SlideShare a Scribd company logo
1
BERPUASA, UNTUK APA?
Oleh: Muhsin Hariyanto
Jawaban halal-haram tentang persoalan kehidupan, meskipun masih
diperlukan, ternyata tidak seluruhnya mengobati rasa dahaga umat,
termasuk di dalamnya: "problematika puasa". Pertanyaan orang
tentang puasa tidak terbatas pada keinginan orang untuk mendapatkan
jawaban tentang halal-haram. Lebih jauh dari itu, umat Islam sudah
sampai pada pertanyaan tentang “untuk apa” kita berpuasa.
Pertanyaan aksiologis tentang puasa dari sejumlah muslim kritis ini
memerlukan jawaban lebih dalam daripada sekadar jawaban-jawaban
yang selama ini banyak dikemas dalam buku-buku pedoman puasa pada
umumnya. Saatnya umat Islam, kini berpuasa untuk menjadi "khairu
ummah" (umat yang terbaik)!
Ketika kita telusuri dalam kitab-kitab tafsir, syarah hadis, fikih dan –
utamanya – kitab-kitab yang bernuansa tasawuf, perintah berpuasa dengan
keragaman bentuk dan cara, ternyata memiliki tujuan sama: "membangun kualitas
diri (ketakwaan)", dengan pola: "pengendalian syahwat".
Terkait dengan puasa sebagai upaya pengendalian syahwat, Ibnu Katsir --
dalam kitab tafsirnya -- mengatakan, sejak Nabi Nuh a.s. hingga Nabi Isa a.s. puasa
diperintahkan untuk dilakukan tiga hari setiap bulannya (layaknya puasa sunnah
ayyâm al-bîdh bagi umat Islam hingga kini). Bahkan, Nabi Adam a.s. diperintahkan
untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk ‘puasa’ pada
masa itu. Begitu juga Nabi Musa a.s. bersama kaumnya (juga) berpuasa empat puluh
hari. Dalam QS Maryam dinyatakan Nabi Zakaria a.s. dan Maryam sering
mengamalkan puasa. Nabi Daud a.s. pun melaksanakannya dengan cara “sehari
berpuasa dan sehari berbuka” pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad s.a.w. sendiri –
sebelum diangkat menjadi Rasul -- telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan
dan turut mengamalkan puasa ‘Asyura yang jatuh pada hari ke-10 bulan Muharram
bersama masyarakat Quraisy yang lain.
Konon, bahkan masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu
turut mengamalkan puasa ‘Asyura. Begitu pula, binatang dan tumbuh-tumbuhan
(juga) dinyatakan “melakukan puasa” demi kelangsungan hidupnya. Selama
mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk
menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri
hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika
tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga. Jika berpuasa
2
merupakan sunnah thabî'iyyah (natural tradition, tradisi yang alami) sebagai
langkah untuk tetap survive,
Kini, pertanyaan lanjutnya, mengapa manusia enggan melakukannya?
Terlebih lagi jika perintah untuk berpuasa diembankan kepada umat Islam –
meminjam pernyataan Nurcholish Madjid (1997), tentu saja memiliki makna
tersendiri. Karena, ternyata puasa, bagi setiap muslim, bukan saja bermakna
menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan
merefleksikan diri untuk turut-serta hidup berdampingan dengan orang lain secara
harmonis, memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap
tepa-selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk
selalu peka terhadap lingkungan.
Rahasia-rahasia puasa, ketika simak dalam kajian tafsir al-Quran, ternyata
ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat QS al-Baqarah, 2: 183.” Di
dalam ayat tersebut Allah SWT mengakhiri ayat tersebut dengan rangkaian kata
“la’allakum tattaqûn (agar kalian bertakwa)", yang esensinya adalah “harapan”,
sekaligus “kepastian” perolehan kemampuan setiap pelakunya untuk memroteksi diri
