DAS Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat yang meliputi wilayah Bandung, Subang, Karawang, dan Bekasi. Sumber daya airnya berasal dari akuifer dangkal, tengah, dan dalam dengan kedalaman hingga 200m. Penggunaan lahan didominasi pemukiman, perkebunan, dan hutan yang mengalami degradasi.
1. DAS Citarum
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar dan terpanjang di Provinsi Jawa Barat,
secara geografis berada 106°51‘36‖ – 107°°51‘ BT dan 7°19‘ – 6°24‘ LS, dengan jumlah penduduk sebesar
15.303.758 jiwa (Data BPS 2009). Daerah Aliran Sungai ini meliputi 5 DAS yaitu DAS Citarum, DAS
Cipunegara, DAS Cilamaya, DAS Cilalanang dan DAS Ciasem yang melalui 9 Kabupaten dan 3 Kota
meliputi Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kabupaten Subang, Kabupaten
Purwakarta,Kabupaten Karawang, sebagian Kabupaten Sumedang, sebagian Kabupaten Cianjur,sebagian
Kabupaten Bekasi, sebagian Kabupaten Indramayu, serta Kota Bandung, Kota Bekasi dan Kota Cimahi.
Gambar 6.87. Batas DAS Citarum, sumber: www.citarum.org
Terdapat Sungai Citarum yang melintasi Kabupaten/Kota. Sungai Citarum berawal dari mata air yang
terletak di Gunung Wayang (Kabupaten Bandung) yang mengalir kebagian tengah Provinsi Jawa Barat
dari selatan ke arah utara sepanjang 269 Km hingga akhirnya bermuara di Laut Jawa di daerah Muara
Gembong dengan melewati Kabupaten Bandung/Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten
Purwakarta dan Kabupaten Karawang/Bekasi
Gambar 6.88. Peta DAS Citarum, sumber: www.citarum.org
A. Karakteristilk Lingkungan Fisik
•Klimatologi
Distribusi hujan secara keruangan di daerah DAS Citarum umumnya tidak seragam. Berdasarkan hasil
perhitungan, rata-rata hujan tahunan berkisar antara 1966 mm sampai 2600 mm. Variabilitas curah hujan
di DAS Citarum sangat dipengaruhi oleh variasi topografi atau ketinggian. Gradien sungai terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu bagian hulu sepanjang + 25 km merupakan daerah peling terjal, bagian tengah sepanjang
+ 150 km memiliki kemiringan yang cukup terjal, dan bagian hilir sepanjang + 70 km memiliki topografi
yang landai. Hal ini sejalan dengan variabilitas curah hujan di DAS Citarum, dimana sangat variatif
dibagian hulu dan berangsur seragam kebagian hilir. Bagian hulu DAS Citarum memiliki variasi curah
hujan yang tinggi disebabkan kondisi di daerah hulu yang merupakan daerah cekungan antar gunung
(inter-mountain basin) dimana pada daerah dengan kondisi seperti ini, curah hujan akan relatif lebih tinggi
dibagian lereng pegunungan yang menghadap arah angin, dan untuk bagian disebaliknya atau yang disebut
daerah bayangan hujan memiliki curah hujan yang relatif lebih kecil. Fenomena ini disebut dengan
fenomena hujan orografis. Rata-rata terendah terjadi di daerah pantai utara dengan curah hujan sekitar
1500 mm per tahun, sedangkan rata-rata tertinggi terjadi di daerah hulu Sungai Ciherang, Cilamaya, dan
hulu Sungai Cipunegara dengan curah hujan mencapai 4000 mm per tahun.
Keadaan iklim di DAS Citarum, sebagaimana umumnya wilayah di Jawa Barat, memiliki iklim tropis
monsoon dengan suhu dan kelembaban udara yang relatif konstan sepanjangn tahun. Iklim tropis monsoon
dicirikan dengan terjadinya dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Musim hujan terjadi pada bulan-
bulan Oktober – Maret dan musim kemarau terjadi pada bulan-bulan Juni – September. Bulan-bulan lainya
merupakan masa transisi atau pancaroba. Suhu rata-rata di dataran rendah sekitar 27oC, sedangkan
dibagian hulu sungai yang berada di dataran tinggi/pegunungan, suhu udara minimum rata-rata 15,3oC
yang tercatat di daerah Ciwidey. Pangelengan, dan Lembang. Kelembaban relatif berkisar antara 80-92%,
dengan tingkat penguapan rata-rata tahunan sekitar 1640 mm.
