1. IMAN , ILMU dan AMAL ,ILMU , IMAN dan AMAL.
Fenomena ini banyak mengelirukan segolongan kita yang kadang kala terperangkap dalam
himpitan kalam-kalam yang cuba membawa suatu motif tertentu. Iman, Ilmu, Amal. Sebuah
trilogi yang tidak dapat di pisahkan. Saling terkait. Iman tanpa ilmu, sesat. Ilmu tanpa Amal,
sesat. Amal tanpa ilmu, taklid.
Secara susunan nya kadang kala ia terlalu dipertikai akan kepentiangan untuk menyusun nya.
Ada menyatakan ilmu itu dahulu dari iman , dan ada menyatakan iman dahulu dari amal. Apapun
yang pasti ketiga ini berkait antara satu sama lain.
IMAN , ILMU dan AMAL ,ILMU , IMAN dan AMAL.
Fenomena ini banyak mengelirukan segolongan kita yang kadang kala terperangkap dalam
himpitan kalam-kalam yang cuba membawa suatu motif tertentu. Iman, Ilmu, Amal. Sebuah
trilogi yang tidak dapat di pisahkan. Saling terkait. Iman tanpa ilmu, sesat. Ilmu tanpa Amal,
sesat. Amal tanpa ilmu, taklid.
Secara susunan nya kadang kala ia terlalu dipertikai akan kepentiangan untuk menyusun nya.
Ada menyatakan ilmu itu dahulu dari iman , dan ada menyatakan iman dahulu dari amal. Apapun
yang pasti ketiga ini berkait antara satu sama lain.
ILMU
Ilmu sesuatu yang sering diutamakan. Tidak dipelihara dengan baik. Kadang ilmu hanya
dijadikan sesuatu yang nisbi /relatif. Ada tapi tidak ada atau Tidak ada tetapi ada? Tetapi yang
pasti adalh ilmu itu satu kewajipan yang tidak bole di pertikai kerana terdapat bukti dan dalil
yang pasti semua mengetahuinya.
Akhir-akhir ini satu fenomena yang ditemui, yang membuat kita ketahui bahawa kadang-kadang
seseorang tidak faham dengan ilmu yang dipelajarinya. Untuk apa ilmu itu digunakan? Akan
bagaimana bila mengamalkan ilmu itu? Fenomena klasik, tapi tetap membuat kita tidak habis ber
fikir.
Belajar, mencari ilmu kadang di jadikan formula belaka. Kerana maruah, harga diri, atau bahkan
desakan dari pihak orang lain, orang tua, suami, isteri, desakan majikan ,dan lain-lain lagi. Pada
akhirnya ilmu tidak meresapi dalam diri. Tidak meninggalkan bekas. Bahkan mungkin, tidak
menjadikan diri lebih baik.
IMAN
2. Iman pula melahirkan penyaksian mata hati (musyahadah) terhadap ketuhanan Allah s.w.t pada
setiap pandangan kepada segala perkara. Allah s.w.t berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman! Tetapkanlah iman kamu kepada Allah dan Rasul-Nya…
(Ayat 136 : Surah an-Nisaa’)
Sabda rasulullah :
“Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan
tanpa iman”…. [HR. Ath-Thabrani]
Ayat di atas ditujukan kepada orang yang sudah beriman. Mereka sudah pun beriman tetapi
masih digesa supaya beriman. Iman pada tahap permulaan berdasarkan dalil-dalil dan
pembuktian. Kemudian mereka diajak pula kepada iman dengan penyaksian mata hati,
menyaksikan Rububiyah yang tidak pernah berpisah daripada ubudiyah. Tanpa penyaksian
terhadap Rububiyah segala amal tidak berguna kerana orang yang beramal menisbahkan amal itu
kepada dirinya sendiri, sedangkan tiada yang melakukan sesuatu melainkan dengan izin Allah
s.w.t, dengan Kudrat dan Iradat-Nya, dengan Haula dan Kuwwata-Nya. Himpunan amal sebesar
gunung tidak dapat menandingi iman yang sebesar zarah. Orang yang beriman dan menyaksikan
Rububiyah pada segala perkara dan semua amal itulah orang yang memperolehi nikmat yang
sempurna lahir dan batin, kerana hubungannya dengan Allah s.w.t tidak pernah putus. Orang
inilah yang berasa puas dengan berbuat taat kepada Allah s.w.t dan berasa cukup dengan-Nya,
kerana tiada Tuhan melainkan Allah s.w.t dan tidak berlaku sesuatu perkara melainkan menurut
ketentuan-Nya. Apa lagi yang patut dibuat oleh seorang hamba melainkan taat kepada-Nya dan
menerima keputusan-Nya.
