waktu malam akan menjadikan orang yang rendah kedudukannya,
mulia, dan orang yang hina, berwibawa. Sedangkan puasa di siang hari akan mengekang seseorang dari
dorongan syahwatnya. Tidak ada istirahat bagi seorang mukmin tanpa masuk Surga."[41]
Al-Awza'i berkata, "Aku mendengar barangsiapa yang lama melakukan shalat malam, maka Allah akan
meringankan siksanya pada hari Kiamat kelak."[42]
Ishaq bin Suwaid berkata, "Orang-orang Salaf memandang bahwa berekreasi adalah dengan cara puasa di siang
hari dan shalat di malam hari."[43]
Saya katakan, "Dari pemaparan terdahulu jelaslah bahwa shalat malam memiliki keutamaan yang besar dan
hanya orang yang merugi yang meninggalkannya."
Kita berlindung kepada Allah dari kerugian dan hanya Dia-lah tempat memohon pertolongan.
[Disalin dari kitab "Kaanuu Qaliilan minal Laili maa Yahja‟uun" karya Muhammad bin Su'ud al-„Uraifi diberi
pengantar oleh Syaikh 'Abdullah al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud, Penerbit Pustaka
Ibnu Katsir]

Hukum Shalat Malam, Tata Cara Melakukan Shalat
Malam
HUKUM SHALAT MALAM
Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi

Mayoritas ulama mengatakan bahwa hukum shalat malam adalah sunnah mu'akkadah (yang sangat) ditekankan
berdasarkan al-Qur-an, as-Sunnah dan ijma' kaum muslimin. [1]
Dari 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam datang
kepadanya dan kepada putri beliau, Fathimah, di malam hari, lalu beliau berkata, "Mengapa kalian tidak
shalat?" Aku ('Ali) berkata, "Wahai Rasulullah, jiwa kami ada di tangan Allah, jika Allah berkehendak
membangunkan kami (untuk shalat) tentu kami akan bangun." Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam lalu pergi
ketika kami mengatakan begitu dan beliau sama sekali tidak membalas kami hingga kemudian aku
mendengarnya mengatakan sambil memukul pahanya.

"Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah." [Al-Kahfi: 54].[2]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam shalat pada
suatu malam di masjid lalu orang-orang bermakmum dengannya. Kemudian beliau shalat lagi pada malam
8

berikutnya dan orang-orang yang shalat bersamanya bertambah banyak. Kemudian pada malam ketiga atau
keempat orang-orang telah berkumpul, namun Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidak keluar untuk shalat
bersama mereka. Ketika di pagi hari beliau berkata, "Aku telah mengetahui apa yang kalian lakukan dan aku
tidak keluar menemui kalian melainkan karena aku takut shalat ini akan diwajibkan atas kalian." Peristiwa ini
terjadi pada bulan Ramadhan.[3]
Berdasarkan kedua hadits ini dan hadits-hadits lainnya al-Bukhari membuat sebuah bab dengan judul
“Tahriidhin Nabiy Shallallahu „alaihi wa sallam 'ala Qayaamil Laili min Ghairi Iijaab" (Dorongan Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam untuk melakukan shalat malam tanpa mewajibkannya.)
Ibnu Hajar berkata, "Ibnu al-Munir mengatakan, judul bab ini mengandung dua hal; dorongan (untuk
melakukan shalat malam) dan tidak mewajibkannya."[4]
Komentar saya, Pada mulanya shalat malam diwajibkan lalu hukum itu dihapuskan, (berikut penjelasannya):
Dari Sa'ad bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia bertanya kepada Ummul Mukminin 'Aisyah Radhiyallahu
anhuma, "Wahai Ummul Mukminin, ceritakanlah kepadaku tentang shalat malam yang dilakukan Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam?" „Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, "Bukankah kamu telah membaca ayat
ini,

'Wahai orang yang berselimut?'"
Aku menjawab, "Ya." „Aisyah berkata, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan shalat malam di awal surat ini,
lalu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan para Sahabatnya melakukannya selama setahun hingga telapak kaki
mereka pecah-pecah. Akhir surat ini Allah tahan di atas langit selama dua belas bulan, lalu barulah Allah
menurunkan keringanan di akhir surat ini, maka jadilah shalat malam tersebut shalat yang sunnah, untuk
melengkapi shalat-shalat yang wajib."[5]
) "Bangunlah untuk shalat di malam
hari kecuali sedikit daripadanya" dengan mengatakan, "Allah memerintahkan Nabi-Nya dan kaum mukmin
untuk melakukan shalat di malam hari kecuali sedikit daripadanya, lalu hal itu membuat berat mereka sehingga
Allah meringankannya dan mengasihani mereka dengan menurunkan ayat,

"Allah tahu bahwa di antara kalian ada orang-orang yang sedang sakit."
Dengan turunnya ayat ini Allah telah membuat mereka merasa lapang dan tidak sempit. Masa di antara
turunnya dua ayat itu adalah setahun, yakni antara ayat,

"Wahai orang yang berselimut, bangunlah untuk melakukan shalat di malam hari."
Dan ayat

"Bacalah apa yang mudah bagimu" [6] hingga akhir surat.
Dalil-Dalil Lain Yang Menunjukkan Bahwa Shalat Malam Adalah Sunnah.
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia menceritakan, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bangun
pada suatu malam lalu beliau berkata:
.
"Subhanallah, ujian apa yang Allah turunkan malam ini dan simpanan apa yang Dia turunkan bagi orang yang
9

membangunkan wanita-wanita yang tengah tidur di kamarnya. Wahai kaum, banyak wanita-wanita yang
berpakaian di dunia tetapi telanjang di akhirat."[7]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Tidak wajibnya melakukan shalat malam, diambil dari sikap Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam yang tidak mewajibkan para wanita tersebut melakukannya."[8]
Dari Abu Umamah Radhiyallahu anhu ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
"Lakukanlah shalat malam oleh kalian, karena hal itu merupakan kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian.
Ia pun dapat mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, menghapus segala kesalahan dan mencegah dari
perbuatan dosa." [9]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam,
yang di antara sabdanya adalah:

.
"Pelajarilah oleh kalian al-Qur-an dan bacalah, walaupun kalian tidak melakukan shalat malam dengan bacaan
al-Qur-an itu, karena sesungguhnya perumpamaan orang yang mempelajari al-Qur-an lalu membacanya dan
melakukan shalat malam dengan bacaan al-Qur-an itu, seperti kantung yang berisi minyak misik dan
semerbaknya menyebar ke seluruh tempat. Sedangkan perumpamaan orang yang mempelajari al-Qur-an dan ia
tidur (tidak bangun untuk melakukan shalat malam) sedang al-Qur-an itu ada dihafalannya, seperti kantung
yang ditutup dengan minyak misik." [10]
Seorang laki-laki berkata kepada Ibnu „Umar Radhiyallahu anhuma, "Sesungguhnya aku ingin melakukan
shalat Tahajjud karena Allah, tapi aku tidak mampu karena lemah." Ibnu „Umar Radhiyallahu anhuma berkata,
"Wahai anak saudaraku, tidurlah semampumu dan bertakwalah kepada Allah semampumu pula." [11]
Sufyan rahimahullah berkata, "Seburuk-buruk keadaan seorang mukmin adalah saat ia tidur dan sebaik-baik
keadaan orang yang jahat adalah saat ia tidur. Karena seorang mukmin bila ia terbangun ia selalu dalam
keadaan taat kepada Allah dan itu lebih baik daripada ia tidur. Sedangkan orang yang jahat bila ia terbangun ia
selalu dalam keadaan bermaksiat kepada Allah, maka tidurnya lebih baik daripada terjaganya." [12]
TATA CARA MELAKUKAN SHALAT MALAM
Tidak ada tata cara khusus dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tentang cara melakukan shalat malam, tetapi
tata cara yang ada adalah beragam, sehingga seorang muslim boleh melakukan cara yang mana saja.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam bukunya Zaadul Ma'aad [13] membuat pasal dengan judul: "Pasal tentang
tuntunan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dalam melakukan shalat malam" Di sini ia menyebutkan tata
cara yang banyak tentang shalat malam yang bersumber dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam. Antara lain
adalah:
Pertama: Cara yang dikemukakan Ibnu „Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bangun pada malam hari lalu melakukan shalat dua raka'at dengan memperlama berdiri, ruku' dan sujud.
Kemudian beliau pergi lalu tidur hingga meniup-niup. [14] Kemudian beliau melakukan itu sebanyak tiga kali
dengan enam raka'at. Pada tiap kalinya beliau bersiwak dan berwudhu‟ dan beliau membaca,

(hingga akhir surat). Kemudian beliau melakukan shalat Witir tiga raka'at, lalu muadzin adzan dan beliau keluar
untuk melakukan shalat Shubuh… (dan seterusnya hingga akhir hadits).[15]
Kedua: Cara yang disampaikan „Aisyah Radhiyallahu anhuma, yaitu Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
memulai shalatnya dengan mengerjakan dua raka'at yang pendek, lalu beliau menyempurnakan rutinitasnya
melakukan shalat sebanyak sebelas raka'at. Pada tiap dua raka'at beliau salam dan melakukan witir satu raka'at.
10

Ketiga: Tiga belas raka'at seperti cara yang kedua.
Keempat: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melakukan shalat malam sebanyak delapan raka'at dengan
salam pada tiap-tiap dua raka'at, lalu shalat Witir sebanyak lima raka'at sekaligus, tanpa duduk kecuali pada
raka'at akhir.[16]
Kelima: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam shalat sebanyak sembilan raka'at dengan melakukannya secara
bersambung pada delapan raka'at tanpa duduk kecuali pada raka'at yang kedelapan, di mana di akhir raka'at ini
beliau duduk untuk berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdo‟a kepada-Nya, lalu beliau bangun tanpa
salam dan meneruskan raka'at yang kesembilan, lalu setelah itu duduk, membaca tasyahud dan salam. Se-telah
salam beliau shalat lagi dua raka'at dengan duduk.[17]
Keenam: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam shalat tujuh raka'at seperti cara melakukan sembilan raka'at
sebelumnya, (yaitu enam raka'at dilakukan secara bersambung tanpa duduk kecuali pada raka'at akhir, di mana
beliau duduk untuk berdzikir, memuji Allah dan berdo‟a kepada-Nya dan setelah itu bangun tanpa salam untuk
melakukan raka'at yang ketujuh dan setelah itu baru beliau salam), lalu setelah salam beliau shalat dua raka'at
dengan duduk.
Ketujuh: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam shalat dua raka'at-dua raka'at lalu beliau shalat Witir tiga
raka'at tanpa dipisahkan di antara tiga raka'at itu dengan salam (salam setelah tiga raka'at). Imam Ahmad
meriwayatkan dari „Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam shalat Witir
tiga raka'at tanpa dipisah-kan di antara raka'at-raka'at itu.[18]
Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah berkata: "Cara yang kami pilih bagi orang yang melakukan
shalat malam adalah, melakukannya dua raka'at-dua raka'at, dengan salam pada tiap-tiap dua raka'at itu, dan
terakhir ditutup dengan satu raka'at, berdasarkan hadits-hadits ini." Perkataannya, "Ini pendapat kami"
merupakan pilihan dan bukan sebuah kewajiban. Sebab telah diri-wayatkan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bahwa beliau shalat lima raka'at tanpa salam kecuali di akhirnya. Dengan demikian, maka sabda Nabi
yang berbunyi, "Shalat itu dilakukan dua raka'at-dua raka'at," adalah sebuah pilihan. Sedangkan bagi yang
menginginkan melakukannya tiga raka'at, atau lima raka'at, atau tujuh raka'at, atau sembilan raka'at tanpa salam
kecuali di akhirnya, maka hal itu boleh, tetapi yang baik adalah, salam pada tiap dua raka'at dan witir satu
raka'at. [19]
Berdiri Dengan Lama:
Di antara tuntunan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam adalah bahwa beliau memperlama berdiri dalam shalat.
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
lalu beliau memperlama berdirinya hingga aku ingin berbuat buruk." Ia ditanya, "Apa yang kamu akan
lakukan?" Ia mengatakan, "Aku ingin saja duduk dan meninggalkan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam."[20]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
memilih memperlama berdiri dalam melakukan shalat malam, dan Ibnu Mas'ud adalah seorang yang kuat yang
selalu mengikuti Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam. Ia tidak ingin duduk, kecuali setelah Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam berdiri lama sekali yang tidak biasanya beliau dilakukan."[21]
Berdiri Dan Duduk Dalam Shalat
Ibnul Qayyim mengemukakan, bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
memiliki tiga cara: [22]
Pertama : Shalat dengan berdiri dan ini yang paling sering beliau lakukan.
Kedua : Shalat dalam keadaan duduk dan ruku' dalam keadaan duduk pula.
Ketiga : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam membaca surat dalam keadaan duduk dan bila bacaannya
tinggal sedikit beliau bangun lalu ruku' dalam keadaan berdiri.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Ketiga cara itu bersumber secara shahih dari Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam."[23]
11

Etika Shalat Malam
ETIKA SHALAT MALAM
Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi
Sesungguhnya shalat malam memiliki beberapa etika yang merupakan tuntunan Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam dalam melakukannya. Di antaranya adalah:
1. Niat Bangun Untuk Shalat Ketika Akan Tidur
Hal itu agar seseorang mendapatkan pahala shalat malam jika ia tidak melakukannya. Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda:
.
"Sesungguhnya segala amal perbuatan ditentukan oleh niat."[1]
An-Nasa-i dan lainnya meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
"Barangsiapa yang naik ke atas ranjangnya sedang ia telah berniat untuk bangun melakukan shalat di malam
hari, namun ia tertidur hingga waktu Shubuh, maka ditulis baginya pahala apa yang ia niatkan dan tidurnya itu
adalah sedekah dari Rabb-nya."[2]
2. Berdzikir ketika bangun tidur
Apabila seseorang bangun dari tidurnya untuk melakukan shalat Tahajjud ia disunnahkan berdzikir kepada
Allah.
Ibnu „Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bila bangun pada waktu
malam untuk melakukan shalat Tahajjud beliau membaca:

.
"Ya Allah bagi-Mu segala puji, Engkau Yang mengurus langit dan bumi dan semua makhluk yang ada di
dalamnya. Bagi-Mu segala puji, milik-Mu kerajaan langit dan bumi dan makhluk yang ada di dalamnya. BagiMu segala puji, Engkau cahaya langit dan di bumi dan apa yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala puji, Engkau
Raja di langit dan di bumi dan bagi semua makhluk yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala puji, Engkau adalah
haq, janji-Mu adalah haq, berjumpa dengan-Mu adalah haq, firman-Mu adalah haq, Surga adalah haq, Neraka
adalah haq, para Nabi adalah haq, Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam adalah haq dan hari Kiamat juga
haq. Ya Allah hanya kepada-Mu aku pasrah, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakal, kepada-Mu
aku kembali, dengan hujjah-Mu aku bertikai, kepada-Mu aku memohon putusan hukuman. Ampuni-lah dosaku
yang lalu dan akan datang, yang tersembunyi dan yang terang-terangan. Engkau Yang mendahulukan dan Yang
meng-akhirkan. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Engkau."[3]
Abu Salamah bin „Abdurrahman bin „Auf berkata, "Aku bertanya kepada „Aisyah tentang apa yang pertama
dibaca Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dalam memulai shalatnya ketika beliau shalat malam?' „Aisyah
menjelaskan, 'Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bila melakukan shalat malam memulai shalatnya dengan
membaca:
12

.
"Ya Allah, Rabb Malaikat Jibril, Mika‟il dan Israfil, Pencipta langit dan bumi dan Yang Mengetahui yang
tersembunyi dan yang terlihat, Engkau yang memutuskan di antara hamba-hamba-Mu apa yang mereka
perselisihkan. Tunjukkanlah kepadaku pada apa yang benar dari apa yang diperselisihkan itu dengan izin-Mu,
sesungguhnya Engkau yang menunjukan kepada siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus."[4]
An-Nawawi rahimahullah berkata dalam al-Majmuu', "Disunnahkan bagi setiap orang yang bangun untuk
melakukan shalat malam, mengusap (menghilangkan) rasa kantuk dari wajahnya, bersiwak, memandang ke atas
langit dan membaca a
), (hingga akhir surat). Cara ini
dijelaskan dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam."[5]
3. Bersiwak Ketika Bangun Untuk Melakukan Shalat Malam
Hal ini berdasarkan hadits riwayat Hudzaifah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bila bangun di malam hari untuk melakukan shalat Tahajjud beliau menggosok mulutnya dengan
siwak.[6]
Diriwayatkan dari Ibnu „Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa ia tidur dekat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam lalu ia bangun, lalu bersiwak dan berwudhu‟.[7]
4. Membangunkan Keluarga Untuk Melakukan Shalat Tahajjud
Hal ini demi menjalankan firman Allah:

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa..." [Al-Maa-idah: 2].
Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bangun
pada suatu malam lalu beliau berkata:
.
"Subhanallaah, ujian apa yang Allah turunkan malam ini dan simpanan apa yang Dia turunkan untuk orang
yang membangunkan istri-istrinya.Wahai kaum, banyak wanita-wanita yang berpakaian di dunia tapi telanjang
pada hari Kiamat kelak."[8]
'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berkata
kepadanya dan kepada Fathimah pada suatu malam, "Tidakkah kalian melaksanakan shalat?"[9]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Ibnu Bathal menjelaskan bahwa di dalam hadits ini terkandung keutamaan
shalat malam dan membangunkan orang-orang yang masih tidur dari anggota keluarga dan kerabat untuk juga
melakukannya."[10]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, "Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam shalat pada
malam hari dan bila beliau melakukan shalah witir beliau berkata: 'Bangunlah dan shalat Witirlah wahai
„Aisyah!'"[11]
5. Mengawali Shalat Malam Dengan Melakukan Shalat Dua Raka'at Yang Pendek
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, "Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bila
bangun di malam hari untuk melakukan shalat, beliau mengawalinya dengan shalat dua raka'at yang
pendek."[12]
Dari Zaid bin Khalid al-Juhani Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Demi Allah aku melihat shalat Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam di malam hari. Beliau shalat dua raka'at yang pendek dan kemudian shalat dua
raka'at yang panjang."[13]
13

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, beliau bersabda:
.
"Bila seseorang dari kalian bangun di malam hari hendaklah ia mengawali shalatnya dengan melakukan shalat
dua raka'at yang pendek."[14]
An-Nawawi rahimahullah berkomentar, "Hadits ini menunjukkan disunnahkannya mengawali shalat Tahajjud
dengan melakukan dua raka'at yang pendek agar seseorang semangat untuk melakukan raka'at-raka'at
selanjutnya."[15]
6. Menangis Saat Membaca Al-Qur-an Dan Merenungkannya
Adapun menangis, maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bila shalat terdengar darinya suara seperti suara
periuk, karena tangisan.[16]
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepadaku,
'Bacakanlah al-Qur-an kepadaku!' Aku berkata, 'Apakah aku pantas membacakan al-Qur-an kepadamu,
sedangkan kepadamulah al-Qur-an itu diturunkan?' Beliau berkata, 'Sesungguhnya aku senang
mendengarkannya dari orang lain.' Maka akhirnya aku pun membacakan kepadanya ayat dalam surat an-Nisaa',
hingga saat sampai pada ayat:

'Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiaptiap umat dan Kami mendatangkan ka-mu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (se-bagai umatmu).' [AnNisaa'/4: 41].
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, 'Cukuplah!' Ketika aku mengangkat kepalaku, aku melihat air mata
mengalir dari matanya."[17]
Al-Hasan berkata, "„Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu membaca ayat yang rutin ia baca pada malam
hari, lalu ia menangis hingga terjatuh dan ia tetap berada di rumah sampai ia dijenguk karena sakit."[18]
Adapun merenungkan dan menghayati bacaan ayat-ayat al-Qur-an maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
adalah teladan dalam masalah ini. Bahkan kadang beliau shalat di malam hari hanya membaca satu ayat saja
sebagaimana yang tersebut dalam riwayat 'Aisyah Radhiyallahu anhuma.[19]
Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: "Demi Allah membaca surat al-Baqarah dengan tartil dan
merenungkannya lebih aku sukai daripada membaca seluruh al-Qur-an dalam satu malam."[20]
7. Berdo’a Dalam Shalat Malam
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam senantiasa memperbanyak do‟a dalam shalatnya dan juga dalam
Tahajjudnya, karena pada waktu-waktu tersebut kemungkinan besar dikabulkannya do‟a.
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
'Sesungguhnya di malam hari terdapat suatu waktu, yang apabila seorang muslim memohon kepada Allah
kebaikan dunia dan akhirat bertepatan dengan waktu itu, Allah pasti mengabulkannya dan waktu itu ada di
setiap malam.'"[21]
8. Tidak Memberatkan Jiwa Dalam Menjalankan Ketaatan
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
"Sesungguhnya agama ini mudah dan siapapun yang memberatkannya pasti akan kepayahan, oleh karenanya
bersikap adillah (sedang-sedang saja dalam beribadah), men-dekatkan dirilah, berbahagialah dan jadikanlah
14

waktu pagi, siang dan sebagian waktu malam untuk melakukan ibadah."[22]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia bercerita, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam datang kepadanya
dan ketika itu ia tengah bersama seorang wanita. Beliau bertanya, "Siapakah ini?" „Aisyah menjawab, "Ini
Fulanah yang dikenal sangat giat dalam shalat." Beliau berkata: "Mah (hentikanlah), lakukanlah apa yang kalian
mampu melakukannya! Demi Allah, Allah tidak pernah merasa bosan sampai kalian sendiri yang bosan, dan
beragama yang paling dicintai Allah adalah yang dijalankan seseorang secara terus-menerus."[23]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Kata 'mah' merupakan isyarat dimakruhkannya hal itu, karena khawatir
kelemahan dan kebosanan akan menimpa si pelakunya. Tujuannya adalah agar ia tidak berhenti dari
menjalankan amal ibadah yang biasa ia lakukan, sehingga ia menarik diri dari apa yang telah ia berikan kepada
Rabb-nya."[24]
9. Tidak Melakukan Shalat Tahajjud Jika Mengantuk
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam:
.
"Bila seseorang dari kalian mengantuk dalam shalatnya, maka hendaklah ia tidur agar ia mengetahui apa yang
yang dibacanya."[25]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
"Bila seseorang dari kalian mengantuk dalam shalatnya, hendaklah ia tidur agar rasa kantuknya hilang. Sebab
bila seseorang dari kalian shalat dalam keadaan mengantuk bisa jadi dia memohon ampunan kepada Allah, lalu
ia mencaci dirinya sendiri."[26]
An-Nawawi rahimahullah memberikan komentarnya, "Di dalam hadits ini terdapat dorongan shalat dalam
keadaan khusyu', konsentrasi hati dan semangat. Di dalamnya juga terdapat perintah tidur kepada orang yang
mengantuk atau yang sejenisnya yang bisa menghilangkan rasa kantuk itu."[27]
10. Tidur Setelah Melakukan Shalat Tahajjud
Disunnahkan bagi seorang mukmin setelah melakukan shalat Tahajjud untuk tidur. Yaitu pada waktu sahur dan
inilah salah satu tuntunan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam.
'Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, "Aku tidak mendapati Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pada
waktu Sahur di rumahku atau di dekatku melainkan dalam keadaan tidur."[28]
'Abdul Qadir al-Jailani al-Hanbali, seseorang yang hidup zuhud pada masanya berkata, "Disunnahkan bagi
orang yang melakukan shalat Tahajjud untuk tidur pada akhir malam karena dua hal: (1) Hal itu dapat
melenyapkan rasa kantuk di pagi hari. (2) Tidur di akhir malam dapat menghilangkan warna kekuningan di
wajah. Karena bila seseorang kelelahan dan tidak tidur maka akan ada warna kekuningan di wajahnya.
Seyogyanya seseorang menghilangkannya, karena itu merupakan pintu yang samar dan termasuk bentuk
popularitas yang tersembunyi serta termasuk syirik yang samar. Sebab ia akan mendapat acungan jempol (dipuji
orang) dan akan dikira sebagai orang yang shalih yang senantiasa bergadang (untuk beribadah), berpuasa dan
takut kepada Allah karena ada warna kekuningan di wajahnya. Kita berlindung kepada Allah dari perbuatan
syirik dan riya' serta hal-hal yang membawa kepadanya."[29]
11. Berdo’a Seusai Shalat
Dari 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam setiap usai shalat
Witir membaca:
.
"Ya Allah sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari murka-Mu, dengan ampunan-Mu dari
siksa-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu. Aku tak mampu menghitung pujian terhadap-Mu, Engkau
adalah sebagaimana yang Engkau pujikan terhadap diri-Mu sendiri."[30]
15

