Dokumen tersebut membahas tentang tren demografi dengan gaya kepemimpinan terkait usia dan gender serta tuntutan kompetensinya. Dibahas pula peluang dan tantangan bonus demografi Indonesia beserta isu ketenagakerjaan akibat revolusi industri 4.0."
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
TREND DEMOGRAFI
1. TUGAS RUTIN_9
“TREND DEMOGRAFI DENGAN GAYA KEPEMIMPINAN AGE-REALTED
LEADERSHIP & GENDER-RELATED LEADERSHIP SERTA TUNTUTAN
KOMPETENSINYA”
NAMA MAHASISWA : SULHAN HAMID LUBIS
LIDYA ARDIYAN
RUSDIMAN AB
NIM : 8216113003
8216113002
8216113001
DOSEN PENGAMPU : Dr. AMAN SIMARE-MARE, MS
MATA KULIAH : KEPEMIMPINAN
PROGRAM STUDI S3 MANAJEMEN PENDIDIKAN
PROGRAM PASCA SARJANA - UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
APRIL 2021
2. TREND DEMOGRAFI DENGAN GAYA KEPEMIMPINAN AGE-REALTED
LEADERSHIP & GENDER-RELATED LEADERSHIP SERTA TUNTUTAN
KOMPETENSINYA
A. Konsep Dasar Demografi
Kata demografi pertama kali digunakan oleh Achille Guilard pada tahun 1885,
dalam bukunya yang berjudul Elements de Statistique Humaine, ou Demographie
Comparee. Demografi berasal dari kata demos yang berarti penduduk dan grafein
yang berarti gambaran. Jadi demografi adalah ilmu yang mempelajari penduduk
atau manusia terutama tentang kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk
yang terjadi. Demografi sendiri sebenarnya melibatkan studi ilmiah tentang ukuran,
penyebaran penduduk secara geografi maupun spasial, komposisi penduduk, dan
perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Pada tahun tersebut Achille Guilard
mengatakan bahwa demografi merupakan ilmu yang mempelajari segala sesuatu
dari keadaan dan sikap manusia yang dapat diukur yaitu meliputi perubahan secara
umum, fisik dan kondisi moral. (Harmadi: 2016). Sedangkan PBB (1958)
mendefinisikan bahwa demografi adalah studi ilmiah terhadap populasi manusia,
terutama terhadap jumlah, struktur, dan perkembangannya. Masalahdemografi
lebih ditekankan pada perubahan dinamika kependudukan karena pengaruh
perubahan fertilitas, mortalitas dan migrasi.
Berdasarkan estimasi yang diterbitkan oleh Biro Sensus Amerika Sependuduk
dunia mencapai 7,7 miliar jiwa pada tanggal Februari 2021. Dari sekitar 7,8 miliar
penduduk dunia, 4 miliar diantaranya tinggal di Asia. Tujuh dari sepuluh negara
berpenduduk terbanyak di dunia berada di Asia (meski Rusia juga terletak di
Eropa).(wikipedia; 2021)
Sejalan dengan proyeksi populasi, angka ini terus bertambah dengan kecepatan
yang belum ada dalam sejarah. Diperkirakan seperlima dari seluruh manusia yang
pernah hidup pada enam ribu tahun terakhir, hidup pada saat ini.
Pada tanggal 10 Juli 2021 pukul, jumlah penduduk dunia akan mencapai 7.8
miliar jiwa. Badan Kependudukan PBB menetapkan tanggal 12 Oktober 1999
sebagai tanggal di mana penduduk dunia mencapai 6 miliar jiwa, sekitar 12 tahun
setelah penduduk dunia mencapai 5 miliar jiwa.
3. Populasi dunia 1950-2021
Kecepatan pertumbuhan 1950-2021
Berikut adalah peringkat negara-negara di dunia berdasarkan jumlah
penduduk (2021): 1) Republik Rakyat Tiongkok (1,412. M jiwa), 2) India
(1.387.600.000 jiwa), 3) Amerika Serikat (332.486.698 jiwa), 4) Indonesia
(278.173.879 jiwa), 5) Pakistan (225.839.946 jiwa), 5) Brazil (212.332.794 jiwa), 6)
Nigeria (197.911.988 jiwa), 7) Bangladesh (171.779.628 jiwa), 8) Russia (152.610.309
jiwa), 9) Jepang (126.417.244 jiwa)
B. Pengertian Trend Demografi
Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), bonus
demografi mengandung arti sebagai bonus yang dinikmati suatu negara sebagai
akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam
evolusi kependudukan yang dialaminya. Pada periode itu, jumlah usia angkatan
kerja, yakni yang berusia 15-64 tahun, diperkirakan mencapai sekitar 70%. Bonus
demografi terjadi pada saat angka beban ketergantungan dependency ratio
menurun, dan ketika angka beban ketergantungan berada pada titik terendah akan
4. memberikan jendela peluang atau windows of opportunity dalam suatu negara.
Sementara itu bonus demografi akan berakhir berakhir ketika jumlah penduduk
lansia semakin meningkat sehingga rasio ketergantungan kembali meningkat.
