1. 3
TINJAUAN PUSTAKA
Pengolahan Minyak Kelapa Sawit
Buah kelapa sawit terdiri atas sabut, tempurung dan inti atau kernel.
Pengolahan tandan buah segar sampai diperoleh minyak sawit kasar (CPO = crude
palm oil) dan inti sawit dilaksanakan melalui proses yang cukup panjang. Diagram
alir proses produksi minyak kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Proses Produksi Minyak Kelapa Sawit (Lang, 2007)
Tahapan produksi minyak kelapa sawit secara berurutan terdiri atas
pengangkutan buah ke pabrik, perebusan buah (sterilisasi), pelepasan buah dari
Shell
Cracked mixture
Oil
Fiber
Fresh Fruit Bunch (FFB)
Loading ramp
Nut/Fibre
Separator
Nut Dryer
Winnowing
column
Hydrocyclone
Kernel Dryer
Steriliser
condensate
Stripper
stalks
Digester
Press
Press liquor Press cake
Screen
Settling tank
Sludge
Decander
Centrifuge
Sludge
Centrifuge
Vacuum Dryer
Oil
Kernel
2. 4
tandan (striping), pelumatan buah (digesting), pengeluaran minyak (pengepresan),
penyaringan, pemurnian dan penjernihan minyak (klarifikasi) dan pengolahan biji
(Murdiati, 1992 dan Winarno, 1999). Minyak kelapa sawit mentah diturunkan dari
mesocarpus tandan buah segar (TBS). Pemanasan (steam-heat) TBS dilakukan
menggunakan sterilizers horizontal pada tekanan 3 kg/cm2
dan suhu 140 o
C selama
75-90 menit (Lang, 2007). Setelah dilakukan sterilisasi, TBS dimasukkan ke dalam
rotary drum-stripper (threser) dimana TBS dipisahkan dari spikelet (tandan kosong).
Tandan buah segar kemudian dilumatkan dalam digester di bawah kondisi
pemanasan uap dengan kisaran suhu 90 o
C. Baling-baling kembar penekan (twin
screw presses) biasanya digunakan untuk mengeluarkan minyak dari buah yang telah
dilumatkan di bawah tekanan tinggi. Proses ekstraksi minyak yang tidak lengkap
dapat meningkatkan effluent chemical oxygen demand (COD). Minyak kelapa sawit
mentah secara langsung dibawa ke tangki pemurni (clarification tank) dan suhu
dipertahankan sekitar 90 o
C untuk memperbesar pemisahan minyak. Minyak yang
sudah dimurnikan selanjutkan dilewatkan melalui pemusing (centrifuge) ber-
kecepatan tinggi dan vakum pengering (vacuum dryer) sebelum penyimpanan.
Minyak berserat dan biji dari pengepresan (press cake) dibawa ke pemisah biji dan
serat dengan arus udara kuat disebabkan oleh kipas penghisap (suction fan).
Kemudian, biji dibawa ke nut cracker dan selanjutnya ke hydrocyclone untuk
memisahkan cangkang dari kernel. Kernel tersebut dikeringkan sampai
kelembabannya di bawah 7% untuk mencegah pertumbuhan kapang sehingga dapat
memperpanjang waktu simpan (Lang, 2007).
Limbah Pabrik Kelapa Sawit
Limbah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber
hasil aktivitas manusia, maupun proses alam dan tidak atau belum mempunyai nilai
ekonomi. Aktivitas pengolahan pada pabrik kelapa sawit menghasilkan dua jenis
limbah, antara lain limbah padat dan limbah cair. Limbah padat, antara lain tandan
kosong kelapa sawit, cangkang dan serat yang sebagian besar telah dimanfaatkan
sebagai sumber energi dengan membakarnya secara langsung, serta ampas dari
tandan kosong yang belum termanfaatkan dengan baik (Mahajoeno, 2008).
Limbah cair pabrik kelapa sawit merupakan limbah terbesar yang dihasilkan
dari proses produksi minyak kelapa sawit (Apriani, 2009). Rata-rata pabrik minyak
3. 5
kelapa sawit mengolah setiap ton TBS menjadi 200-250 kg minyak mentah, 230-250
kg tandan kosong kelapa sawit (TKKS), 130-150 kg serat, 60-65 kg cangkang, 55-60
kg kernel dan air limbah 0,7 m3
(Yuliansari et al., 2001).