dari segala bentuk nafsu-kebinatangan yang menganggap ‘perut besar’ sebagai
agama, menjaga jati-diri kemanusian dan sifat-kodrati manusia dari perilaku --
layaknya -- binatang. Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk
perilaku yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang (di dunia) atau
nanti (di akherat),
Dalam hal (ibadah) puasa, Islam “memandang sama” derajat manusia.
Mereka yang memiliki sejumlah besar uang dolar, atau yang mempunyai sedikit
uang recehan rupiah, atau bahkan orang yang tak memiliki sepeserpun, tetap
merasakan hal yang sama, antara lain: “lapar dan daahaga”. Jika (ibadah) shalat
dicita-citakan dapat menghapus citra arogansi (kecongkakan) individual manusia,
dan – oleh karenanya -- diwajibkan bagi setiap insan muslim; ibadah haji dapat
mengikis perbedaan status sosial dan derajat umat manusia, dan diwajibkan bagi
yang mampu; maka ibadah puasa diasumsikan sebagai kefakiran total setiap insan
(beriman) yang bertujuan untuk mengetuk sensitivitas (kepekaaan) manusia dengan
metode amaliah (praktis), dan memberitahukan kepada setiap pelakunya (setiap
orang yang mengamalkan ibadah puasa) bahwa kehidupan yang benar adalah
“berada di balik kehidupan” itu sendiri. Dan kehidupan itu mencapai suatu tahap
paripurna manakala manusia memiliki kesamaan rasa, atau manusia "turut
merasakan" bersama (berempati), bukan sebaliknya. Manusia dapat mencapai derajat
kesempurnaan (insân kâmil) tatkala memiliki sensitivitas satu rasa-sakit, bukan
turutserta berebut kue "dunia" dengan cara melampiaskan segala macam dorongan
hawa nafsu, bahkan dengan cara merebut setiap hak orang lain dalam rangka
memuaskan hawa nafsunya.
3
Pada bulan puasa tahun lalu, penulis sengaja memaparkan dua buah tulisan
pada dua media cetak berbeda, Bernas dan Radar Jogja. Penulis katakan, bahwa
(ibadah) puasa – dapat dipahami-- memiliki multifungsi. Dan – ketika direnungkan -
- setidaknya ada tiga fungsi utama (ibadah) puasa yang masing-masing berkaitan: (1)
tahdzîb (mengarahkan), (2) ta'dîb (membentuk karakter) dan (3) tadrîb (melatih).
Puasa merupakan sarana untuk mengarahkan, membentuk karakter, serta
medium latihan untuk mendidik setiap orang "menjadi manusia paripurna", yang
pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa, yaitu: “takwa”. Takwa dalam
pengertian fungsionalnya adalah: “melaksanakan segala perintah Allah dan
meninggalkan segala larangan-Nya dalam dua dimensi (horisontal dan vertikal)”.
Takwa merupakan wujud kesalehan individual dan sosial, dua wajah dari satu
keping mata uang yang sama, “integral” (menyatu) dan tak dapat dipisahkan.
Dinyatakan oleh para psikolog muslim, bahwa ada ‘sejenis’ kaedah
kejiwaan, bahwa ketika "cinta" kepada diri sendiri menggelembung menjadi cinta
kepada yang ada di luar dirinya karena Allah, maka rasa sakit yang diderita orang
lain pun akan terasa sakit pada dirinya . Di ketika orang yang berpuasa bisa
merasakan rasa lapar dan dahaga yang dialaminya, maka dia pun akan bisa
merasakan betapa lapar dan dahaga orang-orang yang tak memiliki makanan dan
minuman pelepas lapar dan dahaga akan terus menjadi derita bagi “kaum fakir”. Dan
oleh karenanya dia pun akan berpikir: “apa yang seharusnya dilakukan untuk
melepaskan rasa lapar dan dahaga mereka”. Dari sinilah solidaritas sosial terbentuk
sebagai hikmah dari (ibadah) puasa.
Dengan jelas dan akurat, Islam melarang keras untuk mengonsumsi segala
bentuk makanan-minuman haram, melakukan aktivitas seksual ilegal, menambah
penyakit hati dengan ucapan dan tindakan dosa. Dengan instrumen lapar dan dahaga,