Berakhirnya bonus demografi akan memberikan tekanan baru pada suatu negara
berupa pemanfaatannya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya bagi
pembangunan (Eny: 2017).
Bonus demografi adalah suatu keadaan negara dimana jumlah usia
produktifnya (15-64th) lebih banyak dibanding usia tidak produktif (0-4 dan >65).
Bonus demografi di Indonesia sudah mulai dari tahun 2010, keadaan ini akan
berlangsung hingga tahun 2030, bahkan maksimal 2035.
Bonus demografi dapat menjadi nikmat demografi jika seluruh stakeholder
bersinergi untuk menghadapi tantangan-tantangan yang ada, tetapi juga dapat
menjadi laknat demografi jika tidak mempersiapkan dengan sangat baik.
Bonus demografi tidak dapat berulang didalam satu siklus demografi. Saat
window of opportunity berakhir, perekonomian secara otomatis mengikuti siklus
demografi berikutnya. Artinya kesempatan untuk menikmati bonus demografi
terbatas.
Tren demografi adalah perubahan dalam suatu populasi dari waktu ke waktu.
Sebagian besar waktu, tren demografis adalah hasil dari pergeseran konteks sosial,
politik, dan ekonomi.
Satu tren demografis penting adalah bahwa orang yang lebih tua akan melebihi
jumlah anak untuk pertama kalinya dalam sejarah pada tahun 2030. Tahun itu, satu
dari lima penduduk akan lebih tua dari 65. Rasio ketergantungan (rasio usia kerja
untuk orang dewasa usia pensiun) akan meningkat, berpotensi menempatkan beban
yang lebih tinggi pada generasi muda dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Tren lain adalah bahwa rumah tangga yang dikepalai oleh milenium (orang
berusia antara 23 dan 38 tahun) berpenghasilan lebih banyak daripada orang yang
lebih tua daripada mereka yang seusia. Meskipun demikian, milenium memiliki
lebih sedikit kekayaan daripada baby boomer (yang berusia 55 hingga 73 tahun)
ketika mereka masih muda, yang telah dikaitkan dengan tingkat utang siswa yang
lebih tinggi saat ini.
Demografi adalah memainkan peran yang berpengaruh dalam kesehatan
ekonomi. Cara mudah menghitung pertumbuhan ekonomi adalah dengan
5. menggunakan produk domestik bruto. GDP mengukur nilai total barang dan jasa
yang diproduksi di suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun.
Ketika kamu membandingkan perubahan tahun-ke-tahun dalam PDB (disesuaikan
dengan inflasi), Hal ini dapat dilihat apakah ekonomi tumbuh, tetap sama atau
menyusut.
Ada tiga alasan utama mengapa ekonom percaya populasi yang menua
menyebabkan pertumbuhan PDB melambat:
1. Ada lebih sedikit orang usia kerja untuk menyediakan tenaga kerja dan
menciptakan barang dan jasa.
2. Pertumbuhan populasi yang lebih rendah dapat menyebabkan pajak yang lebih
tinggi – Jika pemerintah ingin mempertahankan tingkat penerimaan pajak yang
sama dari lebih sedikit orang, maka setiap orang harus membayar pajak lebih
tinggi. Pajak yang lebih tinggi berarti lebih sedikit uang yang tersisa untuk
membeli barang dan jasa, yang berarti permintaan lebih rendah.
3. Orang yang lebih tua dikenal lebih banyak menabung dan meminjam, artinya
lebih sedikit uang yang digunakan untuk pertumbuhan investasi.
Karakteristik demografis lainnya juga dapat memengaruhi ekonomi. Misalnya,
ketika tingkat pendidikan suatu negara meningkat, ia menghasilkan lebih banyak
pekerja terampil, yang biasanya meningkatkan produktivitas dan mendorong
pertumbuhan ekonomi.
C. Peluang dan tantangan Bonus Demografi
6. Bonus demografi merupakan kondisi dimana jumlah penduduk produktif lebih
banyak dibandingkan penduduk pada usia tidak produktif. Menurut Jati (2013,
dalam Sri Maryati, 2018) terdapat beberapa keuntungan yang akan didapatkan
sebuah negara apabila mengalami bonus demografi, seperti penawaran tenaga kerja
yang memenuhi kebutuhan industri. Kedua, potensi peningkatan pendapatan per
kapita disebabkan tenaga kerja produktif dan adanya peluang kerja. Ketiga,
peningkatan peran perempuan dalam pasar kerja. Serta terakhir peningkatan
tabungan masyarakat dan dapat dikelola untuk kegiatan produktif.
Data BPS menyebutkan bahwa pada tahun 2019, jumlah usia produktif di
Indonesia mencapai 67% dari total penduduk di Indonesia. Sekitar 45% dari 67%
usia produktif tersebut berusia 15-34 tahun. Pada kondisi tersebut Indonesia berada
pada kondisi bonus demografi karena jumlah usia produktif menanggung lebih
sedikit penduduk tidak produktif. Akan tetapi terdapat pula tantangan setelah
bonus demografi, yaitu masa aging society. Aging society yaitu usia lansia akan
meningkat.