• Geologi dan Geomorfologi
2. Morfologi yang terbentuk di DAS Citarum adalah hasil kegiatan tektonik dan vulkanisme, dilanjutkan
proses erosi dan sedimentasi. Kondisi morfologi DAS Citarum terbagi atas:
- Morfologi Gunung Api. Daerah hulu anak-anak sungai di DAS Citarum terbentuk dari morfologi
gunung api yang memiliki kharakteristik relief landai–bergunung, elevasi ketinggian 750 – 2300 m diatas
permukaan air laut, kemiringan lereng di kaki 5 – 15%, di tengah 15 – 30%, dan di puncak 30 – 90%. Pola
aliran sungai sejajar dan radier, umumnya merupakan daerah resapan utama air tanah dangkal dan dalam
serta tempat keluarnya mataair pada lokasi tekuk lereng. Batuan penyusun berupa endapan gunung api
muda dan tua, terdiri dari tufa, breksi, lahar, dan lava. Proses geodinamis adalah aktivitas gunung api dan
pengangkatan karena magma, serta agradasikarena longsoran tebing, erosi, dan aktivitas manusiaseperti
penggalian, pemotongan lereng, dan lain-lain.
DAS Citarum berada pada morfologi gunung api, di daerah Bandung Utara antara lain berderet G.
Tangkubanparahu (2.075m), G. Burangrang (2.064m), G. Bukit Tunggul (2.209m), dan G. Manglayang
(1800m), dengan anak-anak Sungai Citarum antara lain: S. Cikapundung, S. Cikeruh, S. Cimahi, S.
Cipamokolan, S. Cibeureum, dan S. Cipalasari yang mengalir ke arah Selatan. Sedangkan deretan di
sebelah selatan adalah G. Malabar (2.343 m), G Tilu (2.040 m), G Wayang (2.182m), G. Patuha, dan G.
Guntur (2.040m) dengan anak-anak Sungai Citarum antara lain: S. Citarum Hulu, S. Citarik, S. Cisangkuy,
S. Ciasiah, dan S. Ciwidey, mengalir ke Utara. Di daerah Cianjur antara lain G. Gede dengan anak-anak
sungainya yang mengarah ke Timur menuju Waduk Cirata. (Atlas SDA Dinas PSDA, 2005).
- Morfologi Perbukitan, morfologi ini dibagi menjadi perbukitan batuan beku dan bergelombang,
mempunyai kharaktersitik yaitu relief berbukit, terpisah, elevasi ketinggian 700 – 1500 m diatas
permukaan air laut, kemiringan lereng 15 – 70%, berpola aliran sungai sejajar dan dendritik, umumnya
bukan daerah resapan utama air tanah. Batuan penyusun berupa batuan beku intrusi dan lava serta breksi
gunung dan batuan sedimen tersier. Proses geodinamis adalah patahan aktif, serta agradasi karena
longsoran tebing, erosi dan aktivitas manusia. DAS Citarum mempunyai morfologi perbukitan intrusi
antara lain G. Parang (975m), G Haur (522m) di sekitar waduk Jatiluhur, G Lagadar (800 m), G. Lalakon
di Cimahi Bandung, dan gugusan G.Geulis di sekitar Banjaran- Ciparay Bandung. Perbukitan
bergelombang memanjang, terjal terdapat di sekitar Rajamandala dekat Waduk Saguling.
– Morfologi Dataran, Morfologi dataran dapat dibagi menjadi dataran tinggi, dataran kipas aluvium,
dataran aluvium sungai, dataran rawa dan pantai. Mempunyai karaktersitik yaitu relief rendah, elevasi
ketinggian 0 – 700 m diatas muka laut (m dpl) kemiringan lereng 0 – 15%. Sungai-sungai meandering,
berpola sejajar dan dendritik, umumnya merupakan daerah banjir dan lepasan air tanah. Batuan penyusun
berupa kipas gunung api, endapan sedimen sungai, pantai dan rawa. Proses geodinamis adalah longsoran
tebing sungai, erosi dan aktivitas manusia seperti penggalian, penimbunan dan lain-lain. Datarantinggi
terdapat di Cekungan Bandung dan sekitarnya, sedangkan sisanya berada pada dataran kipas aluvium
ditempati Kota Karawang, Purwakarta dan Subang. Dataran limpah banjir menghampar meluas di dataran
pantai utara berbentuk meandering, Dataran aluvium sungai terdapat pada alur-alur dibentuk oleh endapan
sungai-sungai. Dataran rawa dan pantai yang berbatasan langsung dengan garis pantai terdapat muara
beserta cabang-cabangnya membentuk delta.