Kesimpulannya iman merupakan penentu sah sesuatu amalan seorang hamb a yang mengaku
iman kepadaNYA
AMAL
Amal merupakan satu aplikasi yang hasil dari gabungan ilmu dan iman kerana kebenaran iman
dapat di lihat amal soleh seseorng .Allah bersumpah demi sesungguhnya manusia itu rugi andai
beriman tanpa amal
Allah SWT berfirman, "Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, serta saling menasihati untuk kebenaran
dan saling menasihati untuk kesabaran." (Surah Al-Asr : 1-3).
“Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan
tanpa iman”…. [HR. Ath-Thabrani]
Berdasarkan bukti dan dalil di atas tidak sempurna iman dan ilmu seseorng itu melainkan dengan
disulami dengan amal yang terhasil kefahaman dari ilmu ,dan penyatuan yang hadir hasil
penyaksian bahawa ianya benar dan hasilnya , anggota badan itu yang bergerak demi
merealisasikan ilmu dan iman dengan amal nya .
HUBUNGAN ILMU ,IMAN dan AMAL
.
3. Tentang hubungan antara iman dan amal, demikian sabdanya,
“Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan
tanpa iman”…. [HR. Ath-Thabrani] kemudian dijelaskannya pula bahwa, “Menuntut ilmu itu
wajib atas setiap muslim”…. [HR. Ibnu Majah dari Anas, HR. Al Baihaqi] Selanjutnya, suatu
ketika seorang sahabatnya, Imran, berkata bahwasanya ia pernah bertanya, "Wahai Rasulullah,
amalan-amalan apakah yang seharusnya dilakukan orang-orang?". Beliau Saw. menjawab:
"Masing-masing dimudahkan kepada suatu yang diciptakan untuknya"…. [HR. Bukhari]
“Barangsiapa mengamalkan apa yang diketahuinya, niscaya Allah mewariskan kepadanya ilmu
yang belum diketahuinya.”…. [HR. Abu Na’im] ”Ilmu itu ada dua, yaitu ilmu lisan, itulah hujjah
Allah Ta’ala atas makhlukNya, dan ilmu yang di dalam qalb, itulah ilmu yang bermanfaat.” ….
[HR. At Tirmidzi] ”Seseorang itu tidak menjadi ‘alim (ber-ilmu) sehingga ia mengamalkan
ilmunya.” …. [HR. Ibnu Hibban]
Sekali peristiwa datanglah seorang sahabat kepada Nabi Saw. dengan mengajukan pertanyaan:
”Wahai Rasulullah, apakah amalan yang lebih utama ?” Jawab Rasulullah Saw.: “Ilmu
Pengetahuan tentang Allah ! ” Sahabat itu bertanya pula “Ilmu apa yang Nabi maksudkan ?”.
