Makalah ini membahas tentang filsafat ilmu dalam kebudayaan suku Dayak di Kalimantan. Secara ringkas, makalah ini menjelaskan tentang adat istiadat suku Dayak seperti upacara Tiwah dan proses penguburan, serta dunia supranatural mereka seperti Mangkok Merah dan Manajah Antang.
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
Tinjauan filsafat ilmu hermeneutik dalam kebudayaan dayak
1. Tinjauan Filsafat Ilmu Dalam Kebudayaan Dayak
Abstract
Kebudayaan merupakan fenomena yang menarik untuk diperhatikan dan diteliti. Dalam
makalah ini penulis akan memaparkan tentang salah satu kebudayaan yang ada di
Indonesia.
Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik, ketika sistem makna
kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan menjadi suatu pola
makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan juga
menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik
yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan
pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan (Geertz;
1992) Konsep kebudayaan simbolik yang dikemukakan oleh Geertz diatas adalah suatu
pendekatan yang sifatnya hermeneutik. Pendekatan hermeunetik inilah yang kemudian
menginspirisasikannya untuk melihat kebudayaan sebagai teks-teks yang harus dibaca,
ditranslasikan, dan diinterpretasikan. Paul Ricouer, ia mengambil gagasan bahwa bangunan
pengetahuan manusia yang ada, bukan merupakan kumpulan laporan rasa yang luas tetapi
sebagai suatu struktur fakta yang merupakan simbol dan hukum yang mereka beri makna.
Sehingga demikian tindakan manusia dapat menyampaikan makna yang dapat dibaca,
suatu perlakuan yang sama seperti kita memperlakukan teks tulisan (Kuper; 1999, 82).
Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Suku ini terdiri atas beberapa
suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Makalah ini dibuat bertujuan untuk lebih memahami adat istiadat dari suku Dayak secara
keseluruhan yang banyak hal sering disalah artikan dikarenakan kurangnya informasi.
Penulis membatasi kebudayaan suku Dayak pada upacara adat yaitu berupa upacara
Tiwah, Mangkok Merah, upacara penguburan, senjata dan tarian serta kode-kode yang
dipakai masyarakat Dayak dalam berdialog. Keistimewaan mereka dapat dilihat dari
semboyan mereka yaitu “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang
memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur. Adat
istiadat suku Dayak masih kuat dan dilakukan hingga kini seperti dunia supranatural, senjata
dan tariannya.
2. Kata-kata kunci: Adat istiadat, Upacara Tiwah, Supranatural, Senjata, Tarian dan Kode
Pendahuluan
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-
kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan
menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat. Sedangkan menurut Edward B. Taylor, kebudayaan
adalah cermin dari aspek kehidupan masyarakat suatu tempat atau daerah atau negara.
Setiap tempat memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda.
Oleh sebab itu kebudayaan adalah hal yang penting dalam suatu tempat, atau daerah atau
negara. Tanpa kebudayaan maka daerah atau tempat tersebut tidak akan teridentifikasikan.
Dari beberapa definisi di atas, dapat diperoleh kesimpulan mengenai kebudayaan yaitu
sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi seni dan lain-
lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan Dayak adalah satu dari banyaknya kebudayaan yang ada di Indonesia. Salah
satu cirinya dapat dilihat dalam kesenian, senjata dan kebiasaan-kebiasaan yang terdapat
didalamnya.
Sebagai seorang yang berasal dari turunan suku Dayak yang sangat kental dengan tradisi,
penulis mencoba menguraikan pengalaman yang pernah dirasakan dalam tradisi ini. Dan
penulis mencoba untuk memahami makna dari pengalaman seperti: Mangkok Merah, Seni
Tari Dayak dan Senjata Suku bangsa Dayak. Dalam makalah ini, penulis mencoba
menguraikan pemahaman makna dari mangkok merah, seni tari dayak dan senjata suku
bangsa dayak melalui metode Thick Description. Menurut Clifford Geertz, Thick Description
adalah penafsiran sistem-sistem simbol makna kultural secara mendalam dan menyeluruh
dari sudut pandang pelaku kebudayaan sendiri, sehingga masyarakat yang berada
didalamnya dapat berpartisipasi dalam kehidupan budaya dan dapat mengenali makna-
makna simbolis sebagaimana diartikan oleh masyarakat itu sendiri.
3. I. Adat Istiadat Suku Dayak
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di
pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh
orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya
keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan
orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan
gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang
Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur
ke dalam.
Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu
yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian
mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing
memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut
”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh
Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian
tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah
pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari
kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini,
dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang
masih kuat sampai sekarang.
II. 1. Upacara Tiwah
Upacara Tiwah adalah sebagai suatu upacara yang unik untuk pendatang. Upacara ini
digelar dan dilaksanakan oleh keluarga (Dayak) yang masih hidup untuk anggota
keluarganya yang telah meninggal dunia. Hampir sedikit banyak mirip dengan upacara adat
Tana Toraja di Sulawesi Selatan.