7. Isu Ketenagakerjaan dalam Revolusi Industri 4.0
Revolusi industri 4.0 merupakan terminologi yang digunakan untuk
menjelaskan peralihan model bisnis dari akibat perkembangan teknologi. Revolusi
keempat ditandai dengan penggunaan Internet of Things (IoT) yang
menghubungkan mesin dengan sistem teknologi informasi. Lalu ada penggunaan big
data sebagai materi analisis kondisi secara real time, pengelolaan, hingga
memproyeksikan kondisi yang akan terjadi. Selanjutnya ada pula penggunaan robot,
collaborative robot, sensor, virtual dan augmented reality, hingga 3D printing dalam
industri manufaktur dan industri menengah.
Selama ini industri manufaktur Indonesia menyerap banyak tenaga kerja.
Adanya revolusi industri 4.0 mengubah struktur tenaga kerja di berbagai negara,
sedangkan Indonesia sendiri saat ini sedang menuju ke arah tersebut juga.
Transformasi tenaga kerja akibat revolusi industri 4.0 merupakan sebuah
keniscayaan.
World Economic Forum pada tahun 2018 melakukan analisis dan menjelaskan
bahwa terdapat beberapa perubahan struktur ketenagakerjaan akibat revolusi
industri 4.0. Seperti akan adanya perubahan dari proses produksi yang sederhana
dan tradisional menuju otomasi dan augmentatif. Diproyeksikan bahwa beberapa
pekerjaan yang dilakukan oleh manusia dapat digantikan dan lebih berkembang
apabila dilakukan oleh mesin dan teknologi informasi.
Di sisi lain ada pula perspektif yang dapat disebut “Augmented strategy”.
Strategi tersebut merujuk pada upaya bisnis untuk melakukan otomasi terhadap
beberapa pekerjaan untuk melengkapi perkerjaan saat ini. Serta bertujuan untuk
membantu dan menambah kekuatan dari pekerjaan yang dilakukan manusia.
Menurut penelitian McKinsey pada tahun 2017, terdapat beberapa tugas yang
dapat digantikan oleh mesin, sehingga tidak keseluruhan pekerjaan manusia.
Diproyeksikan sekitar dua dari tiga tugas saat ini dapat diotomasi dengan teknologi
yang ada sekarang. Serta sekitar satu dari empat peran atau pekerjaan saat ini
memiliki 70% tugas yang dapat diotomasi. Konteks Indonesia sendiri menurut
analisis McKinsey (2017), sekitar 49-51% tenaga kerja Indonesia berpotensi
digantikan mesin apabila mengadaptasi teknologi yang telah ada saat ini.
8. Tantangan
Bonus demografi yang didapatkan oleh Indonesia juga memiliki beberapa
risiko. Apabila potensi bonus demografi tidak dapat dimanfaatkan dengan baik,
maka terdapat potensi masalah sosial dan ekonomi yang akan ditimbulkan. Seperti
pengangguran yang tinggi, konflik sosial, kriminalitas, tenaga kerja dengan tingkat
pendidikan yang rendah, dan lain-lain.
Tantangan berikutnya yaitu bagaimana bonus demografi Indonesia dapat
memanfaatkan revolusi industri 4.0 yang sedang terjadi pada saat yang sama.
Apabila sumber daya manusia Indonesia tidak disiapkan dengan baik, maka bonus
demografi Indonesia akan menjadi beban dan masalah. Hal ini karena revolusi
industri 4.0 membutuhkan tenaga kerja dengan kemampuan teknologi, berpikir
kritis, hingga kreativitas. Apabila bonus demografi Indonesia didominasi oleh
sumber daya manusia dengan keahlian dasar, maka kemungkinan besar akan
digantikan oleh teknologi.
Revolusi industri merupakan proses perubahan proses produksi dalam waktu
cepat dan membutuhkan adaptasi tenaga kerja dalam waktu singkat. Menurut
analisis World Economic Forum pada Report Future of Jobs, tantangan di bidang
tenaga kerja adalah skill gaps atau kesenjangan antara kebutuhan keahlian dengan
kapasitas yang dimiliki oleh tenaga kerja. Terdapat beberapa pilihan yang dapat
dilakukan oleh perusahaan, seperti mengganti keseluruhan tenaga kerja dengan staf
baru yang memiliki kapasitas yang dibutuhkan. Kedua, melakukan otomasi pada
setiap tugas yang dibutuhkan dan menggantikan dengan mesin secara keseluruhan.
Ketiga, melakukan peningkatan kapasitas tenaga kerja yang telah ada agar
memiliki keahlian yang relevan.