Jawab Nabi Saw.: ”Ilmu Pengetahuan tentang Allah Subhanaahu wa Ta’ala ! ” Sahabat itu
rupanya menyangka Rasulullah Saw salah tangkap, ditegaskan lagi “Wahai Rasulullah, kami
bertanya tentang amalan, sedang Engkau menjawab tentang Ilmu !” Jawab Nabi Saw. pula
“Sesungguhnya sedikit amalan akan berfaedah bila disertai dengan ilmu tentang Allah, dan
banyak amalan tidak akan bermanfaat bila disertai kejahilan tentang Allah”[HR. Ibnu Abdil Birr
dari Anas]
Kejahilan adalah kebodohan yang terjadi karena ketiadaan ilmu pengetahuan. Dengan demikian,
kualiti amal setiap orang menjadi sangat berkaitan dengan keimanan dan ilmu pengetahuan
karena ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka
diberi petunjuk oleh Rabb mereka kerana keimanannya … QS.[10]:9. Ilmu pengetahuan tentang
Allah Subhanaahu wa Ta’ala adalah penyambung antara keimanannya dengan amalan-amalan
manusia di muka bumi ini. Sebagaimana kaedah pengaliran iman yang diajarkan oleh Rasulullah
Saw. bahwasanya iman adalah sebuah tashdiq bi-l-qalbi yang di ikrarkan bi-l-lisan dan di
amalkan bil arkan …Dengan itu di simpulkan bahawa kita jangan memisah ketiga komponen
yang telah kita perhatikan tadi , kerana pemisahan setiap komponen menjadikan islam itu janggal
dan susah dan sukar.
Posted by AMINUDDIN BIN ALIAS
1 Comment:
Anissa Nurainy said...
subhanallah, atikel ini telah menyadarkan saya akan pentingnya seorang manusia dalam
mengamalkan ilmu yang telah ia dapat sesuai dengan hadist :“Barangsiapa mengamalkan
apa yang diketahuinya, niscaya Allah mewariskan kepadanya ilmu yang belum
diketahuinya.”…. [HR. Abu Na’im] ”Ilmu itu ada dua, yaitu ilmu lisan, itulah hujjah
4. Allah Ta’ala atas makhlukNya, dan ilmu yang di dalam qalb, itulah ilmu yang
bermanfaat.” …. [HR. At Tirmidzi] ”Seseorang itu tidak menjadi ‘alim (ber-ilmu)
sehingga ia mengamalkan ilmunya.” …. [HR. Ibnu Hibban]
terima kasih atas artikelnya.
Hubungan Iman dan Ilmu
Berilmu
Hubungan iman dan ilmu
Beriman berarti meyakini kebenaran ajaran Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Serta dengan penuh ketaatan menjalankan ajaran tersebut. Untuk dapat
menjalankan perintah Allah SWT dan rasul kita harus memahaminya terlebih dahulu
sehingga tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah dan RasulNya. Cara
memahaminga adalah dengan selalu mempelajari agama(islam).
Iman dan Ilmu merupakan dua hal yang saling berkaitan dan mutlak adanya.
Dengan ilmu keimanan kita akan lebih mantap. Sebaliknya, dengan iman orang yang
berilmu dapat terkontrol dari sifat sombong dan menggunakan ilmunya untuk
kepentingan pribadi bahkan untuk membuat kerusakan. Albert Einsten pernah
mengatakan:”religion without science is lame and science without religion is blind”.
Dalam surat al Mujadilah ayat 11 dijelaskan sebagai berikut;
نا قيل ذاوا لمك هللا يفسحفافسحوا اجملالس يف تفسحوا لمك قيل ذاا منواأ اذلين هياأ ايهللا فعريزشوانفا زشوا
خبري تعملون مبا وهللا درجات العمل تواوأ واذلين منمك منواأ اذلين
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka
lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Pada bagian akhir ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah SWT akan
mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu. Kedua hal tersebut merupakan
rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Untuk memperoleh derajat yang lebih tinggi,
kita harus beriman dan berilmu.