Syamsul Haqqil „Azhim Abadi berkata, "Yakni berdo‟a setelah salam, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat
lain."[31]

Manfaat Shalat Malam, Meninggalkan Shalat
Tahajjud
MANFAAT SHALAT MALAM [1]
Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi

Di antara manfaat shalat Tahajjud adalah:
Pertama: Seorang manusia bila ia berdiri melakukan shalat Tahajjud karena Allah, maka ia akan mudah berdiri
pada hari di mana semua manusia akan berdiri menghadap kepada Rabb alam semesta. Namun bila seseorang
bersenang-senang dan menghabiskan hari-harinya dengan kesia-siaan maka ia akan mendapatkan kesulitan di
akhirat sana. Maka seseorang yang lelah di dunia ini, akan senang, bahagia dan menikmati suasana di akhirat
sana.
Kedua: Laki-laki yang senantiasa melakukan shalat Tahajjud akan diberikan oleh Allah pada hari Kiamat kelak
istri-istri yang banyak dari kalangan bidadari. Balasan adalah sesuai dengan amal perbuatan manusia.
Ketiga: Mendapatkan kesehatan badan. Seseorang yang bangun di waktu malam untuk melakukan shalat
Tahajjud wajahnya akan dijadikan oleh Allah berwibawa, bersinar dan bercahaya.
Keempat: Hidayah, taufik dan bimbingan manusia kepada kebaikan segala urusannya ada-lah bila ia
menunaikan hak-hak Allah. Maka Allah akan menunjukinya kepada jalan-jalan kebaikan tanpa ia sadari dan
berbagai faidah, pe-mahaman dan karunia datang di tengah gelapnya malam. Bila manusia tidak mampu
memahami sesuatu lalu ia bangun untuk melakukan shalat malam maka Allah akan membukakan pemaha-man
kepadanya.
Kelima: Ini adalah manfaat yang paling besar dan agung, yaitu melihat Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Bila para
ahli ibadah mengetahui bahwa mereka tidak akan melihat Rabb-nya pada hari Kiamat kelak, maka mereka akan
binasa sebagaimana dikemukakan oleh al-Hasan al-Bashri.[2]

MENINGGALKAN SHALAT TAHAJJUD

Keadaan orang yang meninggalkan shalat Tahajjud dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
Pertama: Orang yang meninggalkan rutinitas shalat Tahajjudnya
Yaitu orang yang tidak bisa melakukan shalat Tahajjud karena ada suatu halangan, seperti sakit, atau ketiduran,
atau lainnya. Orang seperti ini dengan izin Allah, tetap dituliskan pahala untuknya sebagaimana hadits yang
telah dikemukakan sebelumnya. Namun demikian mereka disunnahkan mengqadha‟ shalat Tahajjudnya yang
tertinggal itu di siang hari dengan tanpa melakukan witir.
Dari 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
16

.
"Barangsiapa yang tertidur dari wiridnya atau dari kebiasaannya yang lain, lalu ia membaca bacaannya tersebut
pada waktu antara shalat Fajar dan shalat Zhuhur, maka dituliskan untuknya pahala seperti ia membacanya di
malam hari."[3]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan:
.
"Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bila di malam hari tidur karena sakit atau lainnya sehingga
beliau tidak melakukan shalat Tahajjud, maka di siang harinya beliau shalat sebanyak dua belas raka'at."[4]
Kedua: Orang yang meninggalkan shalat Tahajjud setelah sebelumnya rutin melakukannya
Ketahuilah semoga Allah merahmati kita dan Anda, bahwa tidak seyogyanya Anda meninggal-kan shalat
Tahajjud, bila anda termasuk orang yang suka melakukannya. Sebab itu mengindikasikan Anda berpaling dari
ibadah. 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash mengatakan, "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berkata
kepadaku:
.
'Wahai „Abdullah, janganlah kamu seperti si Fulan, dahulunya ia suka melakukan shalat Tahajjud, lalu tidak
melakukannya lagi."[5]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Hadits ini menunjukkan disunnahkannya melakukan kebaikan
yang biasa dilakukan secara terus-menerus tanpa mengabaikannya. Dari hadits ini juga dapat dipetik
kesimpulan tentang dimakruhkannya menghentikan ibadah, walaupun ibadah tersebut bukan ibadah yang
wajib."[6]
Ketiga: Orang yang tidak pernah melakukan shalat malam sama sekali
Tanpa diragukan lagi, bahwa orang yang tidak melakukan shalat Tahajjud telah mengabaikan menjalin
komunikasi dengan Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Bagaimana seorang mengaku mencintai Allah, lalu ketika
terbuka kesempatan baginya untuk ber-khalwah (menyendiri menunajat kepada Allah), ia justru
meremehkannya, bermalas-malasan dan tidur. Ia tidak mau untuk menerima shalat Tahajjud ini, yang mana ia
merupakan tempatnya berlindung. Ia justru menyia-nyiakan keutamaan dan pahala yang besar serta dorongan
Allah untuk melakukan shalat Tahajjud. Hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan atas minimnya bagian
yang diperoleh dan hilangnya taufik-Nya.
Perhatikanlah sangsi yang diterima oleh orang yang meninggalkan shalat malam!
Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam diceritakan tentang
seseorang yang tidur, tidak bangun-bangun hingga pagi hari, lalu beliau bersabda,
.
'Itu adalah seseorang yang telinganya di-kencingi syaitan!'"[7]
Al-Bukhari rahimahullah berkata, “'Aqdusy Syaithaani 'ala Qaafiyatir Ra‟-si idza lam Yushalli bil Lail, "Bab:
Ikatan syaitan mengikat ikatan di pangkal kepala seseorang, apabila ia tidak melakukan shalat Tahajjud."
Kemudian ia meriwayatkan hadits melalui sanadnya yang sampai kepada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

.
"Syaitan mengikat sebanyak tiga ikatan di pangkal kepala seseorang dari kalian ketika ia tidur, yang pada
masing-masing ikatan itu tertulis, 'Malammu panjang, maka tidurlah!' Bila ia bangun lalu berdzikir kepada
Allah, maka satu ikatan lepas, lalu bila ia berwudhu‟ satu ikatan lagi lepas, lalu bila ia shalat satu ikatan lagi
lepas. Maka di pagi harinya ia memiliki semangat dan dengan jiwa yang baik. Namun jika ia tidak melakukan
hal itu, maka jiwanya dalam keadaan buruk dan ia pemalas."[8]
17

Sebagian kaum Salaf mengatakan, "Bagaimana mungkin seseorang bisa selamat dari buruknya hisab,
sedangkan di malam hari ia tidur dan di siang hari ia bermain-main?"
Berusahalah wahai saudaraku -semoga Allah melindungi Anda- untuk melakukan shalat Tahajjud, walaupun
hanya dua raka'at yang ringan (pendek) sebelum Fajar, karena di dalamnya terdapat keberkahan. Raka'at yang
sedikit dari shalat di malam hari adalah terhitung banyak. Bersabarlah atas hal itu dan lakukanlah secara
kontinyu, karena dengan bersabar, khusyu', meminta dan merendah kepada Allah engkau akan mendapat
keteguhan, pertolongan dan hilangnya kelelahan serta beban yang berat.

Faktor-Faktor Yang Memudahkan Shalat Tahajjud
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMUDAHKAN SHALAT TAHAJJUD
Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi

Sesungguhnya melakukan shalat Tahajjud dan mengekang dorongan hawa nafsu dan syaitan, adalah sesuatu
yang teramat berat dan sulit kecuali bagi orang yang dimudahkan dan ditolong oleh Allah.
Ada beberapa faktor yang bisa membantu dan memotivasi seseorang untuk melakukan shalat Tahajjud serta
memudahkannya dengan izin Allah. Faktor ini terbagi dua bagian; sarana lahir dan sarana batin.
Faktor Lahir:

1. Menjauhi Perbuatan Dosa Dan Maksiat
Yaitu, tidak melakukan perbuatan dosa di siang hari dan di malam hari, karena hal itu bisa membuat hati keras
dan menghalangi seseorang dari curahan rahmat.
Seorang laki-laki bertanya kepada al-Hasan al-Bashri, "Wahai Abu Sa'id, semalaman aku dalam keadaan sehat,
lalu aku ingin melakukan shalat malam dan aku telah menyiapkan kebutuhan untuk bersuci, tapi mengapa aku
tidak dapat bangun?" Al-Hasan menjawab, "Dosa-dosamu mengikatmu."[1]
Sufyan ats-Tsauri berkata, "Selama lima bulan aku merugi tidak melakukan shalat Tahajjud karena dosa yang
aku perbuat." Ia ditanya, "Apakah dosa yang engkau lakukan?" Ia menjawab: "Aku melihat seseorang
menangis, lalu aku berkata dalam diriku, 'Orang ini riya'.'"[2]
Sebagian orang shalih berkata, "Betapa banyak makanan yang bisa menghalangi orang melakukan shalat
Tahajjud dan betapa banyak pandangan yang membuat orang rugi tidak membaca sebuah surat. Sesungguhnya
seorang hamba kadang memakan suatu makanan atau melakukan suatu perbuatan lalu ia diharamkan karenanya
dari melakukan shalat Tahajjud selama setahun."[3]
Fudhail bin 'Iyadh berkata, "Bila kamu tidak mampu melakukan shalat Tahajjud di malam hari dan puasa di
siang hari maka kamu adalah orang yang merugi."[4]
Saudaraku, tinggalkanlah kemaksiatan dan dosa jika engkau mengharapkan berkhalwah (menyendiri) dengan
Allah Yang Mahamengetahui segala yang ghaib!
2. Tidak Meninggalkan Tidur Siang Karena Itu Adalah Sunnah
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
"Jadikanlah makanan sahur sebagai sarana untuk membantumu melakukan puasa di siang hari dan tidur pada
tengah hari sebagai sarana untuk membantumu melakukan shalat Tahajjud."[5]
18

Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mendorong untuk melakukan hal-hal yang dapat membantu, menggiatkan
dan menjadikan orang beramal dengan terus-menerus. Sebab sibuk di siang hari hingga tidak tidur pada tengah
hari dapat membuat fisik lemah dan di malam hari tidur menjadi nyenyak.
Al-Hasan al-Bashri bila datang ke pasar dan mendengar hiruk pikuk orang-orang di sana, ia berkata, "Aku
mengira malam mereka adalah malam yang buruk (karena tidur nyenyak dan tidak bertahajjud), mengapa
mereka tidak tidur tengah hari?"[6]
3. Tidak Memperbanyak Makan
Sebab orang yang banyak makan akan banyak minum akan terlelap dalam tidur dan berat untuk melakukan
shalat Tahajjud.
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallambersabda:
.
"Tidak ada wadah yang paling buruk yang diisi manusia selain perutnya, cukuplah seorang anak Adam
menyantap beberapa suap makanan saja yang dapat mengokohkan tulang punggungnya. Jika memang ia harus
mengisi perutnya maka hendaknya ia mem-berikan sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya
dan sepertiga lagi untuk nafasnya."[7]
Diriwayatkan bahwa iblis menampakkan dirinya kepada Yahya bin Zakariya dengan membawa beberapa buah
sendok. Yahya bertanya kepadanya, "Untuk apakah sendok-sendok ini?" Iblis menjawab, "Ini adalah syahwat
yang aku gunakan untuk menjebak anak keturunan Adam." Yahya bertanya kepadanya, "Apakah engkau
mendapatkan sesuatu dari jebakan atau diriku?" Ia menjawab, "Ya, tadi malam engkau kenyang, lalu aku
menjadikanmu berat untuk melakukan shalat Tahajjud." Yahya berkata, "Aku pasti tidak akan mengenyangkan
perutku lagi selamanya." Iblis berkata, "Aku pasti tidak akan memberi nasihat (saran) kepada siapa pun setelah
saranku ini kepadamu."[8]
Wahab bin Munabih berkata, "Tidak ada anak keturunan Adam yang lebih disukai syaitan selain tukang makan
dan tukang tidur." [9]
Mis'ar bin Kadam berkata:

Aku temukan rasa lapar dapat disingkirkan
Dengan roti dan segenggam air sungai Eufrat.
Sedikit makanan dapat membantu orang yang shalat
Dan banyak makanan justru membantu orang-orang yang suka mencela. [10]
4. Tidak Membebankan Fisik Di Siang Hari
Misalnya dengan memberikan pekerjaan yang sangat berat dan membebaninya dengan pekerjaan yang membuat
fisik dan otot lemah di siang hari. Hal ini akan membuat rasa kantuk di malam hari.
5. Mengamalkan Sunnah Saat Tidur
Yaitu dengan berupaya melakukan: (1). Membaca dzikir-dzikir yang dianjurkan sebelum tidur, karena itu
semakin memperkokoh hubungan hamba dengan Rabb-nya. (2). Tidur di atas lambung sebelah kanan.
Ibnul Qayyim rahimahullah menguraikan rahasia di balik cara tidur seperti ini dengan mengemukakan, "Tidur
dengan cara berbaring di atas lambung sebelah kanan memiliki rahasia. Yaitu, bahwa hati berada di sebelah kiri,
maka bila seseorang tidur di atas lambung kirinya, ia akan tidur sangat nyenyak karena dia dalam kondisi
tenang dan nyaman sehingga tidur jadi nyenyak. Sementara bila ia tidur di atas lambung sebelah kanan, tidurnya
tidak nyenyak karena hatinya tidak menentu (gelisah) ingin mencari tempat menetapnya. Karena itulah para ahli
medis menganjurkan tidur dengan posisi di atas lambung sebelah kiri karena itulah posisi istirahat yang paling
19

sem-purna dan tidur yang paling nyaman. Sedang-kan agama menyunnahkan tidur di atas lambung sebelah
kanan agar tidurnya tidak nyenyak se-hingga tidak meninggalkan shalat Tahajjud. Jadi tidur di atas lambung
sebelah kanan bermanfaat bagi hati dan di atas sebelah kiri bermanfaat bagi tubuh. Wallaahu a'lam."[11]
Faktor Batin:
Faktor batin ini dijelaskan Imam al-Ghazali rahimahullah dalam bukunya Ihyaa' „Uluumid Diin:
1. Membersihkan hati dari sifat dengki terhadap kaum muslimin, dari perbuatan bid'ah dan dari keinginan
duniawi yang berlebihan. Sebab orang yang mencurahkan sepenuh pikirannya untuk urusan duniawi tidak akan
mudah melakukan shalat Tahajjud. Kalau pun ia melakukannya, dalam shalatnya yang dipikirkan hanyalah
urusan duniawi dan yang terbayang dalam pikiranya hanyalah bisikan-bisikan dunia tersebut.
2. Rasa takut yang mendominasi hati disertai angan-angan hidup yang pendek. Sebab bila seseorang
merenungkan huru-hara kehidupan akhirat dan tingkatan terbawah Neraka Jahannam maka tidurnya tidak akan
nyenyak dan takutnya sangat besar, sebagaimana dikatakan Thawus, "Mengingat Neraka Jahannam menjadikan
tidurnya ahli ibadah tidak nyenyak."

Al-Qur-an dengan janji dan ancamannya
Membuat mata tidak dapat tidur di malam hari.
Mereka memahami firman Raja Yang Mahaagung (Allah)
Lalu mereka merendah dan tunduk kepada-Nya.
3. Mengetahui keutamaan shalat Tahajjud dengan menyimak ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar-atsar, hingga
timbul keinginan dan kerindu-annya terhadap pahalanya sangat besar. Rasa rindu itu kemudian mendorongnya
untuk mendapatkan pahala yang lebih dan keinginan mencapai dejarat Surga.
4. Ini adalah faktor yang paling mulia. Yaitu mencintai Allah dan keyakinan yang kuat, bahwa dalam shalat
Tahajjud dia tidak mengucapkan satu huruf pun melainkan ia tengah bermunajat kepada Rabb-nya dan
menyaksikan-Nya, disertai dengan kesaksiannya terhadap apa yang terlintas di hatinya. Bisikan yang ada di
dalam hatinya yang datang dari Allah itu adalah pembicaraannya dengan-Nya. Bila ia telah mencintai Allah,
pasti ia ingin berduaan bersama-Nya dan menikmati munajat dengan-Nya, sehingga hal itu mendorongnya
untuk berlama-lama dalam shalat. Kenikmatan ini tidaklah mustahil dan generasi Salaf kita telah merasakannya.
Abu Sulaiman berkata, "Seandainya Allah memperlihatkan kepada orang-orang yang senantiasa melakukan
shalat Tahajjud pahala dari amal mereka, tentu kenikmatan yang mereka rasakan lebih besar dari pahala yang
mereka dapat."
Ibnu al-Munkadir berkata, "Tidak ada kenikmatan dunia kecuali tiga; shalat Tahajjud, berkumpul bersama
saudara seiman dan shalat dengan berjama'ah."
Ketahuilah bahwa karunia dan kenikmatan inilah yang paling diharapkan, karena shalat malam dapat membuat
hati bersih dan menyingkirkan segala problem kehidupan.[12]

Disyari’atkannya Shalat Sunnah Dan
Keutamaannya
DISYARI‟ATKANNYA SHALAT SUNNAH DAN KEUTAMAANNYA
Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi
20

Disyari‟atkannya Shalat Sunnah
Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah mensyari‟atkan shalat sunnah untuk meningkatkan amal manusia dan
menutupi segala kekurangan dan kelalaian yang ada, sebagaimana hal itu diperintahkan oleh Allah dalam KitabNya yang agung, Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman:

"Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada sebagian permulaan malam.
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah
peringatan bagi orang-orang yang ingat." [Huud/11: 114]
Dan Allah Subhanahu wa Ta‟ala juga berfirman:

"Apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan
hanya kepada Rabb-mulah hendaknya kamu berharap." [Al-Insyirah/94: 7-8]
Ibnu Mas„ud Radhiyallahu anhu berkata: "Apabila engkau telah selesai melaksanakan shalat-shalat wajib maka
laksanakanlah shalat malam."[1]
Sementara Mujahid mengatakan, “Jika engkau telah menyelesaikan urusan duniamu, maka menghadaplah
kepada Rabb-mu dengan shalat.”
Juga di antara dalil yang menunjukkan tentang disyari‟atkannya shalat malam, adalah hadits yang menyebutkan:

).
"Bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tentang (kewajiban-kewajiban) dalam
Islam, lalu beliau menjawab, '(Melaksanakan) shalat lima waktu dalam sehari semalam.' Orang itu bertanya
lagi, 'Adakah kewajiban lain atas diriku?' Beliau menjawab, 'Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat
sunnah.'"[2]
Keutamaan Shalat Sunnah
Banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang besarnya keutamaan dan pahala yang diperoleh dari shalat
sunnah. Di antaranya adalah:
1. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
-

-

.

berfirman kepada para Malaikat-Nya,
sedangkan Ia lebih mengetahui, 'Lihatlah shalat hamba-Ku, sudahkah ia melaksanakannya dengan sempurna
ataukah terdapat kekurangan?' Bila ibadahnya telah sempurna maka ditulis untuknya pahala yang sempurna
pula. Namun bila ada sedikit kekurangan, maka Allah berfirman, 'Lihatlah apakah hambaku memiliki shalat
sunnah?' Bila ia memiliki shalat sunnah, maka Allah berfirman, 'Sempurnakanlah untuk hamba-Ku dari
kekurangannya itu dengan shalat sunnahnya.' Demikianlah semua ibadah akan menjalani proses yang
serupa."[3]
Komentar saya (penulis): Hadits ini menjelaskan salah satu hikmah tentang disyari‟atkan-nya shalat sunnah.
2. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
21

.
"Barangsiapa yang melakukan shalat sunnah selain shalat fardhu dalam sehari dua belas raka'at, maka Allah
pasti akan membangunkan untuknya sebuah rumah di Surga."[4]
3. Rubai'ah bin Ka'ab al-Aslami Radhiyallahu anhu berkata:

).
"Suatu hari aku bersama Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, lalu aku membawakan kepadanya bejana air
untuk beliau berwudhu‟ dan segala keperluannya. Beliau berkata kepadaku, 'Mintalah!' Aku berkata, 'Aku
meminta kepadamu untuk dapat menemanimu di Surga kelak.' Beliau bertanya, 'Adakah selain itu?' Aku
menjawab, 'Hanya itu saja.' Beliau bersabda, 'Bantulah aku untuk mewujudkan keinginanmu itu dengan
memperbanyak sujud.'"[5]
4. Mi'dan bin Abi Thalhah al-Ya'muri berkata, "Aku bertemu Tsauban, bekas budak Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam, lalu aku berkata kepadanya, 'Beritahukanlah kepadaku tentang amal ibadah yang jika aku
lakukan, maka Allah akan memasukkanku karenanya ke dalam Surga!' Ia terdiam, lalu aku bertanya lagi. Ia
masih terdiam, lalu aku bertanya lagi ketiga kalinya. Akhirnya ia berkata, 'Aku telah menanyakan masalah ini
kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan beliau bersabda:
.
"Perbanyaklah sujud kepada Allah, karena tidaklah engkau bersujud kepada Allah dengan satu kali sujud,
melainkan Allah akan mengangkat bagimu satu derajat karenanya dan menghapuskan bagimu satu dosa
karenanya."
Mi'dan berkata: "Lalu aku bertemu Abud Darda' dan aku tanyakan masalah ini kepadanya juga. Ia menjawab
seperti jawaban yang diberikan Tsauban."[6]
Yang dimaksud dengan sujud dalam hadits ini adalah melakukan shalat sunnah. Karena bersujud secara terpisah
tanpa dilakukan dalam shalat atau tanpa sebab merupakan sesuatu yang tidak dianjurkan. Bersujud, walaupun
termasuk dalam shalat fardhu, namun melaksanakan shalat fardhu adalah kewajiban atas setiap muslim. Maka
yang ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam di sini adalah, sesuatu yang khusus yang
dengannya Mi'dan dapat meraih apa yang ia cari.[7] Oleh karena itulah Ibnu Hajar meriwayatkan hadits Rabi'ah
ini dalam bab shalat sunnah.[8]
5. Dari Abu Umamah Radhiyallahu anhu, ia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
"Tidak ada sesuatu yang lebih baik yang Allah izinkan kepada seorang hamba selain melaksanakan shalat dua
raka'at dan sesungguhnya kebajikan akan bertaburan di atas kepala seorang hamba selama ia melakukan
shalat."[9]
Hadits tersebut menunjukkan keutamaan shalat sunnah dan kebaikan yang didapat darinya.
Disukai Melaksanakan Shalat Sunnah Di Rumah
Muslim meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
-

-

.