• Jenis Tanah
Di DAS Citarum terdapat 4 macam jenis tanah, yaitu Andosol, Andosol hitam, Aluvial, dan Latosol. Jenis
tanah di DAS Citarum hulu didominasi oleh jenis tanah Andosol da tersebar di area pegunungan. Jenis
Andosol hitam terbentuk di daerah datar Lembang, sedangkan di daerah patahan Lembang jenis tanah yang
berkembang adalah tanah Latosol. Jenis tanah Aluvial ada di lembah sungai.
3. Tabel 6.85. Jenis Tanah di Cekungan Bandung
Keterangan
1. Andosol : tekstur silt loam, keberadaan pada lereng-lereng gunungapi dan mempunyai permeabilitas
tinggi
2. Regosol : tekstur Clay Loam, keberadaan pada Lanau pasiran sampai lempung lanauan dan
mempunyai permeabilitas Rendah
3. Latosol : tekstur Clay Loam, keberadaan pada Lapisan tanah muda hasil pelapukan vulkanis dan
mempunyai permeabilitas rendah
4. Aluvial : tekstur Clay Loam, keberadaan pada Daerah bekas banjir/sepanjang sungai dan mempunyai
permeabilitas sangat rendah
• Hidrologi
DAS Citarum Hulu mencakup 7 sub DAS yaitu: Sub DAS Citarik, Sub DAS Cisangkui, Sub DAS Cirasea,
Sub DAS Ciwidey, Sub DAS Cihaur, Sub DAS Cikapundung, dan Sub DAS CIminyak. Aliran air ketujuh
sub DAS tersebut bergabung kedalam sungai Citarum dan ditampung lagi kedalam Waduk Saguling.
Kondisi hidrologi di DAS Citarum umumnya bervariasi. Sistem akuifer dangkal kedudukan air tanah
umumnya kurang dari 30 m, akuifer tengah antara 50-90 m, sedangkan akuifer dalam lebih dari 100 m.
batuan penyusun sistem akuifer ini secara umum terdiri dari material klasik gunungapi dengan vulkanik
blok, andesit, dan fragmen basal atau pumise putih.
• Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di DAS Citarum dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Pemanfaatan lahan di DAS
Citarum tergolong eksploitatif dimana luas hutan primer dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan,
yang berdampak pada degradasi lahan. Pemanfaatan lahan di DAS Citarum didominasi oleh area
pemukiman, kebun campur, perkebunan dan permukiman.
Tabel 6.86. Penggunaan Lahan DAS Citarum
Gambar 6.89. Peta Penggunaan Lahan DAS Citarum
B. Potensi Sumberdaya Air
DAS Citarum secara geografis melalui 2 Cekungan Air Tanah (CAT) yaitu CAT Bandung-Soreang pada
DAS Citarum Hulu dan CAT Karawang-Bekasi pada DAS Citarum Tengah-Hilir. Untuk di CAT
Bandung-Soreang yang secara geografis mempunyai batas-batas berhimpit dengan DAS Citarum secara
umum mempunyai potensi air tanahnya sebagai berikut:
Kelompok Akuifer Dangkal (< 40 m). Sistem akuifer dangkal dapat terlihat pada singkapan batuan dan
sumur gali penduduk kedalaman 1,2 – 22,5 m dan kedalaman sumur bor 30 m. Tebal akuifer 1,2 – 30 m,
muka air tanah 0,5 – 20,8 m dibawah muka tanah setempat, semakin dangkal di dataran sekitar Sungai
Citarum, dan semakin dalam di lereng utara, timur, dan selatan. Fluktuasi muka air tanah di daerah dataran
rendah dan kemiringan tinggi relatif tinggi. Arah aliran mengarah ke dataran mengitari Sungai Citarum.
Kelompok Akuifer Tengah (40-150 m). Kedudukan kelompok akuifer ini di 35 – 100 m dibawah muka
tanah setempat (mbmt), posisi saringan 34,5 dan 69,5 mbmt, Muka Air Tanah 1,1 – 30 mbmt dan 34,5 –
69,5 mbmt di daerah pengambilan intensif dengan debit sumur 10 L/detik.
4. Kelompok Akuifer Dalam (> 150 m). Kelompok akufer dalam mempunyai kedalaman 100 – 200 mbmt,
bersifat tertekan, dengan posisi saringan 57 – 192 mbmt.