Hukum menuntut ilmu
Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Kewajiban itu berlaku
bagi laki-laki atau perempuan, anak-anak ataupun dewasa. Ilmu yang wajib diketahui
5. oleh setiap muslim adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tata cara peribadahan
kepada Allah. Karena setiap muslim wajib beribadah kepada allah SWT. Sedangkan
beribadah tanpa mengetahui ilmunya dapat mengakibatkan kesalahan, yang pada
akhirnya ibadah tersebut tidak diterima Allah SWT.
Manfaat menuntut ilmu
Orang yang menuntut ilmu memperoleh pahala seperti orang berjihad
Menuntut ilmu mempunyai kebaikan sebih baik daripada sholat seratus rakaat
Orang yang suka mencari ilmu akan dimudahkan jalannya menuju syurga dan dinaungi
para malaikat
Menuntut ilmu menambah pengetahuan yang belum diketahui.
Perilaku Orang Yang Senang Menuntut Ilmu
Perilaku yang mencerminkan sikap menuntut ilmu antara lain:
a. Rajin menghadiri majelis-majelis ilmu
b. Rajin membaca buku-buku keilmuan
c. Tidak malu bertanya jika belum mengetahuinya
d. Rela mengeluarkan biaya dalam rangka memperoleh ilmu
e. Menggunakan waktu luang untuk menambah pengetahuan
f. Selalu mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru
g. Melakukan diskusi atau tukar pikiran dengan orang lain
h. Mengikuti lomba-lomba yang berkaitan dengan keilmuan.
Majelis Aula Hikmah
Blog
Alumni Darussalam Ciamis
BukuTamu
Catatan
PesantrenPondok Iqra’
Saya
Cari Blog in
Kaitan Antara Iman, Ilmu, Akal, Lemahlembut dan Lunak
Desember 16, 2007 pada 8:55 am | Ditulis dalam Agama, Artikel, Humor, Islam,Komunikasi,Pendidikan,Pesantren
Pondok Iqra' | 9 Komentar
6. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baiknya pembantu iman adalah ilmu. Sebaik-baiknya
pembantu ilmu adalah akal. Sebaik-baiknya pembantu akal adalah kelemahlembutan, dan
sebaik-baiknya pembantu kelemahlembutan adalah kelunakan.“
Hadist di atas merupakan sebuah nasihat sekaligus jawaban mengenai pertanyaan yang sering
kali muncul dalam benak kita, yaitu tentang bagaimana cara memperoleh keimanan, menjaganya
agar tetap bersemayam bahkan semakin kuat mengakar dalam hati. Selain itu, sabda Rasulullah
SAW tersebut menjadi pijakan dasar bagi setiap muslim untuk memperoleh kenikmatan iman
berupa keridloan Allah SWT di dunia dan di akhirat kelak.
Keterkaitan Antara Iman dan Ilmu
Pada bagian pertama, Rasulullah SAW menyatakan bahwa sebaik-baiknya pembantu iman
adalah ilmu (pengetahuan). Maksudnya adalah, ketika seseorang berhasrat meneguhkan imannya
maka jalannya adalah ilmu, bahkan dengan sebab ilmu pulalah sebenarnya seseorang dapat
menemukan Tuhannya. Singkatnya, ilmu merupakan modalitas utama menggapai keimanan yang
sempurna atau haqqul yakin, karena tidak akan tercipta keyakinan dalam iman jika tidak disertai
ilmu.
Pembahasan mengenai iman secara langsung akan terkait dengan masalah yakin (ketidakraguan),
tidak lain karena iman merupakan perbuatan hati yang dibangun atas dasar ilmu pengetahuan
yang telah diperoleh seseorang sehingga tertutup baginya kemungkinan terasuki oleh keraguan.
