Implementasi Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme dalam Membentuk Gaya Mengajar Dosen
1. IMPLEMENTASI FILSAFAT PENDIDIKAN REKONSTRUKSIONISME
D A L A M M E M B E N T U K G A Y A M E N G A J A R D O S E N
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
DI SEKOLAH TINGGI TEOLOGI INTHEOS SURAKARTA
Skripsi ini diajukan kepada:
Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta
Untuk Memenuhi Sebagian dari Persyaratan
Guna Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Agama Kristen
Oleh:
FERI FAJAR ENTO
NIM: 14.3.1 PAK 008
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI INTHEOS
S U R A K A R T A
2018
2. ii
Dosen Pembimbing telah memberikan rekomendasi untuk Ujian Proposal Skripsi
yang berjudul “Implementasi Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
dalam Membentuk Gaya Mengajar Dosen Program Studi
Pendidikan Agama Kristen di Sekolah Tinggi Teologi Intheos
Surakarta” yang telah disiapkan oleh Feri Fajar Ento
untuk dilanjutkan dalam Ujian Proposal Skripsi.
Direkomendasikan
tanggal: 20 April 2018
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Dr. Ruwi Hastuti, M.Th. Rifai, M.Th., M.Pd.
NIDN: 23-1009-7201 NIDN: 06-1807-7703
3. iii
Dosen Pembimbing telah memberikan rekomendasi untuk Ujian Skripsi
yang berjudul “Implementasi Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
dalam Membentuk Gaya Mengajar Dosen Program Studi
Pendidikan Agama Kristen di Sekolah Tinggi Teologi Intheos
Surakarta” yang telah disiapkan oleh Feri Fajar Ento
untuk dilanjutkan dalam Ujian Skripsi.
Direkomendasikan
tanggal: 24 Agustus 2018
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Dr. Ruwi Hastuti, M.Th. Rifai, M.Th., M.Pd.
NIDN: 23-1009-7201 NIDN: 06-1807-7703
4. iv
Panitia Ujian Skripsi telah menerima Skripsi yang berjudul “Implementasi
Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme dalam Membentuk
Gaya Mengajar Dosen Program Studi Pendidikan Agama Kristen
di Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta” untuk
diuji dan dipertahankan oleh Feri Fajar Ento
di Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta.
Diuji dan Dipertahankan
tanggal: 27 Agustus 2018
Panitia Ujian Skripsi,
Ketua
Dr. Dra. Sarah Andrianti, M.Th. ( )
NIDN: 23-2309-6503
Sekretaris
Dr. Ruwi Hastuti, M.Th.
( )
NIDN: 23-1009-7201
Anggota
Rifai, M.Th., M.Pd.
( )
NIDN: 06-1807-7703
5. v
Lembaga Pendidikan telah menerima, meneliti secara seksama dan mengetahui
seluruh proses penyusunan Skripsi yang dilakukan oleh Feri Fajar Ento
dengan judul “Implementasi Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
dalam Membentuk Gaya Mengajar Dosen Program Studi Pendidikan
Agama Kristen di Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta”.
Maka Skripsi tersebut dinyatakan diterima dan disahkan untuk
memenuhi sebagian dari persyaratan guna mencapai
gelar Sarjana Pendidikan Agama Kristen di
Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta.
Diterima dan Disahkan
Surakarta, 26 September 2018
Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta
Ketua,
Dr. Daniel Sutoyo, M.Th.
NIDN: 23-1404-6401
6. vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih
karunia-Nya, sehingga Skripsi ini dapat selesai dengan baik. Skripsi merupakan
tugas akhir yang wajib ditempuh mahasiswa Stratum Satu (S1) Perguruan Tinggi
termasuk Perguruan Tinggi Teologi/ Agama Kristen (PTT/AK), yang meliputi
proses penelitian serta penyusunan laporan terbimbing dan terpadu sebagai
persyaratan akademik maupun profesi. Tujuan penulisan Skripsi ini adalah untuk
memenuhi sebagian dari persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Pendidikan
(S.Pd.) Agama Kristen di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Intheos Surakarta.
Selama proses penelitian dan penyusunan laporan dalam Skripsi ini,
penulis mendapatkan banyak bimbingan serta dukungan dalam data, dana maupun
doa dari berbagai pihak. Maka, penulis mengucapkan terima kasih sekaligus
mempersembahkan Skripsi ini kepada:
1. Dr. Daniel Sutoyo, M.Th. selaku Ketua STT Intheos Surakarta yang telah
memberikan izin penulisan dan pengesahan Skripsi, serta mengizinkan
penulis meneliti STT Intheos Surakarta sebagai lapangan penelitian.
2. Dr. Ruwi Hastuti, M.Th. selaku pembimbing teologi dan Rifai, M.Th., M.Pd.
selaku pembimbing metodologi, serta Dr. Dra. Sarah Andrianti, M.Th. selaku
ketua penguji yang telah memberikan bimbingan terpadu dan motivasi
sehingga esensi Skripsi ini menjadi lebih berkualitas.
3. Keluarga besar Sutinah Sastro Wiyono sebagai nenek penulis, Sri Sukasmi
Tri Usilani sebagai ibu penulis, serta fam Ento yang telah memberi kasih
sayang sekaligus sebagai motivasi utama penulis menempuh perkuliahan.
7. vii
4. Dr. Pontus Sitorus, S.PAK., M.Si. selaku sponsor selama penulis menempuh
perkuliahan di STT Intheos Surakarta.
5. Pdt. Djoko Sadmono, S.Th. selaku gembala sidang dan segenap jemaat Gereja
Sidang Jemaat Allah (GSJA) Gunung Sari Balikpapan yang telah
memberikan dukungan doa dan dana dalam penulis menempuh perkuliahan.
6. Dosen, staff serta karyawan STT Intheos Surakarta yang telah memberikan
pengetahuan, pelayanan, fasilitas, maupun bentuk dukungan lainnya selama
penulis menempuh perkuliahan hingga menyelesaikan penulisan Skripsi.
7. Seluruh narasumber dan responden penelitian, serta berbagai pihak lain yang
telah memberi kontribusi dalam data, dana, dan doa bagi penulis selama
menempuh perkuliahan hingga menyelesaikan penulisan Skripsi, yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Dalam penulisan Skripsi ini, penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan oleh karena keterbatasan wawasan dan waktu. Penulis berharap
penelitian ini menjadi tongkat estafet bagi peneliti selanjutnya guna memajukan
sistem pendidikan nasional maupun lokal bagi almamater STT Intheos Surakarta.
Semoga Skripsi ini dapat menjadi berkat bagi setiap pembaca.
Surakarta, 28 Agustus 2018
Penulis,
Feri Fajar Ento
NIM: 14.3.1 PAK 008
8. viii
ABSTRAK
Feri Fajar Ento. Implementasi Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
dalam Membentuk Gaya Mengajar Dosen Program Studi Pendidikan Agama
Kristen di Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta. Skripsi. Program Studi
Pendidikan Agama Kristen Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta. 2018.
Tujuan dalam penelitian ini adalah: (1) Mendeskripsikan filsafat
pendidikan Rekonstruksionisme dalam membentuk gaya mengajar dosen Program
Studi Pendidikan Agama Kristen di Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta. (2)
Mendeskripsikan implementasi filsafat pendidikan Rekonstruksionisme dalam
membentuk gaya mengajar dosen Program Studi Pendidikan Agama Kristen di
Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta.
Subjek dalam penelitian ini adalah: Dosen homebase dan mahasiswa
Stratum Satu Program Studi Pendidikan Agama Kristen di Sekolah Tinggi Teologi
Intheos Surakarta yang beralamat Jln. Let.Jen. Sutoyo RT.03/ RW.XIV, Ngadisono,
Kadipiro, Surakarta, Jawa Tengah. Teknik pengumpulan data dalam penelitian
adalah: (1) Wawancara mendalam dengan dosen dan mahasiwa. (2) Observasi
dengan angket terbuka dan pengamatan proses perkuliahan. (3) Dokumen yang
terdiri dari perangkat pembelajaran, evaluasi pebelajaran, dan pengembangan
bahan ajar dosen; daftar karya ilmiah dosen; angket evaluasi kompetensi dosen;
jadwal perkuliahan; serta dokumentasi proses wawancara dan observasi penelitian.
Hasil penelitian ini memperlihatkan karakteristik Rekonstruksionisme
adalah: (1) Meyakini metafisika menekankan pada pemberian pengetahuan dan
pembentukan karakter secara seimbang. (2) Meyakini epistemologi menekankan
pada pengetahuan perspektif empiris. (3) Meyakini aksiologi menekankan pada
nilai yang universal tanpa melanggar moral. (4) Meyakini lembaga pendidikan
bertugas menghasilkan agen perubahan dan pengentas masalah masyarakat. (5)
Meyakini teori belajar bercirikan student center, problem solving dan meaningful
learning. (6) Meyakini peserta didik sebagai generasi penerus bangsa dan pencipta
kesejahteraan dunia. (7) Meyakini pendidik sebagai demonstran keadaan aktual dan
kebutuhan masyarakat ke dalam kelas. Hasil penelitian ini memperlihatkan
karakteristik gaya mengajar berorientasi Rekonstruksionisme adalah: (1) Dominan
didukung gaya mengajar psikologis permisif pada kebebasan peserta didik
mengungkapkan ide dan mengembangkan potensi berdasarkan perspektif empiris
untuk menghasilkan produk yang universal. (2) Dominan didukung gaya mengajar
kurikuler melalui metode pembelajaran yang bercirikan variatif, berfikir kritis dan
progresif; serta interaksi sosial dalam kelas yang bercirikan student center, problem
solving dan meaningful learning.
Kata kunci: pendidikan, Rekonstruksionisme, gaya mengajar.
9. ix
ABSTRACT
Feri Fajar Ento. The Implementation of Reconstructionism Educational
Philosophy in Order to Forming the Teaching Style of Christian Religious
Education Studies Program Lecturer at Intheos Theological Seminary
Surakarta. Essay. Study Program of Christian Religious Education of
Intheos Theological Seminary Surakarta. 2018.
The aims of this research are: (1) To describe the Reconstructionism
educational philosophy in order to forming the Teaching Style of Christian
Religious Education Studies Program lecturer at Intheos Theological Seminary
Surakarta. (2) To describe the implementation of Reconstructionism educational
philosophy in order to forming teaching style of Christian Religious Education
Studies Program lecturer at Intheos Theological Seminary Surakarta.
Subjects of this research are: Christian Religious Education Studies
Program homebase lecturers and undergraduate students at Intheos Theological
Seminary Surakarta that located in Let.Jen. Sutoyo street RT.03/RW.XIV
Ngadisono, Kadipiro, Surakarta, Central Java. The data of this research were
obtained from: (1) exhaustive interviews with lecturers and students. (2)
Observation through open questionnaire and lecturing process. (3) Document
consisting of lecturer lesson plan, study evaluation and teaching materials; list of
lecturer scientific products; questionnaire of lecturer competency evaluation;
lecture schedule; also interview and observation process documentation.
The results of this research shows the characteristics of Reconstructionism:
(1) Believes that metaphysics emphasizes on the provision of knowledge and
character formation in a balanced way. (2) Belief in epistemology emphasizes the
knowledge of empirical perspectives. (3) Believes that axiology emphasizes the
universal value without violate morals. (4) Believes that educational institutions are
tasked to producing the agents of change and solving society problems. (5) Belief
in learning theory characterized by student center, problem solving and meaningful
learning. (6) Believes that students are the next generation of the nation and the
world welfare maker. (7) Believes that teachers are obliged as demonstrator of the
actual circumstances and needs of society in the classroom. The results of this
research shows the characteristics of taching styles in Reconstructionism oriented:
(1) The dominant Reconstructionism is supported by permissive psychological
teaching style on the freedom of students express ideas and develop potentials based
on empirical perspectives to produce universal products. (2) The dominant
Reconstructionism is supported by curriculum teaching style through varied, high
order of thinking skill and progreesive learning method; also social interaction in
the classroom which is characterized by student center, problem solving and
meaningful learning.
Keywords: education, reconstructionism, teaching style.