Peluang
Bonus demografi memberikan berbagai peluang bagi suatu negara untuk
berkembang dan meningkatkan kesejahteraannya. Menurut Sri Moertiningsih
Adioetomo, Guru besar ekonomi kependudukan Universitas Indonesia, keuntungan
dari bonus demografi berupa potensi peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB),
usia produktif lebih banyak dibanding tidak produktif, memiliki kesempatan untuk
bekerja, dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Menurut kajian World Economic Forum, dalam Report Future of Jobs tahun
2018, pada tahun 2022 sekitar 54% tenaga kerja membutuhkan reskilling dan
9. upskilling. Upaya tersebut menjadi sebuah kebutuhan agar data bersaing di era
industri 4.0, dimana terdapat perkembangan teknologi dan perubahan proses
produksi dan layanan. Diproyeksikan untuk melakukan hal tersebut dibutuhkan
waktu sekitar enam hingga 12 bulan untuk melakukan reskilling dan upskilling.
Berbagai pihak di Indonesia harus memanfaatkan peluang bonus demografi
semaksimal mungkin. Terdapat peluang dari program-program yang dilakukan
pemerintah untuk mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia menghadapi
perubahan akibat revolusi industri 4.0 dan pada saat yang sama mengantisipasi
bonus demografi. Seperti upaya Kementerian Tenaga Kerja untuk memodernisasi
Balai Latihan Kerja (BLK) dan program magang dibidang teknologi digital. Dari
Kementerian Tenaga Kerja juga telah menyadari pentingnya peraturan tentang
hubungan industrial pada masa revolusi industri 4.0, maka sangat penting
kesadaran tersebut diturunkan menjadi kebijakan.
Selain potensi dari kebijakan pemerintah, saat ini muncul pula berbagai
inkubasi bisnis berbasis teknologi atau start-up. Contohnya seperti Asosiasi e-
Commerce Indonesia, Indigo Inkubator yang dikembangkan oleh Telkom, Ciputra
Gepi Incubator yang dibina oleh swasta, Mandiri Inkubator Bisnis yang
dikembangkan Bank Mandiri, Skystar Ventures, dan lainnya. Berbagai inkubator
bisnis tersebut ada yang memfasilitasi fasilitas usaha dan teknologi, modal usaha,
hingga pendampingan. Hal tersebut merupakan potensi bagi generasi muda untuk
mengembangkan usaha di berbagai bidang dengan memanfaatkan teknologi 4.0.
Sehingga dapat bersaing di era industri 4.0 bukan hanya sebagai staf, tetapi juga
menjadi pelaku usaha.
D. Gaya Kepemimpinan Age Related Leadership
A. Age Related Leadership
ARL memberi penekanan pada lebih pada pengikut dan tingkat kematangan
mereka. Para pemimpin diharapkan dapat menilai dengan tepat atau menilai secara
intuitif tingkat kematangan dari pengikut mereka dan menggunakan gaya
kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kematangan tersebut Ivancevich, dkk,
2007).
Ada dua tipe kesiapan yang dipandang penting : pekerjaan dan psikologis.
Seorang yang memiliki kesiapan kerja tinggi memiliki pengetahuan dan
kemampuan melakukan tugas mereka tanpa perlu arahan dari manajer. Seorang
10. yang tingkat kesiapan psikologis yang tinggi memiliki tingkat motivasi diri dan
keinginan untuk melakukan kerja berkualitas tinggi. Orang ini juga tidak
membutuhkan supervise.
Hersey dan Blanchard (Hendryadi: 2014) mengggunakan penelitian OSU (Ohio State
University) untuk kemudian mengembangkan 4 gaya kepemimpinan Age Related
Leadershp yang bisa dipakai oleh para pemimpin, antara lain :
1. Telling – menyuruh, pemimpin menetapkan peran yang diperlukan untuk
melakukan suatu tugas dan memerintahkan para pengikutnya apa, dimana,
bagaimana dan kapan melakukan tugas tersebut.
2. Selling – menjual, yaitu pemimpin memberikan intruksi terstruktur, tetapi juga
bersifat supportif.
3. Participating – berpartisipasi, yaitu pemimpin dan para pengikutnya
bersamasama memutuskan bagaimana cara terbaik menyelesaikan suatu
pekerjaan.
4. Delegating – delegasi, yaitu pemimpin tidak banyak memberikan arahan yang
jelas dan spesifik ataupun dukungan pribadi kepada para pengikutnya
Gaya kepemimpinan yang tepat akan tergantung pada orang atau kelompok
yang dipimpin. Teori Kepemimpinan Situasional Hersey-Blanchard mengidentifikasi
empat tingkat Kematangan M1 melalui M4:
1. M1 – Adalah karyawan yang tidak memiliki keterampilan khusus yang
diperlukan untuk pekerjaan, tidak mampu dan tidak mau melakukan atau
mengambil tanggung jawab untuk pekerjaan atau tugas.
2. M2 – Adalah bawahan yang tidak dapat mengambil tanggung jawab untuk tugas
yang dilakukan, namun mereka bersedia bekerja pada tugas. Mereka adalah
pemula tapi memiliki antusiasme dan motivasi.
3. M3 – Adalah karyawan yang berpengalaman dan mampu melakukan tugas tetapi
tidak memiliki keyakinan atau kemauan untuk mengambil tanggung jawab.
4. M4 – Mereka berpengalaman pada tugas, dan nyaman dengan kemampuan
mereka sendiri untuk melakukannya dengan baik. Mereka mampu dan bersedia
untuk tidak hanya melakukan tugas, tetapi untuk mengambil tanggung jawab
untuk tugas tersebut.