"Apabila salah seorang di antara kalian shalat di masjid, maka hendaknya ia pun menjadikan sebagian dari
shalatnya di rumah, karena Allah Azza wa Jalla akan memberikan kebaikan dalam rumahnya dari shalatnya
itu."[10]
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda:
22

.
"Shalatlah di rumah-rumah kalian karena sebaik-baik shalat seseorang adalah yang dilaksanakan di rumahnya
kecuali shalat wajib."[11]
Anjuran dalam hadits-hadits ini bersifat umum yang meliputi semua jenis shalat sunnah rawatib dan shalat
sunnah secara mutlak kecuali shalat sunnah yang menjadi bagian dari syi'ar Islam, seperti shalat „Id, shalat
gerhana dan shalat Istisqa'. Demikian apa yang dikemukakan oleh Imam an-Nawawi.[12]
Dari Ibnu „Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
"Jadikanlah tempat pelaksanaan sebagian shalatmu di rumah-rumah kalian, dan janganlah jadikan rumah-rumah
kalian itu seperti kuburan."[13]
Saya (penulis) katakan, "Hadits-hadits ini menunjukkan tentang disunnahkannya shalat sunnah di rumah dan itu
lebih baik daripada melakukannya di masjid sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits."
An-Nawawi rahimahullah berkata, "Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mendorong melakukan shalat sunnah di
rumah, karena hal itu lebih tersembunyi, jauh dari perbuatan riya', terjaga dari segala hal yang bisa merusak
amal, rumah menjadi penuh berkah, rahmat serta Malaikat pun turun dan syaitan pun menjauh darinya."[14]
[Disalin dari kitab "Kaanuu Qaliilan minal Laili maa Yahja‟uun" karya Muhammad bin Su'ud al-„Uraifi diberi
pengantar oleh Syaikh 'Abdullah al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud, Penerbit Pustaka
Ibnu Katsir

Keutamaan Shalat Witir Dan Anjuran Untuk
Mengerjakannya
KEUTAMAAN SHALAT WITIR DAN ANJURAN UNTUK MENGERJAKANNYA

Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi

Sesungguhnya shalat Witir memiliki keutamaan yang besar dan memiliki urgensi yang cukup besar. Dalil yang
paling kuat untuk hal itu adalah, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya, baik
ketika sedang berada di rumah ataupun dalam bepergian. Inilah dalil yang cukup jelas mengenai betapa
pentingnya shalat Witir tersebut.
Di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah:
Dari Abu Bashrah al-Ghifari Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
.
'Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah memberi kalian tambahan shalat, yaitu shalat Witir, maka
shalat Witirlah kalian antara waktu shalat 'Isya' hingga shalat Shubuh.'" [HR. Ahmad].[1]
Dari 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
23

bersabda:
.
"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah memberi kalian tambahan shalat, maka peliharalah dia, yaitu
shalat Witir."[2]
Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam juga bersabda:
.
"Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan shalat Witir."[3]
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, "Kekasihku Shallallahu „alaihi wa sallam, mewasiatkan kepadaku
tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan hingga aku wafat; berpuasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha dan
tidur setelah shalat Witir."[4]
Dari 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
.
"Sesungguhnya Allah itu ganjil dan menyukai orang-orang yang melakukan shalat Witir, maka shalat Witirlah,
wahai para ahli al-Qur-an."[5]
Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma berkata, "Barangsiapa shalat sunnah di malam hari maka hendaklah ia menjadikan akhir shalatnya adalah shalat Witir, karena Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan hal
itu."[6]
Dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
.
"Shalat Witir adalah haq (benar adanya), maka barangsiapa yang mau, maka berwitirlah lima raka'at,
barangsiapa yang mau, berwitirlah tiga raka'at dan barangsiapa yang mau, berwitirlah satu raka'at."[7]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma ia menuturkan, "Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam shalat di
malam hari (shalat Tahajjud) sedang ia berbaring di hadapannya. Bila tinggal tersisa shalat Witir yang belum
dilaku-kan, beliau pun membangunkannya, dan 'Aisyah pun lalu shalat Witir."[8]
Saya katakan, "Hadits-hadits di atas menunjukkan keutamaan shalat Witir dan disunnahkan senantiasa
menjaganya."
24

Hukum Shalat Witir
HUKUM SHALAT WITIR
Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi

Hukum shalat Witir adalah sunnah muakkadah, bukan wajib.[1] Pendapat ini adalah pendapat
mayoritas ulama yang terdiri dari para sahabat dan ulama setelah mereka, disertai dengan
kesepakatan mereka (ijma‟) bahwa shalat Witir itu tidak fardhu. Adapun pendapat dari ulama
madzhab Hanafi menyatakan, bahwa shalat Witir itu adalah wajib, bukan fardhu.[2] Sedangkan
pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa shalat Witir itu wajib adalah madzhab yang lemah.
Ibnul Mundzir berkata, "Saya tidak mengetahui seorang ulama pun yang menyetujui pendapat Abu
Hanifah mengenai hal ini."
Di antara Dalil-Dalil Yang Menunjukkan Bahwa Shalat Witir Hukumnya Sunnah Adalah:
Ada seorang badui bertanya kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, "Apa saja yang Allah
Subhanahu wa Ta‟ala wajibkan kepadaku dalam sehari semalam?" Beliau menjawab, "Shalat lima
waktu." Orang itu bertanya lagi, "Apakah ada kewajiban lainnya untukku?" Beliau men-jawab,
"Tidak, kecuali jika kamu mau melakukan shalat sunnah." Orang badui itu berkata, "Demi Dzat Yang
mengutus Anda dengan kebenaran, saya tidak akan menambah kelimanya dan tidak akan mengurangi
kelimanya." Lalu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, "Orang tersebut beruntung jika dia
benar."[3]
Saya berkata, "Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa shalat Witir tidaklah wajib, karena
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidak menyuruh orang badui tersebut untuk melakukannya dan
tidak memarahinya atas tekadnya untuk tidak melakukannya, padahal telah diketahui bahwa tidak
diperbolehkannya mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan."
Dari 'Ubadah bin as-Shamit, dia berkata: "Saya pernah mendengar Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:

.
"Shalat lima waktu telah Allah Subhanahu wa Ta‟ala wajibkan atas hamba-hamba-Nya. Maka
barangsiapa yang melaksanakannya dan tidak menyia-nyiakan sedikit pun darinya, karena
menganggap ringan akan kewajibannya, maka bagi-nya suatu perjanjian di sisi Allah Subhanahu wa
Ta‟ala, bahwa Dia akan memasukkannya ke dalam Surga. Dan barangsiapa yang tidak
melaksanakan-nya, maka tidak ada baginya perjanjian di sisi Allah Subhanahu wa Ta‟ala, jika Dia
menghendaki, maka Dia akan menyiksanya dan jika Dia meng-hendaki, maka Dia akan
memasukkannya ke dalam Surga.”[4]
Saya berkata, "Di dalam hadits ini, beliau tidak menyebutkan shalat Witir bersamaan dengan shalatshalat fardhu."
Diriwayatkan dari 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Shalat Witir tidaklah wajib,
akan tetapi sunnah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam." [5]
Dan di antara dalil yang menunjukkan bahwa shalat Witir tidaklah wajib adalah bahwa shalat Witir
ini boleh dilakukan di atas kendaraan se-kalipun tidak dalam keadaan darurat, berbeda dengan shalat
wajib.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu „Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata,
"Sesungguhnya Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah melakukan shalat Witir di atas
untanya."[6]
25

Dan Ibnu „Umar Radhiyallahu anhuma berkata, "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah
melakukan shalat di atas kendaraan-nya mengarah ke mana saja beliau mengarah dan juga pernah
melakukan shalat Witir di atasnya, hanya saja beliau tidak melakukan shalat wajib di atas
kendaraannya." [7]
Di antara dalil-dalilnya pula adalah, bahwa shalat Witir termasuk sesuatu yang dibutuhkan setiap
malamnya. Terdapat pendapat yang diri-wayatkan dari „Ali Radhiyallahu anhu dan Sahabat lainnya,
bahwa shalat Witir tidaklah wajib, tidaklah mungkin jika orang-orang seperti para Sahabat ini tidak
mengetahui kefardhuan satu shalat dari shalat-shalat yang diwajibkan dan mereka membutuhkan
shalat ini setiap malamnya. Maka barangsiapa yang berprasangka demikian, maka dia telah berburuk
sangka terhadap mereka.
Diriwayatkan dari asy-Sya'bi, dia berkata, "Shalat Witir adalah sunnah, dan dia termasuk sunnah
yang paling mulia."
Sufyan berkata, "Shalat Witir bukanlah suatu kewajiban, akan tetapi sesuatu yang sunnah."[8]
Dan dalil-dalil lainnya, yang menunjukkan bahwa shalat Witir tidaklah wajib, tetapi hanya-lah
sunnah muakkadah.
Sedangkan kaitannya dengan dalil-dalil yang menunjukkan adanya ancaman jika meninggal-kannya,
maka sesungguhnya yang demikian itu hanyalah sebagai satu bentuk penguat atas
kemuakkadahannya.[9]
Sedangkan kaitannya dengan hukum me-ninggalkan shalat Witir, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
pernah ditanya mengenai hal ini, lalu beliau menjawab: "Alhamdulillaah, shalat Witir adalah sunnah
berdasarkan kesepakatan ulama kaum muslimin. Barangsiapa yang selalu meninggalkannya, maka
kesaksiaannya ditolak. Shalat Witir lebih muakkadah daripada shalat sunnah Zhuhur, Maghrib dan
„Isya‟, dan shalat Witir lebih utama daripada semua shalat sunnah pada siang hari, contohnya seperti
shalat Dhuha, bahkan dia adalah shalat malam yang paling utama setelah shalat fardhu, dan shalat
yang paling muakkadah adalah shalat Witir dan shalat sunnah Shubuh. Wallaahu a‟lam."[10]

Waktu Dan Tata Cara Shalat Witir
WAKTU DAN TATA CARA SHALAT WITIR
Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi

1. Waktu Shalat Witir
Para ulama sepakat, bahwa waktu shalat Witir tidaklah masuk kecuali setelah „Isya‟ dan waktunya
tetap berlangsung hingga Shubuh.[1]
Dari Abu Bashra Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
26

.
"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah memberi kalian tambahan shalat, yaitu shalat Witir,
maka shalat Witirlah kalian antara waktu shalat „Isya‟ hingga shalat Shubuh." [2]
Imam Ahmad meriwayatkan, bahwa Ibnu Mas'ud berkata, "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
melakukan shalat Witir pada awal malam, pertengahan dan akhir malam."[3]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, "Setiap malam, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam melakukan shalat Witir, sejak awal malam, pertengahan dan akhir malam, dan shalat Witirnya
ini berakhir hingga waktu sahur."[4]
Dan hadits-hadits lainnya dari jalur lain yang menunjukkan bahwa semua waktu malam sejak „Isya‟
hingga Shubuh adalah waktu bagi shalat Witir.
Permasalahan: "Jika seseorang menjama‟ shalat „Isya‟ dengan shalat Maghrib secara jama‟ taqdim
sebelum tenggelamnya mega merah (me-lakukan keduanya pada waktu Maghrib), maka dia boleh
melakukan shalat Witir setelah shalat „Isya‟ yang dilakukannya. Pendapat ini dike-mukakan oleh
mayoritas ulama."[5]
Waktu Shalat Witir Yang Paling Utama:
Yang paling utama adalah mengakhirkan pelaksanaan shalat Witir hingga akhir malam, hal itu
diperuntukkan bagi orang yang yakin bahwa dirinya akan bangun (di akhir malam), berdasarkan
hadits Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
'Barangsiapa yang khawatir tidak bangun pada akhir malam, maka hendaklah dia me-lakukan shalat
Witir pada awal malam. Dan barangsiapa yang bersikeras untuk bangun pada akhir malam, maka
hendaklah dia me-lakukan shalat Witir pada akhir malam, karena shalat di akhir malam itu disaksikan
(oleh para Malaikat), dan hal itu adalah lebih utama.'"[6]
Di samping itu, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pun sering me-lakukannya di akhir malam.
Disebutkan dalam dua kitab Shahih dan yang lainnya beberapa hadits dari sejumlah Sahabat yang
menjelaskan bahwa beliau melakukan shalat Witir di akhir malam, bahkan pada sebagian hadits
tersebut dijelaskan tentang perintah menjadikan shalat Witir sebagai akhir dari shalat malam. Tidak
hanya seorang yang mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat seluruh ulama.[7]
Saya berkata, "Di samping itu, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah berwasiat kepada beberapa
orang Sahabatnya agar tidak tidur sebelum melakukan shalat Witir."
Dari Sa'ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, dia berkata, saya pernah mendengar Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
"Orang yang tidak tidur sebelum melakukan shalat Witir, adalah orang yang teguh (iman-nya)."[8]
2. Jumlah Raka’at Shalat Witir
Shalat Witir tidaklah memiliki jumlah raka‟at tertentu, namun jumlahnya yang paling sedikit adalah
satu raka‟at, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam:
.
"Shalat Witir itu satu raka‟at di akhir malam." [HR. Muslim].[9]
Dan tidak dimakruhkan melakukan shalat Witir hanya satu raka‟at saja, berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam:
27

.
"Dan barangsiapa yang senang melakukan shalat Witir satu raka‟at, maka hendaklah dia
melakukannya."[10]
Shalat Witir yang paling utama adalah sebelas raka‟at, yang dilakukan dua raka‟at dua raka‟at, dan
diganjilkan dengan satu raka‟at, berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyallahu anhuma:
.
"Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melakukan shalat pada malam hari sebanyak sebelas raka‟at
dengan meng-ganjilkan di antaranya dengan satu raka‟at."
Dalam satu redaksi diungkapkan:
.
"Beliau salam di antara setiap dua raka‟at dan mengganjilkannya dengan satu raka‟at."[11]
Jika seseorang melakukan shalat Witir sebanyak lima raka‟at atau tujuh raka‟at, maka dia boleh
melakukannya semuanya secara terus-menerus dan tidak duduk (untuk membaca tahiyyat) kecuali
diakhirnya (pada raka‟at kelima atau ketujuh), berdasarkan ucapan Ummu Salamah Radhiyallahu
anhuma:
.
"Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah melakukan shalat Witir sebanyak tujuh raka‟at dan
lima raka‟at dengan tanpa memisah di antara kesemuanya dengan salam dan tanpa adanya
pembicaraan." [HR. Ahmad].[12]
Jika seseorang melakukan shalat Witir sebanyak sembilan raka‟at, maka dia boleh melakukannya
delapan raka‟at secara terus-menerus, kemudian dia duduk setelah raka‟at kedelapan dan melakukan
tasyahhud awal (tahiyyat pertama) dengan tanpa salam, kemudian melanjutkan ke raka‟at kesembilan
dan melakukan salam, berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyallahu anuhma :

.
"Dan beliau melakukan shalat sebanyak sembilan raka‟at tanpa duduk (untuk mem-baca tahiyyat)
padanya, kecuali pada raka‟at kedelapan, lalu beliau menyebut nama Allah, memuji-Nya, berdo‟a
kepada-Nya dan kemudian bangkit (berdiri) tanpa salam, kemu-dian beliau berdiri, lalu melakukan
raka‟at kesembilan, kemudian duduk, menyebut nama Allah, memuji-Nya dan berdo‟a kepada-Nya,
kemudian salam dengan bacaan yang dapat kami dengar." [HR. Muslim].[13]
Shalat malam tersebut tetap sah jika dilakukan lebih dari tiga belas raka‟at, akan tetapi harus diakhiri
dengan bilangan ganjil (shalat Witir), sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
.
"Shalat malam itu dilakukan dua raka‟at-dua raka‟at, apabila kamu mengkhawatirkan datangnya
waktu Shubuh, maka shalat Witir-lah sebanyak satu raka‟at."[14]
3. Bacaan Dalam Shalat Witir
Disunnahkan bagi orang yang melakukan shalat Witir untuk membaca pada raka‟at per-tama dengan
surat al-A‟laa, pada raka‟at kedua dengan surat al-Kaafiruun, pada raka‟at ketiga dengan surat alIkhlash, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan dia menilainya hasan, dari
'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
28

.
“Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam membaca pada raka‟at pertama dengan surat al-A‟laa, pada
raka‟at kedua dengan surat al-Kaafiruun dan pada raka‟at ketiga dengan surat al-Ikhlash dan dua
surat mu‟awidzatain (surat al-Falaq dan surat an-Naas)."[15]
Dan terdapat pula hadits serupa yang diri-wayatkan dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma dan Ubay
bin Ka‟ab Radhiyallahu anuma.
4 Bacaan Qunut Dalam Shalat Witir
Qunut dalam shalat Witir hukumnya sunnah, bukan wajib. Dalil disyari‟atkannya qunut bahwa
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam membaca qunut pada shalat Witir dan beliau tidak
melakukannya kecuali hanya sedikit. Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari al-Hasan bin
„Ali Radhiyallahuma, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah mengajarkan
kepadaku beberapa kalimat yang akan aku baca pada shalat Witir, yaitu:

.
'Ya Allah, berilah aku petunjuk pada orang yang telah Engkau beri petunjuk, selamatkanlah aku pada
orang yang Engkau selamatkan, kendalikanlah aku pada orang yang telah Engkau kendalikan,
berkahilah aku pada apa yang telah Engkau berikan, lindungilah aku dari kejahatan apa yang telah
Engkau putuskan, sesungguhnya Engkaulah yang memberikan keputusan, bukan yang diberi
keputusan, sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau kasihi, Mahasuci Engkau wahai Rabb
kami dan Mahatinggi Engkau.'"[16]
At-Tirmidzi berkata: "Hadits ini hasan dan kami tidak mengetahui hadits yang berasal dari Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam tentang qunut dalam shalat Witir yang lebih baik dari hadits ini."
Dan di antara dalil yang menunjukkan bahwa qunut itu tidak wajib adalah bahwa telah ditetap-kan
secara shahih dari sebagian Sahabat dan Tabi‟in bahwa mereka pernah meninggalkan qunut dalam
shalat Witir, bahkan telah ditetapkan pula secara shahih dari sebagian mereka bahwa mereka
meninggalkan qunut selama satu tahun, kecuali pada separuh (kedua) dari bulan Ramadhan, seperti
yang dilakukan oleh 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu dan juga telah ditetapkan secara shahih
dari selainnya bahwa mereka membaca qunut dalam shalat Witir selama satu tahun.[17]
Perbedaan yang terjadi di antara mereka ini menunjukkan bahwa bagi mereka tidak ada riwayat yang
ditetapkan secara shahih bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam membaca qunut pada setiap
shalat Witir. Dan pada pernyataan ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa beliau terkadang meninggalkan qunut pada shalat Witir. Wallaahu a‟lam.
Penempatan Qunut:
Qunut dalam shalat Witir dilakukan pada raka‟at terakhir setelah selesai dari bacaan (al-Faatihah dan
surat) dan sebelum ruku‟, sebagaimana juga sah dilakukan setelah bangun dari ruku‟ (pada posisi
i‟tidal), semua ini telah ditetapkan secara shahih dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan
kebanyakan ulama memahami bahwa qunut dilakukan sebelum ruku‟ dengan tujuan agar lama dalam
berdiri.
Dan terdapat sebuah hadits dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa ia pernah ditanya mengenai hal ini,
lalu ia menjawab, "Kami melakukannya sebelum dan sesudah ruku‟." [HR. Ibnu Majah].[18]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitab Fat-hul Baarii, "Sanad hadits ini kuat."
5. Mengqadha’ Shalat Witir Bagi Orang Yang Terlewatkan
Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengqadha‟ shalat Witir itu termasuk syari‟at. Telah
diriwayatkan dari Abu Sa‟id al-Khudri, ia ber-kata, "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
.
29

'Barangsiapa tidur dengan meninggalkan shalat Witir atau melupakannya, maka hendaklah dia
melakukannya ketika mengingatnya.'"[19]
Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: "Jika seseorang dari kalian
memasuki waktu Shubuh dan dia belum melakukan shalat Witir, maka hendaklah dia
melakukannya."[20]
Waktu Mengqadha‟ Shalat Witir:
Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu untuk mengqadha‟ shalat Witir. Menurut ulama
(madzhab) Hanafi, qadha‟ dilakukan pada selain waktu yang dilarang (melakukan shalat). Menurut
ulama (madzhab) Syafi‟i, qadha‟ dilakukan kapan saja, malam ataupun siang hari. Dan menurut
Imam Malik dan Imam Ahmad, qadha‟ dilakukan setelah terbit fajar selama shalat Shubuh belum
dilakukan.[21]

Nabi Muhamad Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Di Malam Hari
BEBERAPA GAMBARAN MENGENAI QIYAAMUL LAIL
Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi

Keadaan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Di Malam Hari;
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam adalah orang yang paling mengetahui Rabb-nya Azza wa Jalla,
orang yang paling bertakwa kepada-Nya dan orang yang paling dicintai-Nya. Karena itulah beliau
selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk berkhalwat (menyendiri) bersama Kekasihnya (Allah
Subhanahu wa Ta‟ala), beribadah kepada Penciptanya dan bersyukur kepada Rabb yang telah
mengutamakan di atas alam semesta ini dan yang telah menjadikannya pemimpin para Rasul.
Ketika malam telah tiba dan telah menguraikan penutupnya, beliau menghadap kepada Rabb yang
diibadahi, beliau bermunajat, berdo‟a dan tunduk beribadah kepada-Nya sambil berdiri, duduk
maupun sujud hingga malam hampir saja menjadi terang, sedangkan beliau tidak merasakan lamanya
beribadah, bagaimana dapat beliau merasakan hal itu sedangkan beliau sedang menyendiri bersama
Allah Subhanahu wa Ta‟ala, menyendiri bersama Raja para raja, menyendiri bersama Rabb Yang
menguasai alam langit dan Dia berkuasa atas segala sesuatu, menyendiri bersama Kekasihnya,
bersahabat dengan-Nya dan menghadap kepada-Nya dengan hati, tubuh dan ruhnya. Ya Allah,
berilah kami rizki berupa upaya untuk bisa beribadah di malam hari dan merasakan nikmatnya
beribadah dan melihat wajah-Mu yang mulia.
„Abdullah bin Rawahah Radhiyallahu anhu menceritakan tentang keadaan Nabi Shallallahu „alaihi
wa sallam di malam harinya:

