1. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Puasa
Secara bahasa, puasa atau shaum dalam bahasa Arabnya berarti menahan diri dari segala
sesuatu. Jadi, puasa itu ialah menahan diri dari segala perkara seperti makan, minum,
berbicara, menahan nafsu dan syahwat, dls. Sedangkan secara istilah, puasa yaitu menahan
diri dari segala sesuatu yang bisa membatalkan puasa yang dimulai sejak terbit fajar hingga
matahari terbenam.
2.2 Filosofi Puasa
PUASA (al-shiyam) mengandung arti menahan diri, adalah sebagai sebuah ibadah yang
diwajibkan bagi setiap muslim. Prosedur ibadah puasa itu menahan diri dari makan, minum,
berhubungan suami isteri, dan perihal yang membatalkannya sejak terbit fajar sampai
terbenamnya matahari. Kewajiban ibadah puasa ini mengantarkan pribadi pelakunya menjadi
takwa dan telah pernah ada pemberlakuannya sebelum umat Muhammad (QS. Al-Baqarah:
183).
Dalam perspektif Islam, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah, bagi kita setiap kaum
muslimin bahwa sebegitu penting artinya ibadah ini terhadap setiap pribadi yang
menunaikannya tentu saja harus diketahui hikmah yang terkandung didalamnya sebagai
filosofi dari makna “menahan diri” dalam prilaku puasa tersebut. Sehingga dengan demikian
setiap muslim berpuasa terinspirasi menjadi pribadi takwa yang berguna untuk kehidupan
dirinya (individual) dan kehidupan bermasyarakat (sosial).
Substansi menahan diri ini cakupannya sangat spesifik yang perlu diperhatikan oleh yang
berpuasa. Menahan diri itu (Quraish Shihab) dibutuhkan oleh setiap orang, tidak mengenal
jenis kelamin, strata sosial, baik ia laki-laki, perempuan, kaya dan miskin, komunitas modern
dan primitif perseorangan ataupun kelompok memerlukan sikap untuk menahan diri. Esensi
dari kewajiban ibadah puasa itu adalah menahan diri (Mustafa al-Maraghi). Setiap pribadi
yang dapat menahan diri itulah yang sukses menunaikan puasanya, mencerminkan karakter
manusia takwa, manusia yang menempatkan posisinya sebagai individu yang taat kepada
Allah dan RasulNya dan sebagai pribadi yang memiliki kepedulian sosial, sehingga
kehadirannya itu bersifat multiguna bagi diri, keluarga dan masyarakatnya.
Tuntutan dari spirit syar’i terhadap pribadi yang berpuasa itu antara lain menahan diri dari
makan dan minum, berhubungan suami isteri, dan sampai batas ini oleh al-Ghazali
mendeskripsikan sebagai puasanya mereka yang awam. Pada posisi ini, tentu saja akan
mengajarkan seseorang yang berpuasa sebuah “pengalaman” menahan lapar dan dahaga
seyogyanya menginspirasi pribadinya untuk memahami bagaimana penderitaan manusia
tanpa makan dan minum karena tidak berkecukupan.
Di samping perihal tersebut ditambah lagi dengan upaya kongkrit menahan diri dari menahan
nafsu syahwat, menahan nafsu amarah, menahan diri dari ucapan yang tidak berguna dan
apalagi ucapan yang menyakitkan pendengarnya, menahan diri dari pandangan mata dari
2. suasana maksiat, menahan diri dari mendengarkan yang sifatnya provokatif; pegunjingan dan
atau gosip, juga menahan diri dari kecenderungan hati yang “rusak”, yaitu hati yang penuh
curiga (syu’udzdzan) tidak pernah berbaik sangka (khusnudzdzan), atau berpikir positif.