11. Kompetensi yang harus dimiliki seorang pemimpin
Kompetensi merupakan kombinasi antara ketrampilan (skill), atribut personal,
dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior)
yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Kompetensi merupakan faktor penentu
keberhasilan kinerja. Kompetensi terbagi dua, yakni soft competency dan hard
competency. Kompetensi Teknis/Fungsional (hard competency) adalah enis
kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan fungsional pekerjaan. Berkaitan
dengan seluk beluk teknis yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni misal:
electrical engineering, accounting skills, marketing research, dan lain sebagainya.
Kompetensi Manajerial (soft competency) adalah jenis kompetensi yang berkaitan
dengan kemampuan untuk mengelola pekerjaan dan membangun interaksi dengan
orang lain. Berikut 10 Kompetensi (soft skill) yang wajib dimiliki oleh seorang
Leader:
1 Inisiatif; Kecakapan untuk menjalankan inisiatif perbaikan mutu kerja tanpa
harus diperintah; bersikap proaktif dan memiliki self-motivation yang tinggi
untuk menuntaskan pekerjaan; serta cakap dalam mengajukan usulan/masukan
untuk peningkatan mutu kerja.
2 Leadership; Kecakapan untuk menetapkan dan mengkomunikasikan sasaran
kerja tim, mengelola dan membagi sumber daya tim secara efektif; serta
melakukan monitoring dan arahan agar sasaran kinerja tim dapat tercapai
secara optimal. Cakap dalam memberikan motivasi dan membina kemampuan
anggota tim menuju level kompetensi yang makin unggul.
3 Orientasi pada Kualitas Kerja Prima; Kecakapan untuk mengerjakan tugas
dengan tuntas, tepat waktu dan dengan mutu hasil pekerjaan yang prima atau
sesuai, bahkan diatas standar mutu yang telah ditetapkan.
4 Kemampuan Memecahkan Masalah; Kecakapan untuk menganalisa masalah,
mengidentifikasi sumber penyebab masalah dan hubungan antar berbagai faktor
masalah; dan kemudian merumuskan alternatif solusi yang relevan dan
aplicable.
5 Perencanaan Kerja; Kecakapan untuk menyusun perencanaan kerja secara
sistematis dan terjadwal dengan baik; melakukan alokasi sumber daya
berdasarkan hasil perencanaan; serta melakukan monitoring untuk memastikan
rencana kerja dapat berjalan dengan efektif.
12. 6 Kerjasama; Kecakapan untuk melakukan koordinasi dan komunikasi dengan
berbagai pihak yang terkait; merumuskan tujuan bersama dan berbagi tugas
untuk mencapai sasaran kerja yang telah ditetapkan; serta saling menghargai
pendapat dan masukan guna peningkatan kinerja tim.
7 Negotiation Skills; Kecakapan untuk merumuskan dan mengkomunikasikan
tawaran kebutuhan perusahaan kepada mitra negosiasi; melakukan persuasi
disertai dengan data dan argumen yang solid agar kepentingan perusahaan dapat
dipenuhi oleh mitra negosiasi; serta mampu membangun hubungan bisnis yang
win-win.
8 Learning Skills; Kecakapan untuk melakukan proses pembelajaran aktif baik
secara mandiri ataupun berkelompok; menunjukkan minat yang memadai untuk
terus mengembangkan ketrampilan diri; dan proaktif dalam melakukan sharing
knowledge diantara sesama karyawan.
9 Mentoring and Developing Others; Kecakapan untuk merumuskan agenda
pengembangan untuk para anggota (anak buah); melakukan pembinaan dan
monitoring untuk melihat peningkatan ketrampilan anggota; dan mampu
memberikan masukan/saran yang konstruktif untuk pengembangan kompetensi
anggota.
10 Communication Skills; Kecakapan untuk mengutarakan pikirannya (baik secara
lisan ataupu tertulis) dalam bahasa yang sistematis, jelas dan mudah dipahami
oleh mitra bicara. Mampu menerima dan merespon pembicaraan dari pihak lain
dengan baik.
E. Gaya Kepemimpinan Gender Related Leadership
Perkembangan isu gender membuat kepemimpinan tidak lagi identik dengan
laki-laki. Gerakan feminis pada tahun 1960-an berusaha mendobrak nilai-nilai
patriarki yang dilindungi oleh kokohnya tradisi strukural fungsional. Kaum feminis
menganggap bahwa perempuan tidak hanya harus berjuang menentang
diskriminasi, tetapi juga berjuang demi emansipasi serta pembebasan dari segenap
bentuk penindasan oleh pemerintah, oleh masyarakat serta oleh laki-laki (Kamla
dan Nighat, 1995:8).
Gerakan feminis lahir untuk memutus budaya patriarki yang ada pada
masyarakat. Budaya patriarki menganggap bahwa kekuasaan seorang pemimpin
hanya boleh dipegang oleh laki-laki. Perempuan hanya diperbolehkan berperan
13. dalam ranah domestik. Budaya yang sangat kental di masyarakat inilah yang
membuat sulitnya wanita untuk dapat masuk ke ranah publik (Irwan Abdullah,
2003:9).