Palm Oil Mill Effluent (POME)
Palm oil mill effluent atau limbah cair pabrik kelapa sawit merupakan salah
satu limbah agroindustri yang paling sering menyebabkan polusi. Limbah ini
memiliki konsentrasi yang tinggi dan berwarna coklat pekat. Karakteristik POME
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Palm Oil Mill Effluent (POME) Tanpa Perlakuan
Parameter Konsentrasi*
pH 4,7
Temperatur 80-90
BOD 3 hari, 30 o
C 25.000
COD 50.000
Total Solids 40.500
Suspended Solids 18.000
Total Volatile Solids 34.000
Amoniacal-Nitrogen 35
Total Nitrogen 750
Phosphorus 18
Potassium 2.270
Magnesium 615
Kalsium 439
Boron 7,6
Iron 46,5
Manganese 2,0
Copper 0,89
Zinc 2,3
*Seluruh parameter dalam mg/l kecuali pH dan temperatur (o
C)
Sumber : Lang (2007)
Pengolahan tandan buah segar menghasilkan dua bentuk limbah cair, yaitu air
kondensat dan effluent. Air kondensat biasa digunakan sebagai umpan boiler untuk
mengoperasikan mesin pengolahan kelapa sawit. Effluent yang banyak mengandung
unsur hara dimanfaatkan sebagai bahan pengganti pupuk anorganik. Limbah cair
pabrik kelapa sawit dihasilkan dari tiga tahap proses, yaitu :
4. 6
1. Proses sterilisasi (pengukusan) untuk mempermudah perontokan buah dari
tandannya, mengurangi kadar air dan untuk inaktivasi enzim lipase dan oksidase.
2. Proses ekstraksi minyak untuk memisahkan minyak daging buah dari bagian
lainnya.
3. Proses pemurnian (klarifikasi) untuk membersihkan minyak dari kotoran lain
(Departemen Pertanian, 1998).
Teknik pengolahan limbah cair yang biasanya diterapkan di pabrik kelapa
sawit adalah :
1. Kolam Pengumpul (fatpit)
Kolam ini berguna untuk menampung cairan-cairan yang masih mengandung
minyak yang berasal dari air kondensat dan stasiun klarifikasi.
2. Kemudian dimasukkan ke unit deoiling ponds untuk dikutip minyaknya dan
diturunkan suhunya dari 70-80 o
C menjadi 40-45 o
C melalui menara atau bak
pendingin.
3. Kolam Pengasaman
Proses pada kolam ini menggunakan mikroba untuk menetralisir keasaman
cairan limbah. Pengasaman bertujuan agar limbah cair yang mengandung bahan
organik lebih mudah mengalami biodegradasi dalam suasana anaerobik. Limbah
cair dalam kolam ini mengalami asidifikasi yaitu terjadinya kenaikan konsentrasi
asam-asam yang mudah menguap. Waktu penahanan hidrolisis limbah cair
dalam kolam pengasaman ini selama lima hari. Kemudian sebelum diolah di unit
pengolahan limbah kolam anaerobik, limbah dinetralkan terlebih dahulu dengan
menambahkan kapur tohor hingga mencapai pH antara 7,0-7,5.
4. Kolam Anaerobik Primer
Pada proses ini memanfaatkan mikroba dalam suasana anaerobik atau aerobik
untuk merombak BOD dan biodegradasi bahan organik menjadi senyawa asam
dan gas. Waktu penahanan hidrolisis dalam kolam ini mencapai 40 hari.
5. Kolam Anaerobik Sekunder
Waktu penahanan hidrolisis limbah dalam kolam ini mencapai 20 hari.
Kebutuhan lahan untuk kolam anaerobik primer dan sekunder mencapai 7 hektar
untuk pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton tandan buah segar/jam.
6. Kolam Pengendapan
5. 7
Kolam pengendapan ini bertujuan untuk mengendapkan lumpur-lumpur yang
terdapat dalam limbah cair. Waktu penahanan hidrolisis limbah dalam kolam ini
berkisar dua hari. Kolam ini biasanya merupakan pengolahan terakhir sebelum
limbah dialirkan ke badan air dan diharapkan pada kolam ini limbah sudah
memenuhi standar baku mutu air sungai (Departemen Pertanian, 2006).