pengendalian syahwat terpadu, (dalam berpuasa) kita diharapkan dapat merasakan
betapa derita mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia papa yang berada di
kolong jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam
hari atau terbakar terik matahari di siang hari dan mereka yang tengah berperang
mealawan hawa-nafsu di berbagai aspek kehidupan, termasuk para politisi kita yang
tengah berjihad melawan "thaghut" (sesuatu yang bukan Tuhan, namun di saat
tertentu kadang-kadang lebih dimaknai sebagai "tuhan" daripada "Tuhan Yang
Sesungguhnya") . Puasa adalah sebuah manhaj, cara praktis melatih diri, dan dan –
tentu saja – kepekaan nurani kemanusiaan kita.
Terkait dengan cinta kita kepada sesama, dalam upaya kita untuk
menyempurnakan ibadah kita kepada Allah, adakah cara yang lebih efektif untuk
melatih "cinta" daripada berpuasa? Bukankah kita tahu bahwa selalu ada dua manhaj
yang saling terkait: yang melihat dan yang buta, yang cendikia dan yang awam, serta
4
yang teratur dan yang mengejutkan. Jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap
orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri
menemukan kekuasaannya sebagai “al-mubasysyir (sang pembawa berita gembira)"
dan al-muyassir (pemberi kemudahan). Sebaliknya, bila justeru "kebencian" yang
tercipta karena kita lupa untuk "berpuasa", maka hubungan kemanusian antarkita
bisa jadi menjadi sangat "anergis", antarmanusia dan komunitas akan tercipta konflik
berkepanjangan. Setiap manusia bahkan akan bisa menjadi "serigala" bagi yang lain.
Dengan berpuasa secara benar, (misalnya) al-Aghniyâ’ (orang yang memiliki
kemampuan berbagi) yang hatinya selalu diasah dengan “puasa”-nya , telinga-
jiwanya akan mampu mendengarkan rintihan suara al-Fuqarâ’ (orang-orang yang
membutuhkan uluran tangan) yang selalu merintih dalam kepedihan. Ia tidak serta-
merta mendengar itu sebagai suara "pemohon bantuan", melainkan permohonan
akan sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh dan direspon
makna tangisnya dengan kelembutan hati "Sang Dermawan", yang selalu bersedia
untuk membantu dengan uluran tangan-keikhlasan.. Al-Aghniyâ’ akan memaknai itu
semua sebagai pengabdian yang tulus kepada Allah, dengan fondasi îmân wa ihtisâb
(beribadah dengan ikhlas hanya untuk Allah semata). Semua tindakan di pelbagai
aspek kehidupan hanya akan dilakukan "karena Allah", karena setiap hamba akan
selalu sadar bahwa “hanya Dia” (Allah)-lah "Sang Pemilik" segalanya dan tujuan
dari semua pengharapannya.
Simpulan pentingnya, ketika kita sudah menjadi “seseorang” yang bermakna
dengan kesempurnaan puasa kita, ketika kita mampu dan berkesempatan untuk
berbuat sesuatu untuk sesama, kenapa kita tidak berpikir dan segera berbuat untuk
menolong siapa pun untuk menjadi “seseorang seperti diri kita?” Dan, saat ini, di
ketika hampir semua orang membutuhkan uluran tangan kita, "kita tak boleh
menunggu". Kita harus sadar, bahwa kita tidak hanya dibebani untuk menjadi baik
untuk diri kita sendiri, tetapi juga berkewajiban untuk “bersedekah”, menjadikan
orang lain sebaik diri kita, dan bahkan, kalau mingkin, lebih dari itu!
Selamat berpuasa, untuk menjadi “Yang Pertama dan Utama” dalam
berlomba untuk bersinergi, menjadi yang terbaik untuk diri kita bersama, menjadi
"khairu ummah" (umat yang terbaik).
Fastabiqû al-khairât.
Penulis adalah Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES 'Aisyiyah
Yogyakarta
Tulisan ini, dengan beberapa modifikasi, pernah dipublikasikan di Majalah Suara
Muhammadiyah

