Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1) Dokumen tersebut membahas tentang hadis "Perbedaan itu adalah rahmat" dan berbagai pendapat ulama tentang keabsahan dan penafsiran hadis tersebut.
2) Hadis tersebut dinilai lemah sanadnya oleh sebagian ulama, namun sebagian lain berpendapat bahwa makna hadis tersebut sesuai dengan prinsip Islam.
3) Dokumen tersebut juga membah
Memahami dan menyikapi hadits perbedaan itu rahmat
1. 1
PENGAJIAN MALAM SELASA
MAJELIS TABLIGH MUHAMMADIYAH
DI AULA MADRASAH MU’ALLIMIN MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
Memahami dan Menyikapi Hadits “Perbedaan Itu Rahmat”
Ada sebuah hadits yang sangat populer di masyarakat yang
menyatakan bahwa “perbedaan itu adalah rahmat”. Hadits yang dimaksud
termasuk dari sekian banyak hadits yang – hingga saat ini – diperselisihkan,
bahkan mendapatkan kritik tajam dari ulama yang meneliti tentang
otentisitasnya. Padahal, ada sisi lain yang harus difahami dari hadits itu,
yaitu ‘ruh’ atau spiritnya yang dalam banyak hak bersesuaian dengan prinsip
syari’at Islam yang mengedepankan artipenting “tarâhum” (jalinan kasih
sayang timbal-balik antarmanusia).
Hadits tersebut ialah:
“Perbedaan (yang terjadi pada) umatku adalah rahmat.”
Pengertian hadits ini – hingga saat ini – memang masih belum
disepakati. Di antara ulama masih terjadi silang pendapat, sebagian
mengartikan perbedaan dalam urusan hukum, sebagian lagi mengartikan
perbedaan dalam urusan pekerjaan masing-masing umatku. Namun, semua
pengertian tersebut benar meskipun yang kuat adalah pengertian yang
pertama, yaitu perbedaan dalam hukum. Artinya, ikhtilâf (perbedaan
pendapat) ulama adalah bentuk perluasan bagi umat manusia dalam memilih
pendapat dari bermacam-macamnya pendapat ulama. Namun, jangan
difahami bahwa ikhtilâf itu dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena,
Islam, termasuk di dalamnya ketika bermusyawarah -- menganjurkan adanya
ittifâq (kesepakatan).
Hadits di atas dikeluarkan oleh Nashr al-Maqdisi di dalam kitab al-
Hujjah, al-Baihaqi dalam kitab Risâlah al-Asy’âriyyah tanpa sanad (mu’allaq);
begitu juga al-Halimi, Qadhi Husain, Imam Haramain dan lain-lain. Dan
dalam menyampaikan hadits ini, mereka semua tidak menggunakan shighat
(pernyataan) pasti, tetapi menggunakan kata-kata “َيِوُر (diriwayatkan)”.
Muhammad Nashiruddin al-Albani termasuk ulama yang menolak
keabsahan hadits ini. Beliau, di dalam kitab “Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îf
ah”, juz I, hal. 141, menyatakan dengan dengan kalimat: “ الأصلله ”. (tidak
memiliki dasar). Para ahli hadits telah berupaya didalam meneliti tentang
sanadnya namun mereka semua tidak mendapatkannya kecuali perkataan as-
Suyuthi di dalam kitab “Jâmi’ al-Hadîts”. As-Suyuthi berkomentar:
2. 2
”barangkali ia (hadits ini) diriwayatkan di dalam beberapa kitab hufâzh (para
penghafal hadits) yang belum sampai kepada diri kita.” (As-Suyuthi, Jâmi’al-
Hadîts, juz II, hal. 40, hadits no. 874) Komentar as-Suyuthi ini, menurut
Muhammad Nashiruddin al-Albani, “tidak pantas diyakini oleh setiap
muslim.”