Iman dituntut untuk berdiri di atas keyakinan yang kuat dan tidak boleh setengah-setengah,
karena iman yang berdiri di atas keyakinan akan memberikan ketentraman batiniyah dan
melahirkan tindakan (amal) yang spontan serta tidak disertai dengan keragu-raguan. Keyakinan
adalah ketetapan ilmu yang tidak berputar-putar, tidak terombang-ambing dan tidak berubah-
ubah dalam hati. Dalam pembahasan ilmu kalam, keyakinan biasa disebut pula dengan akidah,
akidah sendiri didefinisikan sebagai keimanan yang kokoh di dalam hati dan dipilih menjadi
jalan hidup.
Sepintas di atas telah diulas mengenai keterkaitan antara iman iman -yang mencapai taraf yakin-
dengan ilmu. Selanjutnya, dengan memahami pengertian dan hakikat ilmu, kita dengan mudah
akan menemukan keterkaitan antara keduanya.
Ilmu secara harfiah diartikan sebagai pengetahuan, ia merupakan lawan kata dari jahlun yang
berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Ilmu bersepadan dengan kata bahasa arab lainnya, yaitu
makrifat (pengetahuan), fiqh (pemahaman) hikmah (kebijaksanaan) dan syu’ur (perasaan).
Al-Ilmu itu sendiri dikenal sebagai sifat utama Allah SWT. Dalam bentuk kata yang berbeda,
Allah SWT disebut juga sebagai al-‘Alim dan ‘Aliim, yang artinya: “Yang Mengetahui” atau
“Yang Maha Tahu”.
Secara umum, ilmu atau pengetahuan terbagi ke dalam dua kelompok: pengetahuan biasa
(knowledge) dan pengetahuan ilmiah (science). “Pengetahuan biasa” dapat diperoleh melalui
pengupayaan dari keseluruhan potensi kemanusiaan seperti perasaan, fikiran, pengalaman,
pancaindera, dan intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan objek, cara dan
7. kegunaannya. “Pengetahuan ilmiah” hakikatnya merupakan keseluruhan bentuk upaya
kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi dengan cara memperhatikan objek yang ditelah,
cara yang digunakan, dan kegunaan pengetahuan tersebut, dengan kata lain pengetahuan ilmiah
memperhatikan objek ontologis, landasan epistimologis, dan landasan aksiologis dari
pengetahuan itu sendiri. Dalam pembahasan ini, ilmu yang dimaksudkan di sini adalah
pengetahuan jenis kedua.
Dalam kajian Islam, ilmu pada awalnya lahir dari keinginan untuk memahami wahyu yang
terkandung dalam alquran dan bimbingan Nabi Muhammad SAW mengenai wahyu tersebut. Al-
quran sendiri banyak berbicara mengenai pentingnya ilmu dan kedudukannya yang teramat
tinggi bagi siapapun yang mencari dan memilikinya.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sekiranya
aku bertemu dengan hari baru, yang ilmuku tidak bertambah pada hari itu, yaitu ilmu yang
membuatku semakin dekat dengan Allah ‘Azza wa Jalla, maka tidak ada keberkahan apa-apa
bagiku dalam terbitnya matahari pada hari tersebut.” (HR. Ibnu Hibban)
Ilmu dan Akal
Pada bagian kedua, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa sebaik-baiknya pembantu ilmu adalah
akal. Ketika seseorang menginginkan ilmu, ia harus mengupayakannya dengan cara
mempelajarinya. Dan alat utama untuk mempelajari ilmu adalah akal.
Secara bahasa, akal berarti daya atau kekuatan fikiran (quwwatu al-idrak) atau pemahaman (al-
fahmu). Juga terdapat istilah lain dari akal, yaitu an-nazr (berfikir secara mendalam) dan al-fikr
atau logika.
Akal merupakan daya atau kekuatan yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia
sebagai alat berfikir dan alat untuk mempertimbangkan serta memikirkan baik buruknya sesuatu.
Akal adalah potensi yang diberikan Allah SWT kepada manusia di samping nafsu. Kedua unsur
ini (akal dan nafsu) termasuk dalam alam rohani (nonfisik).