More Related Content

Similar to Berpuasa, untuk apa

Agama Islam : Akhlak Terpuji
Agama Islam : Akhlak TerpujiAgama Islam : Akhlak Terpuji
Agama Islam : Akhlak Terpuji
Maya Hadiyuni
 
KHUTBAH.docx
KHUTBAH.docxKHUTBAH.docx
KHUTBAH.docx
ariscrovozt
 
Hipnotis dalam pandangan islam
Hipnotis dalam pandangan islamHipnotis dalam pandangan islam
Hipnotis dalam pandangan islamMuhsin Hariyanto
 
Agama agus[1]
Agama agus[1]Agama agus[1]
Agama agus[1]
robiiatuladawiyah
 
Kebudayaan islam
Kebudayaan islam Kebudayaan islam
Kebudayaan islam Raima Amari
 
Pentingnya membangun kesadaran ummat
Pentingnya membangun kesadaran ummatPentingnya membangun kesadaran ummat
Pentingnya membangun kesadaran ummatRizky Faisal
 
Aswaja (AHLUSUNAH WAL JAMA'AH)
Aswaja (AHLUSUNAH WAL JAMA'AH)Aswaja (AHLUSUNAH WAL JAMA'AH)
Aswaja (AHLUSUNAH WAL JAMA'AH)
Masruri Masruri
 
Bahaya Dosa dan Maksiat.
Bahaya Dosa dan Maksiat.Bahaya Dosa dan Maksiat.
Bahaya Dosa dan Maksiat.
Idrus Abidin
 
Tata cara merawat orang sakit dan sakaratul maut
Tata cara merawat orang sakit dan sakaratul mautTata cara merawat orang sakit dan sakaratul maut
Tata cara merawat orang sakit dan sakaratul mautOperator Warnet Vast Raha
 
Tata cara merawat orang sakit dan sakaratul maut
Tata cara merawat orang sakit dan sakaratul mautTata cara merawat orang sakit dan sakaratul maut
Tata cara merawat orang sakit dan sakaratul mautOperator Warnet Vast Raha
 
Konsep transkultural
Konsep transkulturalKonsep transkultural
Konsep transkulturalEfan Porto
 
Mujahadah an nafs
Mujahadah an nafsMujahadah an nafs
Mujahadah an nafs
Eko Setyawan
 

Similar to Berpuasa, untuk apa (20)

Macam macam nafsu
Macam macam nafsuMacam macam nafsu
Macam macam nafsu
 
Makalah Syahwad faji'
Makalah Syahwad faji'Makalah Syahwad faji'
Makalah Syahwad faji'
 
Agama Islam : Akhlak Terpuji
Agama Islam : Akhlak TerpujiAgama Islam : Akhlak Terpuji
Agama Islam : Akhlak Terpuji
 
KHUTBAH.docx
KHUTBAH.docxKHUTBAH.docx
KHUTBAH.docx
 
Hipnotis dalam pandangan islam
Hipnotis dalam pandangan islamHipnotis dalam pandangan islam
Hipnotis dalam pandangan islam
 
Menikmati puasa
Menikmati puasaMenikmati puasa
Menikmati puasa
 
Menikmati puasa
Menikmati puasaMenikmati puasa
Menikmati puasa
 
Bahan ajar
Bahan ajarBahan ajar
Bahan ajar
 
Agama agus[1]
Agama agus[1]Agama agus[1]
Agama agus[1]
 
Berpuasa, untuk apa
Berpuasa, untuk apaBerpuasa, untuk apa
Berpuasa, untuk apa
 
Kebudayaan islam
Kebudayaan islam Kebudayaan islam
Kebudayaan islam
 
Pentingnya membangun kesadaran ummat
Pentingnya membangun kesadaran ummatPentingnya membangun kesadaran ummat
Pentingnya membangun kesadaran ummat
 
Aswaja (AHLUSUNAH WAL JAMA'AH)
Aswaja (AHLUSUNAH WAL JAMA'AH)Aswaja (AHLUSUNAH WAL JAMA'AH)
Aswaja (AHLUSUNAH WAL JAMA'AH)
 
Teloeransi antar umat beragama 2
Teloeransi antar umat beragama 2Teloeransi antar umat beragama 2
Teloeransi antar umat beragama 2
 
Bahaya Dosa dan Maksiat.
Bahaya Dosa dan Maksiat.Bahaya Dosa dan Maksiat.
Bahaya Dosa dan Maksiat.
 
Tata cara merawat orang sakit dan sakaratul maut
Tata cara merawat orang sakit dan sakaratul mautTata cara merawat orang sakit dan sakaratul maut
Tata cara merawat orang sakit dan sakaratul maut
 
Tata cara merawat orang sakit dan sakaratul maut
Tata cara merawat orang sakit dan sakaratul mautTata cara merawat orang sakit dan sakaratul maut
Tata cara merawat orang sakit dan sakaratul maut
 
Konsep transkultural
Konsep transkulturalKonsep transkultural
Konsep transkultural
 
1111111111
11111111111111111111
1111111111
 
Mujahadah an nafs
Mujahadah an nafsMujahadah an nafs
Mujahadah an nafs
 

More from Muhsin Hariyanto

Khutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 hKhutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 h
Muhsin Hariyanto
 
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahPembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahMuhsin Hariyanto
 