Banyak diskusi yang dilakukan selama dua dekade terakir mempersoalkan
apakah seorang manajer laki-laki dan manajer perempuan berbeda. Pada awal
tahun 1990-an, sebuah penelitian menyimpulkan tidak ada perbedaan gender dalam
kepemimpinan. Bebrapa peneliti terkenal dalam bidang manajemen termasuk
powell (1990; 1993) dan Bass (1981) mendukung pernyataan ini.
Banyak penulis yang telah melakukan penelitian tentang gaya kepemimpinan
perempuan dan laki-laki mengelompokkan ciri-ciri yang termasuk feminim dan
maskulin seperti terlihat pada tabel 1. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah
apakah ciri-ciri gender tersebut merefleksikan perbedaan yang sesungguhnya?
Martha Tilaar (2003) dalam (Parashakti; 2015) dalam bukunya “Leadership
Quotient, Perempuan Pemimpin Indonesia”, menjelaskan bahwa gerakan mencari
kesetaraan gender merupakan suatu gerakan yang telah dimulai sejak permulaan
abad 20. Gerakan yang secara khusus dilakukan kaum perempuan sebagai aksi
untuk menuntut kesamaan hak dengan laki-laki ini dikenal dengan gerakan
feminisme. Gerakan feminisme semakin lama semakin gencar.
Sejalan dengan semakin terasanya kebutuhan aktualisasi perempuan, gerakan
tersebut semakin berkembang dan bervariasi. Salah satu variasi gerakan sedunia
dipicu oleh International Women Day yang diselenggarakan pada tanggal 8 Maret
1968 di Paris yang melahirkan gerakan post-feminisme. Menurut para pakar
gerakan post-feminisme ini kemudian berkembang dalam 2 aliran besar. Aliran
pertama mengkaji lebih dalam masalah identitas perempuan, sedangkan aliran
kedua lebih memperjelas tuntutan untuk kesamaan (equality) antara perempuan
dan laki-laki. Dalam konteks ini misalnya dipermasalahkan mengenai 2 pengertian
besar yaitu feminine versus masculine dan female versus male. Konsep yang
pertama berhubungan dengan konstruksi sosial, budaya dan psikis perempuan,
sedangkan female versus male lebih merupakan konsep biologis.
Tabel 1. Karakteristik feminin dan maskulin menurut beberapa ahli
Feminitas Maskulinitas
Capra Seimbang
Responsif
Kerjasama
Banyak tuntutan
Agresif
Kompetitif
14. Intuitif
Mempersatukan
Boydell dan
Hammond
Tidak logis
Bagian dari sifat alami
Sistematis
Otak kanan
Bersifat patuh
Penyatu
Lunak
Menang-menang
Berjarak
Membebaskan
Logis
Pisah dari sifat alami
Mekanis
Otak kiri
Bersifat dominan
Pemisah
Keras
Menang-Kalah
Berentetan
Mengontrol
Marshall Saling ketergantungan
Penggabungan
Mendukung
Kerjasama
Kemauan menerima
Waspada terhadap pola-
pola keseluruhan
Keberadaan
Penonjolan diri
Pemisahan
Independen
Kontrol
Kompetisi
Sumber : Sparrow, J., and Rigg, C., (1993)
5. Transformasional vs Transaksional
Banyak penelitian terdahulu tentang kepemimpinan menitikberatkan pada
pengidentifikasian ciri-ciri kepribadian yang dikenal dengan kepemimpinan efektif.
Pada tahun 1990-an muncul trend baru penelitian kepemimpinan. Para peneliti
mulai memfokuskan perhatian mereka pada dua gaya manajemen yang kontras
yaitu kepemimpinan tranformasional vs transaksional. Pertama kali ide tentang
kepemimpinan tranformasional dikemukakan oleh Burns (1978) sedangkan
konsepnya dikembangkan oleh Bass (1985).
Kepemimpinan transformasional mengembangkan hubungan positif dengan
bawahan agar memperkuat performa bekerja dan organisasi. Manajer yang
menampilkan kepemimpinan tranformasional mendorong pekerja untuk melihat ke
depan kebutuhan mereka sendiri dan juga menitikberatkan pada kepentingan
kelompok secara keseluruhan. Rosener (1991) memberikan penekan yang lebih besar
pada perempuan dibanding laki-laki dalam gaya kepemimpinan tranformasional.
Gaya kepemimpinan ini melibatkan partisipasi, motivasi dan kekuasaan (dengan
kharisma), sedangkan pendekatan transaksional melibatkan motivasi dengan
memberikan reward dan punishment kepada karyawan. Burke dan Collins (2001)
melaporkan hasil kajiannya bahwa perempuan mungkin lebih bisa menunjukkan
15. bahwa mereka menggunakan sebuah gaya kepemimpinan interaktif dibanding laki-
laki, yang disebut kepemimpinan tranformasional. Gaya kepemimpinan ini sangat
berhubungan dengan tujuh skill manajemen secara umum yaitu (1) pendelagasian,
(2) manajemen konflik, (3) coaching dan developing, (4) personal organization dan
time management, (5) komunikasi, (6) adaptabilitas personal, serta (7) analisa
masalah dan pengambilan keputusan.