10. x
DAFTAR ISI
JUDUL......................................................................................................................i
REKOMENDASI PELAKSANAAN UJIAN PROPOSAL SKRIPSI....................ii
REKOMENDASI PELAKSANAAN UJIAN SKRIPSI ........................................iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................................................iv
PENGESAHAN KETUA LEMBAGA PENDIDIKAN..........................................v
KATA PENGANTAR ............................................................................................vi
ABSTRAK............................................................................................................viii
DAFTAR ISI............................................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xv
BAB I: PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Konteks Penelitian..........................................................................................1
B. Fokus Penelitian .............................................................................................6
C. Tujuan Penelitian............................................................................................7
D. Manfaat Penelitian..........................................................................................7
1. Manfaat Teoritis .............................................................................................7
2. Manfaat Praktis...............................................................................................7
BAB II: KAJIAN TEORITIK..................................................................................9
A. Gaya Mengajar ...............................................................................................9
1. Definisi Gaya Mengajar .................................................................................9
2. Landasan Alkitabiah Gaya Mengajar.............................................................9
2.1. Landasan dalam Perjanjian Lama...................................................................9
2.2. Landasan dalam Perjanjian Baru..................................................................10
3. Bentuk Gaya Mengajar.................................................................................11
3.1. Gaya Mengajar Berdasarkan Sifat Psikologis..............................................11
3.1.1.Gaya Mengajar Otoriter................................................................................11
3.1.2.Gaya Mengajar Permisif...............................................................................12
3.1.3.Gaya Mengajar Riil ......................................................................................12
3.2. Gaya Mengajar Berdasarkan Sifat Kurikuler ...............................................12
3.2.1.Gaya Mengajar Skill .....................................................................................13
3.2.2.Gaya Mengajar Overload .............................................................................13
11. xi
3.2.3.Gaya Mengajar Structure .............................................................................13
3.2.4.Gaya Mengajar Evaluation...........................................................................13
3.2.5.Gaya Mengajar Interaction ..........................................................................14
3.2.6.Gaya Mengajar Rapport ...............................................................................14
B. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme .....................................................14
1. Pengertian Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme ...................................14
2. Landasan Alkitabiah Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme ...................16
2.1. Landasan dalam Perjanjian Lama.................................................................16
2.2. Landasan dalam Perjanjian Baru..................................................................16
3. Sejarah Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme ........................................17
4. Pandangan Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme...................................17
4.1. Keyakinan Terhadap Lapangan Filsafat.......................................................18
4.1.1.Keyakinan Terhadap Metafisika ..................................................................18
4.1.2.Keyakinan Terhadap Epistemologi ..............................................................18
4.1.3.Keyakinan Terhadap Aksiologi....................................................................19
4.2. Keyakinan Terhadap Pendidikan..................................................................19
4.3. Keyakinan Terhadap Teori Belajar ..............................................................20
4.4. Keyakinan Terhadap Peserta didik...............................................................21
4.5. Keyakinan Terhadap Pendidik .....................................................................22
5. Prinsip-prinsip Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme.............................22
6. Analisis Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme .......................................23
6.1. Kelebihan Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme....................................23
6.2. Kelemahan Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme ..................................24
C. Program Studi Pendidikan Agama Kristen di STT Intheos Surakarta .........24
1. Latar Belakang .............................................................................................24
2. Kurikulum ....................................................................................................26
3. Pendidikan Agama Kristen...........................................................................27
4. Kedosenan ....................................................................................................28
D. Hasil Penelitian yang Relevan......................................................................29
BAB III: METODE PENELITIAN .......................................................................33
A. Jenis, Pendekatan, dan Desain Penelitian.....................................................33
1. Jenis Penelitian.............................................................................................33
12. xii
2. Pendekatan Penelitian...................................................................................33
3. Desain Penelitian..........................................................................................34
B. Lokasi dan Waktu Penelitian........................................................................34
1. Lokasi Penelitian ..........................................................................................34
2. Waktu Penelitian ..........................................................................................35
C. Kehadiran Peneliti ........................................................................................36
1. Peneliti Sebagai Mahasiswa .........................................................................36
2. Peneliti Sebagai Instrumen...........................................................................36
D. Jenis Data, Sumber Data dan Narasumber ...................................................37
1. Jenis Data .....................................................................................................37
2. Sumber Data.................................................................................................37
3. Narasumber ..................................................................................................38
E. Teknik Pengumpulan Data ...........................................................................39
1. Wawancara ..................................................................................................40
2. Observasi .....................................................................................................42
3. Dokumen ......................................................................................................44
F. Analisis Data ................................................................................................45
1. Reduksi Data ................................................................................................45
2. Penyajian Data..............................................................................................46
3. Penarikan Kesimpulan..................................................................................46
G. Pengujian Keabsahan Data...........................................................................46
1. Trianggulasi..................................................................................................47
2. Diskusi dengan Teman Sejawat ...................................................................48
3. Member Check..............................................................................................48
4. Analisis Kasus Negatif .................................................................................49
BAB IV: PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN.............................50
A. Paparan Data Penelitian................................................................................50
1. Karakteristik Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme Dosen S1 Prodi
PAK di STT Intheos Surakarta ....................................................................50
1.1. Keyakinan Terhadap Metafisika ..................................................................50
1.2. Keyakinan Terhadap Epistemologi ..............................................................51
1.3. Keyakinan Terhadap Aksiologi....................................................................53
13. xiii
1.4. Keyakinan Terhadap Pendidikan..................................................................54
1.5. Keyakinan Terhadap Teori Belajar ..............................................................56
1.6. Keyakinan Terhadap Peserta didik...............................................................57
1.7. Keyakinan Terhadap Pendidik .....................................................................61
2. Karakteristik Gaya Mengajar Dosen S1 Prodi PAK di STT Intheos
Surakarta ......................................................................................................61
2.1. Gaya Mengajar Otoriter................................................................................61
2.2. Gaya Mengajar Permisif...............................................................................62
2.3. Gaya Mengajar Riil ......................................................................................63
2.4. Gaya Mengajar Skill .....................................................................................64
2.5. Gaya Mengajar Overload .............................................................................65
2.6. Gaya Mengajar Structure .............................................................................65
2.7. Gaya Mengajar Evaluation...........................................................................66
2.8. Gaya Mengajar Interaction ..........................................................................66
2.9. Gaya Mengajar Rapport ...............................................................................66
B. Temuan Penelitian........................................................................................67
1. Karakteristik Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme Dosen S1 Prodi
PAK di STT Intheos Surakarta ....................................................................67
2. Karakteristik Gaya Mengajar Dosen S1 Prodi PAK di STT Intheos
Surakarta ......................................................................................................68
BAB V: PEMBAHASAN TEMUAN DAN TEORI HASIL PENELITIAN........69
A. Pembahasan Temuan Penelitian...................................................................69
1. Karakteristik Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme Dosen S1 Prodi PAK
di STT Intheos Surakarta .............................................................................69
1.1. Keyakinan Terhadap Metafisika ..................................................................69
1.2. Keyakinan Terhadap Epistemologi ..............................................................70
1.3. Keyakinan Terhadap Aksiologi....................................................................71
1.4. Keyakinan Terhadap Pendidikan..................................................................72
1.5. Keyakinan Terhadap Teori Belajar ..............................................................74
1.6. Keyakinan Terhadap Peserta didik...............................................................75
1.7. Keyakinan Terhadap Pendidik .....................................................................76
14. xiv
2. Karakteristik Gaya Mengajar Dosen S1 Prodi PAK di STT Intheos
Surakarta .....................................................................................................77
2.1. Gaya Mengajar Berdasarkan Sifat Psikologis..............................................77
2.2. Gaya Mengajar Berdasarkan Sifat Kurikuler ...............................................79
B. Teori Hasil Penelitian...................................................................................80
1. Karakteristik Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme Dosen S1 Prodi
PAK di STT Intheos Surakarta ....................................................................80
2. Karakteristik Gaya Mengajar Dosen S1 Prodi PAK di STT Intheos
Surakarta ......................................................................................................81
BAB VI: PENUTUP..............................................................................................83
A. Kesimpulan...................................................................................................83
B. Implikasi.......................................................................................................84
C. Saran.............................................................................................................89
1. Direktur Pendidikan Kristen.........................................................................89
2. Ketua STT Intheos Surakarta .......................................................................89
3. Tim Penjamin Mutu Internal STT Intheos Surakarta...................................89
4. Wakil Ketua Bidang Akademis STT Intheos Surakarta...............................90
5. Ketua Program Studi S1 PAK STT Intheos Surakarta.................................90
6. Dosen S1 Prodi PAK STT Intheos Surakarta...............................................90
7. Mahasiswa S1 Prodi PAK STT Intheos Surakarta.......................................91
8. Penulis dan Peneliti Selanjutnya ..................................................................91
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................92
INDEKS.................................................................................................................97
LAMPIRAN...........................................................................................................98
SURAT-SURAT..................................................................................................187
PERNYATAAN ..................................................................................................199
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................200
15. xvii
DAFTAR LAMPIRAN
DATA HASIL WAWANCARA ...........................................................................98
1. Wawancara Pra Penelitian dengan Mahasiswa S1 Prodi PAK ....................99
2. Wawancara dengan Dosen S1 Prodi PAK sebagai Narasumber................100
3. Wawancara dengan Mahasiswa S1 Prodi PAK sebagai Konfirmator........116
4. Wawancara dengan Mahasiswa S1 Prodi PAK sebagai Narasumber ........132
DATA HASIL OBSERVASI ..............................................................................148
1. Observasi Angket Terbuka terhadap Mahasiswa S1 Prodi PAK ...............149
2. Observasi Proses Perkuliahan pada Mata Kuliah S1 Prodi PAK ..............160
DATA HASIL PENGUMPULAN DOKUMEN.................................................176
1. Daftar Dosen Homebase S1 Prodi PAK.....................................................177
2. Daftar Mahasiswa S1 Prodi PAK dengan IP Tertinggi dan Menengah .....177
3. Daftar Perangkat Pembelajaran dan Bahan Ajar Dosen S1 Prodi PAK.....178
4. Daftar Karya Ilmiah Dosen S1 Prodi PAK ...............................................178
5. Contoh Perencanaan Pembelajaran Dosen S1 Prodi PAK.........................179
6. Contoh Pengembangan Bahan Ajar Dosen S1 Prodi PAK .......................180
7. Contoh Evaluasi Pembelajaran Dosen S1 Prodi PAK................................181
8. Jadwal Perkuliahan S1 Prodi PAK.............................................................182
9. Lembar Evaluasi Kompetensi Dosen .........................................................183
10. Dokumentasi Proses Wawancara ...............................................................184
11. Dokumentasi Proses Observasi ..................................................................186
16. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Pendidikan merupakan pondasi sekaligus pilar dalam konstruksi kualitas
manusia. Pendidikan dalam suatu negara diselenggarakan dengan menyesuaikan
keadaan dan kebutuhan negara tersebut. Demikian juga pendidikan di Indonesia
berorientasi pada pembangunan nasional dan relasi kancah internasional. Fungsi
sekaligus tujuan pendidikan di Indonesia dirumuskan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, yang terbentuk dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.1
Untuk mencapai tujuan tersebut, setiap lembaga pendidikan wajib
menyediakan para pendidik yang konstruktif. Setiap pendidik menerima mandat
untuk membina peserta didik menciptakan peradaban masyarakat yang berjiwa
nasionalisme dan unggul dalam berbagai aspek. Maka, pendidik memiliki peran
penting dalam mengejawantahkan cita-cita luhur bangsa Indonesia.
Menjadi pendidik yang konstruktif tidak mudah. Seorang pendidik masih
dapat menemui berbagai masalah meski telah berpengalaman mengajar bertahun-
tahun. Masalah dapat muncul selama interaksi sosial dalam kelas berlangsung.
Bentuk interaksi tersebut dapat dipengaruhi oleh gaya mengajar pendidik serta
respon peserta didiknya. Ningsih mengadakan penelitian mengenai “Hubungan
1
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II,
Pasal 3.
17. 2
Antara Gaya Mengajar Guru dengan Interaksi Sosial terhadap Prestasi Belajar
Pelajaran Matematika di SMK PGRI 1 Surakarta” dengan hasil sebagai berikut:
Ada hubungan yang signifikan antara gaya mengajar guru dengan interaksi
sosial siswa. Hal ini diketahui dari hasil uji korelasi r hitung = 0,873 > r
tabel = 0,312 atau p < 0,05. Ada hubungan yang signifikan antara gaya
mengajar guru dengan prestasi belajar siswa. Hal ini diketahui dari hasil
uji korelasi r hitung = 0,468 > r tabel = 0,312 atau p < 0,05. Ada hubungan
yang signifikan antara interaksi sosial siswa dengan prestasi belajarnya.
Hal ini diketahui dari hasil uji korelasi r hitung = 0,524 > r tabel = 0,312
atau p < 0,05.2
Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa semakin baik gaya mengajar
pendidik akan meningkatkan keefektifan interaksi sosial dalam kelas sehingga
prestasi belajar peserta didik dapat bertambah. Namun suatu gaya mengajar bukan
pilihan yang fleksibel bagi pendidik, sebab berkaitan dengan kebiasaan pendidik itu
sendiri. Seorang pendidik belum tentu piawai dalam menerapkan gaya mengajar
yang konstruktif meski memahami teorinya.