Beliau bermalam sambil merenggangkan lambung dari tempat tidurnya, ketika tempat-tempat tidur
terasa berat bagi orang-orang musyrik.[1]
Gambaran Tentang Kesungguhan Nabi Shallallahu „Alaihi Wa Sallam Dalam Beribadah.
Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu‟bah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam melakukan shalat hingga kedua telapak kaki beliau membengkak, lalu ada yang berkata
kepada beliau, "Apakah engkau memaksakan diri untuk ini, padahal Allah Subhanahu wa Ta‟ala
30

telah memberikan ampunan bagimu atas dosa-mu yang telah lalu dan yang akan datang?" Beliau
menjawab:
.
'Apakah tidak boleh jika aku termasuk hamba yang bersyukur."[2]
Dan diriwayatkan dari „Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Jika Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam melakukan shalat, beliau berdiri hingga kedua telapak kaki beliau merekah, lalu
„Aisyah bertanya, 'Kenapa engkau melakukan semua ini, padahal Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah
memberikan ampunan bagimu atas dosa-dosa-mu yang telah lalu dan yang akan datang?' Lalu beliau
menjawab,
.
'Apakah tidak boleh jika aku termasuk hamba yang bersyukur.'"[3]
Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:
.
"Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melakukan shalat hingga kedua telapak kakinya
merekah."[4]
Ibnu Baththal berkata, "Dan di dalam hadits ini terdapat pelajaran agar seseorang menjadikan dirinya
bersungguh-sungguh dalam beribadah, sekalipun hal itu membahayakannya, karena Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam melakukan hal itu, padahal beliau telah mengetahui apa yang telah
diberikan kepadanya (yaitu pengampunan dosa yang telah lalu dan yang akan datang), lalu
bagaimana dengan orang yang tidak mengetahui hal itu, terutama bagi orang yang tidak merasakan
aman bahwa dirinya berhak masuk Neraka."[5]
Di antara gambaran tentang ibadah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam adalah hadits yang
diriwayatkan dari „Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, "Aku pernah kehilangan Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam pada satu malam dari tempat tidur, lalu aku mencarinya, lalu kedua
tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau, sedangkan beliau tengah melakukan sujud dan kedua
telapak kaki beliau sedang ditegakkan, ketika itu beliau membaca do‟a:
.
'Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari murka-Mu, dengan
pengampunan-Mu dari siksaan-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat
menghitung sanjungan terhadap-Mu, sebagaimana Engkau menyanjung-Mu atas diri-Mu.'"[6]
Dan diriwayatkan dari Ibnu „Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, "Aku pernah bermalam di
rumah bibiku, Maimunah binti al-Harits, istri Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan ketika itu Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam, sedang berada bersamanya pada malam (giliran)nya, lalu beliau
melakukan shalat „Isya‟ (di masjid), kemudian beliau pulang ke rumahnya, lalu beliau melakukan
shalat empat raka‟at dan kemudian tidur, kemudian beliau bangun lalu bersabda, „Anak kecil ini telah
tidur,‟ atau beliau mengucapkan kata-kata yang serupa, kemudian beliau bangun dan aku pun bangun
di sebelah kirinya, lalu beliau merubah posisiku menjadi di sebelah kanannya, lalu beliau melakukan
shalat lima raka‟at, kemudian melakukan shalat dua raka‟at, kemudian tidur hingga aku mendengar
dengkurannya, kemudian beliau keluar untuk melakukan shalat (Shubuh)."[7]
Dan diriwayatkan dari „Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
.
"Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah melakukan shalat setelah shalat „Isya‟ hingga fajar
menyingsing."[8]
31

Abu Dzarr Radhiyallahu anhu berkata, "Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah ber-ibadah hingga
Shubuh dengan membaca satu ayat, yaitu ayat:

'Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika
Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau-lah Yang Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.' [Al-Maa-idah/5: 118]."[9]
Dan diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam pernah tidak ber-puasa selama satu bulan hingga kami menyangka bahwa beliau
memang tidak berpuasa dan beliau pernah berpuasa hingga kami menyangka bahwa beliau tidak
berbuka sama sekali. Engkau tidak berharap melihat beliau pada malam hari dalam keadaan shalat
melainkan engkau akan melihatnya dan juga dalam keadaan tidur melainkan engkau akan
melihatnya."[10]
Gambaran Tentang Lamanya Berdiri Yang Dilakukan Nabi Shallallahu „Alaihi Wa Sallam.
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam selalu memperpanjang berdiri dalam shalatnya, dan ketika beliau
ditanya, "Shalat yang bagaimanakah yang paling utama?" Beliau menjawab, "Yang lama
berdirinya."[11]
Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau menjawab, "Yang lama qunutnya."[12]
Dan diriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Aku pernah melakukan shalat
bersama Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pada suatu malam, lalu beliau kemungkinan akan
membukanya dengan membaca surat al-Baqarah. Aku berkata, 'Beliau membaca seratus ayat,
kemudian beliau ruku‟. Tatkala beliau melewatinya, aku berkata, 'Beliau membacanya dalam dua
raka‟at.' Tatkala sampai pada kalimat an-naas[13] saya berkata, Beliau membacanya dalam satu
raka‟at, tatkala beliau selesai dari surat ini, beliau membuka dengan membaca surat Ali-'Imran, lalu
ketika beliau melewati bacaan tasbih, takbir, tahlil, penyebutan Surga dan Neraka, maka beliau
berhenti, lalu beliau berdo‟a atau memohon perlindungan kemudian beliau ruku‟. Ketika ruku‟, beliau
membaca: 'Subhaana Rabbiyal „azhiim'. Lamanya beliau ruku‟ sama dengan lamanya beliau berdiri
atau lebih lama lagi, kemudian beliau membaca, 'Sami‟allaahu liman hamidah,' lalu beliau berdiri
dalam waktu yang lama, kemudian beliau sujud. Ketika sujud, beliau membaca, 'Subhaana Rab-biyal
a‟la.'"[14]
Dan diriwayatkan dari „Abdullah bin Mas‟ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Aku pernah melakukan
shalat bersama Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, beliau memperpanjang (shalatnya) hingga
aku menginginkan sesuatu hal yang buruk. Lalu ada yang bertanya, 'Apa yang engkau inginkan?'
„Abdullah menjawab, 'Aku menginginkan agar aku bisa duduk dan aku meninggalkannya.'"[15]
Dan masih banyak lagi hadits yang diriwayatkan dari beliau yang menerangkan tentang shalat
malam, membaca al-Qur-an dan menghidupkan malam-malamnya dengan hal-hal tersebut.
Shalawat Allah dan salam-Nya tetap atas beliau.
32

Keadaan Para Sahabat Radhiyallahu anhum
Di Malam Hari
BEBERAPA GAMBARAN MENGENAI QIYAAMUL LAIL
Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi

Keadaan Para Sahabat Radhiyallahu anhum Di Malam Hari
Para Sahabat adalah contoh ideal setelah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dalam penerapan
agama ini, pelaksanaan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan- larangannya. Bagaimana tidak,
sedangkan Allah Subhanahu wa Ta‟ala sendiri telah memuji mereka, firman-Nya:

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
mereka pun ridha kepada Allah ..." [At-Taubah: 100]
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
.
"Sebaik-baik manusia adalah generasi pada masaku, kemudian orang-orang yang mengiringi
mereka."[1]
Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam juga bersabda:
.
"Janganlah kalian mencaci maki para Sahabatku, demi Rabb yang jiwaku ada di tangan-Nya,
seandainya seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, maka infaqnya itu tidak akan
mencapai satu mudd (kurang lebih 6,5 ons,-pent.) pun seorang dari mereka, tidak juga
separuhnya."[2]
Dan Ibnu Mas‟ud Radhiyallahu anhu berkata, "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta‟ala melihat
hati hamba-hamba-Nya. Dia mendapatkan hati Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam itu adalah
sebaik-baik hati, lalu Dia memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya dengan risalah-Nya,
kemudian Dia melihat hati hamba-hamba-Nya setelah hati Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam,
lalu Dia mendapat-kan hati para Sahabatnya adalah sebaik-baik hati, lalu Dia menjadikan mereka
sebagai para menteri (pembantu) Nabi-Nya Shallallahu „alaihi wa sallam."[3]
'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu pernah melakukan shalat Shubuh, tatkala salam, beliau
berbaring ke arah kanan kemudian terdiam seakan-akan beliau sedang bersedih hingga ketika
matahari telah meninggi, beliau berkata: "Sungguh aku telah melihat jejak para Sahabat Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam, namun aku tidak melihat seorang pun yang menyerupai mereka. Demi
Allah, jika mereka memasuki pagi hari, kondisi mereka dengan keadaan rambut yang kusut, penuh
debu dan menguning, di antara mata mereka terdapat seperti kendaraan perang, pastilah mereka pada
malam harinya itu membaca Kitabullah, mereka naik-turun di antara telapak kaki mereka dan dahi
mereka. Ketika Nama Allah disebutkan, mereka bergetar laksana pepohonan yang bergetar ketika
angin bertiup dan seakan-akan orang lain yang ada di sekeliling mereka itu bermalam dalam keadaan
lalai."[4]
Alangkah indah sya‟ir karya Ibnul Qayyim rahimahullah yang menggambarkan tentang para Sahabat:
33

Mereka itu orang-orang yang taat, orang-orang yang bersembunyi untuk Rabb mereka, orang-orang
yang berbicara dengan sejujur-jujur ucapan.
Mereka menghidupkan malam mereka dengan ketaatan kepada Rabb mereka,
dengan membaca (al-Qur-an), tunduk (ber-ibadah) dan memohon.
Mata mereka mengalirkan limpahan air mata,
laksana hujan yang turun dengan derasnya.
Pada malam hari mereka menjadi ahli ibadah, dan tatkala berjihad
melawan musuh mereka, mereka adalah pahlawan yang paling berani.
Tatkala telah tampak bendera perang, maka engkau akan melihat mereka
berlomba-lomba dengan amalan-amalan shalih.
Pada wajah mereka tampak bekas sujud kepada Rabb mereka,
padanya terdapat kilauan cahaya-Nya yang terang-benderang.
Sungguh al-Qur-an telah menerangkan ke-padamu akan sifat mereka,
di dalam surat al-Fath yang jelas dan luhur.
Dan pada surat keempat dari as-sab‟uth thiwaal terdapat keterangan tentang sifat mereka, yaitu kaum
yang dicintai oleh-Nya dengan penuh kerendahan.
Dan di dalam surat Bara-ah (al-Taubah) dan al-Hasyr terdapat keterangan sifat mereka, juga pada
surat Hal ataa dan surat al-Anfaal.[5]

IBadah Para Sahabat Radhiyallahu anhum
1. Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu
Abu Bakar Radhiyallahu anhu adalah orang pertama yang masuk Islam, yang pertama kali menjadi
pe-nolong dan pertama kali berjihad, ia lebih dulu sampai kepada Allah, ia berbicara dengan syari‟atNya dan selalu jujur dalam pembicaraannya.
Disebutkan dalam sebuah sya‟ir:

Wahai khalifah ar-Rahman, masamu telah berbicara,
tidak ada yang diperolehnya selain dirimu wahai orang yang jujur.
34

Beliau adalah seorang laki-laki yang rajin ber-ibadah, rajin berpuasa dan sering menangis. Jika ia
membaca al-Qur-an, maka tidak akan dime-ngerti apa yang dibacanya, karena seringnya dia
menangis.
Diriwayatkan dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, ia ber-kata, "Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
pernah keluar pada suatu malam, tiba-tiba beliau bertemu dengan Abu Bakar Radhiyallahu anhu
sedang melakukan shalat dengan melirihkan suaranya." Abu Qatadah berkata, "Dan kemudian beliau
bertemu dengan 'Umar ketika ia sedang shalat dengan mengeraskan suaranya." Abu Qatadah berkata,
"Tatkala keduanya ber-kumpul di sisi Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, beliau berkata kepada
keduanya, 'Wahai Abu Bakar, aku telah melewati dirimu ketika engkau sedang melaksanakan shalat
dan engkau melirihkan suaramu.' Abu Bakar berkata, 'Sungguh aku telah memperdengarkan kepada
Rabb yang aku bermunajat kepada-Nya, wahai Rasulullah.'" Abu Qatadah berkata, "Lalu beliau
berkata kepada 'Umar, 'Aku telah melewati dirimu, ketika itu engkau sedang melaksanakan shalat
dengan mengeraskan suaramu.'" Abu Qatadah berkata, "Lalu 'Umar berkata, 'Wahai Rasulullah, aku
telah membangunkan orang-orang yang tidur dan mengusir syaitan.' Lalu Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda, 'Wahai Abu Bakar, keraskanlah suaramu sedikit dan 'Umar, lirihkanlah suaramu
sedikit.'"[6]
2. 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu.
'Umar masuk Islam dalam keadaan kuat, dia berhijrah dalam keadaan kuat dan terbunuh juga dalam
keadaan kuat. Dia ditakuti oleh syaitan, Hurmuz menjadi gentar ketika melihatnya dan kerajaan
Dinasti Sasan menjadi berakhir karena-nya.
Sebuah sya‟ir mengungkapkan:

Wahai „Umar al-Faruq, apakah engkau me-miliki kendali,
karena tentara Romawi dapat engkau larang dan engkau perintah.
Al-'Abbas bin „Abdil Muththalib berkata, "Aku adalah tetangga 'Umar bin al-Khaththab, aku tidak
pernah melihat seorang pun yang lebih utama dari 'Umar; sesungguhnya malamnya digunakan untuk
shalat dan siang harinya digunakan untuk berpuasa dan memenuhi kebutuhan masyarakat."[7]
Dan diriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa 'Umar bin al-Khaththab melakukan shalat
malam dalam waktu yang cukup lama hingga ketika di akhir malam, beliau membangunkan
keluarganya agar melakukan shalat, dia berkata kepada mereka, "Shalatlah kalian, shalatlah kalian,
kemudian dia membaca ayat ini:

'Dan perintahkanlah kepada keluargamu men-dirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki ke-padamu. Dan
akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.' [Thaahaa/20: 132]."[8]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "'Umar selalu melakukan shalat „Isya‟ bersama rakyatnya, kemu
dian beliau masuk ke rumahnya dan tiada henti-hentinya dia melakukan shalat hingga Shubuh."[9]
Diungkapkan dalam sebuah sya‟ir:

Maka siapakah yang akan mengikuti jalan hidup Abu Hafsh
Atau siapakah yang berusaha menyerupai al-Faruq.
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM
SHALAT MALAM

More Related Content

What's hot

Bacaan shalawat nariyah
Bacaan shalawat nariyahBacaan shalawat nariyah
Bacaan shalawat nariyahBob Arrio
 
130714 sholat lail
130714 sholat lail130714 sholat lail
130714 sholat lailandikaasds
 
Surah Yunus : Maqasid, Tadabbur dan Ibrah Dakwah Kisah Para Anbiya'
Surah Yunus : Maqasid, Tadabbur dan Ibrah Dakwah Kisah Para Anbiya'Surah Yunus : Maqasid, Tadabbur dan Ibrah Dakwah Kisah Para Anbiya'
Surah Yunus : Maqasid, Tadabbur dan Ibrah Dakwah Kisah Para Anbiya'Paradigma Ibrah Sdn. Bhd.
 
Shalat tarawih 20 rakaat dan dalil final
Shalat tarawih 20 rakaat dan dalil   finalShalat tarawih 20 rakaat dan dalil   final
Shalat tarawih 20 rakaat dan dalil finalMuhammad Sa'dullah
 
Ukhuwah islamiyah, Majelis SEHATI - ibrahim salim 131019
Ukhuwah islamiyah, Majelis SEHATI - ibrahim salim 131019Ukhuwah islamiyah, Majelis SEHATI - ibrahim salim 131019
Ukhuwah islamiyah, Majelis SEHATI - ibrahim salim 131019ibrahim salim
 
Pengertian Shalat dan Pensyariatannya
Pengertian Shalat dan PensyariatannyaPengertian Shalat dan Pensyariatannya
Pengertian Shalat dan PensyariatannyaAnas Sa'dullah
 
Fenomena lemahnya iman - Syeikh Solah al Munajjid
Fenomena lemahnya iman - Syeikh Solah al MunajjidFenomena lemahnya iman - Syeikh Solah al Munajjid
Fenomena lemahnya iman - Syeikh Solah al MunajjidImran
 
rahasia indah-al-fatihah
rahasia indah-al-fatihahrahasia indah-al-fatihah
rahasia indah-al-fatihahhafidz cahya
 
Berhasilkah latihan kita
Berhasilkah latihan kitaBerhasilkah latihan kita
Berhasilkah latihan kitaAl Frilantika
 

What's hot (18)

Keutamaan Sholat Lail
Keutamaan Sholat LailKeutamaan Sholat Lail
Keutamaan Sholat Lail
 
Bacaan shalawat nariyah
Bacaan shalawat nariyahBacaan shalawat nariyah
Bacaan shalawat nariyah
 
Juzuk Amma : Perspektif Munasabah
Juzuk Amma : Perspektif MunasabahJuzuk Amma : Perspektif Munasabah
Juzuk Amma : Perspektif Munasabah
 
Juzuk Amma : Munasabah 37 Surah
Juzuk Amma : Munasabah 37 SurahJuzuk Amma : Munasabah 37 Surah
Juzuk Amma : Munasabah 37 Surah
 
Selawat 1
Selawat 1Selawat 1
Selawat 1
 
130714 sholat lail
130714 sholat lail130714 sholat lail
130714 sholat lail
 
Surah Yunus : Maqasid, Tadabbur dan Ibrah Dakwah Kisah Para Anbiya'
Surah Yunus : Maqasid, Tadabbur dan Ibrah Dakwah Kisah Para Anbiya'Surah Yunus : Maqasid, Tadabbur dan Ibrah Dakwah Kisah Para Anbiya'
Surah Yunus : Maqasid, Tadabbur dan Ibrah Dakwah Kisah Para Anbiya'
 
Shalat tarawih 20 rakaat dan dalil final
Shalat tarawih 20 rakaat dan dalil   finalShalat tarawih 20 rakaat dan dalil   final
Shalat tarawih 20 rakaat dan dalil final
 
Materi tarawih
Materi tarawihMateri tarawih
Materi tarawih
 
Ukhuwah islamiyah, Majelis SEHATI - ibrahim salim 131019
Ukhuwah islamiyah, Majelis SEHATI - ibrahim salim 131019Ukhuwah islamiyah, Majelis SEHATI - ibrahim salim 131019
Ukhuwah islamiyah, Majelis SEHATI - ibrahim salim 131019
 
Pengertian Shalat dan Pensyariatannya
Pengertian Shalat dan PensyariatannyaPengertian Shalat dan Pensyariatannya
Pengertian Shalat dan Pensyariatannya
 
Sifat shalat_nabi_
 Sifat shalat_nabi_ Sifat shalat_nabi_
Sifat shalat_nabi_
 
Fenomena lemahnya iman - Syeikh Solah al Munajjid
Fenomena lemahnya iman - Syeikh Solah al MunajjidFenomena lemahnya iman - Syeikh Solah al Munajjid
Fenomena lemahnya iman - Syeikh Solah al Munajjid
 
Adakah bid'ah menyambut nisfu sya'ban
Adakah bid'ah menyambut nisfu sya'banAdakah bid'ah menyambut nisfu sya'ban
Adakah bid'ah menyambut nisfu sya'ban
 
rahasia indah-al-fatihah
rahasia indah-al-fatihahrahasia indah-al-fatihah
rahasia indah-al-fatihah
 
Penjelasan waktu shalat
Penjelasan waktu shalatPenjelasan waktu shalat
Penjelasan waktu shalat
 
ISHAK SIRI 3 : SURAH AL-SHURA
ISHAK SIRI 3 : SURAH AL-SHURA ISHAK SIRI 3 : SURAH AL-SHURA
ISHAK SIRI 3 : SURAH AL-SHURA
 
Berhasilkah latihan kita
Berhasilkah latihan kitaBerhasilkah latihan kita
Berhasilkah latihan kita
 

Similar to SHALAT MALAM (20)

Perintah azan
Perintah azanPerintah azan
Perintah azan
 
Perintah azan
Perintah azanPerintah azan
Perintah azan
 
Perintah azan
Perintah azanPerintah azan
Perintah azan
 
Perintah azan
Perintah azanPerintah azan
Perintah azan
 
Qiyamul lail
Qiyamul lailQiyamul lail
Qiyamul lail
 
Peringatan malam nishfu sya'ban
Peringatan malam nishfu sya'banPeringatan malam nishfu sya'ban
Peringatan malam nishfu sya'ban
 
Peringatan malam nishfu sya'ban
Peringatan malam nishfu sya'banPeringatan malam nishfu sya'ban
Peringatan malam nishfu sya'ban
 
Peringatan malam nishfu sya'ban
Peringatan malam nishfu sya'banPeringatan malam nishfu sya'ban
Peringatan malam nishfu sya'ban
 
Peringatan malam nishfu sya'ban
Peringatan malam nishfu sya'banPeringatan malam nishfu sya'ban
Peringatan malam nishfu sya'ban
 
Polemik tentang (malam) nishfu sya'ban
Polemik tentang (malam) nishfu sya'banPolemik tentang (malam) nishfu sya'ban
Polemik tentang (malam) nishfu sya'ban
 
Qiyamul Lail sholat malam
Qiyamul Lail sholat malamQiyamul Lail sholat malam
Qiyamul Lail sholat malam
 
Penjelasan waktu shalat
Penjelasan waktu shalatPenjelasan waktu shalat
Penjelasan waktu shalat
 
10 pertanyaan yang menyadarkan
10 pertanyaan yang menyadarkan10 pertanyaan yang menyadarkan
10 pertanyaan yang menyadarkan
 
Shalat
ShalatShalat
Shalat
 
Keajaiban shalat tahajud
Keajaiban shalat tahajudKeajaiban shalat tahajud
Keajaiban shalat tahajud
 
