Militer berperan penting dalam revolusi kemerdekaan Indonesia dan menjaga kedaulatan negara, sehingga mereka merasa berhak ikut campur dalam politik. Faktor lainnya adalah konflik internal militer yang menimbulkan demonstrasi massal untuk membubarkan parlemen, serta diberlakukannya undang-undang darurat perang untuk mengatasi berbagai pergolakan daerah. Konsep jalan tengah Nasution kemudian menjadi dasar bagi militer untuk terlibat dalam
1. 1.1 Latarbelakang dan faktor keterlibatan militer dalam politik pemerintahan Indonesia.
Di Indonesia, militer tidak hanya berfungsi dalam ruang lingkup pertahanan dan keamanan
negara. Namun, militer juga berperan aktif dalam bidang politik. Hal ini disebabkan oleh 4
faktor sebagai berikut.
1.1.1 Peran Militer Dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-1949
Dalam proses revolusi kemerdekaan Republik Indonesia, militer sangat berperan penting
sebagai instrumen pertahanan bangsa dari ancaman kekuatan luar maupun dalam. Ini
merupakan sebuah legitimasi bagi militer untuk turut serta dalam pengambilan keputusan
menentukan haluan negara. Misalnya saja militer berhasil menumpas G30S PKI Madiun,
dengan berhasilnya militer mengatasi permasalahan politik itu maka secara langsung, semakin
besarlah peranan militer dalam menentukan garis haluan negara ini.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa militer juga berhasil menjaga kedaulatan bangsa Indonesia
selama perang kemerdekaan (Revolusi Kemerdekaan) yang terjadi pada tahun 1945-1949.
Militer menjadi lembaga nasional yang telah mengalami perkembangan dan pertumbuhan
berkesinambungan selama perang kemerdekaan. Militer mampu menangani berbagai peristiwa
yang mendewasakannya tidak hanya dalam tugas pertahanan dan keamanan tetapi juga dalam
menangani masalah-masalah Politik, sosial, ekonomi, dan pemerintahan (Nugroho, 1984:149).
1.1.2 Campur Tangan Sipil dalam Tubuh Militer
Konflik internal yang terjadi pada Angkatan Darat antara Kolonel Bambang Supeno dengan
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H. Nasution telah menuai berbagai pembicaraan di
kalangan parlemen sehingga menjadikannya sebuah political issue. Bahkan Salah satu tokoh
politik PNI, Zainul Baharudin mengusulkan agar diadakannya reformasi dan reorganisasi
dalam tubuh internal militer. Nasution beranggapan bahwa parlementer telah terlalu dalam
mencampuri urusan internal militer. Menurut Nasution para pemimpin politik tidak mampu
mencapai pemecahan politik bagi masalah-masalah seperti konflik yang terjadi di dalam tubuh
TNI khususnya Angkatan Darat (Sundhahussen, 1986: 119). Hal ini mengakibatkan sekitar
35.000 prajurit melakukan demonstrasi besar-besaran di gedung parlemen pada tanggal 17
Oktober 1952 menuntut presiden Soekarno agar membubarkan parlemen.
1.1.3 Diberlakukannya Undang-Undang Darurat Perang (S.O.B) 1957
Pada tahun 1996 Indonesia mengalami banyak pergolakan di daerah-daerah luar Jawa
dikarenakan ketidakpuasan dengan tindakan pemerintah pusat yang seolah-olah hanya
2. mengabdi pada kepentingan pulau Jawa saja (Sundhaussen. 1986:182). Pergolakan tersebut
diantaranya Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda. Dewan Banteng dibentuk oleh
beberapa tokoh militer yang berasal dari Sumatera Barat yang diketuai oleh Letnan Kolonel
Ahmad Husein. Dewan Gajah dibentuk di Sumatera Utara yang dipimpin oleh Kolonel
Maludin Simbolan. Dewan Garuda dibentuk di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letkol
Barlian.
Gagalnya Indonesia dalam upaya merebut Irian Barat di PBB pada bulan September 1947
menjadi puncak pergolakan daerah yang merupakan wujud kekecewaan terhadap pemerintah
pusat yang menganggap terlalu mengistimewakan pulau Jawa dan tidak memperhatikan
kepentingan daerah.
Hal ini tentunya menimbulkan rasa kecemburuan daerah-daerah terhadap pulau Jawa sehingga
memunculkan berbagai pergolakan di Sumatera dan Sulawesi untuk melepaskan diri dari
NKRI. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah pusat memberlakukan Undang-undang
Darurat Perang pada tanggal 14 Maret 1957. Undang-undang Darurat Perang (S.O.B) ini
merupakan landasan bagi militer untuk mengatur sekaligus menjalankan politik pemerintahan
(Sundhaussen. 1986:184).
1.1.4 Konsep Jalan Tengah Nasution sebagai Dasar Pijakan Militer Terjun dalam Dunia
Politik.
Nasution beralasan bahwa tidak menginginkan tentara Indonesia menjadi seperti prajurit
Amerika Latin yang menjadi kekuatan politik. Namun, di samping itu dia juga tidak mau
meniru model prajurit Eropa yang hanya menjadi alat mati pemerintah sehingga diambillah
jalan tengah yang merangkum secara kumulatif perkembangan orientasi nilai dan keterlibatan
militer di bidang pertahanan dan keamanan serta sosial politik. Nasution juga beranggapan
bahwa militer berhak untuk berpartisipasi dalam politik pemerintahan karena telah berjasa
dalam revolusi kemerdekaan Indonesia selain itu juga berhasil meredakan pergolakan daerah
pada masa diberlakukannya Undang-undang Darurat Perang (S.O.B) pada tahun 1957.
Kemudian Nasution mengusulkan konsep gagasan jalan tengah ini kepada presiden Soekarno
yang pada waktu itu beliau juga membutuhkan kekuatan militer dalam upaya menerapkan
demokrasi terpimpin. Presiden Soekarno beranggapan bahwa jika menggandeng liter maka
keinginannya untuk menerapkan demokrasi terpimpin bisa tercapai dengan mudah sehingga
presiden Soekarno menerima dan menerapkan konsep middle way Nasution yang nantinya
menjadi dasar pijakan militer untuk ikut serta dalam politik pemerintahan di Indonesia.