Pandangan tentang Gaya Kepemimpinan Manager Laki-laki dan Perempuan
Rajan dan Krishnan (2002) mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara
seorang manajer laki-laki dan manajer perempuan dari segi stabilitas emosional,
agresifitas, kemampuan memimpin, kepercayaan diri, kepastian, keuletan,
keinginan bertanggung jawab, keseriusan, obyektifitas, pengetahuan dan sifat
keterusterangan.
Dengan adanya perbedaan gender dalam kerja, menjadikan masalah bagi
perempuan. Sifat-sifat yang secara tradisional melekat pada perempuan dianggap
sebagai tidak efektif. Sifat-sifat tersebut seperti lebih menggunakan intuisi daripada
logika linier, menyukai dasar kemufakatan daripada kompetisi, serta mendorong
keikutsertaan daripada memberikan perintah. Dalam artikelnya Rosener (1991)
berkomentar “ketika perempuan berlaku seperti perempuan, mereka serin
dipandang tidak seperti pemimpin, tidak bersifat manajerial dan tidak profesional”.
Pada tingkat persepsi, seorang manajer yang ideal di stereotype akan
mempunyai karakter-karakter yang maskulin. Sebagai konsekuensinya, jika
perempuan ingin memajukan organisasi, mereka didesak untuk belajar
pengetahuan obyektif dan keahlian-keahlian behavioral yang dibutuhkan untuk
berada ditempat pijakan yang sama dengan rekan laki-laki.
Rosener (1990) melakukan penelitian mengenai gaya kepemimpinan manajer
lakilaki dan manajer perempuan serta dan menemukan beberapa hal yaitu :
1. Perempuan kelihatannya lebih menggunakan “kepemimpinan transformasional”
daripada laki-laki yaitu memotivasi orang-orang dengan mentransform
kesenangan diri individu ke dalam tujuan-tujuan kelompok.
2. Perempuan menggunakan gaya-gaya “kepemimpinan interaktif” dengan
mendorong partisipasi, pembagian kekuasaan dan informasi, mempertinggi
harga diri orang-orang.
16. 3. Dibandingkan laki-laki, perempuan kelihatan lebih suka menganggap asal mula
kekuasaannya adalah dari kemampuan interpersonal yang dimiliki daripada
jabatan dalam organisasi.
4. Perempuan sebagai pemimpin percaya bahwa orang-orang akan tampil dengan
sangat baik ketika mereka merasa senang akan diri mereka sendiri dan
pekerjaan mereka, dan ia mencoba membuat situasi-situasi yang membantu
kepada perasaan itu.
5. Dalam setiap aspek manajemen, mencoba membuat orang-orang merasa sebagai
bagian organisasi mulai dari membuat tujuan-tujuan sampai memutuskan
strategi.
Masih menurut Rosener (1990), para laki-laki cenderung untuk lebih dari
perempuan dalam hal :
1. Mengadopsi gaya-gaya kepemimpinan transaksional (memberikan penghargaan
atau hukuman untuk bawahan).
2. Menggunakan kekuasaan yang datang dari posisi dan wewenang formal
organisasi mereka
Tabel 2. Pandangan manajer pria dan wanita dari hasil penelitian Sparrow dan
Rigg
Aspek Pandangan Manajer Wanita Pandangan Manajer Pria
Prioritas pekerjaan Tim manajemen pelayanan
yang efektif
Visi
Enterpreneurship
Kemampuan mengema
Ide untuk mencapai tujuan
Gaya kerja People-oriented
Bekerja dengan orang lain
teratur
Partisipatif
Politis
Menggunakan kekuatan
High profile
Semarak
Percaya diri
Kesadaran yang tumbuh dari
peristiwa yang berasal dari
lingkungan eksternal
Paternalistik
Pendekatan dalam
pengambilan
keputusan
Cenderung lambat
Familiar dengan aspek-
aspek kunci
Cepat
Berorientasi pada tindakan
Obyektif
Analitikal
Sistematis
17. Hubungan
interpersonal
dengan tim
Memahami orang lain
Sensitivitas
Peduli pada perasaan
invidual
Mendukung timnya
Melihat/memberikan
perhatian kepada
sesuatu setelah mereka
merasa tertarik
Bergantung sepenuhnya pada
tim
Hubungan
interpersonal
dengan klien
Empati
Memahami perbedaan
Kebutuhan
Melakukan tekanan pada
kelompok
Sumber : Sparrow, J. dan Rigg, C (1994)
KESIMPULAN
Demografi adalah data statistik yang menyangkut populasi penduduk yang
didasarkan atas berbagai klasifikasi seperti usia, ras, jenis kelamin, agama,
pekerjaan, dan pendidikan. Lalu tingkat kelahiran, tingkat kematian, kepadatan
penduduk, tingkat pendapatan, dan sebagainya. Demografi adalah data yang sangat
penting dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Pemerintah lazim menggunakan
demografi untuk perencanaan kebijakan hingga pembagian sumber daya.
