1. 1
Belajar Untuk Menikmati Puasa
Ibadah puasa Ramadhan – sebagai telah kita maklumi -- diwajibkan
dengan selaksa hikmah, di antaranya adalah untuk menundukkan dominasi
‘nafsu dan syahwat’ yang biasanya banyak ditumbuhsuburkan oleh makan
dan minum, serta kepentingan duniawi yang lain yang semakna. Dengan
berlatih mengendalikan untuk makan-minum dan kepentingan duniawi yang
lain yang semakna, diharapkan seorang yang berpuasa dapat terbiasa untuk
mengendalikan dirinya.
Berkaitan dengan hal ini, Nabi saw menyebut bahwa setan dan
godaannya merasuk dalam diri anak Adam -- dengan mengompori nafsu
tersebut -- melalui jalan darahnya,
“Sesungguhnya setan itu merasuka pada diri setiap manusia melalu jalan darahnya”.
(HR Bukhari-Muslim dari Anas bin Malik). Memersempit godaan setan
adalah usaha memersempit jalan darah yang dilakukan dengan berpuasa.
Selain itu, puasa juga menumbuhkan kepekaan dan empati terhadap
penderitaan sesama. Dengan berpuasa, seorang muslim akan dipaksa sharing
rasa lapar dan haus yang akrab dengan kaum fakir miskin. Tidak berlebihan
jika nabi Yusuf a.s. yang memegang jabatan Kepala Badan Logistik (Bulog)
saat itu, menolak hidup mewah dan glamour, namun tetap memilih
kehidupan sederhana dengan jalan membiasakan diri berpuasa agar tetap
dapat merasakan derita kaum papa.
Hanya saja dalam realita di masyakarat muslim dewasa ini
ditemukan fenomena yang kontradiktif dalam menjalani puasa. Bulan
Ramadhan lebih sering identik dengan boros dan isrâf (berlebih-lebihan)
dalam konsumsi bahan makanan, dengan budget belanja dobel atau lebih.
Bertambahnya anggaran pengeluaran belanja tersebut tidaklah bermasalah
jika dengan berpuasa rasa empati semakin tumbuh dan banyak orang yang
disantuni dan diberi makan. Tetapi, jika semuanya hanya habis dikonsumsi
sendiri, maka sesungguhnya hal itu termasuk bentuk berlebih-lebihan dan
ketidaksederhanaan.
Betul, bahwa kaum muslimin telah menahan makan dan minum
sepanjang hari, tetapi mereka lalu berlebih-lebih dalam berbuka puasa. Saat
adzan maghrib dikumandangkan, seakan menjadi lepas kendali, maka acara
‘balas dendam’ pun dimulai. Segala aneka ragam hidangan yang disajikan,
dalam sesaat saja telah berpindah ke dalam perut. Sebuah perilaku yang
menggambarkan laku ketidak sabaran.
2. 2
Dalam berbuka, seorang yang berpuasa selayaknya tetap dapat
mengendalikan diri. Tidak boros, serakah, berlebih-lebihan, dan tidak
tergesa-gesa dalam mengkonsumsi makanan. Untuk dapat merengkuh
kesuksesan berpuasa, al-Ghazali menyarankan agar seorang yang berpuasa
tidak memenuhi perutnya dengan makanan dalam satu waktu. Berbuka
dilakukan setahap demi setahap.
Ungkapan al-Ghazali tersebut jika dicerna secara mendalam
dimaksudkan agar kita dapat menangkap hikmah puasa secara utuh. Jika
kita boros dalam memersiapkan berbuka bisa saja puasa justeru tidak
menjadikan kita peka terhadap penderitaan orang lain. Dan bila kita berbuka
secara serakah, bisa saja nafsu-syahwat kita menjadi tambah ‘ganas’ dan
menguat.
Puasa dan ibadah-ibadah lain dalam Islam -- menurut hemat penulis
-- hanya akan dapat menghantarkan pelakunya kepada puncak taqwallâh jika
ia mengatahui cara menikmatinya. Setiap ibadah tentunya memiliki esensi
sendiri, sehingga masing-masing seharusnya dilaksanakan dengan berbeda
cara. Menikmati shalat, misalnya, dapat dilakukan dengan khusyu’ di
dalamnya. Khusyu’ harus diawali dengan thuma’ninah, berupa ketenangan
dalam menunaikan setiap gerakan shalat dengan sempurna dan
merampungkan setiap bacaan shalat. Tidak ‘ngebut’ atau tergesa-gesa.
Dilanjutkan dengan perasaan rendah diri di hadapan keagungan Allah (fahm
’azhamah Allah), menghadirkan hati (hudhûr al-qalb), dan memahami bacaan
shalat (tafahhum al-maqrû’). Khusyu’ adalah proses panjang yang memerlukan
konsentrasi dan banyak latihan. Tetapi hanya shalat yang khusyu’ yang dapat
mencegah perilaku keji dan mungkar, disamping menghadirkan ketentraman
hati.
Menikmati puasa dapat dilakukan dengan menjalaninya penuh
pengendalian diri dan kesederhanaan, baik ketika siang hari maupun
malamnya. Karenanya, saat berbuka hendaknya seorang shâim tetap menjaga
etika dan pengendalian diri. Tidak mengumbar nafsu makan-minumnya
secara berlebih-lebihan dan tidak serakah. Tidak juga menjadikan acara
berbuka menjadi ‘satu ronde’ dengan sekaligus menyantap semua makan
yang tersajikan di atas meja.
Dengan berusaha untuk menikmati puasa, diharapkan kaum
muslimin dapat ‘mentas’ setelah bulan Ramadhan ini menjadi muttaqîn,
golongan manusia-manusia pilihan yang sarat dengan nilai-nilai kebaikan
diri. Dan kita senantiasa berrharap, semoga Allah berkenan memberikan
taufiq dan hidayahNya, agar kita dapat ‘melaksanakan puasa Ramadhan
pada tahun ini dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya.
Āmîn Yâ Mujîbas Sâilîn.