Manusia yang mampu menahan diri dari keadaan mentalitas seperti ini tentu saja
mencerminkan pribadi yang berkarakter yang pada gilirannya akan teruji untuk mengemban
amanah personal yang tampil untuk berbuat kebaikan baik dalam hubungannya dengan Sang
Khaliq maupun sesama makhluk. Kesempurnaan seseorang ketika ia mampu secara cerdas
menahan diri dari semua prilaku tersebut, senantiasa memperbanyak zikrullah dan merenungi
dimensi spiritual kebaikan sehingga ia dapat tampil menjadi sosok peduli lingkungannya.
Mereka yang mencapai tahap inilah telah mendapatkan anugerah hikmah yang subtansial dari
prilaku penunaian ibadah puasa.
Konsekuensi logis dari menahan diri itu dalam implementasinya akan melahirkan pribadi
muslim yang takwa; Ketika ia kaya tetapi tidak menyebabkan ia sombong, ketika ia miskin
dan terbatas hidupnya tidak menyebabkan kemiskinannya itu ketika ada peluang membuat
dirinya menjadi tamak dan rakus. Demikian juga ketika seseorang itu pandai tidak
menyebabkan kepandaiannya itu menjadi sosok yang super dan membanggakan diri, ketika ia
menjadi penguasa tidak menyebabkan ia menzalimi orang lain, berbuat semena mena
terhadap orang lain, ketika ia menjadi rakyat tidak menyebabkan ia membatasi diri tanpa
partisipasi dalam membina kebersamaan yang diridhaiNya.
Inilah bagian integral dari filosofi “menahan diri” yang sejatinya tumbuh dan berkembang
dari setiap insan yang berpuasa, sehingga lahirlah pribadi yang tidak hanya shalih secara
individual tetapi juga memiliki keshalihan sosial. Karena itu, janganlah terjebak dengan pola
“menahan diri” yang semu, yaitu tidak ada follow-up dari upaya menahan diri yang dilakukan
selama puasa sehingga seseorang yang demikian tidak keciprat hikmah puasanya seperti
ditegaskan oleh Rasulullah saw: “Betapa banyak mereka berpuasa tanpa memperoleh apapun
dari ibadah puasanya kecuali sebuah proses menahan lapar dan dahaga.” (HR. Bukhari).
Ketika seperti ini alangkah meruginya, untuk itu pikirkanlah apa yang kita lakoni dari
“menahan diri” itu seharusnya tercermin dalam kita berprilaku sehari-hari ke depan sehingga
terciptalah tatanan komunitas yang baik, peduli dan membanggakan serta diredhaiNya.
Wallahualam.
2.3 Macam-macam Puasa ala Madzhab Syafi’iah An-Nahdliyah
Menurut para ahli fiqih, puasa yang ditetapkan syariat ada 4 (empat) macam, yaitu puasa
fardhu, puasa sunnat, puasa makruh dan puasa yang diharamkan.
2.3.1 A. PUASA FARDHU
Puasa fardhu adalah puasa yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan syariat Islam.
Yang termasuk ke dalam puasa fardhu antara lain:
a. Puasa bulan Ramadhan
3. Puasa dalam bulan Ramadhan dilakukan berdasarkan perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an
sebagai berikut :
– yâ ayyuhal-ladzîna âmanûkutiba ‘alaykumush-shiyâmu kamâ kutiba ‘alal-ladzîna min
qoblikum la’allakum tattaqûn –
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu terhindar dari keburukan rohani dan
jasmani (QS. Al Baqarah: 183).
b. Puasa Kafarat
Puasa kafarat adalah puasa sebagai penebusan yang dikarenakan pelanggaran terhadap suatu
hukum atau kelalaian dalam melaksanakan suatu kewajiban, sehingga mengharuskan seorang
mukmin mengerjakannya supaya dosanya dihapuskan, bentuk pelanggaran dengan kafaratnya
antara lain :
1. Apabila seseorang melanggar sumpahnya dan ia tidak mampu memberi makan dan
pakaian kepada sepuluh orang miskin atau membebaskan seorang roqobah, maka ia
harus melaksanakan puasa selama tiga hari.