Gambar 6.90. Cekungan Air Tanah Bandung-Soreang (DAS Citarum Hulu)
Sedangkan untuk wilayah DAS Citarum Tengah-Hilir termasuk pada CAT Karawang-Bekasi yang
mempunyai potensi air tanahnya sebagai berikut:
Kelompok Akuifer Dangkal (<40 m).Kelompok akuifer ini tersusun oleh konglomerat, breksi, dan batu
pasir yang merupakan Formasi Citalang. Kedudukan satuan ini hampir sulit dipisahkan dengan lapisan-
lapisan yang berada di permukaan, Ketebalan minimum ketiga satuan ini secara keseluruhan mencapai 50
meter. Lapisan-lapisan batupasir dan konglomerat pada ketiga satuan ini merupakan penyusun akuifer
tidak tertekan (bebas) dan akuifer semi tertekan (semi confined aquifer).
Kelompok Akuifer Tengah (40 – 140 m). Kelompok akuifer tengah tersusun oleh batu pasir dan batu
lempung dengan ketebalan bervariasi yang merupakan Formasi Kaliwungu antara 40 – 100 m. Lapisan
batu pasir diperkirakan berfungsi sebagai akuifer yang produktif dengan jenis media pori. Lapisan-lapisan
batu pasir ini merupakan penyusun utama lapisan akuifer tertekan. Bentuk akuifer tertekan (confined
aquifer) ini menjemari dengan lapisan batu lempung yang berfungsi sebagai lapisan penekannya.
Kedalaman bagian atas lapisan akuifer semakin dalam ke arah utara dan mencapai kedalaman 80 m di
bawah muka tanah setempat.
Kelompok Akuifer Dalam ( > 140 m). Kelompok akuifer ini tersusun oleh batu lempung, batu pasir, dan
batu pasir gampingan, diendapkan pada laut dangkal. Formasi yang secara regional berpotensi sebagai
akuifer dengan produktifitas rendah – sedang. Mengingat keberadaan sungai Citarum yang sangat penting
sebagai penyedia airbaku ibukota, mempunyai dampak ekonomi serta sosial secara regional,
menjadikannya sebagai wilayah sungai strategis nasional sehingga kewenanganannya berada di
Pemerintah Pusat.
Mengingat keberadaan sungai Citarum yang sangat penting sebagai penyedia airbaku ibukota, mempunyai
dampak ekonomi serta sosial secara regional, menjadikannya sebagai wilayah sungai strategis nasional
sehingga kewenanganannya berada di Pemerintah Pusat.
Sungai Citarum mengairi ratusan ribu hektar sawah khususnya di wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa
Barat melalui jaringan irigasi Jatiluhur, sumber air bagi penduduk kotabesar seperti Bandung dan Jakarta,
serta sumber Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk Pulau Jawa dan Bali, menjadikan Citarum
sebagai salah satu sungai terpenting diIndonesia terutama di Provinsi Jawa Barat. Selain itu Sungai
Citarum juga mengairi 3 (tiga) waduk, yaitu Waduk Saguling (982 juta m3), Waduk Cirata (2.165 juta m3)
dan Waduk Djuanda (3.000 juta m3). Untuk skala nasional, wilayah Sungai Citarum merupakan bagian
dari wilayah sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian-Ciliwung-Cisadane-Citarum, yang mana DAS 6 Ci‘s
merupakan wilayah sungai lintas provinsi Banten-DKI Jakarta-Jawa Barat.
Gambar 6.91. Sawah dengan Irigasi Jatiluhur dan Turbin PLTA Jatiluhur
Gambar 6.92. Diagram Pemanfaatan Air di Sungai Citarum
Namun kini, Sungai Citarum terancam bahaya. Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang
tinggi telah mengancam kelestarian Sungai Citarum. Penebangan hutan di hulu wilayah sungai telah
menghancurkan ekosistem yang mengakibatkan erosi tanah serta terjadi pendangkalan sungai dan banjir.
5. Masyarakat kota,warga desa dan kalangan industri dengan segala aktivitasnya, telah memperlakukan
Sungai Citarum sebagai tempat sampah dan pembuangan limbah. Saat ini Sungai Citarum dikenalsebagai
salah satu sungai terkotor di dunia.
C. Permasalahan Lingkungan
Permasalahan yang terjadi di DAS Citarum pada dasarnya diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk yang
tidak terkendali yang berakibat pada meningkatnya eksploitasi ruang dan sumber daya air. Penduduk di
Cekungan Bandung tumbuh pada kisaran 3% pertahun, sebagai pengaruh migrasi ke daerah dengan
pertumbuhan yang cepat.