Pencemaran lingkungan akibat limbah cair dapat diatasi dengan cara
mengendalikan limbah cair tersebut secara biologis. Pengendalian secara biologis
tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri anaerob (Tobing & Darnoko.,
1992). Limbah cair industri pengolahan kelapa sawit memiliki potensi sebagai
pencemar lingkungan karena mengandung parameter bermakna yang cukup tinggi
(Apriani, 2009).
Hasil penelitian komposisi limbah menyebutkan bahwa 76% BOD berasal
dari padatan tersuspensi dan hanya 22,4% dari padatan terlarut. Jumlah padatan yang
terdapat dalam limbah terutama padatan tersuspensi mempengaruhi tinggi rendahnya
BOD (Apriani, 2009).
Kotoran Sapi
Kotoran ternak merupakan bahan baku potensial dalam pembuatan biogas
karena mengandung pati dan lignoselulosa (Deublein & Steinhausher., 2008).
Biasanya, kotoran ternak dimanfaatkan sebagai pupuk dan sisanya digunakan untuk
memproduksi gas metana menggunakan proses anaerob. Salah satu ternak yang
kotorannya biasa dimanfaatkan sebagai pupuk dan bahan baku biogas adalah sapi.
Kotoran sapi adalah biomassa yang mengandung karbohidrat, protein dan lemak.
Drapcho et al. (2008) berpendapat bahwa biomassa yang mengandung karbohidrat
tinggi akan menghasilkan gas metana yang rendah dan CO2 yang tinggi, jika
dibandingkan dengan biomassa yang mengandung protein dan lemak dalam jumlah
yang tinggi. Secara teori, produksi metana yang dihasilkan dari karbohidrat, protein,
dan lemak berturut-turut adalah 0,37; 1,0; 0,58 m3
CH4 /kg bahan kering organik.
Kotoran sapi mengandung ketiga unsur bahan organik tersebut, sehingga dinilai lebih
efektif untuk dikonversi menjadi gas metana (Drapcho et al., 2008).
Kotoran sapi adalah limbah dari usaha peternakan sapi yang bersifat padat
dan dalam proses pembuangannya sering bercampur dengan urin dan gas.
Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi bervariasi tergantung pada keadaan
6. 8
tingkat produksinya, jenis, jumlah konsumsi pakan serta individu ternak sendiri
(Abdulgani, 1988). Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi, terdiri atas nitrogen
(0,29%), P2O5 (0,17%) dan K2O (0,35%) (Hardjowigeno, 2003). Kotoran sapi yang
tinggi kandungan hara dan energinya berpotensi untuk dijadikan bahan baku
penghasil biogas (Sucipto, 2009).
Biogas
Biogas merupakan salah satu produk hasil biokonversi dari bahan organik.
Biokonversi adalah sebuah proses yang mampu mengubah bahan organik menjadi
produk lain yang berguna dan memiliki nilai tambah dengan memanfaatkan proses
biologis dari mikroorganisme dan enzim (Hardjo et al., 1989). Menurut Sahidu
(1983), biogas adalah bahan bakar gas yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi
bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen. Bahan bakar ini diproses
dalam kondisi anaerob sehingga menghasilkan metana (CH4) dengan kadar dominan
dan karbondioksida (CO2).
Komposisi biogas yang dihasilkan terdiri atas CH4 (50-70%), CO2 (25-45%),
H2, NH3 dan H2S dalam jumlah yang sedikit (Price & Cheremisinoff, 1981).
Polprasert (1980) juga mengemukakan bahwa komposisi biogas terdiri atas CH4 (55-
65%) dan CO2 (35-45%) yang merupakan komponen gas dominan, serta NH3 (0-
3%), H2 (0-1%), H2S (0-1%), dan unsur NPK serta mineral lainnya yang
terakumulasi dalam sludge. Komposisi gas penyusun biogas yang terdiri atas
campuran kotoran ternak dan sisa pertanian dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Biogas
No. Jenis Gas
Komposisi Biogas (%)
Kotoran Sapi
Campuran Kotoran Ternak
dan Sisa Pertanian
1. Metana (CH4) 65,7 54-70
2. Karbon dioksida 27,0 45-27
3. Nitrogen 2,3 0,5-3,0
4. Karbon monoksida 0,0 0,1
5. Oksigen 0,1 6,0
6. Propana (C3H8) 0,7 -
7. Hidrogen sulfida - Sedikit
Sumber : Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2010)
7. 9
Proses Pembentukan Biogas
Fauziah (1998) menyebutkan bahwa proses pembentukan biogas dilakukan
secara anaerob. Bakteri merombak bahan organik menjadi biogas dan pupuk organik.