Bonus demografi adalah peluang yang bisa dinikmati suatu negara karena
besarnya jumlah penduduk usia produktif yakni rentan usia 18 sampai 64 tahun.
Yang artinya, semakin banyak tenaga kerja yang bisa terpakai. Semakin besar bonus
demografi, semakin besar pula suatu negara bisa memacu pertumbuhan
ekonominya. Demografi adalah data statistik yang berperan sangat vital dalam
keputusan pemerintah.
Pencarian literatur elektronik dari studi yang diterbitkan dalam The
Leadership Quarterly selama 20 tahun terakhir hanya menemukan satu studi yang
memperlakukan usia pemimpin secara eksplisit sebagai konsep yang relevan secara
teoritis dan bukan hanya sebagai variabel kontrol: Simonton (1998) menyelidiki
hubungan antara usia dan kinerja politik raja Inggris yang memerintah antara 1066
dan 1811 dan menemukan bahwa usia memprediksi indikator kinerja seperti
aktivitas legislatif dan reformasi yang ditegakkan. Sementara penuaan tenaga kerja
di sebagian besar negara industri Barat telah menyebabkan peningkatan minat di
antara peneliti organisasi dalam hubungan antara usia dan sikap dan kinerja
karyawan (Hedge, Borman, & Lammlein, 2006; Ng & Feldman, 2008; Shultz &
18. Adams, 2007), peneliti kepemimpinan hampir tidak menganggap usia sebagai
konsep yang substansial.
Pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki sex-role stereotype yang akan
berpengaruh pada personalitas dan perilaku mereka. Secara sosial seorang
perempuan lebih pasif, akomodatif dan intuitif, sedangkan laki-laki lebih agresif,
aktif dan mendominasi. Gender merupakan variabel yang memberikan dampak yang
tidak bisa diabaikan. Laki-laki dan perempuan berbeda dalam gaya mempengaruhi
dan kemampuan mempengaruhi orang lain. Rosener (1991) dan Burke dan Collins
(2001) menyatakan bahwa perempuan lebih cenderung memiliki gaya
kepemimpinan tranformasional sedangkan laki-laki lebih cenderung memiliki gaya
kepemimpinan transaksional.
Sparrow dan Right (1994) mengemukakan bahwa dengan semakin kompleks
dan semakin beragamnya organisational setting maka tidak ada gaya
kepemimpinan yang paling efektif secara universal. Hal tersebut tergantung pada
situasi dan orang-orang yang dikelola. Secara tradisional dan stereotype,
pendekatan yang berpusat pada orang dikaitkan dengan gaya feminin dan
pendekatan yang berorientasi pada tugas atau pekerjaan dikaitkan dengan gaya
maskulin.
19. Referensi
Sonny Harry B. Harmadi, 2016. Analisis Data Demografi Edisi 1 / 2 SKS / Modul 1-
6, Universitas Terbuka, 2016
https://id.wikipedia.org/wiki/Populasi_penduduk_dunia#:~:text=Pada%20tanggal%2
010%20Juli%202021,dunia%20mencapai%205%20miliar%20jiwa.
Rochaida, Eny. 2017. Capaian dan Determinan Bonus Demografi di Kalimantan
Timur, Prosiding Seminar Nasional Manajemen dan Ekonomi Bisnis Volume 1,
Mei 2017
Parashakti, Ryani Dhyan. 2015, Perbedaan Gaya Kepemimpinan Dalam Perspektif
Maskulin Dan Feminin, Jurnal Ilmiah Manajemen dan Bisnis, Volume 1,
Nomor 1, Maret 2015
Rajan, S and Krishnan, VR. (2002). “ Impact of Gender on Influence, Power and
Authoritariansm “, Women in Management Review, Vol. 17 No. 5 pp. 197-206.
Rosener, J., B., (1991). In “Ways Men and Women Lead,” Debate, Harvard Business
Review, January/February, pp. 152/3.
Sparrow, J and Rigg, C., (1994), “ Gender, Diversity and Working Styless, Women
and Management ”, Review, Vol. 9 No. 1, pp. 9-16.
Hendryadi, 2014. Situational Leaderhip Model Hersey and Blanchard, Teorionline
Personal Paper, No. 01/ Feb-2014
Ivancevich, John. 2007. Perilaku & Manajemen Organisasi. Jakarta: Erlangga
Tilaar, Martha dan Wulan Tillar Widiarto (2003), “ Leadership Quotient : Perempuan
Pemimpin Indonesia “. Grasindo, Jakarta.
Burke, Sarah and Collins, K.M., (2001), “Gender 5 Differences in Leadership Stless
and Management Skills”, Women in Management Review. Vol. 17 No. 5 pp. 197-
206.
Bhasin, Kamla dan Nighat Said Khan, 1994. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme
dan Relevansinya, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Hedge, JW, Borman, WC, & Lammlein, SE (2006). The aging workforce: Realities,
myths, and implications for organizations. Washington, DC: Asosiasi Psikologi
Amerika.