Masalah seputar gaya mengajar pendidik yang berkaitan dengan interaksi
sosial dalam kelas juga terjadi di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Intheos Surakarta.
Jerrymia, mahasiswa Stratum Satu Program Studi Pendidikan Agama Kristen (S1
Prodi PAK) mengatakan, “Terdapat dosen yang kurang memperhatikan proses
belajar mahasiswa di kelas. Misalnya, dosen membacakan materi sepanjang
perkuliahan, kurang mengamati situasi dalam kelas, dan mahasiswa kurang diberi
kesempatan untuk bertanya atau berpendapat.”3
Natanael, mahasiswa Prodi yang
sama mengatakan, “Seorang dosen seharusnya mengajak mahasiswa berfikir kritis,
mendiskusikan secara mendalam tentang berbagai permasalahan pendidikan
terkini. Prestasi mahasiswa jangan hanya diukur dengan nilai tes tertulis melalui
menghafal diktat.”4
Kedua mahasiswa tersebut menyadari bahwa terdapat dosen
yang masih menerapkan gaya mengajar konvensional dan belum melakukan usaha
signifikan untuk meningkatkan keefektifan interaksi sosial dalam perkuliahan.
2
Nur Wigati Ningsih, “Hubungan Antara Gaya Mengajar Guru dengan Interaksi
Sosial terhadap Prestasi Belajar Pelajaran Matematika di SMK PGRI 1 Surakarta”, Jurnal
Talenta Psikologi, 4:1 (Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Sahid, 2015), 74.
3
Jerrymia Heaven, wawancara dengan penulis, Program Studi Pendidikan Agama
Kristen, STT Intheos, Surakarta, Jawa tengah, 22 Januari 2018.
4
Natanael Purba, wawancara dengan penulis, Program Studi Pendidikan Agama Kristen,
STT Intheos, Surakarta, Jawa Tengah, 22 Januari 2018.
18. 3
Masalah lain dalam proses pembelajaran dapat muncul secara kompleks
dan tidak terduga. Berbagai masalah tersebut berpeluang lebih besar dapat teratasi
jika pendidik mampu mengambil keputusan serta tindakan secara cepat dan tepat.
Ridwanudin dalam penelitian “Filsafat Pendidikan sebagai Basis Penguatan
Profesionalisme Guru” menyimpulkan peran filsafat pendidikan dalam membentuk
perilaku mengajar guru bahwa:
Seorang guru yang memahami filosofis pendidikan akan memahami
tujuan ia mendidik. Sehingga, dengan seksama ia akan memikirkan
bagaimana siswanya belajar, apa yang harus dipelajari siswanya,
bagaimana siswanya bisa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran,
bagaimana hasil belajar siswa bisa membangun sikap mereka, dan
sebagainya.5
Berdasarkan pernyataan tersebut, filsafat pendidikan dapat memberi
sumbangsih pemikiran serta mempengaruhi perilaku seorang pendidik saat
mengajar. Di lain pihak, pengembangan kurikulum pendidikan juga berlandaskan
filsafat Pendidikan. Namun seorang pendidik belum tentu meyakini filsafat
pendidikan yang sama dengan landasan kurikulum, sehingga memungkinkan
proses pembelajaran kurang mengarah pada tujuan sesuai kurikukum tersebut.
Setiap dosen di STT Intheos Surakarta juga memiliki pandangan filsafat
pendidikan yang mereka yakini. Pandangan tersebut dapat terwujud salah satunya
menjadi sikap dalam menghadapi kemajemukan tingkat pemahaman mahasiswa
terhadap materi perkuliahan. Irene, salah satu mahasiswa S1 Prodi PAK
mengatakan, “Terdapat dosen yang bersikap perfeksionis, beranggapan bahwa
dosen selalu benar dan mahasiswa belum tentu benar. Beliau meminta mahasiswa
mengerjakan suatu tugas sesuai dengan maksudnya, tetapi kurang memberikan
penjelasan. Pada saat penilaian, dosen tersebut hanya mencocokkan jawaban dan
kurang menanyakan kesulitan apa yang mahasiswa alami dalam tugas tersebut.”6
Dosen tersebut belum sepenuhnya mengadakan pembelajaran yang konstruktif. Di
satu sisi, dosen tidak 100% membagikan ilmunya agar mahasiswa mampu berfikir
mandiri. Di sisi lain, dosen kurang memberi apresiasi terhadap usaha belajar
5
Dindin Ridwanudin, “Filsafat Pendidikan sebagai Basis Penguatan Profesionalisme
Guru”, Jurnal Qathrunâ, 2:1 (Banten: Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri
Islam Banten, 2015), 73.
6
Irene Intan Permatasari Cahyono, wawancara dengan penulis, Program Studi
Pendidikan Agama Kristen, STT Intheos, Surakarta, Jawa Tengah, 22 Januari 2018.
19. 4
mahasiswa. Berdasarkan pernyataan tersebut, mahasiswa mengharapkan figur
dosen yang responsif dalam menolong perbedaan daya tangkap mahasiswa, dan
variatif dalam mengukur perbedaan daya pikir mahasiswa.
Keberagaman pemikiran serta perilaku pendidik dalam mengajar dapat
dikategorikan menurut aliran-aliran filsafat pendidikan. Salah satu unsur yang
mencirikan antar aliran tersebut adalah budaya. Filsafat pendidikan dapat muncul
dari suatu budaya dan digunakan untuk melestarikan budaya itu sendiri melalui
lembaga pendidikan. Dilema muncul ketika beberapa unsur dalam suatu budaya
dianggap kurang cocok dengan konteks kehidupan masa kini. Sebaliknya, terdapat
budaya yang seharusnya dilestarikan justru tergerus seiring perkembangan zaman.
Salah satu upaya untuk mengentaskan masalah tersebut adalah melalui transmisi
budaya. Transmisi budaya mengharapkan evaluasi terhadap nilai dan norma,
bersintesis dengan yang baik, mengeliminasi yang buruk, serta merelevansikan
dalam tatanan kehidupan yang baru. Salah satu aliran filsafat pendidikan yang
memiliki pandangan transmisi budaya adalah Rekonstruksionisme. Farisi
mempublikasikan hasil penelitian tentang “Kurikulum Rekonstruksionis dan
Implikasinya terhadap Ilmu Pengetahuan Sosial: Analisis Dokumen Kurikulum
2013” dengan kesimpulan sebagai berikut:
Rekonstruksi filosofis dapat saja dilakukan dengan memelihara
kesinambungan pandangan filsafat-filsafat yang sudah ada; mengambil
dan menggabungkan unsur-unsur terbaik dari setiap filsafat; dan
merekonstruksi kembali menjadi sebuah filsafat-sintesis. Yang terpenting
adalah bahwa nilai-nilai dan tujuan-tujuan dari setiap filsafat yang akan
disintesiskan dipandang kontributif terhadap nilai-nilai dan tujuan-tujuan
dalam suatu masyarakat.7
Dalam skala lokal, setiap lembaga pendidikan juga memiliki budaya yang
terbentuk dari kebiasaan warganya. Setiap lembaga pendidikan perlu mengevaluasi
keadaan dan kebutuhannya secara komprehensif melalui sintesis terhadap
lingkungan, sebab kebutuhan masyarakat dalam lapangan kerja nyata bagi lulusan
(outcome) senantiasa mengalami perubahan yang pesat.
7
Mohammad Imam Farisi, “Kurikulum Rekonstruksionis dan Implikasinya terhadap
Ilmu Pengetahuan Sosial: Analisis Dokumen Kurikulum 2013”, Jurnal Paedagogia, 16:2
(Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, 2013), 147.
20. 5
STT Intheos Surakarta juga memiliki budaya yang telah terpelihara oleh
civitas academica. Mayoritas dosen di STT Intheos Surakarta adalah gembala
sidang dan aktivis di Gereja denominasi Injili-Pentakosta. Latar belakang tersebut
memiliki pengaruh terhadap budaya di sekolah, termasuk gaya mengajar setiap
dosen. Stephen, salah satu mahasiswa S1 Prodi PAK mengatakan, “Terdapat dosen
yang kurang dapat membedakan mengajar dan berkhotbah. Sebaiknya, waktu untuk
bersaksi tentang masa lalu dapat digunakan untuk membahas isu-isu pendidikan
yang relevan.”8
Prehatin, mahasiswa Prodi yang sama menambahkan, “Beberapa
dosen kurang mengikuti dan menerapkan informasi terbaru seputar pendidikan.
Contohnya pada PPL [Praktik Pengalaman Lapangan], mahasiswa mengalami
kesulitan dalam menyusun perangkat pembelajaran di tempat praktik masing-
masing, sebab mata kuliah pra-PPL yang mereka terima belum semua berorientasi
pada kurikulum terbaru.”9
Pernyataan tersebut dia ungkapkan dengan menyadari
bahwa mayoritas dosen bukan hanya berprofesi sebagai pendidik, namun memiliki
tanggung jawab dalam pelayanan masyarakat. Berdasarkan dua pernyataan
tersebut, mahasiswa secara tersirat mengharapkan agar setiap dosen senantiasa
update dan upgrade seputar sistem pendidikan, sehingga maksimal dalam
membekali mahasiswa sebagai calon pendidik.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis menemukan tiga
rumusan masalah seputar gaya mengajar dosen S1 Prodi PAK di STT Intheos
Surakarta, yaitu:
Pertama, terdapat dosen dengan perilaku mengajar konvensional sehingga
kurang menerapkan gaya mengajar secara konstruktif.
Kedua, terdapat dosen dengan pandangan mengajar perfeksionis sehingga
kurang memberi kesempatan mahasiswa belajar secara konstruktif.
Ketiga, terdapat dosen yang kurang proaktif memperoleh informasi dan
kurang responsif terhadap perkembangan sistem pendidikan sehingga kurang dapat
mengadakan proses perkuliahan secara konstruktif.
8
Stephen Hendro Wicaksono, wawancara dengan penulis, Program Studi Pendidikan
Agama Kristen, STT Intheos, Surakarta, Jawa Tengah, 22 Januari 2018.
9
Prehatin, wawancara dengan penulis, Program Studi Pendidikan Agama Kristen, STT
Intheos, Surakarta, Jawa Tengah, 22 Januari 2018.
21. 6
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis melakukan penelitian
dengan judul “Implementasi Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme dalam
Membentuk Gaya Mengajar Dosen Program Studi Pendidikan Agama Kristen di
Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta.”
B. Fokus Penelitian
Filsafat pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah filsafat
pendidikan akademis-skolastik, yang meliputi aliran konvensional dan progresif.10
Salah satu aliran filsafat pendidikan progresif sekaligus merupakan fokus dalam
penelitian ini adalah Rekonstruksionisme.
Berdasarkan konteks penelitian, maka penulis menentukan dua fokus
penelitian sebagai berikut:
Pertama, bagaimanakah deskripsi filsafat pendidikan Rekonstruksionisme
dalam membentuk gaya mengajar dosen Program Studi Pendidikan Agama Kristen
di Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta.
Kedua, bagaimanakah deskripsi implementasi filsafat pendidikan
Rekonstruksionisme dalam membentuk gaya mengajar dosen Program Studi
Pendidikan Agama Kristen di Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta.
Adapun alasan penulis memilih implementasi Rekonstruksionisme
sebagai instrumen pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah:
Pertama, dalam tujuan pendidikan nasional tercantum bahwa pendidikan
berupaya mempersiapkan peserta didik untuk membangun peradaban masyarakat
yang demokratis dan berkualitas unggul dalam berbagai aspek. Misi tersebut juga
dimiliki oleh Rekonstruksionisme, yaitu menciptakan budaya yang baru dan lebih
maju melalui kesatuan dan kualitas masyarakat.
Kedua, Rekonstruksionisme tergolong filsafat pendidikan progresif yang
masih relevan di Indonesia. Aliran tersebut berupaya melakukan sintesis filsafat,
pengetahuan, serta nilai dan norma yang kontributif terhadap konteks pendidikan
karakter dan keanekaragaman budaya di Indonesia.
10
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), 136.
22. 7
Ketiga, Kurikulum 2013 pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
standar Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) pada jenjang Perguruan
Tinggi (PT) dominan dilandasi dengan Rekonstruksionisme. Pendidikan masa kini
diharapkan dapat mencetak para ahli dalam menghadapi percepatan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) serta disrupsi global.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian, maka penulis mengarahkan tujuan
penelitian ini adalah:
Pertama, mendeskripsikan filsafat pendidikan Rekonstruksionisme dalam
membentuk gaya mengajar dosen Program Studi Pendidikan Agama Kristen di
Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta.