Sifat tarawih-nabi
Sifat tarawih-nabiSifat tarawih-nabi
Sifat tarawih-nabi
 
Perintah untuk haji
Perintah untuk hajiPerintah untuk haji
Perintah untuk haji
 
Perintah untuk haji
Perintah untuk hajiPerintah untuk haji
Perintah untuk haji
 
Perintah untuk haji
Perintah untuk hajiPerintah untuk haji
Perintah untuk haji
 
Sejarah.tarawih
Sejarah.tarawihSejarah.tarawih
Sejarah.tarawih
 

SHALAT MALAM

  • 1. 1 QIYAAMUL LAIL Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya KEUTAMAAN SHALAT MALAM DAN ANJURANNYA Oleh Muhammad bin Suud Al-Uraifi Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah menjelaskan di dalam al-Qur-an pada banyak ayat dan juga Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dalam banyak hadits tentang besarnya pahala yang diperoleh dari melaksanakan shalat malam. Bahkan, ketahuilah wahai pembaca yang budiman –sebelum kami memaparkan ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut– bahwa shalat yang paling baik setelah shalat wajib adalah shalat malam, dan hal ini telah menjadi ijma' (kesepakatan) ulama.[1] Ayat-Ayat Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya Di dalam banyak ayat, Allah Subhanahu wa Ta‟ala menganjurkan kepada Nabi-Nya yang mulia untuk melakukan shalat malam. Antara lain adalah: "Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajjud-lah kamu...." [Al-Israa'/17: 79] "Dan sebutlah nama Rabb-mu pada (waktu) pagi dan petang. Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari." [Al-Insaan/76: 25-26]. "Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai shalat." [Qaaf/50: 40]. "Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabb-mu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu ketika kamu bangun berdiri, dan bertasbihlah kepada-Nya pada be-berapa saat di malam hari dan waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar)." [Ath-Thuur/52: 4849] Allah Subhanahu wa Ta‟ala bahkan memerintahkan kepada beliau Shallallahu „alaihi wa sallam apabila telah selesai melakukan shalat wajib agar melakukan shalat malam,[2] hal itu sebagaimana terdapat pada firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala: "Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabb-mu-lah hendaknya kamu berharap." [Asy-Syarh/94 : 7-8) Allah Subhanahu wa Ta‟ala pun memuji para hamba-Nya yang shalih yang senantiasa melakukan shalat malam dan bertahajjud, Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman: "Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." [Adz-Dzaariyaat/51: 17-18]
  • 2. 2 Ibnu „Abbas Radhiyallahu anhumamengatakan, "Tak ada satu pun malam yang terlewatkan oleh mereka melainkan mereka melakukan shalat walaupun hanya beberapa raka'at saja."[3] Al-Hasan al-Bashri berkata, "Setiap malam mereka tidak tidur kecuali sangat sedikit sekali."[4] Al-Hasan juga berkata, "Mereka melakukan shalat malam dengan lamanya dan penuh semangat hingga tiba waktu memohon ampunan pada waktu sahur."[5] Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman dalam memuji dan menyanjung mereka: "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo‟a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkah-kan sebagian dari rizki yang Kami berikan ke-pada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." [As-Sajdah/32: 16-17] Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, "Yang dimaksud dengan apa yang mereka lakukan adalah shalat malam dan meninggalkan tidur serta berbaring di atas tempat tidur yang empuk."[6] Al-'Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Cobalah renungkan bagaimana Allah membalas shalat malam yang mereka lakukan secara sembunyi dengan balasan yang Ia sembunyikan bagi mereka, yakni yang tidak diketahui oleh semua jiwa. Juga bagaimana Allah membalas rasa gelisah, takut dan gundah gulana mereka di atas tempat tidur saat bangun untuk melakukan shalat malam dengan kesenangan jiwa di dalam Surga."[7] Dari Asma' binti Yazid Radhiyallahu anha, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Bila Allah mengumpulkan semua manusia dari yang pertama hingga yang terakhir pada hari Kiamat kelak, maka datang sang penyeru lalu memanggil dengan suara yang terdengar oleh semua makhluk, 'Hari ini semua yang berkumpul akan tahu siapa yang pantas mendapatkan kemuliaan!' Kemudian penyeru itu kembali seraya berkata, 'Hendaknya orang-orang yang 'lambungnya jauh dari tempat tidur' bangkit, lalu mereka bangkit, sedang jumlah mereka sedikit."[8] Di antara ayat-ayat yang memuji orang-orang yang selalu melakukan shalat malam adalah firman Allah: "(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya?..." [AzZumar/39: 9]. "Mereka itu tidak sama, di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (shalat)." [Ali „Imraan/3: 113] "Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka." [Al-Furqaan/25: 64] "Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud...." [Al-Fat-h/48: 29]
  • 3. 3 "(Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur." [Ali-'Imran/3: 17]. Dan lain sebagainya dari ayat-ayat al-Qur-an. Saya katakan, "Barangsiapa yang menginginkan pengetahuan yang bermanfaat dan faidah yang banyak, hendaknya menelaah penafsiran ayat-ayat ini dalam kitab-kitab tafsir, karena di sana terdapat manfaat dan faidah yang amat besar. Saya sengaja tidak memaparkannya di sini, semata karena komitmen saya untuk membahas secara ringkas dan tidak mendalam." Hadits-Hadits Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya: Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan kepada para Sahabatnya untuk melakukan shalat malam dan membaca al-Qur-an di dalamnya. Hadits-hadits yang mengungkapkan tentang hal ini sangat banyak untuk dapat dihitung. Namun kami hanya akan menyinggung sebagiannya saja, berikut panda-ngan para ulama sekitar masalah ini. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat yang dilakukan di malam hari."[9] Al-Bukhari rahimahullah berkata: "Bab Keutamaan Shalat Malam." Selanjutnya ia membawakan hadits dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa ia berkata: "Seseorang di masa hidup Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam apabila bermimpi menceritakannya kepada beliau. Maka aku pun berharap dapat bermimpi agar aku ceritakan kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam. Saat aku muda aku tidur di dalam masjid lalu aku bermimpi seakan dua Malaikat membawaku ke Neraka. Ternyata Neraka itu berupa sumur yang dibangun dari batu dan memiliki dua tanduk. Di dalamnya terdapat orang-orang yang aku kenal. Aku pun ber ucap, 'Aku berlindung kepada Allah dari Neraka!' Ibnu 'Umar melanjutkan ceritanya, 'Malaikat yang lain menemuiku seraya berkata, 'Jangan takut!' Akhirnya aku ceritakan mimpiku kepada Hafshah dan ia menceritakannya kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: . 'Sebaik-baik hamba adalah „Abdullah seandainya ia melakukan shalat pada sebagian malam.' Akhirnya 'Abdullah tidak pernah tidur di malam hari kecuali hanya beberapa saat saja."[10] Ibnu Hajar berkata: "Yang menjadi dalil dari masalah ini adalah sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam: 'Sebaik-baik hamba adalah 'Abdullah seandainya ia melakukan shalat pada sebagian malam.' Kalimat ini mengindikasikan bahwa orang yang melakukan shalat malam adalah orang yang baik."[11] Ia berkata lagi, "Hadits ini menunjukkan bahwa shalat malam bisa menjauhkan orang dari adzab."[12] „Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata: "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam selalu melakukan shalat malam hingga kedua telapak kakinya pecah-pecah."[13] Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Syaitan mengikat di pangkal kepala seseorang darimu saat ia tidur dengan tiga ikatan yang pada masingmasingnya tertulis, 'Malammu sangat panjang, maka tidurlah!' Bila ia bangun lalu berdzikir kepada Allah, maka satu ikatan lepas, bila ia berwudhu‟ satu ikatan lagi lepas dan bila ia shalat satu ikatan lagi lepas. Maka di pagi hari ia dalam keadaan semangat dengan jiwa yang baik. Namun jika ia tidak melakukan hal itu, maka di pagi hari jiwanya kotor dan ia menjadi malas."[14]
  • 4. 4 Ibnu Hajar berkata: "Apa yang terungkap dengan jelas dalam hadits ini adalah, bahwa shalat malam memiliki hikmah untuk kebaikan jiwa walaupun hal itu tidak dibayangkan oleh orang yang melakukannya, dan demikian juga sebaliknya. Inilah yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya: "Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu') dan bacaan di waktu itu lebih terkesan." [Al-Muzzammil/73: 6] Sebagian ulama menarik kesimpulan dari hadits ini bahwa orang yang melakukan shalat malam lalu ia tidur lagi, maka syaitan tidak akan kembali untuk mengikat dengan beberapa ikatan seperti semula."[15] Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah (berpuasa pada) bulan Allah yang mulia (Muharram) dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam."[16] An-Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini menjadi dalil bagi kesepakatan ulama bahwa shalat sunnah di malam hari adalah lebih baik daripada shalat sunnah di siang hari."[17] Ath-Thibi berkata: "Demi hidupku, sungguh, seandainya tidak ada keutamaan dalam melakukan shalat Tahajjud selain pada firman Allah: "Dan pada sebagian malam hari bershalat ta-hajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudahmudahan Rabb-mu mengang-katmu ke tempat yang terpuji." [Al-Israa‟/17: 79] Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala: "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo‟a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata..." [As-Sajdah/32: 16-17]. Juga ayat-ayat yang lainnya, maka hal itu sudah cukup menjadi bukti keistimewaan shalat ini."[18] Dari 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash Radhiyallahu anhuma ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Nabi Dawud Alaihissallam dan puasa yang paling dicintai Allah juga puasa Nabi Dawud Alaihissallam. Beliau tidur setengah malam, bangun sepertiga malam dan tidur lagi seperenam malam serta berpuasa sehari dan berbuka sehari."[19] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Al-Mahlabi mengatakan Nabi Dawud Alaihissallam mengistirahatkan dirinya dengan tidur pada awal malam lalu ia bangun pada waktu di mana Allah menyeru, 'Adakah orang yang meminta?, niscaya akan Aku berikan permintaannya!' lalu ia meneruskan lagi tidurnya pada malam yang tersisa sekedar untuk dapat beristirahat dari lelahnya melakukan shalat Tahajjud. Tidur terakhir inilah yang dilakukan pada waktu Sahur. Metode seperti ini lebih dicintai Allah karena bersikap sayang terhadap jiwa yang dikhawatirkan akan merasa bosan (jika dibebani dengan beban yang berat,-ed) dan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah bersabda: .
  • 5. 5 'Sesungguhnya Allah tidak akan pernah merasa bosan sampai kalian sendiri yang akan merasa bosan.' Allah Subhanahu wa Ta‟ala ingin selalu melimpahkan karunia-Nya dan memberikan kebaikan-Nya."[20] Dari Jabir bin 'Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu tertentu, yang bila seorang muslim memohon kepada Allah dari kebaikan dunia dan akhirat pada waktu itu, maka Allah pasti akan memberikan kepadanya, dan hal tersebut ada di setiap malam."[21] An-Nawawi rahimahullah berkata, "Hadits ini menetapkan adanya waktu dikabulkannya do‟a pada setiap malam, dan mengandung dorongan untuk selalu berdo‟a di sepanjang waktu malam, agar mendapatkan waktu itu."[22] Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun di waktu malam lalu shalat dan ia pun membangunkan isterinya lalu sang istri juga shalat. Bila istri tidak mau bangun ia percikkan air ke wajahnya. Semoga Allah merahmati seorang isteri yang bangun di waktu malam lalu ia shalat dan ia pun membangunkan suaminya. Bila si suami enggan untuk bangun ia pun memercikkan air ke wajahnya."[23] Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Barangsiapa yang bangun di waktu malam dan ia pun membangunkan isterinya lalu mereka shalat bersama dua raka'at, maka keduanya akan dicatat termasuk kaum laki-laki dan wanita yang banyak berdzikir kepada Allah."[24] Al-Munawi berkata, "Hadits ini seperti dikemukakan oleh ath-Thibi menunjukkan bahwa orang yang mendapatkan kebaikan seyogyanya menginginkan untuk orang lain apa yang ia inginkan untuk dirinya berupa kebaikan, lalu ia pun memberikan kepada yang terdekat terlebih dahulu."[25] Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang perilakunya kasar, sombong, tukang makan dan minum serta suka berteriak di pasar. Ia seperti bangkai di malam hari dan keledai di siang hari. Dia hanya tahu persoalan dunia tapi buta terhadap urusan akhirat.'"[26] Dari Anas Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . “Allah telah menjadikan pada kalian shalat kaum yang baik; mereka shalat di waktu malam dan berpuasa di waktu siang. Mereka bukanlah para pelaku dosa dan orang-orang yang jahat.”[27] Dari 'Abdullah bin Salam Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Yang pertama kali aku dengar dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam adalah sabda beliau:
  • 6. 6 . "Wahai manusia, tebarkan salam, berilah makan, sambunglah tali silaturahmi dan shalatlah di malam hari saat manusia tertidur, niscaya kalian akan masuk ke dalam Surga dengan selamat."[28] 'Abdullah bin Qais mengatakan, bahwa „Aisyah Radhiyallahun anhuma berkata: "Janganlah kalian meninggalkan shalat malam karena Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya. Jika beliau sakit atau malas, beliau shalat dalam keadaan duduk."[29] Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Keutamaan shalat malam atas shalat siang, seperti keutamaan bersedekah secara sembunyi atas bersedekah secara terang-terangan."[30] Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu ia menuturkan pula, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Ketahuilah, sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua orang laki-laki: Seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudhu‟ dan melakukan shalat. Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman kepada para Malaikat-Nya, 'Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?' Mereka menjawab, 'Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu dan takut dari apa yang ada di sisi-Mu pula.' Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan dan memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan.'"[31] Masih banyak lagi hadits-hadits Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang keutamaan shalat malam, dorongan terhadapnya dan kedudukan orang-orang yang senantiasa melakukannya. Atsar Sahabat Dan Kaum Salaf Tentang Keutamaan Shalat Malam Dan Anjurannya Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Sesungguhnya di dalam Taurat tertulis, 'Sungguh Allah telah memberikan kepada orang-orang yang lambungnya jauh dari tempat tidur apa yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia, yakni apa yang tidak diketahui oleh Malaikat yang dekat kepada Allah dan Nabi yang diutus-Nya.'"[32] Dari Ya‟la bin „Atha' ia meriwayatkan dari bibinya Salma, bahwa ia berkata, "'Amr bin al-'Ash berkata, 'Wahai Salma, shalat satu raka'at di waktu malam sama dengan shalat sepuluh raka'at di waktu siang."[33] 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, "Seandainya tidak ada tiga perkara; seandainya aku tidak pergi berjihad di jalan Allah, seandainya aku tidak mengotori dahiku dengan debu karena ber-sujud kepada Allah dan seandainya aku tidak duduk bersama orang-orang yang mengambil kata-kata yang baik seperti mereka mengambil kurma-kurma yang baik, maka aku merasa senang berjumpa dengan Allah."[34] Saat menjelang wafatnya Ibnu 'Umar, ia berkata, "Tidak ada sesuatu yang sangat aku sedihkan di dunia ini selain rasa dahaga di siang hari dan kelelahan di malam hari." Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, "Kemulian seseorang terletak pada shalatnya di malam hari dan sikapnya menjauhi apa yang ada pada tangan orang lain."[35] Thalhah bin Mashraf berkata, "Aku mendengar bila seorang laki-laki bangun di waktu malam untuk melakukan shalat malam, Malaikat memanggilnya, 'Berbahagialah engkau karena engkau telah menempuh jalan para ahli ibadah sebelummu.'" Thalhah mengatakan lagi, "Malam itu pun berwasiat kepada malam setelahnya agar membangunkannya pada waktu di mana ia bangun." Thalhah mengatakan lagi, "Kebaikan turun dari atas langit ke pembelahan rambutnya dan ada penyeru yang berseru, 'Seandainya seorang yang bermunajat tahu siapa yang ia seru, maka ia tidak akan berpaling (dari munajatnya).‟”[36] Dari al-Hasan al-Bashri berkata, “Kami tidak mengetahui amal ibadah yang lebih berat daripada lelahnya
  • 7. 7 melakukan shalat malam dan menafkahkan harta ini.”[37] Al-Hasan juga pernah ditanya, “Mengapa orang yang selalu melakukan shalat Tahajjud wajahnya lebih indah?” Ia menjawab, “Sebab mereka menyendiri bersama ar-Rahman (Allah), sehingga Allah memberikan kepadanya cahaya-Nya.”[38] Syuraik berkata, “Barangsiapa yang banyak shalatnya di malam hari, maka wajahnya akan tampak indah di siang hari."[39] Yazid ar-Riqasyi berkata, "Shalat malam akan menjadi cahaya bagi seorang mukmin pada hari Kiamat kelak dan cahaya itu akan berjalan dari depan dan belakangnya. Sedangkan puasa seorang hamba akan menjauhkannya dari panasnya Neraka Sa'ir."[40] Wahab bin Munabih berkata, "Shalat di waktu malam akan menjadikan orang yang rendah kedudukannya, mulia, dan orang yang hina, berwibawa. Sedangkan puasa di siang hari akan mengekang seseorang dari dorongan syahwatnya. Tidak ada istirahat bagi seorang mukmin tanpa masuk Surga."[41] Al-Awza'i berkata, "Aku mendengar barangsiapa yang lama melakukan shalat malam, maka Allah akan meringankan siksanya pada hari Kiamat kelak."[42] Ishaq bin Suwaid berkata, "Orang-orang Salaf memandang bahwa berekreasi adalah dengan cara puasa di siang hari dan shalat di malam hari."[43] Saya katakan, "Dari pemaparan terdahulu jelaslah bahwa shalat malam memiliki keutamaan yang besar dan hanya orang yang merugi yang meninggalkannya." Kita berlindung kepada Allah dari kerugian dan hanya Dia-lah tempat memohon pertolongan. [Disalin dari kitab "Kaanuu Qaliilan minal Laili maa Yahja‟uun" karya Muhammad bin Su'ud al-„Uraifi diberi pengantar oleh Syaikh 'Abdullah al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir] Hukum Shalat Malam, Tata Cara Melakukan Shalat Malam HUKUM SHALAT MALAM Oleh Muhammad bin Suud Al-Uraifi Mayoritas ulama mengatakan bahwa hukum shalat malam adalah sunnah mu'akkadah (yang sangat) ditekankan berdasarkan al-Qur-an, as-Sunnah dan ijma' kaum muslimin. [1] Dari 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam datang kepadanya dan kepada putri beliau, Fathimah, di malam hari, lalu beliau berkata, "Mengapa kalian tidak shalat?" Aku ('Ali) berkata, "Wahai Rasulullah, jiwa kami ada di tangan Allah, jika Allah berkehendak membangunkan kami (untuk shalat) tentu kami akan bangun." Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam lalu pergi ketika kami mengatakan begitu dan beliau sama sekali tidak membalas kami hingga kemudian aku mendengarnya mengatakan sambil memukul pahanya. "Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah." [Al-Kahfi: 54].[2] Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam shalat pada suatu malam di masjid lalu orang-orang bermakmum dengannya. Kemudian beliau shalat lagi pada malam
  • 8. 8 berikutnya dan orang-orang yang shalat bersamanya bertambah banyak. Kemudian pada malam ketiga atau keempat orang-orang telah berkumpul, namun Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Ketika di pagi hari beliau berkata, "Aku telah mengetahui apa yang kalian lakukan dan aku tidak keluar menemui kalian melainkan karena aku takut shalat ini akan diwajibkan atas kalian." Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan.[3] Berdasarkan kedua hadits ini dan hadits-hadits lainnya al-Bukhari membuat sebuah bab dengan judul “Tahriidhin Nabiy Shallallahu „alaihi wa sallam 'ala Qayaamil Laili min Ghairi Iijaab" (Dorongan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam untuk melakukan shalat malam tanpa mewajibkannya.) Ibnu Hajar berkata, "Ibnu al-Munir mengatakan, judul bab ini mengandung dua hal; dorongan (untuk melakukan shalat malam) dan tidak mewajibkannya."[4] Komentar saya, Pada mulanya shalat malam diwajibkan lalu hukum itu dihapuskan, (berikut penjelasannya): Dari Sa'ad bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia bertanya kepada Ummul Mukminin 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, "Wahai Ummul Mukminin, ceritakanlah kepadaku tentang shalat malam yang dilakukan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam?" „Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, "Bukankah kamu telah membaca ayat ini, 'Wahai orang yang berselimut?'" Aku menjawab, "Ya." „Aisyah berkata, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan shalat malam di awal surat ini, lalu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan para Sahabatnya melakukannya selama setahun hingga telapak kaki mereka pecah-pecah. Akhir surat ini Allah tahan di atas langit selama dua belas bulan, lalu barulah Allah menurunkan keringanan di akhir surat ini, maka jadilah shalat malam tersebut shalat yang sunnah, untuk melengkapi shalat-shalat yang wajib."[5] ) "Bangunlah untuk shalat di malam hari kecuali sedikit daripadanya" dengan mengatakan, "Allah memerintahkan Nabi-Nya dan kaum mukmin untuk melakukan shalat di malam hari kecuali sedikit daripadanya, lalu hal itu membuat berat mereka sehingga Allah meringankannya dan mengasihani mereka dengan menurunkan ayat, "Allah tahu bahwa di antara kalian ada orang-orang yang sedang sakit." Dengan turunnya ayat ini Allah telah membuat mereka merasa lapang dan tidak sempit. Masa di antara turunnya dua ayat itu adalah setahun, yakni antara ayat, "Wahai orang yang berselimut, bangunlah untuk melakukan shalat di malam hari." Dan ayat "Bacalah apa yang mudah bagimu" [6] hingga akhir surat. Dalil-Dalil Lain Yang Menunjukkan Bahwa Shalat Malam Adalah Sunnah. Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia menceritakan, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bangun pada suatu malam lalu beliau berkata: . "Subhanallah, ujian apa yang Allah turunkan malam ini dan simpanan apa yang Dia turunkan bagi orang yang
  • 9. 9 membangunkan wanita-wanita yang tengah tidur di kamarnya. Wahai kaum, banyak wanita-wanita yang berpakaian di dunia tetapi telanjang di akhirat."[7] Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Tidak wajibnya melakukan shalat malam, diambil dari sikap Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang tidak mewajibkan para wanita tersebut melakukannya."[8] Dari Abu Umamah Radhiyallahu anhu ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Lakukanlah shalat malam oleh kalian, karena hal itu merupakan kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian. Ia pun dapat mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, menghapus segala kesalahan dan mencegah dari perbuatan dosa." [9] Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, yang di antara sabdanya adalah: . "Pelajarilah oleh kalian al-Qur-an dan bacalah, walaupun kalian tidak melakukan shalat malam dengan bacaan al-Qur-an itu, karena sesungguhnya perumpamaan orang yang mempelajari al-Qur-an lalu membacanya dan melakukan shalat malam dengan bacaan al-Qur-an itu, seperti kantung yang berisi minyak misik dan semerbaknya menyebar ke seluruh tempat. Sedangkan perumpamaan orang yang mempelajari al-Qur-an dan ia tidur (tidak bangun untuk melakukan shalat malam) sedang al-Qur-an itu ada dihafalannya, seperti kantung yang ditutup dengan minyak misik." [10] Seorang laki-laki berkata kepada Ibnu „Umar Radhiyallahu anhuma, "Sesungguhnya aku ingin melakukan shalat Tahajjud karena Allah, tapi aku tidak mampu karena lemah." Ibnu „Umar Radhiyallahu anhuma berkata, "Wahai anak saudaraku, tidurlah semampumu dan bertakwalah kepada Allah semampumu pula." [11] Sufyan rahimahullah berkata, "Seburuk-buruk keadaan seorang mukmin adalah saat ia tidur dan sebaik-baik keadaan orang yang jahat adalah saat ia tidur. Karena seorang mukmin bila ia terbangun ia selalu dalam keadaan taat kepada Allah dan itu lebih baik daripada ia tidur. Sedangkan orang yang jahat bila ia terbangun ia selalu dalam keadaan bermaksiat kepada Allah, maka tidurnya lebih baik daripada terjaganya." [12] TATA CARA MELAKUKAN SHALAT MALAM Tidak ada tata cara khusus dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tentang cara melakukan shalat malam, tetapi tata cara yang ada adalah beragam, sehingga seorang muslim boleh melakukan cara yang mana saja. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam bukunya Zaadul Ma'aad [13] membuat pasal dengan judul: "Pasal tentang tuntunan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dalam melakukan shalat malam" Di sini ia menyebutkan tata cara yang banyak tentang shalat malam yang bersumber dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam. Antara lain adalah: Pertama: Cara yang dikemukakan Ibnu „Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bangun pada malam hari lalu melakukan shalat dua raka'at dengan memperlama berdiri, ruku' dan sujud. Kemudian beliau pergi lalu tidur hingga meniup-niup. [14] Kemudian beliau melakukan itu sebanyak tiga kali dengan enam raka'at. Pada tiap kalinya beliau bersiwak dan berwudhu‟ dan beliau membaca, (hingga akhir surat). Kemudian beliau melakukan shalat Witir tiga raka'at, lalu muadzin adzan dan beliau keluar untuk melakukan shalat Shubuh… (dan seterusnya hingga akhir hadits).[15] Kedua: Cara yang disampaikan „Aisyah Radhiyallahu anhuma, yaitu Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan mengerjakan dua raka'at yang pendek, lalu beliau menyempurnakan rutinitasnya melakukan shalat sebanyak sebelas raka'at. Pada tiap dua raka'at beliau salam dan melakukan witir satu raka'at.