Proses pelapukan bahan organik ini dilakukan oleh mikroorganisme dalam proses
fermentasi anaerob (Polprasert, 1980). Reaksi pembentukan biogas dapat dilihat pada
Gambar 2.
Bahan organik + H2O CH4 + CO2 + H2 + NH3 + H2S + Sludge
anaerob
Gambar 2. Reaksi Pembentukan Biogas
Proses pembentukan biogas ini memerlukan instalasi khusus yang disebut
digester agar perombakan secara anaerob dapat berlangsung dengan baik. Proses
perombakan bahan organik secara anaerob yang terjadi di dalam digester, terdiri atas
empat tahapan proses yaitu hidrolisis, fermentasi (asidogenesis), asetogenesis, dan
metanogenesis. Proses perombakan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema Proses Perombakan Secara Anaerob (Grady et al., 1999)
mikroorganisme
8. 10
(1) Hidrolisis
Tahap hidrolisis merupakan tahapan yang paling awal terjadi pada proses
anaerob, dalam tahap ini terjadi pemecahan dari senyawa kompleks menjadi
senyawa sederhana (monomer). Senyawa kompleks ini, antara lain protein,
karbohidrat dan lemak, dimana dengan bantuan eksoenzim dari bakteri anaerob,
senyawa ini akan diubah menjadi monomer (Deublein & Steinhausher., 2008).
Protein asam amino
Selulosa glukosa
Lemak asam lemak rantai panjang
Proses hidrolisis karbohidrat membutuhkan waktu beberapa jam, sedangkan
hidrolisis pada protein dan lemak memerlukan waktu beberapa hari.
(2) Fermentasi (Asidogenesis)
Monomer yang dihasilkan dari tahap hidrolisis akan didegradasi pada
tahap ini. Fermentasi merupakan tahap yang akan mengubah monomer menjadi
asam organik rantai pendek, asam butirat, asam propionat, asam asetat, asam
asetic, alkhohol, hidrogen dan karbon dioksida (Deublein & Steinhausher.,
2008). Selain itu, terjadi pula pertumbuhan dan perkembangan sel bakteri.
Pembentukan asam-asam organik tersebut terjadi dengan bantuan bakteri, seperti
Pseudomonas, Eschericia, Flavobacterium, dan Alcaligenes (Hambali et al.,
2007).
(3) Asetogenesis
Asam organik rantai pendek yang dihasilkan dari tahap fermentasi dan
asam lemak yang berasal dari hidrolisis lemak akan difermentasi menjadi asam
asetat, H2 dan CO2 oleh bakteri asetogenik (Drapcho et al., 2008). Pada fase ini,
mikroorganisme homoasetogenik akan mengurangi H2 dan CO2 untuk diubah
menjadi asam asetat (Deublein & Steinhausher., 2008).
(4) Metanogenesis
Tahap dominasi perkembangan sel mikroorganisme dengan spesies
tertentu yang menghasilkan gas metana sebagai komponen utama biogas.
Bakteri yang berperan dalam proses ini, antara lain Methanococcus,
Methanobacillus, Methanobacterium, dan Methanosarcina. Terbentuknya gas
Enzim lipase
Enzim selulase
Enzim protease
9. 11
metana terjadi karena adanya reaksi dekarboksilasi asetat dan reduksi CO2,
seperti yang terlihat pada Gambar 4 (Hambali, 2007, Deublein & Steinhausher.,
2008).
CH3COOH CH4 + CO2 (dekarboksilasi asetat)
4CO2 + H2 CH4 + CO2 (reduksi CO2)
Gambar 4. Reaksi Pembentukan Metana (CH4)
Barnett et al. (1978) menyatakan bahwa terdapat tiga keuntungan dari
instalasi penghasil biogas, yaitu penggunaan bahan bakar lebih efisien, menambah
nilai pupuk dan menyehatkan lingkungan. Selain itu, teknologi biogas memiliki
beberapa keuntungan, antara lain sebagai sumber energi yang aman, stabilisasi
limbah, meningkatkan unsur hara dan menginaktifkan bakteri patogen (Polprasert,
1980).