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang
dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang
4. sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat
khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Upacara ini sangatlah sakral, pada
acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan
diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong
maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya
(Sandung).
II. 2. Dunia Supranatural
Dunia supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri
khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut
Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak
adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas
semenamena.
Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah
Antang. Manajah Antang merupakan cara Suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti
mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media
burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
II. 2. A. Mangkok Merah.
Mangkok Merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika
orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar.
“Panglima” atau sering Suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga
atau perang berupa Mangkok Merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara
cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak
itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar
biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja
seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus
membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang.
Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika
5. pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan
dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan
mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit
atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan.
Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam
suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan
di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka
kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut
makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat)
yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini
disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang
melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu
ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa
diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat
berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi
dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan
Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak
pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis
tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan
Malaysia. Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang
disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak,
hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang
sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit
yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih,
merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari
6. langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
III. 2. B. PROSES PENGUBURAN SUKU DAYAK MAANYAN
Salah seorang teman yang berasal dari suku Dayak Maanyan. Disebutkan bahwa
seseorang suku Dayak Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa
kali sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah
itu penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa
sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras,
uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai.
Beberapa orang laki-laki pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang
pohon hiyuput (pohon khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu
dilubangi dengan beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu tetapi memakai
memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini
dinamakan rarung. Seseorang yang dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan
sampai bersih, kemudian diberi pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di
atas tikar bamban yang diatasnya dikencangkan kain lalangit. Tepat di ujung kepala dan
ujung kaki dinyalakan lampu tembok atau lilin. Kemudian sanak famili yang meninggal
berkumpul menghadapi mayat, selanjutnya diadakan pengambilan ujung rambut, ujung
kuku, ujung alis, ujung bulu mata, dan ujung pakaian si mati yang dikumpulkan menjadi satu
dimasukkan ke sebuah tempat bernama cupu. Semua perangkat itu dinamakan rapu yang
pada waktu penguburan si mati nanti diletakkan di atas permukaan kubur dengan
kedalaman kurang lebih setengah meter. Tepat tengah malam pukul 24.00 mayat
dimasukkan ke dalam rarung sambil dibunyikan gong berkali-kali yang istilahnya nyolok.
Pada waktu itu akan hadir wadian, pasambe, damang, pengulu adat, kepala desa, mantir
dan sanak keluarga lainnya untuk menghadapi pemasukan mayat ke dalam rarung.
Pasambe bertugas menyiapkan semua keperluan dan perbekalan serta peralatan bagi si
mati yang nantinya disertakan bersamanya ke dalam kuburan. Sedangkan Wadian bertugas
menuturkan semua nasihat dan petunjuk agar amirue (roh/arwah) si mati tidak sesat di
perjalanan dan bisa sampai di dunia baru. Wadian di sini juga bertugas memberi makan si
mati dengan makanan yang telah disediakan disertai dengan sirih kinangan, tembakau dan
7. lain-lain. Jika penuturan wadian telah selesai tibalah saatnya orang berangkat mengantar
peti mati ke kuburan. Pada saat itu sanak keluarganya menangisi keberangkatan sebagai
cinta kasih sayang kepada si mati. Menunjukkan ketidakinginan untuk berpisah tetapi apa
daya tatau matei telah sampai dan rasa haru mengingat semua perbuatan dan budi baik si
mati selagi berada di dunia fana.
III. Seni Tari Dayak
III. 1. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan
kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi
dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan
acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga
dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar
Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
III. 2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan
musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang
diikuti oleh pekikan si penari. Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian
tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai
dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik
Sampe.
III. 3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak
Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis
bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin. Tari ini dibawakan oleh
seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua
tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan
diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
III. 4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh
suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari
Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan
8. Tari Perang Tari Kancet Ledo posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak
mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak
mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh
lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang
melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
III. 5. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas
serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini
erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan
Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan
hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil
panen yang banyak.
III. 6. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar
nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada
acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku
Dayak Benuaq.
III. 7. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti,
boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang
kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur
dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang
kesegenap daerah suku Dayak Kenyah.
IV. Senjata Suku Dayak
1. Sipet / Sumpitan.
Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm,
panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ -
¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada
tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam.
Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
2. Lonjo / Tombak.
Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari
bambu atau kayu keras.
9. 3. Telawang / Perisai.
Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 -
50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu.
Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
4. Mandau.
Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap
keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan
maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan
emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia.
Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun
Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik
oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan
Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu
Tengger, Batu Montalat.
5. Dohong.
Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah.
Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh
dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.
V. Totok Bakakak (kode) yang umum dimengerti Sukubangsa Dayak.
Ada beberapa kode yang digunakan oleh masyarakat dayak terutama dalam keadaan
bahaya mengancam.
1. Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan
perang, dalam bahasa Dayak Ngaju "Asang".
2. Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis
yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
3. Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
4. Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon
bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.
10. 5. Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar.
6. Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam,
harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada
saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan.
7. Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang
telah tua meninggal dunia.
8. Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga,
tempayan tajau.
9. Daun sawang/jenjuang yang digaris (Cacak Burung) dan digantung di depan rumah, hal
ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan
adat.
10. Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat
batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau
memetik buah yang ada dipohon itu.
VI. KESIMPULAN
Kebudayaan adalah hasil dari manusia untuk membuat kehidupan agar lebih baik. Setiap
bangsa mempunyai kebudayaan sendiri. Hal ini dikarenakan pola kehidupan mereka yang
berbeda. Kebudayaan itu bersifat spesifik sebab ada aspek yang menggambarkan pola
kehidupan itu sendiri. Aspek tersebut digambarkan oleh epistemologis yang muncul ketika
disadari bahwa sumber-sumber pengetahuan ternyata sangat ditentukan oleh asumsi dasar
tentang kebenaran dan pengetahuan itu sendiri, misalnya antara asumsi dasar idealisme,
empirisisme, dan behaviorisme yang memiliki asumsi dasarnya masing-masing. (Edward
Taylor)
Dengan demikian wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak;
tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di
alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka
itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan
buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
11. Gagasan dan nilai-nilai norma serta peraturan yang didapat dalam kebudayaan dayak
adalah wujud dari pemikiran kepala suku dan tetua suku dayak. Dan gagasan berbentuk
peraturan tersebut ditulis dalam peraturan.
Tarian dan bentuk supranatural yang ada di kebudayaan tersebut merupakan bentuk
aktivitas dari wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri
dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul
dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan
didokumentasikan.(J.J. Hoenigmann)
Senjata yang sebenarnya merupakan alat untuk membela diri. Dalam kebudayaan Dayak,
mandau (parang atau pedang) dan sumpit yang merupakan senjata khas suku dayak,
Sumpit merupakan senjata khas yang paling ditakuti. Dalam kehidupan nyata di pedalaman
hutan Kalimantan Mandau dan Sumpit adalah sepasang senjata yang tak bisa jauh dari
setiap lelaki suku Dayak. Selain untuk membela diri, kedua senjata tersebut dipakai untuk
berburu, sebagai cara untuk mempertahankan hidup di hutan yang ganas. Mandau dan
sumpit serta senjata lainnya merupakan
Sehingga kebudayaan dayak yang mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi,
sosial, ideologi, religi dan kesenian serta alat-alatnya merupakan warisan sosial yang
tercakup dalam thick description yang dipaparkan oleh Geertz adalah manusia yang
ibaratkan sebagai laba-laba yang hidup tergantung dalam jejaring makna yang dirajutnya
sendiri. Sehingga dalam jejaring eksperimental yang bertujuan menguak hukum-hukum,
tetapi sebuah model penafsiran yang tujuannya mencari makna.
Setiap tindakan yang dilakukan oleh masyarakat dayak selalu berdasar pada sejumlah
jejaring makna. Untuk mengauk ini, seperti misalnya dalam upacara Tiwah yang upacaranya
dilaksanakan untuk mengantar tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung (yang
sudah dibuat), maka disini akan terjadi banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong
maupun hiburan. Semua ini melibatkan seluruh masyarakat yang ada di tempat tersebut.
Dan ini mencakup teks-teks, simbol dan perangkat kebudayaan lainnya.(Gilbert Rye)
Kesemuanya ini akan ada interseksi (intersection) dalam makna, simbol, ide, gagasan dan
tindakan dari kebudayaan dayak. Intersection ini adalah keterkaitan antara makna, simbol,
ide dan gagasan serta tindakan tersebut.
12. Dengan demikian berdasarkan dari kesimpulan diatas dapat diambil esensinya bahwa
kebudayaan Dayak dapat diterima dimasyarakat dan merupakan kebudayaan yang sangat
kuat dalam memegang teguh tradisinya dan sampai sekarang masih dijalani.
VII. Daftar Pustaka
Hardiman, F.Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 2003
MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of Kalimantan. Oxford University
Press. ISBN 9780945971733.ISBN 0-945971-73-7
Bellwood, Peter, “The Prehistory of Borneo”, Borneo Research Bulletin, 24/9 (1992), hlm.
7-13
Fridolin Ukur, "Kebudayaan Dayak", dalam Kalimantan Review, 22/I (Juli-Desember 1992),
hlm. 3-10
Keragaman Suku Dayak di Kalimantan, Institut Dayakologi, Pontianak
Geertz, Clifford, Tafsir Kebudayaan, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992a
Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Kuper, Adam, Culture, Harvard University Press, Cambridge, 1999
Symour-Smith, Charlotte, MacMillan Dictonary of Anthropology, London, MacMillan
Reference Books, 1986.