2. Apabila seseorang secara sengaja membunuh seorang mukmin sedang ia tidak
sanggup membayar uang darah (tebusan) atau memerdekakan roqobah maka ia harus
berpuasa dua bulan berturut-turut (An Nisa: 94).
3. Apabila dengan sengaja membatalkan puasanya dalam bulan Ramadhan tanpa ada
halangan yang telah ditetapkan, ia harus membayar kafarat dengan berpuasa lagi
sampai genap 60 hari.
4. Barangsiapa yang melaksanakan ibadah haji bersama-sama dengan umrah, lalu tidak
mendapatkan binatang kurban, maka ia harus melakukan puasa tiga hari di Mekkah
dan tujuh hari sesudah ia sampai kembali ke rumah. Demikian pula, apabila
dikarenakan suatu mudharat (alasan kesehatan dan sebagainya) maka berpangkas
rambut, (tahallul) ia harus berpuasa selama 3 hari.
Menurut Imam Syafi’I, Maliki dan Hanafi:
Orang yang berpuasa berturut-turut karena Kafarat, yang disebabkan berbuka puasa pada
bulan Ramadhan, ia tidak boleh berbuka walau hanya satu hari ditengah-tengah 2 (dua) bulan
tersebut, karena kalau berbuka berarti ia telah memutuskan kelangsungan yang berturut-turut
itu. Apabila ia berbuka, baik karena uzur atau tidak, ia wajib memulai puasa dari awal lagi
selama dua bulan berturut-turut.[1]
c. Puasa Nazar
Adalah puasa yang tidak diwajibkan oleh Tuhan, begitu juga tidak disunnahkan oleh
Rasulullah saw., melainkan manusia sendiri yang telah menetapkannya bagi dirinya sendiri
untuk membersihkan (Tazkiyatun Nafs) atau mengadakan janji pada dirinya sendiri bahwa
apabila Tuhan telah menganugerahkan keberhasilan dalam suatu pekerjaan, maka ia akan
berpuasa sekian hari. Mengerjakan puasa nazar ini sifatnya wajib. Hari-hari nazar yang
ditetapkan apabila tiba, maka berpuasa pada hari-hari tersebut jadi wajib atasnya dan apabila
dia pada hari-hari itu sakit atau mengadakan perjalanan maka ia harus mengqadha pada hari-
4. hari lain dan apabila tengah berpuasa nazar batal puasanya maka ia bertanggung jawab
mengqadhanya.
2.3.2 B. PUASA SUNNAT
Puasa sunnat (nafal) adalah puasa yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan
apabila tidak dikerjakan tidak berdosa. Adapun puasa sunnat itu antara lain :
1. Puasa 6 (enam) hari di bulan Syawal
Bersumber dari Abu Ayyub Anshari r.a. sesungguhnya Rasulallah saw. bersabda: “ Barang
siapa berpuasa pada bulan Ramadhan, kemudian dia menyusulkannya dengan berpuasa enam
hari pada bulan syawal , maka seakan – akan dia berpuasa selama setahun”.[2]
2. Puasa Tengah bulan (13, 14, 15) dari tiap-tiap bulan Qomariyah
Pada suatu hari ada seorng Arabdusun datang pada Rasulullah saw. dengan membawa kelinci
yang telah dipanggang. Ketika daging kelinci itu dihidangkan pada beliau maka beliau saw.