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Muhsin Hariyanto
 
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanIstighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanMuhsin Hariyanto
 
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMemahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMuhsin Hariyanto
 
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Muhsin Hariyanto
 
10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabulMuhsin Hariyanto
 
Inspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamInspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamMuhsin Hariyanto
 
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifBerbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifMuhsin Hariyanto
 

More from Muhsin Hariyanto (20)

Khutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 hKhutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 h
 
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahPembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
 
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
 
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanIstighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
 
Etika dalam berdoa
Etika dalam berdoaEtika dalam berdoa
Etika dalam berdoa
 
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMemahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
 
Manajemen syahwat
Manajemen syahwatManajemen syahwat
Manajemen syahwat
 
Manajemen syahwat
Manajemen syahwatManajemen syahwat
Manajemen syahwat
 
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
 
10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul
 
Khitan bagi wanita (01)
Khitan bagi wanita (01)Khitan bagi wanita (01)
Khitan bagi wanita (01)
 
Strategi dakwah
Strategi dakwahStrategi dakwah
Strategi dakwah
 
Sukses karena kerja keras
Sukses karena kerja kerasSukses karena kerja keras
Sukses karena kerja keras
 
Opini dul
Opini   dulOpini   dul
Opini dul
 
Inspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamInspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayam
 
Tentang diri saya
Tentang diri sayaTentang diri saya
Tentang diri saya
 
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifBerbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
 
Ketika kita gagal
Ketika kita gagalKetika kita gagal
Ketika kita gagal
 
Jadilah diri sendiri!
Jadilah diri sendiri!Jadilah diri sendiri!
Jadilah diri sendiri!
 