Kedua, mendeskripsikan implementasi filsafat pendidikan
Rekonstruksionisme dalam membentuk gaya mengajar dosen Program Studi
Pendidikan Agama Kristen di Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua
pembaca dan lapangan yang diteliti. Adapun manfaat penelitian ini secara teoritis
dan praktis adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana
pengetahuan teologi praktika khususnya pada mata kuliah Filsafat Pendidikan
dalam konteks PAK.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
sebagai berikut:
2.1. Bagi Direktur Pendidikan Kristen, sebagai refleksi bahwa Perguruan Tinggi
Teologi/ Agama Kristen (PTT/AK) membutuhkan instruksi dan informasi
aktual seputar sistem pendidikan secepat dan sedapat mungkin agar setiap
PTT/AK dapat menentukan kebijakan/ keputusan lebih lanjut.
23. 8
2.2. Bagi Ketua STT Intheos Surakarta, sebagai refleksi bahwa dosen S1 Prodi
PAK membutuhkan kebijakan/ keputusan seputar sistem pendidikan serta
fasilitas guna meningkatkan kompetensi dosen.
2.3. Bagi Tim Penjamin Mutu Internal STT Intheos Surakarta, sebagai evaluasi
kompetensi dosen S1 Prodi PAK dan sebagai pertimbangan dalam usaha
meningkatkan kompetensi dosen.
2.4. Bagi Wakil Ketua Bidang Akademis STT Intheos Surakarta, sebagai evaluasi
kompetensi dosen S1 Prodi PAK dan sebagai pertimbangan dalam
menempatkan dosen sesuai jalur pendidikan serta bidang keahlian.
2.5. Bagi Kepala Program Studi (Kaprodi) S1 PAK STT Intheos Surakarta,
sebagai monitor gaya mengajar dosen S1 Prodi PAK dan sebagai
pertimbangan dalam usaha meningkatkan kualitas gaya mengajar dosen
melalui implementasi filsafat pendidikan Rekonstruksionisme.
2.6. Bagi dosen S1 Prodi PAK, untuk memperdalam pengetahuan serta
mengimplementasikan filsafat pendidikan Rekonstruksionisme dalam usaha
meningkatkan kompetensi dan kualitas gaya mengajar.
2.7. Bagi mahasiswa S1 Prodi PAK, untuk meningkatkan gaya belajar yang
konstruktif dan menumbuhkan mental untuk mendorong dosen mengadakan
perkuliahan yang konstruktif melalui implementasi filsafat pendidikan
Rekonstruksionisme.
2.8. Bagi penulis dan peneliti selanjutnya, untuk menambah wawasan dan
pengalaman dalam melakukan penelitian ilmiah di bidang teologi praktika
terutama dalam konteks PAK.
24. 9
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Gaya Mengajar
1. Definisi Gaya Mengajar
Thoifuri menjelaskan, “Gaya mengajar adalah bentuk penampilan guru
saat proses belajar mengajar baik yang bersifat kurikuler maupun psikologis.”11
Berdasarkan penjelasan tersebut, gaya mengajar dapat dibagi menjadi dua sifat:
gaya mengajar kurikuler, yaitu teknik yang dirancang oleh pendidik dalam
menyampaikan materi; sedangkan gaya mengajar psikologis, yaitu kepribadian
yang nampak dalam sikap mengajar pendidik. Pendidik perlu variatif dalam
menerapkan gaya mengajar kurikuler dan sealami mungkin mengkombinasikan
dengan karakteristik psikologisnya. Selanjutnya, pendidik perlu senantiasa
mengevaluasi gaya mengajarnya. Jadi, gaya mengajar adalah cara khusus yang
digunakan beserta sikap yang ditunjukkan oleh pendidik untuk menolong peserta
didik dalam belajar sesuai dengan kondisi kelas dan tujuan pembelajaran.
2. Landasan Alkitabiah Gaya Mengajar
2.1. Landasan dalam Perjanjian Lama
Istilah “gaya mengajar” tidak disebutkan dalam Perjanjian Lama (PL).
Namun terdapat tokoh-tokoh dalam PL yang menerapkan gaya mengajar sesuai
karakteristik masing-masing. Gaya mengajar dalam PL berarti penampilan orang
dewasa, nabi, imam, atau raja dalam mengajarkan Firman Tuhan supaya anak-anak
atau umat memahami dan melakukan perintah Tuhan. Salah satu landasan Alkitab
pelaksanaan pendidikan Kristen tertulis dalam Ulangan 6:7, yaitu:
^ßB.k.v'b.W* %r<D<êb; ^åT.k.l,b.W ‘^t,’ybeB. ^ÜT.b.viB. ~B'_ T'Þr>B;dIw> ^yn<ëb'l. ~T'än>N:viw>
`^m<)Wqb.W
11
Thoifuri, Menjadi Guru Inisiator (Semarang: Media Campus, 2013), 81.
25. 10
(veshinan’tam levaneikha vedibar’ta bam beshiv’tekha beveitekha
uvelekh’tekha vaderekh uvequmekha).12
Terjemahan Baru (TB) menerjemahkan ayat tersebut sebagai berikut:
Haruslah engkau mengajarkannya [perintah Tuhan] berulang-ulang
kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di
rumahmu apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engaku
berbaring dan apabila engkau bangun.13
Dalam ayat tersebut, kata “~T'än>N:viw>” (veshinan’tam) memiliki kata dasar
“!n:v'” (shanan) yang berarti “dia mengajar,” “dia mengasah” atau “dia
mempertajam.” Kata “veshinan’tam“ berbentuk verb piel perfect yang berarti suatu
pekerjaan dilakukan terus menerus sampai selesai. TB menerjemahkan kata
tersebut dengan “ajarkanlah berulang-ulang.” Artinya, bukan hanya anak yang
dituntut giat belajar, tetapi orang tua atau pendidik juga harus tekun dalam
mengajarkan Firman Tuhan. Ayat tersebut menunjukkan suatu gaya mengajar yaitu
membiasakan peserta didik belajar sepanjang hayat (life-long education).
2.2. Landasan dalam Perjanjian Baru
Perjanjian Baru (PB) juga tidak menyebutkan istilah “gaya mengajar.”
PAK lebih sering membahas tentang metode pengajaran Yesus Kristus. Metode
mengajar dapat menentukan sekaligus mengindikasikan gaya mengajar yang
pendidik terapkan. Maka gaya mengajar menurut PB selaras dengan metode
pengajaran Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah Guru yang kreatif karena
menggunakan metode-metode variatif bergantung kepada tujuan percakapan, isi
ajaran, keadaan pendengar, serta situasi lingkungan. Metode maupun gaya
mengajar Yesus Kristus masih relevan dalam pelaksanaan PAK masa kini.
Berdasarkan berbagai metode yang Yesus Kristus terapkan, dapat
diuraikan bahwa Ia menampilkan gaya mengajar sebagai berikut: penuh kasih,
ajaran utama Yesus Kristus adalah kasih dan Ia mengajar dengan kasih (Mat. 22:36-
40); memandirikan, Yesus Kristus melatih para pendengar untuk beriman dan
berpikir mendalam (Mar. 4:35-41, Yoh. 3:1-21); melibatkan audiens, agar mereka
merasa dihargai dan berkesempatan untuk mengutarakan isi hati dan pikiran (Yoh.
6:1-15); tegas, ada baiknya pendidik menerapkan disiplin sebagai tindakan
12
Deuteronomy 6:7, BibleWorks (Program Komputer).
13
Ulangan 6:7, Alkitab Terjemahan Baru (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2015).
26. 11
preventif maupun represif terhadap kondisi yang kurang kondusif (Yoh. 2:13-17)
dan; inklusif, Yesus Kristus mengajar tanpa membedakan status pendengarnya
(Yoh. 4:1-42).
Pendidik Kristen harus menghayati bahwa tujuan pendidikan Kristen
adalah mempertemukan setiap pribadi peserta didik kepada Kristus. Pendidik
Kristen perlu menerapkan gaya mengajar yang mencerminkan pribadi Kristus serta
menanamkan nilai-nilai Kristen dalam setiap metode yang digunakan.
3. Bentuk Gaya Mengajar
Bentuk gaya mengajar meliputi kepribadian yang nampak atau berifat
psikologis, serta teknik yang direncanakan atau bersifat kurikuler. Setiap sifat
tersebut memunculkan keunikan bentuk gaya mengajar setiap pendidik, sehingga
tercipta berbagai kemungkinan interaksi sosial dalam kelas. Pembahasan bentuk
gaya mengajar bukan hendak mencari gaya mengajar yang terbaik, tetapi mencari
yang efektif dalam setiap kondisi kelas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran.
3.1. Gaya Mengajar Berdasarkan Sifat Psikologis
Kata “psikologis” berarti bersifat kejiwaan.14
Gaya mengajar psikologis
bersumber dari kepribadian pendidik sehingga cenderung sulit ditentukan atau
dirubah. Nasution menyebutkan tiga gaya mengajar yang terbentuk berdasarkan
latar belakang psikologis yaitu otoriter, permisif, dan riil.15
Seorang pendidik perlu
memiliki penguasaan diri agar gaya mengajar yang dia tampilkan tetap mengarah
kepada tujuan pembelajaran tanpa harus memanipulasi kepribadianya.
3.1.1.Gaya Mengajar Otoriter
Kata “otoriter” berarti berkuasa sendiri atau sewenang-wenang.16
Semua
pendidik pada dasarnya memiliki otoritas untuk mengendalikan kelas. Namun
pendidik otoriter cenderung tidak mengizinkan konflik dan materi di luar nilai-nilai
yang dianggap absolut. Pendidik otoriter menguasai keterampilan penguatan
(reinforcement), tetapi dominan memberikan hukuman daripada penghargaan.
Pendidik otoriter menuntut kedisiplinan peserta didik dalam belajar maupun
berperilaku sehingga dapat menimbulkan tekanan dalam proses pembelajaran.
14
Kata “psikologis”, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional, 2008), 1220.
15
S. Nasution, Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar dan Mengajar (Bandung:
Bumi Aksara, 2005), 119-121.
16
Kata “otoriter”, Kamus Bahasa Indonesia, Op.Cit., 598.
27. 12
3.1.2.Gaya Mengajar Permisif
Kata “permisif” berarti suatu sikap mengizinkan segala-galanya baik
dalam pemikiran maupun perbuatan.17
Pendidik permisif membebaskan peserta
didik mengungkapkan ide dan cara belajar yang hendak dipakai. Peserta didik tidak
berada di bawah tekanan dan diberi banyak kesempatan mengembangkan
potensinya. Namun kelas berpotensi kurang kondusif atau materi tidak kunjung
selesai apabila pendidik terlalu memberi kelonggaran kepada peserta didik selama
proses pembelajaran.
3.1.3.Gaya Mengajar Riil
Seorang pendidik riil pada umumnya berprinsip kepada pengetahuan yang
nyata dan absolut.18
Riil serupa dengan permisif dalam memberi kebebasan cara
belajar peserta didik, tetapi riil juga memiliki bagian otoriter dalam kekakuan
terhadap materi. Pendidik membuat banyak variasi metode pembelajaran dan
peserta didik masih boleh berargumentasi, tetapi pendidik adalah penentu benar
atau salah argumentasi tersebut. Peranan pendidik riil bukan membawa peserta
didik beradaptasi pada konteks lingkungan masing-masing, tetapi menciptakan
lingkungan yang riil menurut pandangan pendidik tersebut.
3.2. Gaya Mengajar Berdasarkan Sifat Kurikuler
Kata “kurikuler” berarti suatu perangkat atau kegiatan yang sifatnya
direncanakan secara sistematis untuk mencapai suatu tujuan.19
Saifullah
menyebutkan enam gaya mengajar kurikuler berdasarkan hubungannya dengan
bentuk interaksi sosial dalam kelas, yaitu skill, overload, structure, evaluation,
interaction, dan rapport.20
Gaya mengajar yang pendidik terapkan dapat
menentukan bentuk interaksi sosial dalam kelas, sebaliknya gaya mengajar
pendidik perlu menyesuaikan bentuk interaksi sosil dalam kelas dan tujuan
pembelajaran yang diharapkan.
17
A. Mangunharjdana, Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z (Jogjakarta: Kanisius,
1997), 181.
18
Khoe Yao Tung, Filsafat Pendidikan Kristen (Yogyakarta: Andi Offset, 2013), 68.
19
Syafruddin Nurdin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum (Jakarta:
Quantum Teaching, 2005), 32-33.