Keuntungan utama yang diperoleh dari fermentasi anaerob bahan organik
buangan adalah konservasi. Kurang lebih 99% nitrogen masih terdapat di dalam
lumpur (sludge), sedangkan sisanya hilang sebagai gas ammonia selama proses
berlangsung. Kelebihan fermentasi anaerob dibandingkan fermentasi aerob kotoran
ternak atau bahan buangan yaitu ammonia yang terbentuk mudah menguap sekitar
84,1% (Fauziah, 1998).
Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan keberlangsungan hidup
mikroorganisme anaerobik. Suhu tidak terlalu berpengaruh pada terjadinya proses
hidrolisis. Hal ini karena bakteri pada proses hidrolisis tidak terlalu peka terhadap
perubahan suhu (Gerardi, 2003). Suhu optimal untuk bakteri pembentuk asam yaitu
32-42 o
C (mesophilik) dan 48-55 o
C (thermophilik), sedangkan bakteri metanogenik
kebanyakan hidup pada suhu mesofil dan sebagian kecil lainnya hidup pada suhu
thermofil. Selain itu, terdapat beberapa bakteri yang mampu memproduksi metana
pada suhu rendah (0,6-1,2o
C). Bakteri metanogenik sangat sensitif terhadap
perubahan suhu. Bakteri metanogenik yang hidup pada suhu thermofil lebih sensitif
terhadap perubahan suhu jika dibandingkan dengan bakteri metanogenik mesofil.
Suhu harus dijaga tidak lebih dari ± 2 o
C (Deublein & Steinhausher., 2008).
Penjagaan suhu digester agar tetap konstan ini didukung oleh pernyataan Price &
10. 12
Cheremisinoff (1981) yang menyebutkan bahwa produksi gas pada proses
perombakan secara anaerobik dapat berlangsung pada kisaran suhu 4-60 o
C jika suhu
konstan dan apabila terjadi fluktuasi suhu maka proses akan terganggu. Selanjutnya
Price & Cheremisinoff (1981) berpendapat bahwa walaupun digester yang memiliki
suhu yang rendah (20-25o
C) membutuhkan waktu retensi dua kali lebih lama dari
digester dengan suhu mesofil, namun produksi gas, kualitas dan parameter lain dari
kestabilan proses dinilai menguntungkan. Selain itu, digester dengan suhu rendah ini
dapat dijadikan alternatif pembuatan biogas di daerah beriklim dingin.
Suhu tidak hanya mempengaruhi aktivitas bakteri pembentuk metana, tetapi
juga mempengaruhi aktivitas bakteri pembentuk asam volatil. Fluktuasi suhu dapat
menguntungkan salah satu kelompok bakteri, namun merugikan bakteri kelompok
lain. Contohnya, peningkatan suhu sebesar 10 o
C dapat menghentikan produksi
metana atau aktivitas bakteri pembentuk metana selama 12 jam, sedangkan pada
kondisi yang sama terjadi peningkatan asam volatil. Perubahan aktivitas pada bakteri
pembentuk asam volatil akan berpengaruh pada jumlah asam organik dan alkhohol
yang dihasilkan dari proses fermentasi. Asam organik dan alkhohol ini digunakan
sebagai substrat bagi bakteri pembentuk metana, sehingga akan mempengaruhi
keseluruhan performa digester (Gerardi, 2003).
Nilai pH
Bakteri pembentuk metana hidup pada pH optimum 6,7-7,5 (Deublein &
Steinhausher., 2008) dan 6,8-7,2 (Gerardi, 2003). Nilai pH pada proses anaerobik
akan mengalami penurunan dengan diproduksinya asam volatil dan akan meningkat
dengan dikonsumsinya asam volatil oleh bakteri pembentuk metana (Gerardi, 2003).
Apabila nilai pH turun hingga di bawah 6,5 maka asam organik mulai terbentuk
dengan bantuan bakteri hidrolitik dan tahap fermentasi mulai berhenti. kenyataannya
nilai pH pada tahap ini berada pada kisaran netral karena adanya sistem penyangga
(buffering system). Proses fermentasi yang terlalu kuat akan dihindarkan oleh karbon
dioksida, hidrogen karbonat, atau sistem penyangga karbonat. Bahan kimia yang
sering digunakan sebagai sistem penyangga dapat dilihat pada Tabel 3.