Akal merupakan potensi ruhani yang dipersiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Quran:
”Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu“. (QS:29:43)
Adapun bagi mereka yang dikaruniai akal, namun kemudian tidak mempergunakannya untuk
memperoleh cahaya ilahi (dalam bentuk ilmu), Allah SWT sangat mencela orang-orang
yang demikian bahkan mengancamnya dengan azab neraka jahannam. Kita perhatikan firman
Allah SWT berikut ini:
َل ِسْنِْاْل َو ِن ِجْلا َنِم ا ًيرِثَك َمَّنَهَجِل اَنْأ َرَذ ْدَقَلَوِب َونُعَمْسَي ََل ٌانَذآ ْمُهَلَو اَهِب َونُر ِصْبُي ََل ٌنُيْعَأ ْمُهَلَو اَهِب َونُهَقْفَي ََل ٌوبُلُق ْمُهََ َِِلوُأ اَه
َونُلِفاَغْلا ُمُه ََ َِِلوُأ ُّلَضَأ ْمُه ْلَب ِامَعْنَ َْاْلك
8. “Dan sesungguhnya Kami jadikan (Kami ciptakan) untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari
jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami ayat-ayat
Allah (yakni perkara hak) dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk
melihat tanda-tanda kekuasaan Allah (yaitu bukti-bukti yang menunjukkan kekuasaan Allah
dengan penglihatan yang disertai pemikiran) dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak
dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah (ayat-ayat Allah dan nasihat-nasihat-Nya
dengan pendengaran yang disertai pemikiran dan ketaatan), mereka itu bagai binatang ternak
(dalam hal tidak mau mengetahui, melihat dan mendengar) bahkan mereka lebih sesat (dari
hewan ternak itu, sebab hewan ternak akan mencari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya dan ia
akan lari dari hal-hal yang membahayakan dirinya tetapi mereka itu berani menyuguhkan dirinya
ke dalam neraka dengan menentang) mereka itulah orang-orang yang lalai“.
Orang yang tuli, bisu dan buta dalam ayat di atas merupakan suatu perumpamaan yang merujuk
kepada “orang-orang yang tidak menggunakan akalnya”, padahal mereka sebenarnya memiliki
akal. Orang yang berakal adalah orang yang sadar, bisa berfikir, tidak gila, dan termasuk dalam
kriteria mukallaf yaitu orang yang terikat kewajiban untuk melaksanakan perintah Allah SWT.
Akal -termasuk di dalamnya perasaan-yang telah di anugerahkan Allah SWT kepada mereka
ternyata tidak dipergunakan untuk memahami keesaan dan kebesaran Allah SWT, padahal
kepercayaan pada keesaan Allah SWT itu akan membersihkan jiwa mereka dari segala macam
was-was dan dari sifat hina serta rendah diri serta menanamkan pada diri mereka rasa percaya
terhadap dirinya sendiri.
Golongan ini mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat bukti kebenaran dan
keesaan Allah SWT. Segala kejadian yang terekam dalam sejarah manusia, segala peristiwa yang
terjadi dalam kehidupan manusia setiap hari, yang terlihat dan yang terdengar tidak menjadi
bahan pemikiran dan perenungan untuk dianalisa kemudian dijadikan sebagai pelajaran yang
dapat dipetik manfaatnya.
Oleh Allah SWT mereka disejajarkan dengan binatang, bahkan lebih buruk, sebab binatang tidak
mempunyai daya pikir untuk mengolah hasil penglihatan dan pendengaran mereka. Binatang
memberikan tanggapan atau reaksi terhadap dunia luar secara instinctif dan bertujuan hanya
untuk mempertahankan hidup. Itu sebabnya kenapa hewan makan dan minum serta memenuhi
kebutuhannya, tidak melampaui dari batas kebutuhan biologis hewaninya. Berbeda dengan
manusia yang acapkali berperilaku secara berlebihan disebabkan akalnya telah dikalahkan oleh
hawa nafsu.