20
Saifullah, Op.Cit., 27.
28. 13
3.2.1.Gaya Mengajar Skill
Kata “skill” berarti kecakapan, kepandaian, atau keterampilan.21
Pendidik
dengan gaya mengajar skill sangat percaya diri dengan teaching skill -nya. Teaching
skill (keterampilan mengajar) merupakan berbagai bidang kemampuan pendidik
dalam melakukan pengajaran melalui berbagai metode sehingga peserta didik dapat
memahami materi yang diajarkan.22
Interaksi sosial berpusat kepada pendidik,
peserta didik cenderung pasif, dan materi pada diktat jarang dibahas.
3.2.2.Gaya Mengajar Overload
Istilah “overload” berarti berlebihan atau melampaui batasan.23
Gaya
mengajar overload ditandai dengan banyaknya penugasan di dalam kelas maupun
di luar kelas yang pendidik berikan kepada peserta didik. Pendidik mengharapkan
peserta didik membiasakan membaca, menulis, dan memahami materi secara
individu. Interaksi sosial antara pendidik dan peserta didik cenderung renggang dan
bertumpu pada tugas yang pendidik berikan.
3.2.3.Gaya Mengajar Structure
Istilah “structure” digunakan untuk menyebut suatu susunan organisasi
atau rangka bangunan.24
Pendidik dengan gaya mengajar structure merencanakan
perangkat pembelajaran dengan cermat, disiplin dan rasional. Dalam penerapan
gaya mengajar tersebut terjadi keaktifan baik pendidik maupun peserta didik.
Sumber materi dimanfaatkan sebaik-baiknya, namun ikatan sosial terasa longgar
dan kaku karena diikat aturan-aturan yang dibuat oleh pendidik sendiri.
3.2.4.Gaya Mengajar Evaluation
Kata “evaluation” adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk
menentukan nilai daripada sesuatu.25
Pendidik dengan gaya mengajar evaluation
secara terstruktur mengadakan berbagai tes dan membuat rubrik penilaian secara
cermat. Interaksi sosial dalam kelas bertumpu kepada tes dan rubrik tersebut.
Evaluasi bukan sekedar untuk melihat hasil, namun hasil tersebut digunakan
sebagai refleksi untuk melaksanakan proses pembelajaran yang lebih baik.
21
Kata “skill”, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007),
530.
22
Kusnadi, Strategi Pembelajaran Ilmu Pengetahuan (Pekan Baru: Yayasan Pustaka
Riau, 2008), 45.
23
Kata “overload”, Kamus Inggris-Indonesia, Op.Cit., 412.
24
Kata “structure”, Ibid., 562.
25
Wayan Nurkancana dan P.P.N. Sunartana, Evaluasi Pendidikan (Surabaya: Usaha
Nasional, 1986), 1.
29. 14
3.2.5.Gaya Mengajar Interaction
Kata “interaction” berarti hubungan timbal balik.26
Gaya mengajar
interaction menekankan interaksi sosial di dalam kelas, baik interaksi pendidik dan
peserta didik maupun antar peserta didik. Pendidik membagi kelas dalam kelompok
secara homogen maupun heterogen. Komunikasi berlangsung dua arah dan terbuka.
Gaya mengajar tersebut biasanya kurang terikat dengan perangkat pembelajaran
dan fleksibel terhadap situasi kelas.
3.2.6.Gaya Mengajar Rapport
Kata “rapport” berarti relasi atau hubungan.27
Pendidik dengan gaya
mengajar rapport menaruh kepercayaan kepada peserta didik baik dari segi
kemampuan berfikir maupun moral. Pendidik menghargai kebebasan berfikir
peserta didik, saling menghormati pendapat, dan mengutamakan kasih sayang
dalam kelas.28
Pendidik tidak kaku dengan perangkat pembelajaran dan lebih
mengutamakan membangun rasa kekeluargaan di dalam kelas.
B. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
1. Pengertian Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Mahmud mengutip pernyataan Dewey dalam mendefinisikan filsafat
pendidikan yaitu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, menyangkut
daya pikir maupun daya perasaan menuju ke arah tabiat manusia.29
Sedangkan
Sadulloh menjelaskan filsafat pendidikan adalah sebagai berikut:
Dalam bentuk yang paling sederhana, filsafat pendidikan terdiri dari apa
yang diyakini seseorang mengenai pendidikan, merupakan kumpulan
prinsip yang membimbing tindakan profesional seseorang. Lebih jauh lagi,
filsafat pendidikan dengan penetapan hakikat dan tujuan, alat pendidikan,
dan kemudian menerjemahkan prinsip-prinsip ini ke dalam kebijakan-
kebijakan untuk mengimplementasikannya.30
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, filsafat pendidikan berarti
pandangan seseorang maupun penyelidikan bersama suatu lembaga mengenai
26
Kata “interaksi”, Kamus Bahasa Indonesia, Op.Cit., 598.
27
Kata “rapport”, Kamus Inggris-Indonesia, Op.Cit., 45.
28
Saifullah, Op.Cit., 23-24.
29
Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), 50.
30
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2009), 91.
30. 15
hakikat segala unsur-unsur dalam lingkungan untuk membentuk kualitas manusia
melalui pendidikan, yang telah direncanakan secara kritis dan sistematis serta
dilaksanakan dengan amanat kemajuan kehidupan bersama.
Sedangkan kata “rekonstruksionisme” secara etimologis berasal dari
bahasa Inggris “recontructionism”, terdiri dari kata: “re” yang berarti perihal atau
kembali; “contruction” yang berarti membangun, dan; “ism” yang berarti aliran.31
Rekonstruksionisme berarti aliran yang memiliki paham membangun ulang suatu
tatatan atau konsep yang telah ada menjadi suatu tatanan yang baru dan lebih baik.
Khasan menjelaskan tujuan Rekonstruksionisme adalah sebagai berikut:
Rekonstruksionalisme berusaha mencari kesepakatan semua orang
mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia
dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya. Melalui lembaga dan
proses pendidikan, rekonstruksionalisme ingin merombak tata susunan
lama, dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru.32
Aliran tersebut menempatkan lembaga pendidikan sebagai pelopor
revolusi budaya masyarakat. Pendidikan merupakan refleksi kebudayaan yang
mempunyai sifat-sifat sejiwa dengan corak budaya tersebut. Landasan filosofis
penyelenggaraan pendidikan sebaiknya menyatukan hal yang baik dari setiap
aliran, dan dengan tegas menolak budaya yang menyimpang dari jati diri bangsa.
Melakukan rekonstruksi budaya pada dasarnya sulit apabila belum ada kesepakatan
dari mayoritas masyarakat, atau dapat terjadi secara alami melalui tahap asimilasi
dalam proses sosialisasi.
Opsi yang ditempuh Rekonstruksionisme dalam merekonstruksi budaya
adalah melalui transmisi budaya. Rekonstruksionisme mengambil nilai-nilai yang
baik dari filsafat, budaya, dan pengetahuan yang sebelumnya ada, menolak apa
yang kurang baik, kemudian merekonstruksi menjadi pandangan yang baru
terhadap pendidikan. Jadi, Rekonstruksionisme adalah aliran filsafat pendidikan
yang berusaha menciptakan suatu tatanan sosial yang lebih unggul, dinamis, dan
universal dengan mentransmisikan nilai-nilai yang baik dari berbagai filsafat,
budaya dan pengetahuan melalui penyelenggaraan pendidikan.
31
Kata “re”, “construction”, dan “ism”, Kamus Inggris-Indonesia, Op.Cit., 46, 142, 332.
32
Tholib Kasan, Dasar-Dasar pendidikan (Jakarta: Studia Press, 2009), 84.
31. 16
2. Landasan Alkitabiah Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
2.1. Landasan dalam Perjanjian Lama
Musa merupakan salah satu tokoh PL yang menolak nilai negatif budaya
asing. Stefanus bersaksi bahwa Musa dibesarkan dengan segala didikan hikmat
orang Mesir (Kis. 7:22). Musa mengetahui tetapi tidak mempraktikkan berbagai
ajaran Mesir seperti filsafat kuno, penyembahan para dewa, dan ilmu sihir.
Berbagai kisah yang mirip dengan Kitab Kejadian seperti kisah penciptaan Enuma
Elish atau kisah air bah dalam Epos Gilgamesh tidak mempengaruhi Musa dalam
menulis sejarah asli dunia berdasarkan ilham Tuhan. Musa telah melakukan suatu
rekonstruksi melalui penolakan terhadap budaya yang menyimpang dari Firman
Tuhan. Jadi, Rekonstruksionisme dalam PL berarti ajaran sikap takut akan Tuhan
sebagai sumber hikmat yang pertama dan terutama, menerima (inklusif) nilai-nilai
praktis yang baik dari berbagai bangsa, dan menolak (eksklusif) ajaran yang
menyimpang dari Firman Tuhan.
2.2. Landasan dalam Perjanjian Baru
Istilah-istilah filsafat mulai muncul dalam PB. Tujuan penulisan surat para
Rasul juga banyak ditujukan kepada orang Yunani yang gemar berfilsafat. Tujuan
penulisan surat-surat tersebut adalah supaya pembaca tahu bahwa hikmat yang
sejati adalah Yesus Kristus (Kol. 2:3). Salah satu ajaran Paulus untuk menolak
filsafat yang menyimpang dari Firman Allah terdapat dalam Kolose 2:8, yaitu:
Ble,pete mh, tij u`ma/j e;stai o` sulagwgw/n dia. th/j filosofi,aj kai. kenh/j
avpa,thj kata. th.n para,dosin tw/n avnqrw,pwn( kata. ta. stoicei/a tou/ ko,smou
kai. ouv kata. Cristo,n (Blepete me tis humas estai ho sulagogon dia tes
philosophias kai kenes apates kara ten paradosin ton anthropon, kata ta
stoikseia tou kosmou kai ou kata Christon).33
TB menerjemahkan ayat tersebut sebagai berikut:
Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya
yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia,
tetapi tidak menurut Kristus.34
Penduduk Kolose sebenarnya berusaha mencari kepenuhan Tuhan, namun
berbagai guru palsu datang menyampaikan filsafat yang salah dan memikat hati
mereka.35
Pengetahuan dunia perlu diuji kebenarannya berdasarkan Firman Tuhan
33
Colossians 2:8, BibleWorks, Op.Cit.
34
Kolose 2:8, Alkitab Terjemahan Baru, Op.Cit.
35
Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas. 2003), 397-398.
32. 17
(1 Tes. 5:21). Jadi, Rekonstruksionisme dalam PB berarti usaha menguji
pengetahuan dunia berdasarkan Firman Tuhan, menolak berbagai ajaran sesat dan
mengarahkan jemaat kepada ajaran Yesus Kristus.
3. Sejarah Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan aliran filsafat pendidikan Barat sebagai
kelanjutan dari Progressivisme yang dipelopori oleh John Dewey (1859-1952).
Buku Dewey yang berjudul “Reconstruction in Philosophy” memunculkan gerakan
oleh George Sylvester Counts (1889-1974) dan Harold Ordway Rugg (1886-1960)
yang ingin menjadikan lembaga pendidikan sebagai sebuah media rekonstruksi
terhadap masyarakat.36
Gerakan tersebut didasari suatu anggapan bahwa kaum
Progressivisme hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah
masyarakat yang ada pada saat itu. Rumusan tujuan pendidikan
Rekonstruksionisme dilatar belakangi oleh merosotnya moral dan keadaan berbagai
bidang pasca Perang Dunia II. Theodore Brameld (1904-1987) melihat kekacauan
dunia masa itu sebagai akibat dari perbuatan manusia sendiri.37
Jika manusia
mampu menciptakan teknologi untuk menghancurkan, sesungguhnya manusia
lebih sanggup menciptakan peradaban dunia yang sejahtera. Sekolah diupayakan
menjadi lembaga utama untuk merencanakan dan mengarahkan perubahan sosial.
Usaha rekonstruksi sosial yang diupayakan oleh Brameld didasarkan atas asumsi
bahwa manusia telah beralih dari masyarakat pedesaan ke masyarakat urban yang
berteknologi tinggi.
Jadi, filsafat pendidikan Progressivisme oleh Dewey memicu munculnya
Rekonstruksionisme oleh Count dan Rugg, dan dikembangkan ke arah fokus sosial
oleh Bremeld. Tugas sekolah menurut aliran ini adalah mempersiapkan masyarakat
beradaptasi terhadap perubahan zaman terutama di bidang teknologi dan
memanfaatkannya untuk menciptakan kesejahteraan sosial.