Al-Munawi, menukil dari as-Subki, mengatakan bahwa hadits
tersebut tidak dikenal di kalangan para ulama hadits dan aku tidak
menemukan bahwa hadits itu memiliki sanad yang shahîh, dha’îf atau
maudhû’ (palsu). Hal itu ditegaskan oleh Syeikh Zakaria al-Anshariy di
dalam catatannya tentang “Tafsîr al Baidhâwi”, juz II, hal. 92. (Lihat: As-
Silsilah adh-Dha’îf ah, juz I, hal, 134)
Syaikh Athiyah Saqar mengatakan bahwa hadits “Perbedaan
umatku adalah rahmat” disebutkan oleh al-Baihaqi di dalam kitab “Risâlah
al-Asy’âriyyah”-nya dan mensanadkannya dari hadits Ibnu Abbas di dalam
“al-Madkhal” dengan lafazh “Perbedaan para sahabatku adalah rahmat bagi
kalian.” Dengan sanadnya yang lemah, sebagaimana disebutkan al-Iraqi
didalam ‘takhrîjnya terhadap hadits-hadits yang ada di dalam kitab “Ihyâ
‘Ulûmiddîn”, juz I, hal. 25.
Tetapi ada ulama lain yang berkomentar, bahwa ketika para ulama
menyampaikan hadits ini, mereka semua tidak menggunakan shighat
(penyataan) pasti, tetapi menggunakan kata-kata ““َيِوُر (diriwayatkan)””.
Pernyataan ini sebenarnya mengindikasikan bukti bahwa hadits di atas tidak
maudhû' (palsu). Karena mustahil (tidak mungkin) mereka rela memasukkan
hadits palsu atau maudhû' ke dalam kitab-kitab mereka. Padahal kita tahu,
bahwa mereka – yang menukil hadits tersebut -- adalah kritikus-kritikus
dalam bidang hadits yang handal.
As-Subki – memang -- mengatakan: ”Hadits ini tidak dikenal para
ahli hadits (tidak diriwayatkan dengan sanad), dan aku belum menemukan
sanad shahîh, dha’îf atau maudhû’.” Sementara itu, as-Suyuthi dalam kitab al-
Jâmi’ ash-Saghîr, setelah membawakan hadits tersebut mengatakan:
“Mungkin dikeluarkan pada sebagian kitab huffâzh (penghafal hadits) yang
belum sampai kepada kami.”. Pernyataan ini adalah bentuk kehati-hatian as-
Suyuthi dalam menyikapi hadits yang begitu masyhur dan dibawakan oleh
ulama-ulama ahli hadits (tanpa sanad) yang masyhur kealimannya dan
terdepan di bidangnya. Bukan seperti sikap yang ditunjukkan Muhammad
Nashiruddin al-Albani, yang ---oleh sebagian ulama dipandang sebagai--
bukan ahli hadits terpercaya, tetapi dengan enteng dan tanpa beban
memberikan pernyataan yang terkesan melecehkan as-Suyuthi dengan
mengatakan: ”Menurutku ini sangat jauh, karena konsekuensinya bahwa ada
sebagian hadits Rasulullah saw. yang luput dari umat Islam. Ini tidak layak
diyakini seorang muslim.” Hal ini, menurut sebagian ulama yang
3. 3
mengapresiasi hadits ini, merupakan sebuah statemen (pernyatan) yang
sangat tidak layak ditujukan kepada orang sekaliber as-Suyuthi.
Kehati-hatian as-Suyuthi cukup beralasan, karena selain masyhur
disampaikan ulama-ulama terkemuka dan adil, makna haditsnya juga shahîh,
selain dikuatkan dengan hadits lain [musnad] yang diriwayatkan oleh al-
Baihaqi dalam al-Madkhal Ilâ as-Sunan al-Kubrâ (juz I, hal. 114, hadits no.
113) dan ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus (juz IV, hal. 160, hadits no.
6497) dari Abdullah bin Abbas secara marfu’:
“Perbedaan apa pun di kalangan para sahabatku adalah rahmat.” (Lihat: As-
Suyuthi, Jami’ul Ahâdîts, juz II, hal. 39, hadits no. 873).
Namun, di sisi lain, as-Suyuthi juga memberikan kritik terhadap
sanadnya, dan menyatakannya “dha’if”. (Lihat: Jam’ul Jawâmi, juz I, hal.
20441)
Dan perbedaan sahabat-sahabat Nabi adalah juga perbedaan umat.
Meskipun hadits ini dinilai lemah sanadnya oleh al-Iraqi, namun – menurut
ulama yang mengapresiasi hadits ini -- derajat kelemahannya dapat terangkat
atau menjadi kuat disebabkan adanya riwayat lain yang dibawakan
puteranya, yaitu Abu Zur’ah dan juga Ibnu Sa’ad (mursal dha’if) sebagaimana
masyhur dalam kaedah ahli ushul dan ahli hadits.