hanya menyuruh orang-orang yang ada di sekitar beliau saw. untuk menyantapnya,
sedangkan beliau sendiri tidak ikut makan, demikian pula ketika si arab dusun tidak ikut
makan, maka beliau saw. bertanya padanya, mengapa engkau tidak ikut makan? Jawabnya
“aku sedang puasa tiga hari setiap bulan, maka sebaiknya lakukanlah puasa di hari-hari putih
setiap bulan”. “kalau engkau bisa melakukannya puasa tiga hari setiap bulan maka sebaiknya
lakukanlah puasa di hari-hari putih yaitu pada hari ke tiga belas, empat belas dan ke lima
belas.[3]
3. Puasa hari Senin dan hari Kamis.
Dari Aisyah ra. Nabi saw. memilih puasa hari senin dan hari kamis. (H.R. Turmudzi)[4]
4. Puasa hari Arafah (Tanggal 9 Dzulhijjah atau Haji)
Dari Abu Qatadah, Nabi saw. bersabda: “Puasa hari Arafah itu menghapuskan dosa dua
tahun, satu tahun yang tekah lalu dan satu tahun yang akan datang” (H. R. Muslim)[5]
5. Puasa tanggal 9 dan 10 bulan Muharam.
Dari Salim, dari ayahnya berkata: Nabi saw. bersabda: Hari Asyuro (yakni 10 Muharram) itu
jika seseorang menghendaki puasa, maka berpuasalah pada hari itu.[6]
6. Puasa nabi Daud as. (satu hari bepuasa satu hari berbuka)
Bersumber dari Abdullah bin Amar ra. dia berkata : Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya puasa yang paling disukai oleh Allah swt. ialah puasa Nabi Daud as.
sembahyang yang paling d sukai oleh Allah ialah sembahyang Nabi Daud as. Dia tidur
sampai tengah malam, kemudian melakukan ibadah pada sepertiganya dan sisanya lagi dia
gunakan untuk tidur, kembali Nabi Daud berpuasa sehari dan tidak berpuasa sehari.”[7]
Mengenai masalah puasa Daud ini, apabila selang hari puasa tersebut masuk pada hari Jum’at
atau dengan kata lain masuk puasa pada hari Jum’at, hal ini dibolehkan. Karena yang
5. dimakruhkan adalah berpuasa pada satu hari Jum’at yang telah direncanakan hanya pada hari
itu saja.
7. Puasa bulan Rajab, Sya’ban dan pada bulan-bulan suci
Dari Aisyah r.a berkata: Rasulullah saw. berpuasa sehingga kami mengatakan: beliau tidak
berbuka. Dan beliau berbuka sehingga kami mengatakan: beliau tidak berpuasa. Saya
tidaklah melihat Rasulullah saw. menyempurnakan puasa sebulan kecuali Ramadhan. Dan
saya tidak melihat beliau berpuasa lebih banyak daripada puasa di bulan Sya’ban.[8]
2.3.3 C. PUASA MAKRUH
Menurut fiqih 4 (empat) mazhab, puasa makruh itu antara lain :
1. Puasa pada hari Jumat secara tersendiri
Berpuasa pada hari Jumat hukumnya makruh apabila puasa itu dilakukan secara mandiri.
Artinya, hanya mengkhususkan hari Jumat saja untuk berpuasa.