4. Pandangan Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Filsafat pendidikan yang dianut seorang pendidik dapat terbentuk dari
keyakinannya terhadap berbagai unsur dalam pendidikan. Keyakinan tersebut terus
berubah seiring dengan pengalaman dan pengetahuan yang bertambah. Sadulloh
36
Muhmida Yeli, Filsafat Pendidikan Islam (Pekanbaru: LSFK2P, 2005), 193.
37
Sadulloh, Op.Cit., 168.
33. 18
menjelaskan unsur-unsur pembentuk filsafat pendidikan terdiri dari keyakinan
mengenai pengajaran dan pembelajaran, peserta didik, pengetahuan (epistemologi)
dan apa yang bermanfaat untuk diketahui.38
Sedangkan Barnadib menyebutkan
unsur-unsur tersebut adalah pandangan tentang realita (metafisika), nilai
(aksiologi), belajar dan kurikulum.39
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka
unsur pembentuk filsafat pendidikan yang dianut seorang pendidik terdiri dari
keyakinan terhadap lapangan filsafat (metafisika, epistemolog, aksiologi),
pendidikan, teori belajar, peserta didik, dan pendidik.
4.1. Keyakinan Terhadap Lapangan Filsafat
Ciri-ciri mendasar yang membedakan antara aliran-aliran filsafat murni
maupun pendidikan adalah keyakinan terhadap lapangan filsafat yang terdiri dari
metafisika, epistemologi dan aksiologi.40
Maka, keyakinan seorang pendidik akan
ketiga hal tersebut dapat menjadi indikator filsafat pendidikan yang dia anut.
4.1.1.Keyakinan Terhadap Metafisika
Kata “metafisika” secara etimologis berarti sesuatu balik kenyataan.41
Metafisika merupakan pandangan filsafat mengenai realitas atau hakikat segala
sesuatu. Pembahasan metafisika tidak terlepas dari ontologi, dimana ontologi
membahas mengenai kenyataan sedangkan metafisika membahas apa yang ada di
balik kenyataan tersebut. Rekonstruksionisme memandang bahwa realita bersifat
universal, kenyataan adalah sama di semua tempat.42
Realitas kehidupan bagi aliran
tersebut adalah keadaan manusia yang tertinggi. Keadaan tersebut dipenuhi melalui
peningkatan aspek kognitif, sosial, dan spiritual. Maka realitas bagi
Rekonstruksionisme adalah dualisme kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
4.1.2.Keyakinan Terhadap Epistemologi
Kata “epistemologi” berasal dari bahasa Yunani kuno “epistem” yang
berarti “pengetahuan.”43
Suparno merangkum gagasan Rekonsruksionisme
mengenai pengetahuan sebagai berikut:
38
Ibid., 92.
39
Barnadib, Op.Cit., 5.
40
Sadulloh, Op.Cit., 27.
41
Ibid., 29.
42
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila (Surabaya:
Usaha Nasional, 1988), 98.
43
Sadulloh, Op.Cit., 29.
34. 19
(a) Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka,
tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. (b)
Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang
perlu untuk pengetahuan. (c) Pengetahuan dibentuk dalam struktur
konsepsi seseorang melalui pengalaman-pengalaman seseorang.44
Menurut Rekonstruksionisme, suatu pengetahuan dapat dibuktikan oleh
diri sendiri berdasarkan pengalaman dan interaksi melalui indera terhadap
lingkungan. Meskipun suatu pengetahuan adalah perspektif, namun jika dapat
dibuktikan secara empiris berarti pengetahuan tersebut adalah benar.
4.1.3.Keyakinan Terhadap Aksiologi
Istilah “aksiologi” secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “aksios”
yang berarti nilai.45
Nilai dalam pendidikan berarti menguji dan mengintegrasikan
tindakan moral, ekspresi keindahan, kehidupan sosial-politik di dalam kehidupan
manusia serta membinanya di dalam kepribadian anak.46
Rekonstruksionisme
memandang nilai berdasarkan asas-asas supernatural, yaitu menerima nilai natural
yang universal, yang abadi berdasarkan nilai teologis.47
Nilai yang baik adalah
segala hal yang tidak melangar moral serta berguna bagi manusia secara universal.
4.2. Keyakinan Terhadap Pendidikan
Ihsan mendefinisikan pendidikan adalah usaha manusia untuk
menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani
maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat dan
kebudayaan.48
Rekonstruksionisme mempercayai bahwa lembaga pendidikan
berperan menciptakan masyarakat yang baru dan lebih baik. Sekolah pertama-tama
meluluskan peserta didik sebagai agen perubahan, kemudian agen tersebut menata
kembali tatanan sosial masyarakat. Sekolah diharapkan secara signifikan membuat
dunia yang lebih baik dengan masyarakat yang unggul di dalamnya. Pendidikan
diselenggarakan dengan mencocokkan sekolah dengan peserta didik, bukan
sebaliknya peserta didik menyesuaikan diri dengan sekolah.
44
P. Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 2001),
21.
45
Sadulloh, Op.Cit., 36.
46
Noor Syam, Op.Cit., 106-107.
47
Ibid., 100.
48
Ihsan Fuad, Dasar-dasar Kependidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), 1.
35. 20
Rekonstruksionisme memiliki pandangan bahwa masa depan suatu bangsa
merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis.
Cita-cita tersebut diwujudkan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia
di segala bidang tanpa membedakan suku, agama, ras, maupun antar golongan. Jadi,
tujuan pendidikan Rekonstruksionisme adalah menjadikan outcome sebagai agen
perubahan dan pencipta kebudayaan yang unggul dalam menghadapi disrupsi
global.
4.3. Keyakinan Terhadap Teori Belajar
Rusman mengutip pernyataan Bigge dalam mendefinisikan teori belajar
yaitu suatu pandangan yang terpadu dan sistematik tentang hakikat dari proses
dimana orang-orang berhubungan dengan lingkungan mereka dalam suatu cara
untuk meningkatkan kemampuan menggunakan diri sendiri dan lingkunganya
secara lebih efektif.49
Fosnot berpendapat bahwa belajar merupakan proses
menemukan sesuatu, bukan mengumpulkan sesuatu.50
Rekonstruksionisme melihat
kegiatan belajar yang aktif berarti peserta didik secara mandiri mencari makna dari
materi yang mereka pelajari dan bertanggung jawab atas hasil yang mereka
temukan. Suparno menyatakan bahwa pandangan tentang belajar oleh
Rekonstruksionisme berkaitan erat dengan teori perubahan konsep, belajar
bermakna oleh Ausubel, Skemata, dan teori belajar Brunner.51
Teori belajar pada
prinsipnya dapat muncul dari filsafat, namun kemunculan Rekonstruksionisme
turut dipengaruhi oleh teori-teori belajar yang telah ada.
Pertama, teori perubahan konsep. Teori tersebut menjelaskan adanya
proses evolusi pemahaman konsep peserta didik yang sedang belajar. Proses
penyempurnaan pemahaman itu berlangsung melalui dua bentuk yaitu tanpa
melalui perubahan yang besar dan spontan (asimilasi), atau sangat perlu adanya
perubahan yang radikal menuju pengertian yang ilmiah (akomodasi).
Kedua, teori belajar bermakna (meaningful learning). Belajar bermakna
adalah suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur
49
Rusman, Belajar & Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta:
Kencana, 2017), 108.
50
Fosnot, Enquiring Teacherrs, Enquiring Learners, A constructivist Approach
forTteaching (New York: Columbia University, 1996), 20.
51
Suparno, Op.Cit., 49.
36. 21
pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna
terjadi apabila peserta didik mencoba menghubungkan fenomena baru kedalam
struktur pengetahuan sampai kepada menemukan makna dari fenomena tersebut.
Ketiga, teori belajar skemata. Jonassen menjelaskan bahwa “skema”
adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu hal,
menemukan jalan keluar, atau memecahkan persoalan.52
Menurut teori skemata,
pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi yang membuat seseorang
mampu mendefinisikan atau menjelaskan sebuah objek maupun peristiwa.
Keempat, teori belajar Brunner. Brunner menekankan adanya pengaruh
kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Budiningsih menjelaskan teori
tersebut bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori,
aturan, atas pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam
kehidupannya.53
Temuan tersebut diharapkan dapat bermanfaat dalam kehidupan
diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
4.4. Keyakinan Terhadap Peserta Didik
Kasan medefinisikan peserta didik adalah orang yang menghendaki dan
berusaha belajar agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman
dan kepribadian yang baik, untuk bekal kehidupannya.54
Aliran filsafat pendidikan
progresif cenderung menempatkan peserta didik sebagai pusat pendidikan (student
centered). Namun Rekonstruksionisme menghendaki pembelajaran juga
dipusatkan kepada masalah (problem centered) sehingga peserta didik dapat
mengalami belajar bermakna (meaningful learning). Rekonstruksionisme menaruh
kepercayaan kepada penemuan-penemuan hasil kajian sains dan teori-teori tingkah
laku sebagai asas untuk menciptakan suatu masyarakat, dimana individu-
individunya dapat mencapai potensi-potensi dengan mandiri. Maka, peserta didik
menurut Rekonstruksionisme tidak hanya dipersiapkan untuk menghadapi pesatnya
perkembangan kehidupan, tetapi juga menciptakan percepatan perkembangan
kehidupan menuju kesejahteraan.
52
Ibid., 55.
53
C. A. Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 43.
54
Kasan, Op.Cit., 38.
37. 22
4.5. Keyakinan Terhadap Pendidik
Pendidik secara umum disebut guru atau tenaga pengajar adalah seorang
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.55
Para
pendidik Rekonstruksionisme melihat bahwa pendidikan dan reformasi sosial
adalah sama. Outcome lembaga pendidikan adalah harapan untuk mengentaskan
berbagai permasalahan sosial. Peranan pendidik Rekonstruksionisme bukan
terutama untuk menyampaikan pengetahuan, tetapi berperan menyampaikan isu-isu
sosial yang dianggap penting dan belum peserta didik ketahui.56
Pendidik
merupakan fasilitator dalam mengaktualisasi bakat peserta didik, sekaligus
merupakan demonstran bentuk masyarakat demokrasi yang faktual. Aktivitas
pembelajaran dibuat menolong para peserta didik memahami bentuk masyarakat
yang unggul dan sejahtera. Jadi, pendidik Rekonstruksionisme bertugas memahami
konteks kehidupan peserta didik, mengenalkan bentuk masyarakat yang dinamis,
dan mengarahkan kepada kehidupan masyarakat yang unggul.
5. Prinsip-prinsip Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan aliran filsafat yang muncul dan
berkembang di Amerika. Perumusan prinsip-prinsip Rekonstruksionisme pada
awalnya menyesuaikan keadaan dan kebutuhan pendidikan Amerika masa itu.
Rahmayana dalam penelitian “Filsafat Rekonstruksionisme dalam pendidikan
Islam, Studi atas pemikiran Muhammad Iqbal” mengutip prinsip-prinsip yang
menjadi landasan pelaksanaan pendidikan Rekonstruksionisme sebagai berikut:
(1) Memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada setiap peserta
didik tanpa membedakan ras, kepercayaan atau latar belakang ekonomi.
(2) Memberikan pendidikan tinggi, latihan akademik, professional, dan
teknikal kepada setiap peserta didik untuk dapat menyerap dan
menggunakan ilmu dan teknologi yang diajarkannya. (3) Membuat
lembaga pendidikan menjadi berperan sangat penting sebagai satu bagian
dari kehidupan nasional yang akan menarik bagian lain karena para
pendidiknya sangat bersemangat. (4) menyusun sebuah program pemuda
untuk peserta didik yang berusia 17 sampai dengan 23 tahun untuk
membawa mereka dan lembaga pendidikan aktif menuju pada partisipasi
55
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab I, Pasal 1.
56
Abdul Rahman Aroff dan Zakaria Kasa, Falsafah dan Konsep Pendidikan (Petaling
Jaya: Fajar Bakti, 1987), 48-49.