  • 10. 10 Ketiga: Tiga belas raka'at seperti cara yang kedua. Keempat: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melakukan shalat malam sebanyak delapan raka'at dengan salam pada tiap-tiap dua raka'at, lalu shalat Witir sebanyak lima raka'at sekaligus, tanpa duduk kecuali pada raka'at akhir.[16] Kelima: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam shalat sebanyak sembilan raka'at dengan melakukannya secara bersambung pada delapan raka'at tanpa duduk kecuali pada raka'at yang kedelapan, di mana di akhir raka'at ini beliau duduk untuk berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdo‟a kepada-Nya, lalu beliau bangun tanpa salam dan meneruskan raka'at yang kesembilan, lalu setelah itu duduk, membaca tasyahud dan salam. Se-telah salam beliau shalat lagi dua raka'at dengan duduk.[17] Keenam: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam shalat tujuh raka'at seperti cara melakukan sembilan raka'at sebelumnya, (yaitu enam raka'at dilakukan secara bersambung tanpa duduk kecuali pada raka'at akhir, di mana beliau duduk untuk berdzikir, memuji Allah dan berdo‟a kepada-Nya dan setelah itu bangun tanpa salam untuk melakukan raka'at yang ketujuh dan setelah itu baru beliau salam), lalu setelah salam beliau shalat dua raka'at dengan duduk. Ketujuh: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam shalat dua raka'at-dua raka'at lalu beliau shalat Witir tiga raka'at tanpa dipisahkan di antara tiga raka'at itu dengan salam (salam setelah tiga raka'at). Imam Ahmad meriwayatkan dari „Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam shalat Witir tiga raka'at tanpa dipisah-kan di antara raka'at-raka'at itu.[18] Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah berkata: "Cara yang kami pilih bagi orang yang melakukan shalat malam adalah, melakukannya dua raka'at-dua raka'at, dengan salam pada tiap-tiap dua raka'at itu, dan terakhir ditutup dengan satu raka'at, berdasarkan hadits-hadits ini." Perkataannya, "Ini pendapat kami" merupakan pilihan dan bukan sebuah kewajiban. Sebab telah diri-wayatkan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bahwa beliau shalat lima raka'at tanpa salam kecuali di akhirnya. Dengan demikian, maka sabda Nabi yang berbunyi, "Shalat itu dilakukan dua raka'at-dua raka'at," adalah sebuah pilihan. Sedangkan bagi yang menginginkan melakukannya tiga raka'at, atau lima raka'at, atau tujuh raka'at, atau sembilan raka'at tanpa salam kecuali di akhirnya, maka hal itu boleh, tetapi yang baik adalah, salam pada tiap dua raka'at dan witir satu raka'at. [19] Berdiri Dengan Lama: Di antara tuntunan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam adalah bahwa beliau memperlama berdiri dalam shalat. Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam lalu beliau memperlama berdirinya hingga aku ingin berbuat buruk." Ia ditanya, "Apa yang kamu akan lakukan?" Ia mengatakan, "Aku ingin saja duduk dan meninggalkan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam."[20] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam memilih memperlama berdiri dalam melakukan shalat malam, dan Ibnu Mas'ud adalah seorang yang kuat yang selalu mengikuti Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam. Ia tidak ingin duduk, kecuali setelah Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam berdiri lama sekali yang tidak biasanya beliau dilakukan."[21] Berdiri Dan Duduk Dalam Shalat Ibnul Qayyim mengemukakan, bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam memiliki tiga cara: [22] Pertama : Shalat dengan berdiri dan ini yang paling sering beliau lakukan. Kedua : Shalat dalam keadaan duduk dan ruku' dalam keadaan duduk pula. Ketiga : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam membaca surat dalam keadaan duduk dan bila bacaannya tinggal sedikit beliau bangun lalu ruku' dalam keadaan berdiri. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Ketiga cara itu bersumber secara shahih dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam."[23]
  • 11. 11 Etika Shalat Malam ETIKA SHALAT MALAM Oleh Muhammad bin Suud Al-Uraifi Sesungguhnya shalat malam memiliki beberapa etika yang merupakan tuntunan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dalam melakukannya. Di antaranya adalah: 1. Niat Bangun Untuk Shalat Ketika Akan Tidur Hal itu agar seseorang mendapatkan pahala shalat malam jika ia tidak melakukannya. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Sesungguhnya segala amal perbuatan ditentukan oleh niat."[1] An-Nasa-i dan lainnya meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Barangsiapa yang naik ke atas ranjangnya sedang ia telah berniat untuk bangun melakukan shalat di malam hari, namun ia tertidur hingga waktu Shubuh, maka ditulis baginya pahala apa yang ia niatkan dan tidurnya itu adalah sedekah dari Rabb-nya."[2] 2. Berdzikir ketika bangun tidur Apabila seseorang bangun dari tidurnya untuk melakukan shalat Tahajjud ia disunnahkan berdzikir kepada Allah. Ibnu „Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bila bangun pada waktu malam untuk melakukan shalat Tahajjud beliau membaca: . "Ya Allah bagi-Mu segala puji, Engkau Yang mengurus langit dan bumi dan semua makhluk yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala puji, milik-Mu kerajaan langit dan bumi dan makhluk yang ada di dalamnya. BagiMu segala puji, Engkau cahaya langit dan di bumi dan apa yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala puji, Engkau Raja di langit dan di bumi dan bagi semua makhluk yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala puji, Engkau adalah haq, janji-Mu adalah haq, berjumpa dengan-Mu adalah haq, firman-Mu adalah haq, Surga adalah haq, Neraka adalah haq, para Nabi adalah haq, Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam adalah haq dan hari Kiamat juga haq. Ya Allah hanya kepada-Mu aku pasrah, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakal, kepada-Mu aku kembali, dengan hujjah-Mu aku bertikai, kepada-Mu aku memohon putusan hukuman. Ampuni-lah dosaku yang lalu dan akan datang, yang tersembunyi dan yang terang-terangan. Engkau Yang mendahulukan dan Yang meng-akhirkan. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Engkau."[3] Abu Salamah bin „Abdurrahman bin „Auf berkata, "Aku bertanya kepada „Aisyah tentang apa yang pertama dibaca Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dalam memulai shalatnya ketika beliau shalat malam?' „Aisyah menjelaskan, 'Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bila melakukan shalat malam memulai shalatnya dengan membaca:
  • 12. 12 . "Ya Allah, Rabb Malaikat Jibril, Mika‟il dan Israfil, Pencipta langit dan bumi dan Yang Mengetahui yang tersembunyi dan yang terlihat, Engkau yang memutuskan di antara hamba-hamba-Mu apa yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah kepadaku pada apa yang benar dari apa yang diperselisihkan itu dengan izin-Mu, sesungguhnya Engkau yang menunjukan kepada siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus."[4] An-Nawawi rahimahullah berkata dalam al-Majmuu', "Disunnahkan bagi setiap orang yang bangun untuk melakukan shalat malam, mengusap (menghilangkan) rasa kantuk dari wajahnya, bersiwak, memandang ke atas langit dan membaca a ), (hingga akhir surat). Cara ini dijelaskan dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam."[5] 3. Bersiwak Ketika Bangun Untuk Melakukan Shalat Malam Hal ini berdasarkan hadits riwayat Hudzaifah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bila bangun di malam hari untuk melakukan shalat Tahajjud beliau menggosok mulutnya dengan siwak.[6] Diriwayatkan dari Ibnu „Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa ia tidur dekat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam lalu ia bangun, lalu bersiwak dan berwudhu‟.[7] 4. Membangunkan Keluarga Untuk Melakukan Shalat Tahajjud Hal ini demi menjalankan firman Allah: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa..." [Al-Maa-idah: 2]. Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bangun pada suatu malam lalu beliau berkata: . "Subhanallaah, ujian apa yang Allah turunkan malam ini dan simpanan apa yang Dia turunkan untuk orang yang membangunkan istri-istrinya.Wahai kaum, banyak wanita-wanita yang berpakaian di dunia tapi telanjang pada hari Kiamat kelak."[8] 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepadanya dan kepada Fathimah pada suatu malam, "Tidakkah kalian melaksanakan shalat?"[9] Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Ibnu Bathal menjelaskan bahwa di dalam hadits ini terkandung keutamaan shalat malam dan membangunkan orang-orang yang masih tidur dari anggota keluarga dan kerabat untuk juga melakukannya."[10] Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, "Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam shalat pada malam hari dan bila beliau melakukan shalah witir beliau berkata: 'Bangunlah dan shalat Witirlah wahai „Aisyah!'"[11] 5. Mengawali Shalat Malam Dengan Melakukan Shalat Dua Raka'at Yang Pendek Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, "Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bila bangun di malam hari untuk melakukan shalat, beliau mengawalinya dengan shalat dua raka'at yang pendek."[12] Dari Zaid bin Khalid al-Juhani Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Demi Allah aku melihat shalat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam di malam hari. Beliau shalat dua raka'at yang pendek dan kemudian shalat dua raka'at yang panjang."[13]
  • 13. 13 Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, beliau bersabda: . "Bila seseorang dari kalian bangun di malam hari hendaklah ia mengawali shalatnya dengan melakukan shalat dua raka'at yang pendek."[14] An-Nawawi rahimahullah berkomentar, "Hadits ini menunjukkan disunnahkannya mengawali shalat Tahajjud dengan melakukan dua raka'at yang pendek agar seseorang semangat untuk melakukan raka'at-raka'at selanjutnya."[15] 6. Menangis Saat Membaca Al-Qur-an Dan Merenungkannya Adapun menangis, maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bila shalat terdengar darinya suara seperti suara periuk, karena tangisan.[16] Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepadaku, 'Bacakanlah al-Qur-an kepadaku!' Aku berkata, 'Apakah aku pantas membacakan al-Qur-an kepadamu, sedangkan kepadamulah al-Qur-an itu diturunkan?' Beliau berkata, 'Sesungguhnya aku senang mendengarkannya dari orang lain.' Maka akhirnya aku pun membacakan kepadanya ayat dalam surat an-Nisaa', hingga saat sampai pada ayat: 'Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiaptiap umat dan Kami mendatangkan ka-mu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (se-bagai umatmu).' [AnNisaa'/4: 41]. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, 'Cukuplah!' Ketika aku mengangkat kepalaku, aku melihat air mata mengalir dari matanya."[17] Al-Hasan berkata, "„Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu membaca ayat yang rutin ia baca pada malam hari, lalu ia menangis hingga terjatuh dan ia tetap berada di rumah sampai ia dijenguk karena sakit."[18] Adapun merenungkan dan menghayati bacaan ayat-ayat al-Qur-an maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam adalah teladan dalam masalah ini. Bahkan kadang beliau shalat di malam hari hanya membaca satu ayat saja sebagaimana yang tersebut dalam riwayat 'Aisyah Radhiyallahu anhuma.[19] Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: "Demi Allah membaca surat al-Baqarah dengan tartil dan merenungkannya lebih aku sukai daripada membaca seluruh al-Qur-an dalam satu malam."[20] 7. Berdo’a Dalam Shalat Malam Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam senantiasa memperbanyak do‟a dalam shalatnya dan juga dalam Tahajjudnya, karena pada waktu-waktu tersebut kemungkinan besar dikabulkannya do‟a. Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . 'Sesungguhnya di malam hari terdapat suatu waktu, yang apabila seorang muslim memohon kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat bertepatan dengan waktu itu, Allah pasti mengabulkannya dan waktu itu ada di setiap malam.'"[21] 8. Tidak Memberatkan Jiwa Dalam Menjalankan Ketaatan Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Sesungguhnya agama ini mudah dan siapapun yang memberatkannya pasti akan kepayahan, oleh karenanya bersikap adillah (sedang-sedang saja dalam beribadah), men-dekatkan dirilah, berbahagialah dan jadikanlah
  • 14. 14 waktu pagi, siang dan sebagian waktu malam untuk melakukan ibadah."[22] Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia bercerita, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam datang kepadanya dan ketika itu ia tengah bersama seorang wanita. Beliau bertanya, "Siapakah ini?" „Aisyah menjawab, "Ini Fulanah yang dikenal sangat giat dalam shalat." Beliau berkata: "Mah (hentikanlah), lakukanlah apa yang kalian mampu melakukannya! Demi Allah, Allah tidak pernah merasa bosan sampai kalian sendiri yang bosan, dan beragama yang paling dicintai Allah adalah yang dijalankan seseorang secara terus-menerus."[23] Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Kata 'mah' merupakan isyarat dimakruhkannya hal itu, karena khawatir kelemahan dan kebosanan akan menimpa si pelakunya. Tujuannya adalah agar ia tidak berhenti dari menjalankan amal ibadah yang biasa ia lakukan, sehingga ia menarik diri dari apa yang telah ia berikan kepada Rabb-nya."[24] 9. Tidak Melakukan Shalat Tahajjud Jika Mengantuk Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam: . "Bila seseorang dari kalian mengantuk dalam shalatnya, maka hendaklah ia tidur agar ia mengetahui apa yang yang dibacanya."[25] Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Bila seseorang dari kalian mengantuk dalam shalatnya, hendaklah ia tidur agar rasa kantuknya hilang. Sebab bila seseorang dari kalian shalat dalam keadaan mengantuk bisa jadi dia memohon ampunan kepada Allah, lalu ia mencaci dirinya sendiri."[26] An-Nawawi rahimahullah memberikan komentarnya, "Di dalam hadits ini terdapat dorongan shalat dalam keadaan khusyu', konsentrasi hati dan semangat. Di dalamnya juga terdapat perintah tidur kepada orang yang mengantuk atau yang sejenisnya yang bisa menghilangkan rasa kantuk itu."[27] 10. Tidur Setelah Melakukan Shalat Tahajjud Disunnahkan bagi seorang mukmin setelah melakukan shalat Tahajjud untuk tidur. Yaitu pada waktu sahur dan inilah salah satu tuntunan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam. 'Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, "Aku tidak mendapati Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pada waktu Sahur di rumahku atau di dekatku melainkan dalam keadaan tidur."[28] 'Abdul Qadir al-Jailani al-Hanbali, seseorang yang hidup zuhud pada masanya berkata, "Disunnahkan bagi orang yang melakukan shalat Tahajjud untuk tidur pada akhir malam karena dua hal: (1) Hal itu dapat melenyapkan rasa kantuk di pagi hari. (2) Tidur di akhir malam dapat menghilangkan warna kekuningan di wajah. Karena bila seseorang kelelahan dan tidak tidur maka akan ada warna kekuningan di wajahnya. Seyogyanya seseorang menghilangkannya, karena itu merupakan pintu yang samar dan termasuk bentuk popularitas yang tersembunyi serta termasuk syirik yang samar. Sebab ia akan mendapat acungan jempol (dipuji orang) dan akan dikira sebagai orang yang shalih yang senantiasa bergadang (untuk beribadah), berpuasa dan takut kepada Allah karena ada warna kekuningan di wajahnya. Kita berlindung kepada Allah dari perbuatan syirik dan riya' serta hal-hal yang membawa kepadanya."[29] 11. Berdo’a Seusai Shalat Dari 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam setiap usai shalat Witir membaca: . "Ya Allah sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari murka-Mu, dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu. Aku tak mampu menghitung pujian terhadap-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau pujikan terhadap diri-Mu sendiri."[30]
  • 15. 15 Syamsul Haqqil „Azhim Abadi berkata, "Yakni berdo‟a setelah salam, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain."[31] Manfaat Shalat Malam, Meninggalkan Shalat Tahajjud MANFAAT SHALAT MALAM [1] Oleh Muhammad bin Suud Al-Uraifi Di antara manfaat shalat Tahajjud adalah: Pertama: Seorang manusia bila ia berdiri melakukan shalat Tahajjud karena Allah, maka ia akan mudah berdiri pada hari di mana semua manusia akan berdiri menghadap kepada Rabb alam semesta. Namun bila seseorang bersenang-senang dan menghabiskan hari-harinya dengan kesia-siaan maka ia akan mendapatkan kesulitan di akhirat sana. Maka seseorang yang lelah di dunia ini, akan senang, bahagia dan menikmati suasana di akhirat sana. Kedua: Laki-laki yang senantiasa melakukan shalat Tahajjud akan diberikan oleh Allah pada hari Kiamat kelak istri-istri yang banyak dari kalangan bidadari. Balasan adalah sesuai dengan amal perbuatan manusia. Ketiga: Mendapatkan kesehatan badan. Seseorang yang bangun di waktu malam untuk melakukan shalat Tahajjud wajahnya akan dijadikan oleh Allah berwibawa, bersinar dan bercahaya. Keempat: Hidayah, taufik dan bimbingan manusia kepada kebaikan segala urusannya ada-lah bila ia menunaikan hak-hak Allah. Maka Allah akan menunjukinya kepada jalan-jalan kebaikan tanpa ia sadari dan berbagai faidah, pe-mahaman dan karunia datang di tengah gelapnya malam. Bila manusia tidak mampu memahami sesuatu lalu ia bangun untuk melakukan shalat malam maka Allah akan membukakan pemaha-man kepadanya. Kelima: Ini adalah manfaat yang paling besar dan agung, yaitu melihat Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Bila para ahli ibadah mengetahui bahwa mereka tidak akan melihat Rabb-nya pada hari Kiamat kelak, maka mereka akan binasa sebagaimana dikemukakan oleh al-Hasan al-Bashri.[2] MENINGGALKAN SHALAT TAHAJJUD Keadaan orang yang meninggalkan shalat Tahajjud dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: Pertama: Orang yang meninggalkan rutinitas shalat Tahajjudnya Yaitu orang yang tidak bisa melakukan shalat Tahajjud karena ada suatu halangan, seperti sakit, atau ketiduran, atau lainnya. Orang seperti ini dengan izin Allah, tetap dituliskan pahala untuknya sebagaimana hadits yang telah dikemukakan sebelumnya. Namun demikian mereka disunnahkan mengqadha‟ shalat Tahajjudnya yang tertinggal itu di siang hari dengan tanpa melakukan witir. Dari 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
  • 16. 16 . "Barangsiapa yang tertidur dari wiridnya atau dari kebiasaannya yang lain, lalu ia membaca bacaannya tersebut pada waktu antara shalat Fajar dan shalat Zhuhur, maka dituliskan untuknya pahala seperti ia membacanya di malam hari."[3] Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan: . "Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bila di malam hari tidur karena sakit atau lainnya sehingga beliau tidak melakukan shalat Tahajjud, maka di siang harinya beliau shalat sebanyak dua belas raka'at."[4] Kedua: Orang yang meninggalkan shalat Tahajjud setelah sebelumnya rutin melakukannya Ketahuilah semoga Allah merahmati kita dan Anda, bahwa tidak seyogyanya Anda meninggal-kan shalat Tahajjud, bila anda termasuk orang yang suka melakukannya. Sebab itu mengindikasikan Anda berpaling dari ibadah. 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash mengatakan, "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepadaku: . 'Wahai „Abdullah, janganlah kamu seperti si Fulan, dahulunya ia suka melakukan shalat Tahajjud, lalu tidak melakukannya lagi."[5] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Hadits ini menunjukkan disunnahkannya melakukan kebaikan yang biasa dilakukan secara terus-menerus tanpa mengabaikannya. Dari hadits ini juga dapat dipetik kesimpulan tentang dimakruhkannya menghentikan ibadah, walaupun ibadah tersebut bukan ibadah yang wajib."[6] Ketiga: Orang yang tidak pernah melakukan shalat malam sama sekali Tanpa diragukan lagi, bahwa orang yang tidak melakukan shalat Tahajjud telah mengabaikan menjalin komunikasi dengan Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Bagaimana seorang mengaku mencintai Allah, lalu ketika terbuka kesempatan baginya untuk ber-khalwah (menyendiri menunajat kepada Allah), ia justru meremehkannya, bermalas-malasan dan tidur. Ia tidak mau untuk menerima shalat Tahajjud ini, yang mana ia merupakan tempatnya berlindung. Ia justru menyia-nyiakan keutamaan dan pahala yang besar serta dorongan Allah untuk melakukan shalat Tahajjud. Hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan atas minimnya bagian yang diperoleh dan hilangnya taufik-Nya. Perhatikanlah sangsi yang diterima oleh orang yang meninggalkan shalat malam! Dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam diceritakan tentang seseorang yang tidur, tidak bangun-bangun hingga pagi hari, lalu beliau bersabda, . 'Itu adalah seseorang yang telinganya di-kencingi syaitan!'"[7] Al-Bukhari rahimahullah berkata, “'Aqdusy Syaithaani 'ala Qaafiyatir Ra‟-si idza lam Yushalli bil Lail, "Bab: Ikatan syaitan mengikat ikatan di pangkal kepala seseorang, apabila ia tidak melakukan shalat Tahajjud." Kemudian ia meriwayatkan hadits melalui sanadnya yang sampai kepada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Syaitan mengikat sebanyak tiga ikatan di pangkal kepala seseorang dari kalian ketika ia tidur, yang pada masing-masing ikatan itu tertulis, 'Malammu panjang, maka tidurlah!' Bila ia bangun lalu berdzikir kepada Allah, maka satu ikatan lepas, lalu bila ia berwudhu‟ satu ikatan lagi lepas, lalu bila ia shalat satu ikatan lagi lepas. Maka di pagi harinya ia memiliki semangat dan dengan jiwa yang baik. Namun jika ia tidak melakukan hal itu, maka jiwanya dalam keadaan buruk dan ia pemalas."[8]