Gatotkaca winisuda
Gatotkaca winisudaGatotkaca winisuda
Gatotkaca winisuda
 

Berpuasa, untuk apa

  • 1. 1 BERPUASA, UNTUK APA? Oleh: Muhsin Hariyanto Jawaban halal-haram tentang persoalan kehidupan, meskipun masih diperlukan, ternyata tidak seluruhnya mengobati rasa dahaga umat, termasuk di dalamnya: "problematika puasa". Pertanyaan orang tentang puasa tidak terbatas pada keinginan orang untuk mendapatkan jawaban tentang halal-haram. Lebih jauh dari itu, umat Islam sudah sampai pada pertanyaan tentang “untuk apa” kita berpuasa. Pertanyaan aksiologis tentang puasa dari sejumlah muslim kritis ini memerlukan jawaban lebih dalam daripada sekadar jawaban-jawaban yang selama ini banyak dikemas dalam buku-buku pedoman puasa pada umumnya. Saatnya umat Islam, kini berpuasa untuk menjadi "khairu ummah" (umat yang terbaik)! Ketika kita telusuri dalam kitab-kitab tafsir, syarah hadis, fikih dan – utamanya – kitab-kitab yang bernuansa tasawuf, perintah berpuasa dengan keragaman bentuk dan cara, ternyata memiliki tujuan sama: "membangun kualitas diri (ketakwaan)", dengan pola: "pengendalian syahwat". Terkait dengan puasa sebagai upaya pengendalian syahwat, Ibnu Katsir -- dalam kitab tafsirnya -- mengatakan, sejak Nabi Nuh a.s. hingga Nabi Isa a.s. puasa diperintahkan untuk dilakukan tiga hari setiap bulannya (layaknya puasa sunnah ayyâm al-bîdh bagi umat Islam hingga kini). Bahkan, Nabi Adam a.s. diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk ‘puasa’ pada masa itu. Begitu juga Nabi Musa a.s. bersama kaumnya (juga) berpuasa empat puluh hari. Dalam QS Maryam dinyatakan Nabi Zakaria a.s. dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi Daud a.s. pun melaksanakannya dengan cara “sehari berpuasa dan sehari berbuka” pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad s.a.w. sendiri – sebelum diangkat menjadi Rasul -- telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa ‘Asyura yang jatuh pada hari ke-10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Konon, bahkan masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa ‘Asyura. Begitu pula, binatang dan tumbuh-tumbuhan (juga) dinyatakan “melakukan puasa” demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga. Jika berpuasa
  • 2. 2 merupakan sunnah thabî'iyyah (natural tradition, tradisi yang alami) sebagai langkah untuk tetap survive, Kini, pertanyaan lanjutnya, mengapa manusia enggan melakukannya? Terlebih lagi jika perintah untuk berpuasa diembankan kepada umat Islam – meminjam pernyataan Nurcholish Madjid (1997), tentu saja memiliki makna tersendiri. Karena, ternyata puasa, bagi setiap muslim, bukan saja bermakna menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan merefleksikan diri untuk turut-serta hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepa-selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan. Rahasia-rahasia puasa, ketika simak dalam kajian tafsir al-Quran, ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat QS al-Baqarah, 2: 183.” Di dalam ayat tersebut Allah SWT mengakhiri ayat tersebut dengan rangkaian kata “la’allakum tattaqûn (agar kalian bertakwa)", yang esensinya adalah “harapan”, sekaligus “kepastian” perolehan kemampuan setiap pelakunya untuk memroteksi diri dari segala bentuk nafsu-kebinatangan yang menganggap ‘perut besar’ sebagai agama, menjaga jati-diri kemanusian dan sifat-kodrati manusia dari perilaku -- layaknya -- binatang. Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk perilaku yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang (di dunia) atau nanti (di akherat), Dalam hal (ibadah) puasa, Islam “memandang sama” derajat manusia. Mereka yang memiliki sejumlah besar uang dolar, atau yang mempunyai sedikit uang recehan rupiah, atau bahkan orang yang tak memiliki sepeserpun, tetap merasakan hal yang sama, antara lain: “lapar dan daahaga”. Jika (ibadah) shalat dicita-citakan dapat menghapus citra arogansi (kecongkakan) individual manusia, dan – oleh karenanya -- diwajibkan bagi setiap insan muslim; ibadah haji dapat mengikis perbedaan status sosial dan derajat umat manusia, dan diwajibkan bagi yang mampu; maka ibadah puasa diasumsikan sebagai kefakiran total setiap insan (beriman) yang bertujuan untuk mengetuk sensitivitas (kepekaaan) manusia dengan metode amaliah (praktis), dan memberitahukan kepada setiap pelakunya (setiap orang yang mengamalkan ibadah puasa) bahwa kehidupan yang benar adalah “berada di balik kehidupan” itu sendiri. Dan kehidupan itu mencapai suatu tahap paripurna manakala manusia memiliki kesamaan rasa, atau manusia "turut merasakan" bersama (berempati), bukan sebaliknya. Manusia dapat mencapai derajat kesempurnaan (insân kâmil) tatkala memiliki sensitivitas satu rasa-sakit, bukan turutserta berebut kue "dunia" dengan cara melampiaskan segala macam dorongan hawa nafsu, bahkan dengan cara merebut setiap hak orang lain dalam rangka memuaskan hawa nafsunya.