38. 23
dalam masyarakat orang dewasa. (5) Mengusahakan penggunaan penuh
dari perlengkapan lembaga pendidikan untuk pertemuan-pertemuan
pemuda, kegiatan-kegiatan masyarakat, dan pendidikan orang dewasa. (6)
Bekerja sama penuh dengan semua lembaga masyarakat dan lembaga
sosial menuju sebuah masyarakat demokratis yang sesunggunya. (7) Terus
memperluas penelitian dan eksperimentasi pendidikan. (8) Mengajak
pemimpin masyarakat untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana dari
masyarakat menjadi bagian dari sekolah. Kurikulum rekonstruksionisme
lebih memusatkan perhatiannya pada problema-problema yang dihadapi
masyarakat. 57
Indonesia telah mendasari penyelenggaraan pendidikan dengan falsafah
Pancasila. Bukan berarti Indonesia tidak dapat menerapkan nilai-nilai kebaikan
Rekonstruksionisme sebagai falsafah asing (Amerika). Rekonstruksionisme
memiliki sisi yang relevan untuk menjadi landasan filosofis penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia, diantaranya bentuk pemerintahan yang sama yaitu
Presidensiil, penyelenggaraan musyawarah secara demokrasi, serta semboyan
“berbeda beda tetapi tetap satu.” Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, semua pihak
berkaitan harus meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode
yang dipakai, struktur administrasi, dan cara melatih tenaga pendidik. Namun
implementasi Rekonstruksionisme tidak boleh mengabaikan tujuan nasional,
kesanggupan akan sumber daya, serta jati diri bangsa.
6. Analisis Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Aliran filsafat yang baik adalah aliran yang mau menerima saran bahkan
kritikan sebagai evaluasi agar menjadi lebih baik, karena salah satu tugas filsafat
adalah menilai filsafat itu sendiri. Tidak ada aliran filsafat yang sempurna dan
cukup relevan dalam segala situasi. Demikian juga Rekonstruksionisme memiliki
kelebihan dan kelemahan untuk direlevansikan pada pendidikan di Indonesia.
6.1. Kelebihan Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Pertama, Rekonstruksionisme dapat bersintesis dengan nilai-nilai
berbagai filsasat, budaya, dan pengetahuan yang baik, mengeliminasi yang kurang
baik, kemudian merelevansikannya dalam pandangan atau tatanan yang baru
terhadap pendidikan.
57
Jenny Rahmayana, “Filsafat Rekonstruksionisme dalam pendidikan Islam, Studi atas
pemikiran Muhammad Iqbal”, Jurnal Tamaddun Ummah, 1:1 (Riau: Institut Agama Islam
Tafaqquh Fiddin Dumai, 2015), 3-4.
39. 24
Kedua, Rekonstruksionisme menyelenggarakan pendidikan yang bukan
sekedar plural tetapi juga inklusif. Aliran tersebut menjunjung tinggi hak asasi
manusia untuk memperoleh pendidikan yang layak, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan turut mengusahakan perdamaian dunia.
Ketiga, Rekonstruksionisme bersifat continue yang berarti memiliki
bagian yang tetap dapat direlevansikan pada perubahan zaman yang pesat. Aliran
tersebut bukan sekedar mengajar peserta didik untuk menghadapi masa sekarang,
tetapi juga membekali mereka untuk menyongsong masa depan.
Keempat, Rekonstruksionisme membangkitkan kesadaran para peserta
didik untuk melek terhadap berbagai masalah sosial yang dihadapi umat manusia
dalam skala global, dan mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan
yang diperlukan untuk mengatasi problema sekaligus menemukan maknanya.
6.2. Kelemahan Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Pertama, pelaksanaan pendidikan Rekonstruksionisme bersifat global dan
melibatkan seluruh dunia, sehingga tugas lembaga pendidikan sangat berat dan
kurang fokus terhadap setiap individu. Setiap negara belum tentu mau terlibat
dengan misi global yang dianjurkan oleh Rekonstruksionisme.
Kedua, pendidikan yang demokratis berpotensi menimbulkan niat-niat
politik untuk menguasai penyelenggaraan pendidikan. Hal tersebut dibuktikan
dengan keinginan Rekonstruksionisme untuk menyatukan semua pemikiran di
bawah kepemimpinan satu pihak, sehingga banyak partai atau fraksi yang berlomba
untuk memperoleh posisi tersebut.
Ketiga, gagasan-gagasan dalam Rekonstruksionisme sangat teoritik dan
tinggi. Gagasan seperti pembentukan kesatuan tatanan sosial memang suatu cita-
cita yang mulia, tetapi dalam pelaksanaannya cenderung mustahil. Tenaga pendidik
sesuai kualifikasi Rekonstruksionisme sangat sulit ditemukan.
C. Program Studi Pendidikan Agama Kristen di STT Intheos Surakarta
1. Latar Belakang
Dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan, maka implementasi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dilaksanakan dengan acuan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
40. 25
Standar Nasional Pendidikan yang menekankan delapan standar pendidikan yaitu
standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidikan dan tenaga kependidikan, sarana
dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan.58
Khusus bagi
Perguruan Tinggi Teologi/ Agama Kristen (PTT/AK), standar isi atau kurikulum
telah disusun dan dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Bimas Kementrian
Agama melalui Direktorat Pendidikan Kristen dengan bantuan Tim Penjamin Mutu
PTT/AK.
Ciri khas pendidikan Teologi/ Agama Kristen tertuang dalam visi dan misi
masing-masing sekolah tinggi, dengan menjamin terwujudnya eksistensi dan peran
pendidikan Teologi/Agama Kristen yang memberi kontribusi bagi pembentukan
moral dan spiritual Kristiani, menumbuh kembangkan nilai-nilai Kristiani, terutama
bagi kebutuhan pemberdayaan dan pengembangan Sumber Daya Manusia Kristiani
sebagai anggota masyarakat, warga gereja, serta warga negara Republik
Indonesia.59
Kekuatan hukum PTT/AK ditegaskan dalam Perarturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Penyelenggaraan PTT/AK berfokus pada customer dan stakeholder. Customer
adalah penyedia jasa, yang meliputi biaya pendidikan, penilaian dan bimbingan
bagi peserta didik, orang tua peserta didik, dan para pendukung.60
Sedangkan
stakeholder adalah kelembagaan yang dianjurkan dibentuk untuk meningkatkan
peran serta masyarakat dalam memajukan pendidikan berupa dewan pendidikan
dan komite.61
Kebutuhan masyarakat terhadap outcome pendidikan senantiasa
mengalami perubahan secara kompleks dan pesat. Maka sistem pendidikan yang
diusung PTT/AK senantiasa dirancang untuk memenuhi kebutuhan customer dan
stakeholders.
Penyelenggaraan PTT/AK juga didasari dengan landasan filosofis.
Landasan filosofis tersebut meliputi pemakai lulusan (customers), pengembangan
(improvment), pengetahuan (knowledge society), sistem, mahasiswa, dosen,
58
Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Kristen, Panduan Kurikulum Stratum Satu
(S1) Prodi Pendidikan Agama Kristen Sekolah Tinggi Teologi dan Sekolah Tinggi Agama Kristen
di Indonesia (Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, 2011), 1.
59
Ibid., 2.
60
A. Supriyanto, Total Quality Management di Bidang Pendidikan (Malang: Jurusan
Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang, 1999), 25.
61
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab
XV, Pasal 56.
41. 26
lulusan, integritas, menejemen, perencanaan, serta sarana dan fasilitas penunjang.62
Filosofis dalam hal ini berarti keyakinan yang mendasari sistem pendidikan,
kurikulum serta manajemennya terutama dalam melaksanakan tugas pendidikan,
pembelajaran, penelitian, penulisan karya ilmiah, dan pengabdian kepada
masyarakat. Jadi, PPT/AK diselenggarakan mengarah kepada tujuan formal yang
telah dirumuskan bersama pemerintah, serta tujuan teologis nilai-nilai Kristiani
yang termuat dalam Amanat Agung Yesus Kristus (Mat. 28:19-20).
2. Kurikulum
Kata “kurikulum” secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “curir”
yang artinya pelari dan “curere” yang berarti jalur berlari. Nurdin menyimpulkan
definisi kurikulum pendidikan merupakan aktivitas apa saja yang dilakukan sekolah
dalam rangka mempengaruhi anak dalam belajar untuk mencapai tujuan, termasuk
di dalamnya kegiatan belajar mengajar, cara mengevaluasi program pengembangan
pengajaran dan lain sebagainya.63
Dengan menyesuaikan empat pilar pendidikan
yang telah dirumuskan oleh United Nation Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) yaitu learning to know, learning to do, learning to be,
dan learning to life together; demikian juga PTT/AK mengharapkan kompetensi
lulusan sebagai berikut:
(a) Landasan kemampuan pengembangan kepribadian (to be); (b)
Kemampuan penguasaan ilmu dan keterampilan (know how and know
why); (c) Kemampuan berkarya (know to do); (d) Kemampuan menyikapi
dan berperilaku dalam berkarya sehingga mandiri, dan mengambil
keputusan secara bertanggung jawab (to be); dan (e) dapat bermasyarakat
dengan bekerjasama, saling menghormati dan menghargai nilai-nilai
pluralisme, dan kedamaian (live together).64
Dalam usaha menghasilkan capaian lulusan tersebut, maka PPT/AK
menyelenggarakan pendidikan dengan ciri-ciri kurikulum sebagai berikut:
(a) Menekankan pada hasil/outcome; (b) Outcomes merupakan
kompetensi yang dapat diukur; (c) Evaluasi keberhasilan merupakan
pengukuran penguasaan kompetensi yang telah dicapai (competency
mastery) oleh mahasiswa; (d) Relevansi lebih besar dari pada dunia kerja
nyata; dan (e) Menekankan pada kemampuan berfikir lebih tinggi terutama
berfikir filsafat dan teologis.65
62
Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Kristen, Op.Cit., 5-6.
63
Nurdin, Op.Cit., 32-33.
64
Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Kristen, Op.Cit., 9.
65
Ibid.
42. 27
Selain berfokus pada customer dan stakeholders, dalam poin kelima ciri
kurikulum PTT/AK tertulis bahwa proses perkuliahan yang diadakan perlu
berorientasi pada High Order Thinking Skill (HOTS) dengan mengintensifkan
pembahasan seputar filsafat dan teologis. Lulusan diharapkan menjadi Sumber
Daya Manusia sebagai ahli yang mampu menjawab kebutuhan krusial masyarakat
sesuai bidang profesinya.
Kurikulum sebagai sebuah track menganjurkan setiap lembaga pendidikan
termasuk PTT/AK untuk berada pada jalur dalam mencapai tujuan pendidikan.
Namun dalam track tersebut tentu bukan sebuah jalan yang lurus. Artinya, lembaga
pendidikan dan komponennya yaitu dosen perlu melakukan tindakan-tindakan
improvisasi yang efektif apabila ternyata tujuan pendidikan tidak dapat tercapai
dengan sekedar mengikuti prosedur, atau karena masih adanya kelemahan dari
PPT/AK masing-masing. Pemikiran yang konstruktif sangat diperlukan oleh dosen
untuk tetap mengajar dalam track kurikulum sekaligus progresif terhadap
kebutuhan pendidikan secara global sebagai bagian dari kurikulum transparan
dalam dirinya.
3. Pendidikan Agama Kristen
Dalam Konteks PTT/AK, PAK merupakan salah satu dari lima kurikulum
dan silabus Prodi yang dihasilkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia
bersama Direktoran Jenderal Bimbingan Mayarakat Kristen serta melalui beberapa
pertemuan dengan Pakar Ilmu Teologi Kristen se-Indonesia.66
Mata kuliah yang
termasuk di dalam Prodi PAK terdiri dari pengembangan kepribadian, keilmuan
dan keterampilan, keahlian berkarya, serta kehidupan bermasyarakat yang
disesuaikan dengan konteks Kekristenan.
PAK selain merupakan Prodi juga merupakan mata pelajaran yang akan
diajarkan oleh lulusan PTT/AK dalam masyarakat secara formal maupun informal.
Nuhamara mengutip pernyataan Groome dalam menjelaskan PAK sebagai mata
pelajaran yaitu, “PAK adalah suatu disiplin interdisipliner, termasuk disiplin
teologi. Karena PAK adalah tugas Gereja, pertanyaan mengenai tujuan PAK
haruslah terlebih dahulu melakukan refleksi teologis mengenai apa visi Allah bagi
manusia dan seluruh ciptaan-Nya.”67
Dalam pengertian tersebut, terdapat satu
66
Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Kristen, Op.Cit., iii.
67
Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Bandung: Jurnal Info
Media, 2009), 31-32.
43. 28
konsep pemuridan (disciple, teach how to teach). Dosen mempersiapkan
mahasiswa sebagai calon pendidik Kristen mengenai PAK, dan lulusan mahasiswa
mengajarkan PAK kepada para peserta didik. Tujuan utama (ultimate aims) PAK
adalah mempertemukan setiap pribadi peserta didik kepada Kristus sehingga terjadi
pertobatan dan ketetapan iman.