Dari Abu Hurairah ra. berkata: “Saya mendengar Nabi saw. bersabda: “Janganlah kamu
berpuasa pada hari Jum’at, melainkan bersama satu hari sebelumnya atau sesudahnya.” [9]
2. Puasa sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan
Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi saw. beliau bersabda: “Janganlah salah seorang dari kamu
mendahului bulan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali seseorang yang biasa
berpuasa, maka berpuasalah hari itu.”[10]
3. Puasa pada hari syak (meragukan)
Dari Shilah bin Zufar berkata: Kami berada di sisi Amar pada hari yang diragukan
Ramadhan-nya, lalu didatangkan seekor kambing, maka sebagian kaum menjauh. Maka
‘Ammar berkata: Barangsiapa yang berpuasa hari ini maka berarti dia mendurhakai Abal
Qasim saw.[11]
2.3.4 D. PUASA HARAM
Puasa haram adalah puasa yang dilarang dalam agama Islam. Puasa yang diharamkan. Puasa-
puasa tersebut antara lain:
a. Puasa pada dua hari raya
Dari Abu Ubaid hamba ibnu Azhar berkata: Saya menyaksikan hari raya (yakni mengikuti
shalat Ied) bersama Umar bin Khattab r.a, lalu beliau berkata:”Ini adalah dua hari yang
dilarang oleh Rasulullah saw. Untuk mengerjakan puasa, yaitu hari kamu semua berbuka dari
puasamu (1 Syawwal) dan hari yang lain yang kamu semua makan pada hari itu, yaitu ibadah
hajimu.[12](Shahih Bukhari, jilid III, No.1901)
6. b. Puasa seorang wanita dengan tanpa izin suami
Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. bersabda: “Tidak boleh seorang wanita berpuasa
sedangkan suaminya ada di rumah, di suatu hari selain bulan Ramadhan, kecuali mendapat
izin suaminya.”[13](Sunan Ibnu Majah, jilid II, No.1761)
[1] Muhammad Jawad Mughnoyah, FIQIH LIMA MAZHAB, cet vii, Jakarta: PT Lentera
Basritama, 2001, hlm.167
[2] Adib Bisri Mustofa, TARJAMAH SHAHIH MUSLIM II, Semarang: CVAssyifa, 1993,
hlm.406, Bab sunnah hukumnya berpuasa enam hari pada bulan syawal mengiringi bulan
Ramadhan, Hadits No.204
[3] Ustadz Bey Arifin, dkk, TARJAMAH SUNAN AN-NASA’IY II, Semarang: CVAssyifa,
1992, hlm. 699, Bab berpuasa tiga hari dalam sebulan, Hadits No.2380
[4] Moh. Zuhri Dipl. TAFL, Drs. H., dkk, TARJAMAH SUNAN AT-TIRMIDZI II,
Semarang: CVAssyifa, 1992, hlm. (?) Bab (?) Hadits No. 43
[5] Adib Bisri Mustofa, TARJAMAH SHAHIH MUSLIM II, Semarang: CVAssyifa, 1993,
hlm. 407, Bab sunah berpuasa tiga hari setiap bulan, berpuasa di hari arafah, berpuasa pada
hari Asy Syura dan berpuasa pada hari senin dan kamis, Hadits No.197
[6] Ahmad Sunarto, dkk, TARJAMAH SHAHIH BUKHARI III, Semarang: CVAssyifa,
1993, hlm. 161, Bab puasa asy syura, No. Hadits1909
[7] Adib Bisri Mustofa, TARJAMAH SHAHIH MUSLIM II, Semarang: CVAssyifa, 1993,
hlm. 394-395, Bab sunah berpuasa tiga hari setiap bulan, berpuasa di hari arafah, berpuasa
pada hari Asy Syura dan berpuasa pada hari senin dan kamis, Hadits No. 188
[8] Ahmad Sunarto, dkk, TARJAMAH SHAHIH BUKHARI III, Semarang: CVAssyifa,
1993, hlm. 141-142, Bab Puasa dalam bulan Sya’ban, Hadits No. 1880
[9] ibid, hlm.(?), Bab Puasa pada hari Jum’at, No Hadits 1896
[10] ibid, hlm.100, Bab salah seorang daripada kamu janganlah mendahului bulan Ramadhan
dengan puasa sehari atau dua hari, No Hadits 1830
[11] Al Ustadz H. Abdullah Shonhaji, dkk, TARJAMAH SUNAN IBNU MAJAH II,
Semarang: CV Asy Syifa’ 1992, hlm.441, Bab Puasa di Hari syak, Hadits No. 1645
[12] Ahmad Sunarto, dkk, TARJAMAH SHAHIH BUKHARI III, Semarang: CVAssyifa,
1993, hlm. 157, Bab Puasa pada hari Idul Fitri, Hadits No. 1901
[13] Al Ustadz H. Abdullah Shonhaji, dkk, TARJAMAH SUNAN IBNU MAJAH II,
Semarang: CV Asy Syifa’ 1992, hlm.522, Bab wanita yang berpuasa mendapat izin suami,
Hadits No. 1761