Sebagai bukti kebenaran isi kandungan hadits di atas adalah seperti
yang tercatat dalam kitab Fatâwâ, hal. 27 karya Syaikh Husain, Mufti
Malikiyyah di Makkah yang dikutip dari al-Amir Ali Abdul Baqi az-Zurqani
dalam Hâsyiyah Mukhtashar Khalîl, bahwa Imam asy-Syafi'i berkata, "Allah
tidak akan menyiksa seorang hamba karena (meninggalkan) sesuatu yang
masih di perselisihkan ulama dan perselisihan (perbedaan pendapat) ulama
adalah rahmat bagi umat ini".
Umar bin Abdul Aziz menuturkan: “Bukan sesuatu menyenangkan
bagiku, andai para shahabat-shahabat Nabi Muhammad saw tidak berbeda-
beda, karena jika mereka tidak berbeda-beda, maka tidak akan ada rukhshah
(dispensasi hukum)". Maqalah mujaddid pertama ini menunjukkan pebedaan
shahabat-shahabat Nabi tersebut adalah dalam urusan hukum agama selain
juga memberi faham bahwa perbedaan-perbedaan adalah keuntungan
(rahmat) bagi umat selanjutnya. Artinya, para as-Salaf as-Shalih membuka
ruang bagi manusia untuk berijtihad dan diperbolehkan ikhtilaf dalam ijtihad
tersebut. Sebab, andai ruang ijtihad tidak dibuka, tentu akan memersempit
4. 4
para mujtahidin, karena ijtihad dan penyangkaan-penyangkaan tentu tidak
bisa sama.
Pernyatan Umar bin Abdul Aziz tersebut juga menguatkan hadits
yang – menurut sebaguan ulama -- disebut marfu’:
“Sahabat-sahabatku adalah layaknya bintang-bintang di langit, dengan yang mana
kalian mengikuti, niscaya akan mendapat jalan petunjuk. Dan perbedaan-perbedaan
sahabatku bagi kalian semua adalah rahmat.” (Al-Baihaqi, Al-Madkhal Ilâ as-
Sunan al-Kubrâ, juz I, hal. 114, hadits no. 113). Meskipun oleh sebagian
ulama lain disebut sebagai hadits dha’if, bakan maudhu’ (Lihat: Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, As-Silsilah adh-Dha’îf ah, juz I, hal. 61, hadits no. 59
dan Ibnu Hazm, Al-Ihkâm Fî Ushûl al-Ahkâm, juz V, hal. 61)
Ibnu Qudamah al-Hanbali dalam kitab al-‘Aqâ’id – misalnya --
menandaskan: “Perbedaan imam-imam (ulama-ulama) adalah rahmat dan
kesepakatan mereka adalah hujjah.”
Asy-Syathibi mengatakan: “Segolongan ulama salaf menjadikan
perselisihan umat dalam furu’ (masalah fiqh) adalah bagian dari rahmat, dan
jika termasuk bagian dari rahmat maka ulama-ulama yang ikhtilaf tersebut
tidak akan keluar dari jalur dari bagian ahli rahmat.”
Asy-Sya‘rani mengatakan: “Para ahli kasyf menyatakan bahwa
pendapat-pendapat para ulama madzhab adalah sesuai dengan syariat secara
kenyataan (nafs al-amr), meskipun itu tidak diketahui jelas oleh para
pengikutnya. Dan pendapat-pendapat ulama madzhab tersebut adalah sesuai
dengan syariat Nabi terdahulu. Maka jika ada yang mengamalkan apa yang
telah menjadi kesepakatan para ulama-ulama maka dia seperti mengamalkan
mayoritas syariat-syariatnya para nabi.” Penjelasan asy-Sya'rani tersebut
memberi pemahamam kepada kita tentang legalitas (keabsahan) berbeda
pendapat dalam ijtihad dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang tercela.
Jika muncul pertanyaan: Jika ikhtilâf umat adalah rahmat, maka
akan bertentangan dengan larangan ikhtilâf oleh Allah dalam QS Āli
‘Imrân/3: 103,
5. 5
“Berpeganglah kalian semua pada tali Allah dan jangan bercerai berai.” Dan QS
Āli ‘Imrân/3: 105,
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.”