  • 17. 17 Sebagian kaum Salaf mengatakan, "Bagaimana mungkin seseorang bisa selamat dari buruknya hisab, sedangkan di malam hari ia tidur dan di siang hari ia bermain-main?" Berusahalah wahai saudaraku -semoga Allah melindungi Anda- untuk melakukan shalat Tahajjud, walaupun hanya dua raka'at yang ringan (pendek) sebelum Fajar, karena di dalamnya terdapat keberkahan. Raka'at yang sedikit dari shalat di malam hari adalah terhitung banyak. Bersabarlah atas hal itu dan lakukanlah secara kontinyu, karena dengan bersabar, khusyu', meminta dan merendah kepada Allah engkau akan mendapat keteguhan, pertolongan dan hilangnya kelelahan serta beban yang berat. Faktor-Faktor Yang Memudahkan Shalat Tahajjud FAKTOR-FAKTOR YANG MEMUDAHKAN SHALAT TAHAJJUD Oleh Muhammad bin Suud Al-Uraifi Sesungguhnya melakukan shalat Tahajjud dan mengekang dorongan hawa nafsu dan syaitan, adalah sesuatu yang teramat berat dan sulit kecuali bagi orang yang dimudahkan dan ditolong oleh Allah. Ada beberapa faktor yang bisa membantu dan memotivasi seseorang untuk melakukan shalat Tahajjud serta memudahkannya dengan izin Allah. Faktor ini terbagi dua bagian; sarana lahir dan sarana batin. Faktor Lahir: 1. Menjauhi Perbuatan Dosa Dan Maksiat Yaitu, tidak melakukan perbuatan dosa di siang hari dan di malam hari, karena hal itu bisa membuat hati keras dan menghalangi seseorang dari curahan rahmat. Seorang laki-laki bertanya kepada al-Hasan al-Bashri, "Wahai Abu Sa'id, semalaman aku dalam keadaan sehat, lalu aku ingin melakukan shalat malam dan aku telah menyiapkan kebutuhan untuk bersuci, tapi mengapa aku tidak dapat bangun?" Al-Hasan menjawab, "Dosa-dosamu mengikatmu."[1] Sufyan ats-Tsauri berkata, "Selama lima bulan aku merugi tidak melakukan shalat Tahajjud karena dosa yang aku perbuat." Ia ditanya, "Apakah dosa yang engkau lakukan?" Ia menjawab: "Aku melihat seseorang menangis, lalu aku berkata dalam diriku, 'Orang ini riya'.'"[2] Sebagian orang shalih berkata, "Betapa banyak makanan yang bisa menghalangi orang melakukan shalat Tahajjud dan betapa banyak pandangan yang membuat orang rugi tidak membaca sebuah surat. Sesungguhnya seorang hamba kadang memakan suatu makanan atau melakukan suatu perbuatan lalu ia diharamkan karenanya dari melakukan shalat Tahajjud selama setahun."[3] Fudhail bin 'Iyadh berkata, "Bila kamu tidak mampu melakukan shalat Tahajjud di malam hari dan puasa di siang hari maka kamu adalah orang yang merugi."[4] Saudaraku, tinggalkanlah kemaksiatan dan dosa jika engkau mengharapkan berkhalwah (menyendiri) dengan Allah Yang Mahamengetahui segala yang ghaib! 2. Tidak Meninggalkan Tidur Siang Karena Itu Adalah Sunnah Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Jadikanlah makanan sahur sebagai sarana untuk membantumu melakukan puasa di siang hari dan tidur pada tengah hari sebagai sarana untuk membantumu melakukan shalat Tahajjud."[5]
  • 18. 18 Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mendorong untuk melakukan hal-hal yang dapat membantu, menggiatkan dan menjadikan orang beramal dengan terus-menerus. Sebab sibuk di siang hari hingga tidak tidur pada tengah hari dapat membuat fisik lemah dan di malam hari tidur menjadi nyenyak. Al-Hasan al-Bashri bila datang ke pasar dan mendengar hiruk pikuk orang-orang di sana, ia berkata, "Aku mengira malam mereka adalah malam yang buruk (karena tidur nyenyak dan tidak bertahajjud), mengapa mereka tidak tidur tengah hari?"[6] 3. Tidak Memperbanyak Makan Sebab orang yang banyak makan akan banyak minum akan terlelap dalam tidur dan berat untuk melakukan shalat Tahajjud. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallambersabda: . "Tidak ada wadah yang paling buruk yang diisi manusia selain perutnya, cukuplah seorang anak Adam menyantap beberapa suap makanan saja yang dapat mengokohkan tulang punggungnya. Jika memang ia harus mengisi perutnya maka hendaknya ia mem-berikan sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga lagi untuk nafasnya."[7] Diriwayatkan bahwa iblis menampakkan dirinya kepada Yahya bin Zakariya dengan membawa beberapa buah sendok. Yahya bertanya kepadanya, "Untuk apakah sendok-sendok ini?" Iblis menjawab, "Ini adalah syahwat yang aku gunakan untuk menjebak anak keturunan Adam." Yahya bertanya kepadanya, "Apakah engkau mendapatkan sesuatu dari jebakan atau diriku?" Ia menjawab, "Ya, tadi malam engkau kenyang, lalu aku menjadikanmu berat untuk melakukan shalat Tahajjud." Yahya berkata, "Aku pasti tidak akan mengenyangkan perutku lagi selamanya." Iblis berkata, "Aku pasti tidak akan memberi nasihat (saran) kepada siapa pun setelah saranku ini kepadamu."[8] Wahab bin Munabih berkata, "Tidak ada anak keturunan Adam yang lebih disukai syaitan selain tukang makan dan tukang tidur." [9] Mis'ar bin Kadam berkata: Aku temukan rasa lapar dapat disingkirkan Dengan roti dan segenggam air sungai Eufrat. Sedikit makanan dapat membantu orang yang shalat Dan banyak makanan justru membantu orang-orang yang suka mencela. [10] 4. Tidak Membebankan Fisik Di Siang Hari Misalnya dengan memberikan pekerjaan yang sangat berat dan membebaninya dengan pekerjaan yang membuat fisik dan otot lemah di siang hari. Hal ini akan membuat rasa kantuk di malam hari. 5. Mengamalkan Sunnah Saat Tidur Yaitu dengan berupaya melakukan: (1). Membaca dzikir-dzikir yang dianjurkan sebelum tidur, karena itu semakin memperkokoh hubungan hamba dengan Rabb-nya. (2). Tidur di atas lambung sebelah kanan. Ibnul Qayyim rahimahullah menguraikan rahasia di balik cara tidur seperti ini dengan mengemukakan, "Tidur dengan cara berbaring di atas lambung sebelah kanan memiliki rahasia. Yaitu, bahwa hati berada di sebelah kiri, maka bila seseorang tidur di atas lambung kirinya, ia akan tidur sangat nyenyak karena dia dalam kondisi tenang dan nyaman sehingga tidur jadi nyenyak. Sementara bila ia tidur di atas lambung sebelah kanan, tidurnya tidak nyenyak karena hatinya tidak menentu (gelisah) ingin mencari tempat menetapnya. Karena itulah para ahli medis menganjurkan tidur dengan posisi di atas lambung sebelah kiri karena itulah posisi istirahat yang paling
  • 19. 19 sem-purna dan tidur yang paling nyaman. Sedang-kan agama menyunnahkan tidur di atas lambung sebelah kanan agar tidurnya tidak nyenyak se-hingga tidak meninggalkan shalat Tahajjud. Jadi tidur di atas lambung sebelah kanan bermanfaat bagi hati dan di atas sebelah kiri bermanfaat bagi tubuh. Wallaahu a'lam."[11] Faktor Batin: Faktor batin ini dijelaskan Imam al-Ghazali rahimahullah dalam bukunya Ihyaa' „Uluumid Diin: 1. Membersihkan hati dari sifat dengki terhadap kaum muslimin, dari perbuatan bid'ah dan dari keinginan duniawi yang berlebihan. Sebab orang yang mencurahkan sepenuh pikirannya untuk urusan duniawi tidak akan mudah melakukan shalat Tahajjud. Kalau pun ia melakukannya, dalam shalatnya yang dipikirkan hanyalah urusan duniawi dan yang terbayang dalam pikiranya hanyalah bisikan-bisikan dunia tersebut. 2. Rasa takut yang mendominasi hati disertai angan-angan hidup yang pendek. Sebab bila seseorang merenungkan huru-hara kehidupan akhirat dan tingkatan terbawah Neraka Jahannam maka tidurnya tidak akan nyenyak dan takutnya sangat besar, sebagaimana dikatakan Thawus, "Mengingat Neraka Jahannam menjadikan tidurnya ahli ibadah tidak nyenyak." Al-Qur-an dengan janji dan ancamannya Membuat mata tidak dapat tidur di malam hari. Mereka memahami firman Raja Yang Mahaagung (Allah) Lalu mereka merendah dan tunduk kepada-Nya. 3. Mengetahui keutamaan shalat Tahajjud dengan menyimak ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar-atsar, hingga timbul keinginan dan kerindu-annya terhadap pahalanya sangat besar. Rasa rindu itu kemudian mendorongnya untuk mendapatkan pahala yang lebih dan keinginan mencapai dejarat Surga. 4. Ini adalah faktor yang paling mulia. Yaitu mencintai Allah dan keyakinan yang kuat, bahwa dalam shalat Tahajjud dia tidak mengucapkan satu huruf pun melainkan ia tengah bermunajat kepada Rabb-nya dan menyaksikan-Nya, disertai dengan kesaksiannya terhadap apa yang terlintas di hatinya. Bisikan yang ada di dalam hatinya yang datang dari Allah itu adalah pembicaraannya dengan-Nya. Bila ia telah mencintai Allah, pasti ia ingin berduaan bersama-Nya dan menikmati munajat dengan-Nya, sehingga hal itu mendorongnya untuk berlama-lama dalam shalat. Kenikmatan ini tidaklah mustahil dan generasi Salaf kita telah merasakannya. Abu Sulaiman berkata, "Seandainya Allah memperlihatkan kepada orang-orang yang senantiasa melakukan shalat Tahajjud pahala dari amal mereka, tentu kenikmatan yang mereka rasakan lebih besar dari pahala yang mereka dapat." Ibnu al-Munkadir berkata, "Tidak ada kenikmatan dunia kecuali tiga; shalat Tahajjud, berkumpul bersama saudara seiman dan shalat dengan berjama'ah." Ketahuilah bahwa karunia dan kenikmatan inilah yang paling diharapkan, karena shalat malam dapat membuat hati bersih dan menyingkirkan segala problem kehidupan.[12] Disyari’atkannya Shalat Sunnah Dan Keutamaannya DISYARI‟ATKANNYA SHALAT SUNNAH DAN KEUTAMAANNYA Oleh Muhammad bin Suud Al-Uraifi
  • 20. 20 Disyari‟atkannya Shalat Sunnah Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah mensyari‟atkan shalat sunnah untuk meningkatkan amal manusia dan menutupi segala kekurangan dan kelalaian yang ada, sebagaimana hal itu diperintahkan oleh Allah dalam KitabNya yang agung, Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman: "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada sebagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat." [Huud/11: 114] Dan Allah Subhanahu wa Ta‟ala juga berfirman: "Apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabb-mulah hendaknya kamu berharap." [Al-Insyirah/94: 7-8] Ibnu Mas„ud Radhiyallahu anhu berkata: "Apabila engkau telah selesai melaksanakan shalat-shalat wajib maka laksanakanlah shalat malam."[1] Sementara Mujahid mengatakan, “Jika engkau telah menyelesaikan urusan duniamu, maka menghadaplah kepada Rabb-mu dengan shalat.” Juga di antara dalil yang menunjukkan tentang disyari‟atkannya shalat malam, adalah hadits yang menyebutkan: ). "Bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tentang (kewajiban-kewajiban) dalam Islam, lalu beliau menjawab, '(Melaksanakan) shalat lima waktu dalam sehari semalam.' Orang itu bertanya lagi, 'Adakah kewajiban lain atas diriku?' Beliau menjawab, 'Tidak ada, kecuali engkau mengerjakan shalat sunnah.'"[2] Keutamaan Shalat Sunnah Banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang besarnya keutamaan dan pahala yang diperoleh dari shalat sunnah. Di antaranya adalah: 1. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: - - . berfirman kepada para Malaikat-Nya, sedangkan Ia lebih mengetahui, 'Lihatlah shalat hamba-Ku, sudahkah ia melaksanakannya dengan sempurna ataukah terdapat kekurangan?' Bila ibadahnya telah sempurna maka ditulis untuknya pahala yang sempurna pula. Namun bila ada sedikit kekurangan, maka Allah berfirman, 'Lihatlah apakah hambaku memiliki shalat sunnah?' Bila ia memiliki shalat sunnah, maka Allah berfirman, 'Sempurnakanlah untuk hamba-Ku dari kekurangannya itu dengan shalat sunnahnya.' Demikianlah semua ibadah akan menjalani proses yang serupa."[3] Komentar saya (penulis): Hadits ini menjelaskan salah satu hikmah tentang disyari‟atkan-nya shalat sunnah. 2. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
  • 21. 21 . "Barangsiapa yang melakukan shalat sunnah selain shalat fardhu dalam sehari dua belas raka'at, maka Allah pasti akan membangunkan untuknya sebuah rumah di Surga."[4] 3. Rubai'ah bin Ka'ab al-Aslami Radhiyallahu anhu berkata: ). "Suatu hari aku bersama Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, lalu aku membawakan kepadanya bejana air untuk beliau berwudhu‟ dan segala keperluannya. Beliau berkata kepadaku, 'Mintalah!' Aku berkata, 'Aku meminta kepadamu untuk dapat menemanimu di Surga kelak.' Beliau bertanya, 'Adakah selain itu?' Aku menjawab, 'Hanya itu saja.' Beliau bersabda, 'Bantulah aku untuk mewujudkan keinginanmu itu dengan memperbanyak sujud.'"[5] 4. Mi'dan bin Abi Thalhah al-Ya'muri berkata, "Aku bertemu Tsauban, bekas budak Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, lalu aku berkata kepadanya, 'Beritahukanlah kepadaku tentang amal ibadah yang jika aku lakukan, maka Allah akan memasukkanku karenanya ke dalam Surga!' Ia terdiam, lalu aku bertanya lagi. Ia masih terdiam, lalu aku bertanya lagi ketiga kalinya. Akhirnya ia berkata, 'Aku telah menanyakan masalah ini kepada Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dan beliau bersabda: . "Perbanyaklah sujud kepada Allah, karena tidaklah engkau bersujud kepada Allah dengan satu kali sujud, melainkan Allah akan mengangkat bagimu satu derajat karenanya dan menghapuskan bagimu satu dosa karenanya." Mi'dan berkata: "Lalu aku bertemu Abud Darda' dan aku tanyakan masalah ini kepadanya juga. Ia menjawab seperti jawaban yang diberikan Tsauban."[6] Yang dimaksud dengan sujud dalam hadits ini adalah melakukan shalat sunnah. Karena bersujud secara terpisah tanpa dilakukan dalam shalat atau tanpa sebab merupakan sesuatu yang tidak dianjurkan. Bersujud, walaupun termasuk dalam shalat fardhu, namun melaksanakan shalat fardhu adalah kewajiban atas setiap muslim. Maka yang ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam di sini adalah, sesuatu yang khusus yang dengannya Mi'dan dapat meraih apa yang ia cari.[7] Oleh karena itulah Ibnu Hajar meriwayatkan hadits Rabi'ah ini dalam bab shalat sunnah.[8] 5. Dari Abu Umamah Radhiyallahu anhu, ia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Tidak ada sesuatu yang lebih baik yang Allah izinkan kepada seorang hamba selain melaksanakan shalat dua raka'at dan sesungguhnya kebajikan akan bertaburan di atas kepala seorang hamba selama ia melakukan shalat."[9] Hadits tersebut menunjukkan keutamaan shalat sunnah dan kebaikan yang didapat darinya. Disukai Melaksanakan Shalat Sunnah Di Rumah Muslim meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: - - . "Apabila salah seorang di antara kalian shalat di masjid, maka hendaknya ia pun menjadikan sebagian dari shalatnya di rumah, karena Allah Azza wa Jalla akan memberikan kebaikan dalam rumahnya dari shalatnya itu."[10] Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
  • 22. 22 . "Shalatlah di rumah-rumah kalian karena sebaik-baik shalat seseorang adalah yang dilaksanakan di rumahnya kecuali shalat wajib."[11] Anjuran dalam hadits-hadits ini bersifat umum yang meliputi semua jenis shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah secara mutlak kecuali shalat sunnah yang menjadi bagian dari syi'ar Islam, seperti shalat „Id, shalat gerhana dan shalat Istisqa'. Demikian apa yang dikemukakan oleh Imam an-Nawawi.[12] Dari Ibnu „Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Jadikanlah tempat pelaksanaan sebagian shalatmu di rumah-rumah kalian, dan janganlah jadikan rumah-rumah kalian itu seperti kuburan."[13] Saya (penulis) katakan, "Hadits-hadits ini menunjukkan tentang disunnahkannya shalat sunnah di rumah dan itu lebih baik daripada melakukannya di masjid sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits." An-Nawawi rahimahullah berkata, "Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mendorong melakukan shalat sunnah di rumah, karena hal itu lebih tersembunyi, jauh dari perbuatan riya', terjaga dari segala hal yang bisa merusak amal, rumah menjadi penuh berkah, rahmat serta Malaikat pun turun dan syaitan pun menjauh darinya."[14] [Disalin dari kitab "Kaanuu Qaliilan minal Laili maa Yahja‟uun" karya Muhammad bin Su'ud al-„Uraifi diberi pengantar oleh Syaikh 'Abdullah al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Keutamaan Shalat Witir Dan Anjuran Untuk Mengerjakannya KEUTAMAAN SHALAT WITIR DAN ANJURAN UNTUK MENGERJAKANNYA Oleh Muhammad bin Suud Al-Uraifi Sesungguhnya shalat Witir memiliki keutamaan yang besar dan memiliki urgensi yang cukup besar. Dalil yang paling kuat untuk hal itu adalah, bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya, baik ketika sedang berada di rumah ataupun dalam bepergian. Inilah dalil yang cukup jelas mengenai betapa pentingnya shalat Witir tersebut. Di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah: Dari Abu Bashrah al-Ghifari Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . 'Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah memberi kalian tambahan shalat, yaitu shalat Witir, maka shalat Witirlah kalian antara waktu shalat 'Isya' hingga shalat Shubuh.'" [HR. Ahmad].[1] Dari 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
  • 23. 23 bersabda: . "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah memberi kalian tambahan shalat, maka peliharalah dia, yaitu shalat Witir."[2] Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam juga bersabda: . "Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan shalat Witir."[3] Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, "Kekasihku Shallallahu „alaihi wa sallam, mewasiatkan kepadaku tiga perkara yang tidak akan aku tinggalkan hingga aku wafat; berpuasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha dan tidur setelah shalat Witir."[4] Dari 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Sesungguhnya Allah itu ganjil dan menyukai orang-orang yang melakukan shalat Witir, maka shalat Witirlah, wahai para ahli al-Qur-an."[5] Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma berkata, "Barangsiapa shalat sunnah di malam hari maka hendaklah ia menjadikan akhir shalatnya adalah shalat Witir, karena Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan hal itu."[6] Dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu anhu, ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Shalat Witir adalah haq (benar adanya), maka barangsiapa yang mau, maka berwitirlah lima raka'at, barangsiapa yang mau, berwitirlah tiga raka'at dan barangsiapa yang mau, berwitirlah satu raka'at."[7] Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma ia menuturkan, "Bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam shalat di malam hari (shalat Tahajjud) sedang ia berbaring di hadapannya. Bila tinggal tersisa shalat Witir yang belum dilaku-kan, beliau pun membangunkannya, dan 'Aisyah pun lalu shalat Witir."[8] Saya katakan, "Hadits-hadits di atas menunjukkan keutamaan shalat Witir dan disunnahkan senantiasa menjaganya."
  • 24. 24 Hukum Shalat Witir HUKUM SHALAT WITIR Oleh Muhammad bin Suud Al-Uraifi Hukum shalat Witir adalah sunnah muakkadah, bukan wajib.[1] Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama yang terdiri dari para sahabat dan ulama setelah mereka, disertai dengan kesepakatan mereka (ijma‟) bahwa shalat Witir itu tidak fardhu. Adapun pendapat dari ulama madzhab Hanafi menyatakan, bahwa shalat Witir itu adalah wajib, bukan fardhu.[2] Sedangkan pendapat Abu Hanifah yang menyatakan bahwa shalat Witir itu wajib adalah madzhab yang lemah. Ibnul Mundzir berkata, "Saya tidak mengetahui seorang ulama pun yang menyetujui pendapat Abu Hanifah mengenai hal ini." Di antara Dalil-Dalil Yang Menunjukkan Bahwa Shalat Witir Hukumnya Sunnah Adalah: Ada seorang badui bertanya kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, "Apa saja yang Allah Subhanahu wa Ta‟ala wajibkan kepadaku dalam sehari semalam?" Beliau menjawab, "Shalat lima waktu." Orang itu bertanya lagi, "Apakah ada kewajiban lainnya untukku?" Beliau men-jawab, "Tidak, kecuali jika kamu mau melakukan shalat sunnah." Orang badui itu berkata, "Demi Dzat Yang mengutus Anda dengan kebenaran, saya tidak akan menambah kelimanya dan tidak akan mengurangi kelimanya." Lalu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, "Orang tersebut beruntung jika dia benar."[3] Saya berkata, "Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa shalat Witir tidaklah wajib, karena Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidak menyuruh orang badui tersebut untuk melakukannya dan tidak memarahinya atas tekadnya untuk tidak melakukannya, padahal telah diketahui bahwa tidak diperbolehkannya mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan." Dari 'Ubadah bin as-Shamit, dia berkata: "Saya pernah mendengar Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Shalat lima waktu telah Allah Subhanahu wa Ta‟ala wajibkan atas hamba-hamba-Nya. Maka barangsiapa yang melaksanakannya dan tidak menyia-nyiakan sedikit pun darinya, karena menganggap ringan akan kewajibannya, maka bagi-nya suatu perjanjian di sisi Allah Subhanahu wa Ta‟ala, bahwa Dia akan memasukkannya ke dalam Surga. Dan barangsiapa yang tidak melaksanakan-nya, maka tidak ada baginya perjanjian di sisi Allah Subhanahu wa Ta‟ala, jika Dia menghendaki, maka Dia akan menyiksanya dan jika Dia meng-hendaki, maka Dia akan memasukkannya ke dalam Surga.”[4] Saya berkata, "Di dalam hadits ini, beliau tidak menyebutkan shalat Witir bersamaan dengan shalatshalat fardhu." Diriwayatkan dari 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Shalat Witir tidaklah wajib, akan tetapi sunnah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam." [5] Dan di antara dalil yang menunjukkan bahwa shalat Witir tidaklah wajib adalah bahwa shalat Witir ini boleh dilakukan di atas kendaraan se-kalipun tidak dalam keadaan darurat, berbeda dengan shalat wajib. Ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu „Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Sesungguhnya Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah melakukan shalat Witir di atas untanya."[6]
  • 25. 25 Dan Ibnu „Umar Radhiyallahu anhuma berkata, "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah melakukan shalat di atas kendaraan-nya mengarah ke mana saja beliau mengarah dan juga pernah melakukan shalat Witir di atasnya, hanya saja beliau tidak melakukan shalat wajib di atas kendaraannya." [7] Di antara dalil-dalilnya pula adalah, bahwa shalat Witir termasuk sesuatu yang dibutuhkan setiap malamnya. Terdapat pendapat yang diri-wayatkan dari „Ali Radhiyallahu anhu dan Sahabat lainnya, bahwa shalat Witir tidaklah wajib, tidaklah mungkin jika orang-orang seperti para Sahabat ini tidak mengetahui kefardhuan satu shalat dari shalat-shalat yang diwajibkan dan mereka membutuhkan shalat ini setiap malamnya. Maka barangsiapa yang berprasangka demikian, maka dia telah berburuk sangka terhadap mereka. Diriwayatkan dari asy-Sya'bi, dia berkata, "Shalat Witir adalah sunnah, dan dia termasuk sunnah yang paling mulia." Sufyan berkata, "Shalat Witir bukanlah suatu kewajiban, akan tetapi sesuatu yang sunnah."[8] Dan dalil-dalil lainnya, yang menunjukkan bahwa shalat Witir tidaklah wajib, tetapi hanya-lah sunnah muakkadah. Sedangkan kaitannya dengan dalil-dalil yang menunjukkan adanya ancaman jika meninggal-kannya, maka sesungguhnya yang demikian itu hanyalah sebagai satu bentuk penguat atas kemuakkadahannya.[9] Sedangkan kaitannya dengan hukum me-ninggalkan shalat Witir, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya mengenai hal ini, lalu beliau menjawab: "Alhamdulillaah, shalat Witir adalah sunnah berdasarkan kesepakatan ulama kaum muslimin. Barangsiapa yang selalu meninggalkannya, maka kesaksiaannya ditolak. Shalat Witir lebih muakkadah daripada shalat sunnah Zhuhur, Maghrib dan „Isya‟, dan shalat Witir lebih utama daripada semua shalat sunnah pada siang hari, contohnya seperti shalat Dhuha, bahkan dia adalah shalat malam yang paling utama setelah shalat fardhu, dan shalat yang paling muakkadah adalah shalat Witir dan shalat sunnah Shubuh. Wallaahu a‟lam."[10] Waktu Dan Tata Cara Shalat Witir WAKTU DAN TATA CARA SHALAT WITIR Oleh Muhammad bin Suud Al-Uraifi 1. Waktu Shalat Witir Para ulama sepakat, bahwa waktu shalat Witir tidaklah masuk kecuali setelah „Isya‟ dan waktunya tetap berlangsung hingga Shubuh.[1] Dari Abu Bashra Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