Tujuan pendidikan Kristen di PTT/AK secara lebih terperinci dijabarkan
dalam visi dan misinya. Visi PTT/AK didasarkan pada Injil tentang berita kesukaan
mengenai pertobatan dan pembaharuan yang tersedia bagi manusia (Mar. 1:15)
untuk mewujudkan perdamaian, kebebasan, keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan
yang dikehendaki Tuhan untuk dunia (Luk. 4:18-21). Dengan demikian visi
PTT/AK adalah:
Terwujudnya Sumber Daya Manusia Kristiani bermutu yang dapat
berperan bagi masa depan kehidupan beragama dan bergereja yang
oikumenis, visioner, injili, dinamis, memiliki spiritualitas dan moral
Kristiani yang bermutu dan teruji dalam semua dimensi pelayanan di
gereja dalam konteks masyarakat majemuk dan bernuansa global.68
Sedangkan berkaitan dengan misi, pada hakikatnya PTT/AK mengemban
tanggung jawab untuk:
Mewujudkan dan mengamalkan misi dan tugas gereja dalam pelayanan di
bidang pendidikan, serta membantu peserta didik khususnya untuk
mengalami proses pendidikan yang memampukan dan
memperdayakannya agar bertumbuh secara utuh sebagai ciptaan Tuhan
Allah dan menjalankan tugas-tugasnya sebagai manusia yang bertanggung
jawab kepada Tuhan Allah, sesama manusia, masyarakat, dan dunia secara
keseluruhan.69
Jadi, Prodi PAK secara praktis membekali mahasiswa dalam aspek
spiritual, mental, pengetahuan dan segala keterampilan dasar mengajar (didaktik
metodik) dalam rangka melanjutkan visi dan misi pendidikan terutama pendidikan
Kristen, serta secara teologis melakukan pekabaran Injil melalui pengajaran
maupun teladan sikap berdasarkan Amanat Agung Yesus Kristus.
4. Kedosenan
Dosen sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama
68
Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Kristen, Op.Cit., 10.
69
Ibid.
44. 29
mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.70
Dosen merupakan salah satu komponen dalam pendidikan perguruan
tinggi yang harus memiliki kompetensi akademik minimal Stratum Dua (S2), yang
profesional serta unggul sesuai dengan perkembangan ilmu, pengetahaun,
teknologi, dan seni.71
Setiap dosen sebagai sumber daya manusia juga dituntut
memiliki kompetensi yang terdiri dari:
(a) Memiliki moral, mental, dan kepribadian yang dapat dipanuti dan
diteladani; (b) Melaksanakan interaksi dengan stakeholders; (c)
Menerjemahkan kebutuhan stakeholders ke dalam jasa yang dihasilkan;
(d) Mengelola dan meningkatkan proses penyedia jasa bagi customers; (e)
Bekerja sama dengan sumber calon mahasiswa; (f) Menentukan dan
menggunakan standar dan ukuran kualitas sesuai Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 dan kriteria Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi (BAN-PT); (g) Membandingkan proses penyediaan jasa yang
dihasilkan dengan proses pada pendidikan tinggi lain; (h) Memberikan
kontribusi kepada gereja dan masyarakat; dan (i) Melaksanakan semua
tugas lain yang potensial untuk pengembangan kompetensi sebagai
pendidik maupun sebagai akademisi, baik melalui berbagai forum ilmiah
maupun pelatihan, dan studi lanjut, serta memberikan penghargaan secara
memuaskan sesuai dengan profesi yang diemban.72
Dosen profesional adalah dosen yang melaksanakan tugas dengan
integritas, memiliki kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial
yang diperlukan dalam praktik pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat. Sedangkan dosen dalam PTT/AK adalah pendidik Kristen dalam
jenjang perguruan tinggi yang bukan hanya perlu melaksanakan jabatan profesinya,
namun juga mengetahui, menyadari, dan mengikuti perkembangan dunia baik
dalam ranah keagaamaan maupun kontekstualisasi sekuler.
D. Hasil Penelitian yang Relevan
Terdapat banyak penulis maupun tokoh-tokoh pendidikan telah meneliti,
merumuskan, dan menghasilkan teori-teori berkaitan dengan gaya mengajar. Dari
berbagai karya tulis tersebut terdapat persamaan atau kemiripan suatu gaya
mengajar namun dengan penamaan yang berbeda oleh penulis yang berbeda,
70
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab I, Pasal 2.
71
Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Kristen, Op.Cit., 10.
72
Ibid., 7.
45. 30
bergantung juga kepada pendekatan penelitian yang mereka gunkan. Selanjutnya,
tidak semua gaya mengajar yang dimaksud dapat diterapkan dalam semua mata
pelajaran teoritis maupun praktis. Sebagai contoh, Setiawan dan Nopembri dalam
penelitian “Penggunaan Gaya Mengajar Mosston oleh Guru Pendidikan Jasmani di
SMA se-Kota Yogyakarta” menyebutkan bentuk-bentuk gaya mengajar yang
dicetuskan oleh Muska Mosston, yaitu: komando, tugas, respirokal, periksa diri,
inklusi, penemuan terpimpin, divergen, konvergen, individual, inisiatif pelajar, dan
mengajar sendiri.73
Gaya mengajar Mosston ditujukan untuk diterapkan dalam
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Gaya mengajar yang dimaksud dalam
penelitian ini bukan gaya mengajar Mosston, dan bukan gaya mengajar dalam mata
pelajaran praktis lainnya. Gaya mengajar yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah gaya mengajar yang berkaitan dengan metode pembelajaran dan interaksi
sosial di dalam kelas.
Gaya mengajar yang disebutkan dalam penelitian ini mengacu kepada
hasil penelitian Saifullah yang dibukukan dalam “Antara Filsafat dan Pendidikan,”
yaitu gaya mengajar skill, overload, structure, evaluation, interaction, dan rapport.
Selain gaya mengajar kurikuler tersebut, penelitian ini juga didukung dengan hasil
penelitian Munfadilah dalam Skripsi yang berjudul “Pengaruh Gaya Mengajar
Guru Terhadap Intensitas Belajar Siswa Sekolah Dasar Negeri Jetis 02 Kecamatan
Kaliwungu Kabupaten Semarang Tahun 2010.”74
Dalam Skripsi tersebut,
Munfadilah mengutip pernyataan Nasution tentang tiga gaya mengajar berdasarkan
latar belakang psikologis pendidik, yaitu otoriter, permisif dan riil.
Sebelum meneliti implementasi filsafat pendidikan Rekonstruksionisme
dalam proses pembelajaran, dalam menguraikan pengertian aliran tersebut masih
terdapat pro dan kontra. Contohnya, Khasan dalam “Dasar-dasar Pendidikan”
menjelaskan tentang aliran tersebut sebagai berikut:
73
R. Aditya Budi Setiawan dan Soni Nopembri, “Penggunaan Gaya Mengajar Mosston
oleh Guru Pendidikan Jasmani di SMA se-Kota Yogyakarta”, Jurnal Pendidikan Jasmani
Indonesia, 9:1 (Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Olahraga Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas
Negeri Yogyakarta, 2013), 11.
74
Siti Munfadilah, “Pengaruh Gaya Mengajar Guru Terhadap Intensitas Belajar Siswa
Sekolah Dasar Negeri Jetis 02 Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang Tahun 2010”,
Skripsi Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Pendidikan Islam (Salatiga: Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri, 2010), 36-37.
46. 31
Rekonstruksionalisme berusaha mencari kesepakatan semua orang
mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia
dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga
dan proses pendidikan, rekonstruksionalisme ingin merombak tata
susunan lama, dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama
sekali baru.75
Terdapat perdebatan mengenai makna istilah “baru” yang digunakan
dalam Rekonstruksionisme, apakah sesuatu yang sama sekali baru (kainos) atau
membangun ulang yang sebelumnya sudah ada (neos). Farisi dalam penelitiannya
yang berjudul “Kurikulum Rekonstruksinis dan Implikasinya terhadap Ilmu
Pengetahuan Sosial: Analisis Dokumen Kurikulum 2013” menjawab pertanyaan
tersebut, bahwa Rekonstruksionisme melakukan sintesis berbagai filsafat
pendidikan dalam merumuskan pandangan mengenai pendidikan. 76
Maka
kebudayaan “baru” yang hendak diciptakan oleh Rekonstruksionisme ditempuh
dengan cara mengevaluasi nilai dan norma dalam suatu budaya, bersintesis dengan
apa yang baik, mengeliminasi apa yang kurang baik, kemudian merelevansikannya
dalam tatanan kehidupan yang baru.
Farisi dalam penelitian yang sama menjelaskan bahwa filsafat pendidikan
Rekonstruksionisme bersama dengan teori belajar Gestalt merupakan pondasi
sekaligus pilar dalam pengembangan kurikulum pendidikan di Indonesia terutama
Kurikulum 2013. Rekonstruksionisme dikaji dan diimplementasikan secara
langsung pada setiap komponen pendidikan dengan melihat konteks sosial
masyarakat. Komponen yang dimaksud termasuk pendidik dan segala perilaku
mengajarnya. Hasil penelitian tersebut memunculkan saran terhadap pendidik
Rekonstruksionisme sebagai berikut:
Guru perlu melakukan rekonstruksi peran-peran pedagogisnya yang
dicirikan oleh kemampuan pedagogis sebagai: (a) Pengambil keputusan
(decision maker), guru mampu menstimulasi siswa untuk berpikir,
bersikap, dan bertindak aktif dan reflektif dalam belajar; mendorong
terjadinya dialog; dan melakukan evaluasi-diri terhadap gagasan, nilai,
sikap, dan tindakan yang diambil; (b) Reformer yang reflektif (reflective
reformer), guru bersikap terbuka untuk mengeksplorasi gagasan dirinya,
mampu berpikir kritis-reflektif daripada berpikir secara kategorikal,
mampu mentoleransi terjadinya konflik gagasan dan cita-cita antara
dirinya dengan siswa, mampu mengenali nilai-nilai yang bersifat
75
Kasan, Op.Cit., 84.
76
Farisi, Op.Cit., 161.
47. 32
kontroversial, memiliki kesadaran bahwa pengetahuan bersifat relatif dan
probabilistik terhadap konteks; (c) Partisipan kooperatif (cooperative
participant), guru selalu terbuka untuk bekerjasama dengan siswa di dalam
berbagai aktivitas belajar yang dilakukan, mendorong para siswa untuk
menggunakan cara-cara berpikir alamiah dan intuitifnya; (d) Agen
katalisator (catalytic agent) bagi hasil-hasil penemuan siswanya; (e) Peran
didaktik (didactic roles), guru berperan reflektif dan afektif, yakni
pengembang konsep siswa, dan pengembang keterampilan siswa dalam
mengambil keputusan-keputusan yang tepat dalam berbagai isu, nilai,
kepercayaan yang seringkali bersifat kontroversial.77
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pendidik Rekonstruksionisme
melaksanakan pembelajaran bercirikan student centered, problem based dan
meaningful learning. Peran utama pendidik bukan melakukan indoktrinasi, namun
sebagai fasilitator dalam mereka merekonstruksi pengetahuan dari dasar-dasar
prinsipil yang ada. Pendidik Rekonstruksionisme berusaha menciptakan suasana
belajar yang efektif, menjaga situasi belajar yang kondusif, serta membimbing
peserta didik memperoleh hasil belajar yang bermakna secara universal, mencapai
tujuan, dan berlandaskan asas kekeluargaan.
77
Ibid.
48. 33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis, Pendekatan dan Desain Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian
kualitatif dalam bidang teologi dihasilkan dari fenomenologi.78
Fenomena
merupakan peristiwa faktual yang dapat disaksikan atau dirasakan indra dan dapat
dijelaskan serta dinilai secara ilmiah. Kumpulan fakta yang terdata dalam fenomena
dapat menghasilkan suatu teori baru melalui pengorganisasian secara sistematis dan
konstruktif. Moleong menjelaskan:
Penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.79
Berdasarkan pernyataan tersebut, penelitian deskriptif kualitatif akan
mengamati, mengkaji, serta menjelaskan secara alami dan menyeluruh suatu
lapangan penelitian beserta fenomena di dalamnya untuk menyelesaikan masalah
masa kini dan memperbaiki kualitas suatu aspek, yang diharapkan diterapkan secara
sadar oleh populasi di dalam lapangan penelitian tersebut.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian lapangan (field
research). Mahmud menjelaskan bahwa penelitian lapangan adalah kegiatan
penelitian yang dilakukan di lingkungan masyarakat tertentu dengan cara
mendatangi tempat-tempat tersebut.80
Penelitian lapangan menekankan kehadiran
78
Rifai, Kualitatif: Teori, Praktek & Riset Penelitian Kualitatif dan Teologi (Sukoharjo:
BornWin’s Publishing, 2012), 35.
79
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2006), 6.
80
Mahmud, Op.Cit., 31.