Jawabnya: Antara hadits dan dua ayat tersebut pembicaraannya
masing-masing berbeda. Dua ayat tersebut berbicara tentang terhinanya
orang-orang yang berselisih (ikhtilâf) kepada Rasulnya sebagaimana dalam
hadits: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian hancur karena banyak
berselisih pada nabi-nabinya.” Dan umat Muhammad tidak seperti itu, yakni
berselisih kepada Rasulullah saw, karena telah mengetahui ancaman adzab
besar bagi mereka yang menyelisih Nabinya. Mereka berselisih hanya dalam
urusan hukum fiqh dan ada pemaafan bagi yang salah seperti yang sudah
dimaklumi dalam hadits Nabi.
Bahkan, dalam sejarah sosial-politik umat Islam, dikisahkan bahwa
Khalifah Harun ar-Rasyid sering kali bermusyawarah dengan Imam Malik
serta menganjurkan agar supaya kitab al-Muwaththa’ ditempelkan di dinding
Ka’bah dan orang-orang diajak untuk mengamalkannya. Namun, Imam
Malik menolak dan mengatakan: “Jangan engkau lakukan, karena shahabat
Rasulullah saw berselisih dalam masalah fiqh (furû’) dan sudah tersebar di
daerah-daerah dan semuanya orang benar (dalam ijtihadnya).” Sementara
itu, Zakariyya al-Anshari menceritakan, saat Khalifah al-Manshur berhaji
dan bertemu Imam Malik, beliau mengutarakan maksud hatinya yang
berkeinginan supaya kitab al-Muwaththa’ ditulis dan disalin kemudian
dikirimkan ke daerah orang-orang muslim dan diperintahkan pada mereka
untuk mengamalkannya dan tidak boleh menggunakan yang lain. Imam
Malik menjawab: “Jangan engkau lakukan wahai Amîrul Mu’minîn!
Sesungguhnya pendapat-pendapat (ulama) telah sampai pada mereka dan
mereka juga mendengar hadits Nabi serta meriwayatkannya. Dan setiap
golongan telah mengambil apa yang mereka ketahui dan dijadikan amalan
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Biarkan mereka memilih jalan untuk
mereka masing-masing dalam setiap daerah.”
An-Nawawi dalam kitab Syarh Muslim, juz VI, hal. 27 mengatakan:
”Bukan berarti jika sesuatu itu rahmat maka kebalikannya adalah adzab, dan
tidak ada yang mengatakan seperti itu kecuali orang yang bodoh atau pura-
pura bodoh. Allah berfirman dalam QS al-Qashash/28: 73:
6. 6
“Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu
beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya
(pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.”
Allah menjadikan malam sebagai rahmat dan bukan berarti
kebalikannya, yaitu siang sebagai adzab (Allah juga menjadikan siang
sebagai rahmat, bukan berarti kebalikannya, yaitu malam adalah adzab)
meski siang dan malam adalah waktu yang saling berlawanan. Perkataan an-
Nawawi ini sekaligus membantah pernyataan Ibnu Hazm dalam kitab al-
Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm yang menyalahkan arti dari hadits di atas. Ibnu
Hazm mengatakan: ”Jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah
kebenci, kemarahan atau kemurkaan.”
Untuk menyikapi hadits tersebut, bisa penulis nyatakan, bahwa
tidak setiap perbedaan itu (pasti) akan membawa rahmat. Semuanya
tergantung pada sikap kita terhadapnya. Sebaliknya juga dengan
‘kesepakatan’. Karena, sebagaimana kita ketahui bahwa perbedaan di dalam
berbagai pendapat ijtihadiyah akan memberikan kesempatan kepada
manusia untuk memilih yang sesuai dengan keadaannya. Maka dari sinilah
muncul berbagai madzhab fiqhi yang kita kenal, dan tidak sedikit orang yang
bersikap taqlid kepada madzhab mana pun. Padahal sikap taqlid itu, dalam
banyak hal, bisa menimbulkan kemandekan berpikir di kalangan umat Islam.
Sementara itu, kebebasan berpendapat yang tidak disertai kearifan pun bisa
jadi berakhir menjadi ’sebuah bencana’.
Dengan demikian meskipun hadits tersebut – sebagaimana
ditengarai oleh sebagian ulama -- tidak memiliki dasar atau tidak berasal dari
Rasulullah saw, namun secara maknawi tidaklah ‘salah’ jika kita tempatkan
secara proporsional pada berbagai permasalahan sosial-kemanusiaan,
termasuk di dalamnya pada persoalan ‘Fikih Kontemporer”
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb.
Yogyakarta, 29 Juni 2015