  • 26. 26 . "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah memberi kalian tambahan shalat, yaitu shalat Witir, maka shalat Witirlah kalian antara waktu shalat „Isya‟ hingga shalat Shubuh." [2] Imam Ahmad meriwayatkan, bahwa Ibnu Mas'ud berkata, "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melakukan shalat Witir pada awal malam, pertengahan dan akhir malam."[3] Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, "Setiap malam, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melakukan shalat Witir, sejak awal malam, pertengahan dan akhir malam, dan shalat Witirnya ini berakhir hingga waktu sahur."[4] Dan hadits-hadits lainnya dari jalur lain yang menunjukkan bahwa semua waktu malam sejak „Isya‟ hingga Shubuh adalah waktu bagi shalat Witir. Permasalahan: "Jika seseorang menjama‟ shalat „Isya‟ dengan shalat Maghrib secara jama‟ taqdim sebelum tenggelamnya mega merah (me-lakukan keduanya pada waktu Maghrib), maka dia boleh melakukan shalat Witir setelah shalat „Isya‟ yang dilakukannya. Pendapat ini dike-mukakan oleh mayoritas ulama."[5] Waktu Shalat Witir Yang Paling Utama: Yang paling utama adalah mengakhirkan pelaksanaan shalat Witir hingga akhir malam, hal itu diperuntukkan bagi orang yang yakin bahwa dirinya akan bangun (di akhir malam), berdasarkan hadits Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . 'Barangsiapa yang khawatir tidak bangun pada akhir malam, maka hendaklah dia me-lakukan shalat Witir pada awal malam. Dan barangsiapa yang bersikeras untuk bangun pada akhir malam, maka hendaklah dia me-lakukan shalat Witir pada akhir malam, karena shalat di akhir malam itu disaksikan (oleh para Malaikat), dan hal itu adalah lebih utama.'"[6] Di samping itu, Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pun sering me-lakukannya di akhir malam. Disebutkan dalam dua kitab Shahih dan yang lainnya beberapa hadits dari sejumlah Sahabat yang menjelaskan bahwa beliau melakukan shalat Witir di akhir malam, bahkan pada sebagian hadits tersebut dijelaskan tentang perintah menjadikan shalat Witir sebagai akhir dari shalat malam. Tidak hanya seorang yang mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat seluruh ulama.[7] Saya berkata, "Di samping itu, Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah berwasiat kepada beberapa orang Sahabatnya agar tidak tidur sebelum melakukan shalat Witir." Dari Sa'ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, dia berkata, saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Orang yang tidak tidur sebelum melakukan shalat Witir, adalah orang yang teguh (iman-nya)."[8] 2. Jumlah Raka’at Shalat Witir Shalat Witir tidaklah memiliki jumlah raka‟at tertentu, namun jumlahnya yang paling sedikit adalah satu raka‟at, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam: . "Shalat Witir itu satu raka‟at di akhir malam." [HR. Muslim].[9] Dan tidak dimakruhkan melakukan shalat Witir hanya satu raka‟at saja, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam:
  • 27. 27 . "Dan barangsiapa yang senang melakukan shalat Witir satu raka‟at, maka hendaklah dia melakukannya."[10] Shalat Witir yang paling utama adalah sebelas raka‟at, yang dilakukan dua raka‟at dua raka‟at, dan diganjilkan dengan satu raka‟at, berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyallahu anhuma: . "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melakukan shalat pada malam hari sebanyak sebelas raka‟at dengan meng-ganjilkan di antaranya dengan satu raka‟at." Dalam satu redaksi diungkapkan: . "Beliau salam di antara setiap dua raka‟at dan mengganjilkannya dengan satu raka‟at."[11] Jika seseorang melakukan shalat Witir sebanyak lima raka‟at atau tujuh raka‟at, maka dia boleh melakukannya semuanya secara terus-menerus dan tidak duduk (untuk membaca tahiyyat) kecuali diakhirnya (pada raka‟at kelima atau ketujuh), berdasarkan ucapan Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma: . "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah melakukan shalat Witir sebanyak tujuh raka‟at dan lima raka‟at dengan tanpa memisah di antara kesemuanya dengan salam dan tanpa adanya pembicaraan." [HR. Ahmad].[12] Jika seseorang melakukan shalat Witir sebanyak sembilan raka‟at, maka dia boleh melakukannya delapan raka‟at secara terus-menerus, kemudian dia duduk setelah raka‟at kedelapan dan melakukan tasyahhud awal (tahiyyat pertama) dengan tanpa salam, kemudian melanjutkan ke raka‟at kesembilan dan melakukan salam, berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyallahu anuhma : . "Dan beliau melakukan shalat sebanyak sembilan raka‟at tanpa duduk (untuk mem-baca tahiyyat) padanya, kecuali pada raka‟at kedelapan, lalu beliau menyebut nama Allah, memuji-Nya, berdo‟a kepada-Nya dan kemudian bangkit (berdiri) tanpa salam, kemu-dian beliau berdiri, lalu melakukan raka‟at kesembilan, kemudian duduk, menyebut nama Allah, memuji-Nya dan berdo‟a kepada-Nya, kemudian salam dengan bacaan yang dapat kami dengar." [HR. Muslim].[13] Shalat malam tersebut tetap sah jika dilakukan lebih dari tiga belas raka‟at, akan tetapi harus diakhiri dengan bilangan ganjil (shalat Witir), sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: . "Shalat malam itu dilakukan dua raka‟at-dua raka‟at, apabila kamu mengkhawatirkan datangnya waktu Shubuh, maka shalat Witir-lah sebanyak satu raka‟at."[14] 3. Bacaan Dalam Shalat Witir Disunnahkan bagi orang yang melakukan shalat Witir untuk membaca pada raka‟at per-tama dengan surat al-A‟laa, pada raka‟at kedua dengan surat al-Kaafiruun, pada raka‟at ketiga dengan surat alIkhlash, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan dia menilainya hasan, dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
  • 28. 28 . “Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam membaca pada raka‟at pertama dengan surat al-A‟laa, pada raka‟at kedua dengan surat al-Kaafiruun dan pada raka‟at ketiga dengan surat al-Ikhlash dan dua surat mu‟awidzatain (surat al-Falaq dan surat an-Naas)."[15] Dan terdapat pula hadits serupa yang diri-wayatkan dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma dan Ubay bin Ka‟ab Radhiyallahu anuma. 4 Bacaan Qunut Dalam Shalat Witir Qunut dalam shalat Witir hukumnya sunnah, bukan wajib. Dalil disyari‟atkannya qunut bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam membaca qunut pada shalat Witir dan beliau tidak melakukannya kecuali hanya sedikit. Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari al-Hasan bin „Ali Radhiyallahuma, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang akan aku baca pada shalat Witir, yaitu: . 'Ya Allah, berilah aku petunjuk pada orang yang telah Engkau beri petunjuk, selamatkanlah aku pada orang yang Engkau selamatkan, kendalikanlah aku pada orang yang telah Engkau kendalikan, berkahilah aku pada apa yang telah Engkau berikan, lindungilah aku dari kejahatan apa yang telah Engkau putuskan, sesungguhnya Engkaulah yang memberikan keputusan, bukan yang diberi keputusan, sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau kasihi, Mahasuci Engkau wahai Rabb kami dan Mahatinggi Engkau.'"[16] At-Tirmidzi berkata: "Hadits ini hasan dan kami tidak mengetahui hadits yang berasal dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tentang qunut dalam shalat Witir yang lebih baik dari hadits ini." Dan di antara dalil yang menunjukkan bahwa qunut itu tidak wajib adalah bahwa telah ditetap-kan secara shahih dari sebagian Sahabat dan Tabi‟in bahwa mereka pernah meninggalkan qunut dalam shalat Witir, bahkan telah ditetapkan pula secara shahih dari sebagian mereka bahwa mereka meninggalkan qunut selama satu tahun, kecuali pada separuh (kedua) dari bulan Ramadhan, seperti yang dilakukan oleh 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu dan juga telah ditetapkan secara shahih dari selainnya bahwa mereka membaca qunut dalam shalat Witir selama satu tahun.[17] Perbedaan yang terjadi di antara mereka ini menunjukkan bahwa bagi mereka tidak ada riwayat yang ditetapkan secara shahih bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam membaca qunut pada setiap shalat Witir. Dan pada pernyataan ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa beliau terkadang meninggalkan qunut pada shalat Witir. Wallaahu a‟lam. Penempatan Qunut: Qunut dalam shalat Witir dilakukan pada raka‟at terakhir setelah selesai dari bacaan (al-Faatihah dan surat) dan sebelum ruku‟, sebagaimana juga sah dilakukan setelah bangun dari ruku‟ (pada posisi i‟tidal), semua ini telah ditetapkan secara shahih dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan kebanyakan ulama memahami bahwa qunut dilakukan sebelum ruku‟ dengan tujuan agar lama dalam berdiri. Dan terdapat sebuah hadits dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa ia pernah ditanya mengenai hal ini, lalu ia menjawab, "Kami melakukannya sebelum dan sesudah ruku‟." [HR. Ibnu Majah].[18] Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitab Fat-hul Baarii, "Sanad hadits ini kuat." 5. Mengqadha’ Shalat Witir Bagi Orang Yang Terlewatkan Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengqadha‟ shalat Witir itu termasuk syari‟at. Telah diriwayatkan dari Abu Sa‟id al-Khudri, ia ber-kata, "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: .
  • 29. 29 'Barangsiapa tidur dengan meninggalkan shalat Witir atau melupakannya, maka hendaklah dia melakukannya ketika mengingatnya.'"[19] Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: "Jika seseorang dari kalian memasuki waktu Shubuh dan dia belum melakukan shalat Witir, maka hendaklah dia melakukannya."[20] Waktu Mengqadha‟ Shalat Witir: Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu untuk mengqadha‟ shalat Witir. Menurut ulama (madzhab) Hanafi, qadha‟ dilakukan pada selain waktu yang dilarang (melakukan shalat). Menurut ulama (madzhab) Syafi‟i, qadha‟ dilakukan kapan saja, malam ataupun siang hari. Dan menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, qadha‟ dilakukan setelah terbit fajar selama shalat Shubuh belum dilakukan.[21] Nabi Muhamad Shallallahu Alaihi Wa Sallam Di Malam Hari BEBERAPA GAMBARAN MENGENAI QIYAAMUL LAIL Oleh Muhammad bin Suud Al-Uraifi Keadaan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Di Malam Hari; Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam adalah orang yang paling mengetahui Rabb-nya Azza wa Jalla, orang yang paling bertakwa kepada-Nya dan orang yang paling dicintai-Nya. Karena itulah beliau selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk berkhalwat (menyendiri) bersama Kekasihnya (Allah Subhanahu wa Ta‟ala), beribadah kepada Penciptanya dan bersyukur kepada Rabb yang telah mengutamakan di atas alam semesta ini dan yang telah menjadikannya pemimpin para Rasul. Ketika malam telah tiba dan telah menguraikan penutupnya, beliau menghadap kepada Rabb yang diibadahi, beliau bermunajat, berdo‟a dan tunduk beribadah kepada-Nya sambil berdiri, duduk maupun sujud hingga malam hampir saja menjadi terang, sedangkan beliau tidak merasakan lamanya beribadah, bagaimana dapat beliau merasakan hal itu sedangkan beliau sedang menyendiri bersama Allah Subhanahu wa Ta‟ala, menyendiri bersama Raja para raja, menyendiri bersama Rabb Yang menguasai alam langit dan Dia berkuasa atas segala sesuatu, menyendiri bersama Kekasihnya, bersahabat dengan-Nya dan menghadap kepada-Nya dengan hati, tubuh dan ruhnya. Ya Allah, berilah kami rizki berupa upaya untuk bisa beribadah di malam hari dan merasakan nikmatnya beribadah dan melihat wajah-Mu yang mulia. „Abdullah bin Rawahah Radhiyallahu anhu menceritakan tentang keadaan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam di malam harinya: Beliau bermalam sambil merenggangkan lambung dari tempat tidurnya, ketika tempat-tempat tidur terasa berat bagi orang-orang musyrik.[1] Gambaran Tentang Kesungguhan Nabi Shallallahu „Alaihi Wa Sallam Dalam Beribadah. Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu‟bah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melakukan shalat hingga kedua telapak kaki beliau membengkak, lalu ada yang berkata kepada beliau, "Apakah engkau memaksakan diri untuk ini, padahal Allah Subhanahu wa Ta‟ala
  • 30. 30 telah memberikan ampunan bagimu atas dosa-mu yang telah lalu dan yang akan datang?" Beliau menjawab: . 'Apakah tidak boleh jika aku termasuk hamba yang bersyukur."[2] Dan diriwayatkan dari „Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Jika Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melakukan shalat, beliau berdiri hingga kedua telapak kaki beliau merekah, lalu „Aisyah bertanya, 'Kenapa engkau melakukan semua ini, padahal Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah memberikan ampunan bagimu atas dosa-dosa-mu yang telah lalu dan yang akan datang?' Lalu beliau menjawab, . 'Apakah tidak boleh jika aku termasuk hamba yang bersyukur.'"[3] Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata: . "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melakukan shalat hingga kedua telapak kakinya merekah."[4] Ibnu Baththal berkata, "Dan di dalam hadits ini terdapat pelajaran agar seseorang menjadikan dirinya bersungguh-sungguh dalam beribadah, sekalipun hal itu membahayakannya, karena Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melakukan hal itu, padahal beliau telah mengetahui apa yang telah diberikan kepadanya (yaitu pengampunan dosa yang telah lalu dan yang akan datang), lalu bagaimana dengan orang yang tidak mengetahui hal itu, terutama bagi orang yang tidak merasakan aman bahwa dirinya berhak masuk Neraka."[5] Di antara gambaran tentang ibadah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam adalah hadits yang diriwayatkan dari „Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, "Aku pernah kehilangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pada satu malam dari tempat tidur, lalu aku mencarinya, lalu kedua tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau, sedangkan beliau tengah melakukan sujud dan kedua telapak kaki beliau sedang ditegakkan, ketika itu beliau membaca do‟a: . 'Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari murka-Mu, dengan pengampunan-Mu dari siksaan-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung sanjungan terhadap-Mu, sebagaimana Engkau menyanjung-Mu atas diri-Mu.'"[6] Dan diriwayatkan dari Ibnu „Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, "Aku pernah bermalam di rumah bibiku, Maimunah binti al-Harits, istri Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan ketika itu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, sedang berada bersamanya pada malam (giliran)nya, lalu beliau melakukan shalat „Isya‟ (di masjid), kemudian beliau pulang ke rumahnya, lalu beliau melakukan shalat empat raka‟at dan kemudian tidur, kemudian beliau bangun lalu bersabda, „Anak kecil ini telah tidur,‟ atau beliau mengucapkan kata-kata yang serupa, kemudian beliau bangun dan aku pun bangun di sebelah kirinya, lalu beliau merubah posisiku menjadi di sebelah kanannya, lalu beliau melakukan shalat lima raka‟at, kemudian melakukan shalat dua raka‟at, kemudian tidur hingga aku mendengar dengkurannya, kemudian beliau keluar untuk melakukan shalat (Shubuh)."[7] Dan diriwayatkan dari „Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata: . "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah melakukan shalat setelah shalat „Isya‟ hingga fajar menyingsing."[8]
  • 31. 31 Abu Dzarr Radhiyallahu anhu berkata, "Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah ber-ibadah hingga Shubuh dengan membaca satu ayat, yaitu ayat: 'Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.' [Al-Maa-idah/5: 118]."[9] Dan diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pernah tidak ber-puasa selama satu bulan hingga kami menyangka bahwa beliau memang tidak berpuasa dan beliau pernah berpuasa hingga kami menyangka bahwa beliau tidak berbuka sama sekali. Engkau tidak berharap melihat beliau pada malam hari dalam keadaan shalat melainkan engkau akan melihatnya dan juga dalam keadaan tidur melainkan engkau akan melihatnya."[10] Gambaran Tentang Lamanya Berdiri Yang Dilakukan Nabi Shallallahu „Alaihi Wa Sallam. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam selalu memperpanjang berdiri dalam shalatnya, dan ketika beliau ditanya, "Shalat yang bagaimanakah yang paling utama?" Beliau menjawab, "Yang lama berdirinya."[11] Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau menjawab, "Yang lama qunutnya."[12] Dan diriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Aku pernah melakukan shalat bersama Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam pada suatu malam, lalu beliau kemungkinan akan membukanya dengan membaca surat al-Baqarah. Aku berkata, 'Beliau membaca seratus ayat, kemudian beliau ruku‟. Tatkala beliau melewatinya, aku berkata, 'Beliau membacanya dalam dua raka‟at.' Tatkala sampai pada kalimat an-naas[13] saya berkata, Beliau membacanya dalam satu raka‟at, tatkala beliau selesai dari surat ini, beliau membuka dengan membaca surat Ali-'Imran, lalu ketika beliau melewati bacaan tasbih, takbir, tahlil, penyebutan Surga dan Neraka, maka beliau berhenti, lalu beliau berdo‟a atau memohon perlindungan kemudian beliau ruku‟. Ketika ruku‟, beliau membaca: 'Subhaana Rabbiyal „azhiim'. Lamanya beliau ruku‟ sama dengan lamanya beliau berdiri atau lebih lama lagi, kemudian beliau membaca, 'Sami‟allaahu liman hamidah,' lalu beliau berdiri dalam waktu yang lama, kemudian beliau sujud. Ketika sujud, beliau membaca, 'Subhaana Rab-biyal a‟la.'"[14] Dan diriwayatkan dari „Abdullah bin Mas‟ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, "Aku pernah melakukan shalat bersama Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, beliau memperpanjang (shalatnya) hingga aku menginginkan sesuatu hal yang buruk. Lalu ada yang bertanya, 'Apa yang engkau inginkan?' „Abdullah menjawab, 'Aku menginginkan agar aku bisa duduk dan aku meninggalkannya.'"[15] Dan masih banyak lagi hadits yang diriwayatkan dari beliau yang menerangkan tentang shalat malam, membaca al-Qur-an dan menghidupkan malam-malamnya dengan hal-hal tersebut. Shalawat Allah dan salam-Nya tetap atas beliau.
  • 32. 32 Keadaan Para Sahabat Radhiyallahu anhum Di Malam Hari BEBERAPA GAMBARAN MENGENAI QIYAAMUL LAIL Oleh Muhammad bin Suud Al-Uraifi Keadaan Para Sahabat Radhiyallahu anhum Di Malam Hari Para Sahabat adalah contoh ideal setelah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dalam penerapan agama ini, pelaksanaan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan- larangannya. Bagaimana tidak, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta‟ala sendiri telah memuji mereka, firman-Nya: "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah ..." [At-Taubah: 100] Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda: . "Sebaik-baik manusia adalah generasi pada masaku, kemudian orang-orang yang mengiringi mereka."[1] Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam juga bersabda: . "Janganlah kalian mencaci maki para Sahabatku, demi Rabb yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, maka infaqnya itu tidak akan mencapai satu mudd (kurang lebih 6,5 ons,-pent.) pun seorang dari mereka, tidak juga separuhnya."[2] Dan Ibnu Mas‟ud Radhiyallahu anhu berkata, "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta‟ala melihat hati hamba-hamba-Nya. Dia mendapatkan hati Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam itu adalah sebaik-baik hati, lalu Dia memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya dengan risalah-Nya, kemudian Dia melihat hati hamba-hamba-Nya setelah hati Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam, lalu Dia mendapat-kan hati para Sahabatnya adalah sebaik-baik hati, lalu Dia menjadikan mereka sebagai para menteri (pembantu) Nabi-Nya Shallallahu „alaihi wa sallam."[3] 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu pernah melakukan shalat Shubuh, tatkala salam, beliau berbaring ke arah kanan kemudian terdiam seakan-akan beliau sedang bersedih hingga ketika matahari telah meninggi, beliau berkata: "Sungguh aku telah melihat jejak para Sahabat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam, namun aku tidak melihat seorang pun yang menyerupai mereka. Demi Allah, jika mereka memasuki pagi hari, kondisi mereka dengan keadaan rambut yang kusut, penuh debu dan menguning, di antara mata mereka terdapat seperti kendaraan perang, pastilah mereka pada malam harinya itu membaca Kitabullah, mereka naik-turun di antara telapak kaki mereka dan dahi mereka. Ketika Nama Allah disebutkan, mereka bergetar laksana pepohonan yang bergetar ketika angin bertiup dan seakan-akan orang lain yang ada di sekeliling mereka itu bermalam dalam keadaan lalai."[4] Alangkah indah sya‟ir karya Ibnul Qayyim rahimahullah yang menggambarkan tentang para Sahabat:
  • 33. 33 Mereka itu orang-orang yang taat, orang-orang yang bersembunyi untuk Rabb mereka, orang-orang yang berbicara dengan sejujur-jujur ucapan. Mereka menghidupkan malam mereka dengan ketaatan kepada Rabb mereka, dengan membaca (al-Qur-an), tunduk (ber-ibadah) dan memohon. Mata mereka mengalirkan limpahan air mata, laksana hujan yang turun dengan derasnya. Pada malam hari mereka menjadi ahli ibadah, dan tatkala berjihad melawan musuh mereka, mereka adalah pahlawan yang paling berani. Tatkala telah tampak bendera perang, maka engkau akan melihat mereka berlomba-lomba dengan amalan-amalan shalih. Pada wajah mereka tampak bekas sujud kepada Rabb mereka, padanya terdapat kilauan cahaya-Nya yang terang-benderang. Sungguh al-Qur-an telah menerangkan ke-padamu akan sifat mereka, di dalam surat al-Fath yang jelas dan luhur. Dan pada surat keempat dari as-sab‟uth thiwaal terdapat keterangan tentang sifat mereka, yaitu kaum yang dicintai oleh-Nya dengan penuh kerendahan. Dan di dalam surat Bara-ah (al-Taubah) dan al-Hasyr terdapat keterangan sifat mereka, juga pada surat Hal ataa dan surat al-Anfaal.[5] IBadah Para Sahabat Radhiyallahu anhum 1. Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu Abu Bakar Radhiyallahu anhu adalah orang pertama yang masuk Islam, yang pertama kali menjadi pe-nolong dan pertama kali berjihad, ia lebih dulu sampai kepada Allah, ia berbicara dengan syari‟atNya dan selalu jujur dalam pembicaraannya. Disebutkan dalam sebuah sya‟ir: Wahai khalifah ar-Rahman, masamu telah berbicara, tidak ada yang diperolehnya selain dirimu wahai orang yang jujur.
  • 34. 34 Beliau adalah seorang laki-laki yang rajin ber-ibadah, rajin berpuasa dan sering menangis. Jika ia membaca al-Qur-an, maka tidak akan dime-ngerti apa yang dibacanya, karena seringnya dia menangis. Diriwayatkan dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu, ia ber-kata, "Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah keluar pada suatu malam, tiba-tiba beliau bertemu dengan Abu Bakar Radhiyallahu anhu sedang melakukan shalat dengan melirihkan suaranya." Abu Qatadah berkata, "Dan kemudian beliau bertemu dengan 'Umar ketika ia sedang shalat dengan mengeraskan suaranya." Abu Qatadah berkata, "Tatkala keduanya ber-kumpul di sisi Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam, beliau berkata kepada keduanya, 'Wahai Abu Bakar, aku telah melewati dirimu ketika engkau sedang melaksanakan shalat dan engkau melirihkan suaramu.' Abu Bakar berkata, 'Sungguh aku telah memperdengarkan kepada Rabb yang aku bermunajat kepada-Nya, wahai Rasulullah.'" Abu Qatadah berkata, "Lalu beliau berkata kepada 'Umar, 'Aku telah melewati dirimu, ketika itu engkau sedang melaksanakan shalat dengan mengeraskan suaramu.'" Abu Qatadah berkata, "Lalu 'Umar berkata, 'Wahai Rasulullah, aku telah membangunkan orang-orang yang tidur dan mengusir syaitan.' Lalu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, 'Wahai Abu Bakar, keraskanlah suaramu sedikit dan 'Umar, lirihkanlah suaramu sedikit.'"[6] 2. 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. 'Umar masuk Islam dalam keadaan kuat, dia berhijrah dalam keadaan kuat dan terbunuh juga dalam keadaan kuat. Dia ditakuti oleh syaitan, Hurmuz menjadi gentar ketika melihatnya dan kerajaan Dinasti Sasan menjadi berakhir karena-nya. Sebuah sya‟ir mengungkapkan: Wahai „Umar al-Faruq, apakah engkau me-miliki kendali, karena tentara Romawi dapat engkau larang dan engkau perintah. Al-'Abbas bin „Abdil Muththalib berkata, "Aku adalah tetangga 'Umar bin al-Khaththab, aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih utama dari 'Umar; sesungguhnya malamnya digunakan untuk shalat dan siang harinya digunakan untuk berpuasa dan memenuhi kebutuhan masyarakat."[7] Dan diriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa 'Umar bin al-Khaththab melakukan shalat malam dalam waktu yang cukup lama hingga ketika di akhir malam, beliau membangunkan keluarganya agar melakukan shalat, dia berkata kepada mereka, "Shalatlah kalian, shalatlah kalian, kemudian dia membaca ayat ini: 'Dan perintahkanlah kepada keluargamu men-dirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki ke-padamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.' [Thaahaa/20: 132]."[8] Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "'Umar selalu melakukan shalat „Isya‟ bersama rakyatnya, kemu dian beliau masuk ke rumahnya dan tiada henti-hentinya dia melakukan shalat hingga Shubuh."[9] Diungkapkan dalam sebuah sya‟ir: Maka siapakah yang akan mengikuti jalan hidup Abu Hafsh Atau siapakah yang berusaha menyerupai al-Faruq.