  • 3. 3 Pada bulan puasa tahun lalu, penulis sengaja memaparkan dua buah tulisan pada dua media cetak berbeda, Bernas dan Radar Jogja. Penulis katakan, bahwa (ibadah) puasa – dapat dipahami-- memiliki multifungsi. Dan – ketika direnungkan - - setidaknya ada tiga fungsi utama (ibadah) puasa yang masing-masing berkaitan: (1) tahdzîb (mengarahkan), (2) ta'dîb (membentuk karakter) dan (3) tadrîb (melatih). Puasa merupakan sarana untuk mengarahkan, membentuk karakter, serta medium latihan untuk mendidik setiap orang "menjadi manusia paripurna", yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa, yaitu: “takwa”. Takwa dalam pengertian fungsionalnya adalah: “melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya dalam dua dimensi (horisontal dan vertikal)”. Takwa merupakan wujud kesalehan individual dan sosial, dua wajah dari satu keping mata uang yang sama, “integral” (menyatu) dan tak dapat dipisahkan. Dinyatakan oleh para psikolog muslim, bahwa ada ‘sejenis’ kaedah kejiwaan, bahwa ketika "cinta" kepada diri sendiri menggelembung menjadi cinta kepada yang ada di luar dirinya karena Allah, maka rasa sakit yang diderita orang lain pun akan terasa sakit pada dirinya . Di ketika orang yang berpuasa bisa merasakan rasa lapar dan dahaga yang dialaminya, maka dia pun akan bisa merasakan betapa lapar dan dahaga orang-orang yang tak memiliki makanan dan minuman pelepas lapar dan dahaga akan terus menjadi derita bagi “kaum fakir”. Dan oleh karenanya dia pun akan berpikir: “apa yang seharusnya dilakukan untuk melepaskan rasa lapar dan dahaga mereka”. Dari sinilah solidaritas sosial terbentuk sebagai hikmah dari (ibadah) puasa. Dengan jelas dan akurat, Islam melarang keras untuk mengonsumsi segala bentuk makanan-minuman haram, melakukan aktivitas seksual ilegal, menambah penyakit hati dengan ucapan dan tindakan dosa. Dengan instrumen lapar dan dahaga, pengendalian syahwat terpadu, (dalam berpuasa) kita diharapkan dapat merasakan betapa derita mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau terbakar terik matahari di siang hari dan mereka yang tengah berperang mealawan hawa-nafsu di berbagai aspek kehidupan, termasuk para politisi kita yang tengah berjihad melawan "thaghut" (sesuatu yang bukan Tuhan, namun di saat tertentu kadang-kadang lebih dimaknai sebagai "tuhan" daripada "Tuhan Yang Sesungguhnya") . Puasa adalah sebuah manhaj, cara praktis melatih diri, dan dan – tentu saja – kepekaan nurani kemanusiaan kita. Terkait dengan cinta kita kepada sesama, dalam upaya kita untuk menyempurnakan ibadah kita kepada Allah, adakah cara yang lebih efektif untuk melatih "cinta" daripada berpuasa? Bukankah kita tahu bahwa selalu ada dua manhaj yang saling terkait: yang melihat dan yang buta, yang cendikia dan yang awam, serta
  • 4. 4 yang teratur dan yang mengejutkan. Jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan kekuasaannya sebagai “al-mubasysyir (sang pembawa berita gembira)" dan al-muyassir (pemberi kemudahan). Sebaliknya, bila justeru "kebencian" yang tercipta karena kita lupa untuk "berpuasa", maka hubungan kemanusian antarkita bisa jadi menjadi sangat "anergis", antarmanusia dan komunitas akan tercipta konflik berkepanjangan. Setiap manusia bahkan akan bisa menjadi "serigala" bagi yang lain. Dengan berpuasa secara benar, (misalnya) al-Aghniyâ’ (orang yang memiliki kemampuan berbagi) yang hatinya selalu diasah dengan “puasa”-nya , telinga- jiwanya akan mampu mendengarkan rintihan suara al-Fuqarâ’ (orang-orang yang membutuhkan uluran tangan) yang selalu merintih dalam kepedihan. Ia tidak serta- merta mendengar itu sebagai suara "pemohon bantuan", melainkan permohonan akan sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh dan direspon makna tangisnya dengan kelembutan hati "Sang Dermawan", yang selalu bersedia untuk membantu dengan uluran tangan-keikhlasan.. Al-Aghniyâ’ akan memaknai itu semua sebagai pengabdian yang tulus kepada Allah, dengan fondasi îmân wa ihtisâb (beribadah dengan ikhlas hanya untuk Allah semata). Semua tindakan di pelbagai aspek kehidupan hanya akan dilakukan "karena Allah", karena setiap hamba akan selalu sadar bahwa “hanya Dia” (Allah)-lah "Sang Pemilik" segalanya dan tujuan dari semua pengharapannya. Simpulan pentingnya, ketika kita sudah menjadi “seseorang” yang bermakna dengan kesempurnaan puasa kita, ketika kita mampu dan berkesempatan untuk berbuat sesuatu untuk sesama, kenapa kita tidak berpikir dan segera berbuat untuk menolong siapa pun untuk menjadi “seseorang seperti diri kita?” Dan, saat ini, di ketika hampir semua orang membutuhkan uluran tangan kita, "kita tak boleh menunggu". Kita harus sadar, bahwa kita tidak hanya dibebani untuk menjadi baik untuk diri kita sendiri, tetapi juga berkewajiban untuk “bersedekah”, menjadikan orang lain sebaik diri kita, dan bahkan, kalau mingkin, lebih dari itu! Selamat berpuasa, untuk menjadi “Yang Pertama dan Utama” dalam berlomba untuk bersinergi, menjadi yang terbaik untuk diri kita bersama, menjadi "khairu ummah" (umat yang terbaik). Fastabiqû al-khairât. Penulis adalah Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta Tulisan ini, dengan beberapa modifikasi, pernah dipublikasikan di Majalah Suara Muhammadiyah