11. 13
Tabel 3. Bahan Kimia yang Biasa Digunakan sebagai Penyangga
Bahan Kimia Formula Kation Penyangga
Sodium bikarbonat NaHCO3 Na+
Potassium bikarbonat KHCO3 K+
Sodium karbonat Na2CO3 Na+
Potassium karbonat K2CO3 K+
Kalsium karbonat CaCO3 Ca2+
Kalsium hidroksida Ca(OH)2 Ca2+
Anhydrous ammonia (gas) NH3 NH4+
Sodium nitrat NaNO3 Na+
Sumber : Gerardi (2003)
Selama proses fermentasi terjadi, CO2 disusun secara terus-menerus dan
dibebaskan ke udara. Penurunan nilai pH membuat karbon dioksida larut pada
substrat, sedangkan peningkatan pH membuat karbon dioksida terlarut diubah
menjadi asam karbonat yang terionisasi, sehingga ion hidrogen dibebaskan (Deublein
& Steinhausher., 2008).
CO2 H2CO3 H+
+ HCO3
-
2 H+
+ 2CO3
2-
Seluruh CO2 berupa molekul bebas pada pH 4, sedangkan pada pH 13 seluruh
CO2 terlarut dalam bentuk karbonat pada substrat. Nilai tengah pH pada sistem ini
adalah 6,5. Hidrogen karbonat memberikan penyangga yang kuat pada konsentrasi
2,5-5 g/l.
Proses fermentasi yang terlalu lemah akan dihindarkan oleh sistem
penyangga amonia-amonium. Penurunan nilai pH menyebabkan ion ammonium
terbentuk dengan melepaskan ion hidroksil, sedangkan peningkatan nilai pH akan
membentuk lebih banyak molekul ammonia bebas. Nilai tengah pH pada sistem ini
adalah 10 (Deublein & Steinhausher., 2008).
NH3 + H2O NH4
+
+ OH-
NH3 + H+
NH4
+
Peningkatan pH paling tinggi akan terjadi pada tahap metanogenesis, dimana
bakteri akan tumbuh optimal pada kondisi pH tersebut. Akan tetapi, terdapat satu
jenis bakteri pembentuk metana yang dapat hidup pada pH rendah yaitu < 6,5,
bakteri tersebut adalah Methanosarcina (Deublein & Steinhausher., 2008).
12. 14
Total Volatile Solids (TVS)
Total Volatile Solids atau total padatan yang teruapkan merupakan kandungan
bahan kering organik yang berpotensi untuk dikonversi menjadi biogas. Jumlah TVS
pada bahan baku pembuatan biogas akan mempengaruhi produksi biogas yang
dihasilkan. Sebanyak 0,7 m3
metana dihasilkan dari perombakan 1 kg volatile solids
(VS) (Drapcho et al., 2008). Gerardi (2003) menyatakan bahwa, dari 100 kg lumpur
digester, sebanyak 70% berupa VS. Semakin banyak bahan organik yang terkandung
di dalam substrat, maka semakin tinggi pula VFA yang diproduksi. Volatile fatty
acids (VFA) yang terlalu tinggi akan menyebabkan gangguan pada nilai pH.
Penurunan nilai pH yang terlalu tinggi dapat menghambat aktivitas bakteri
pembentuk metana (Gerardi, 2003). Penurunan kandungan VS pada lumpur digester
yang dirombak secara anaerob dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Penurunan Kandungan VS pada Lumpur Digester (Gerardi, 2003)
Rasio C/N
Populasi mikroba pada proses perombakan bahan organik secara anaerob
memerlukan nutrisi untuk tumbuh dan berkembang biak. Rasio C/N merupakan nilai
perbandingan antara karbon dan nitrogen yang terdapat pada substrat. Kisaran rasio
13. 15
C/N yang optimal menurut Deublein & Steinhausher. (2008) adalah 16:1 – 25:1 dan
20:1 - 30:1 menurut Stafford et al. (1980).
Substrat dengan rasio C/N yang terlalu rendah akan mengakibatkan
peningkatan kadar ammonia yang dapat menghambat produksi metana. Sebaliknya,
jika rasio C/N terlalu tinggi mengindikasikan terjadinya kekurangan nitrogen pada
substrat, dimana hal ini membawa dampak buruk pada pembentukan protein yang
diperlukan mikroba untuk tumbuh. Maka, diperlukan keseimbangan rasio C/N agar
produksi gas lebih optimal (Deublein & Steinhausher., 2008).