Tingginya tekanan kependudukan ini menyebabkan terjadinya peningkatan lahan kritis akibat perubahan
tata guna lahan sehingga Citarum termasuk DAS utama di JawaBarat yang memiliki luasan lahan kritis
yang tinggi. Kerusakan banyak diakibatkan penggundulan lahan serta pencemaran industri dan rumah
tangga yang berdampak terhadap terjadinya bencana banjir, kekeringan, dan menurunnya kualitas air di
sepanjang sungai Citarum.
Untuk memudahkan identifikasi terhadap semua permasalahan yang ada di Daerah Aliran Sungai Citarum
tersebut, maka DAS Citarum dibagi menjadi 3 zona wilayah yaitu:
• Zona Citarum Hulu : Hulu sungai di Gunung Wayang – Ujung Saguling
• Zona Citarum Tengah : Saguling – Cirata – Jatiluhur
• Zona Citarum Hilir : Citarum Hilir – Muara Citarum
• Permasalahan di Zona Citarum Hulu
Permasalahan di daerah Citarum Hulu disebabkan oleh berkurangnya fungsi kawasan lindung (hutan dan
non hutan), berkembangnya permukiman tanpa perencanaanyang baik, dan budi daya pertanian yang tidak
sesuai dengan kaidah konservasi yang menyebabkan banyaknya lahan kritis, kadar erosi yang semakin
tinggi yang mengakibatkansedimentasi di palung sungai, waduk, bahkan masuk ke jaringan prasarana air.
Sungai tercemar limbah permukiman, industri dan pertanian karena perilakumasyarakat, baik industri
ataupun rumah tangga yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan air limbah dikarenakan
pengelolaan limbah belum tertata dengan baiksehingga sungai Citarum dominan akan genangan banjir,
sampah, dan limbah industri dan domestik.
Permasalahan utama lainnya di bagian hulu DAS Citarum meliputi degradasi fungsi konservasi sumber
daya air seperti luas lahan kritis mencapai 26.022,47 ha, yang mengakibatkan run off aliran permukaan
sebesar 3.632,50 juta m3 /tahun serta sedimentasi sebesar 7.898,59 ton/ha. Permasalahan lainnya adalah
tingkat pengambilan air tanah yangdiluar kendali dimana sebagian besar pengambilan air tanah tidak
teregistrasi. Diperkirakan pengambilan air tanah mencapai tiga kali lipat dari jumlah yang dilaporkan oleh
pemerintah. Diperkirakan 90 % penduduk dan 98 % industri di Cekungan Bandung menggantungkan
kebutuhan air sehari – hari pada air tanah. Pengambilan air tanah yang berlebih dan tidak terkendali dapat
mengakibatkan penurunan muka tanah dan kerusakan struktur pada bangunan gedung serta memperbesar
potensidaerah rawan banjir.Semua permasalahan di Citarum Hulu tersebut berakibat hampir setiap tahun
luapan Sungai Citarum menyebabkan banjir. Banjir-banjir besar di Bandung dan sekitarnya tercatatpada
tahun 1931, 1945, 1977, 1982, 1984, 1986, 1998, 2005, 2010 dan akan tetap terjadi pada tahun berikutnya
bila tidak segera dilakukan penanganan.
Gambar 6.94. Penanganan Terpadu Daerah Sungai Citarum
6. • Permasalahan di Zona Citarum Tengah
Tingginya pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung berdampak terhadap bertambahnya pembuangan
limbah domestik tanpa pengolahan, pembuangan sampah dan limbah industri yang menambah beban
pencemaran ke Sungai Citarum. Berdasarkan PD Kebersihan Kota Bandung rata-rata produksi sampah
sebesar 6.500 m3per hari, dimana1500 m3 diantaranya tidak dikumpulkan dan dibuang secara benar.
Dengan demikian sampah yang tidak terkumpul dengan benar akan masuk ke sistem drainase dan sungai
sebesar 500.000 m3 pertahun. Berdasarkan kantor pengelola Waduk Saguling diperkirakan jumlah sampah
yang masuk ke Waduk Saguling adalah sebesar 250.000 m3 per tahun.
Gambar 6.95. Tumpukan Sampah di sebagian Sungai Citarum Kualitas air yang masuk ke Waduk Saguling
memiliki rata-rata kandungan BOD lebihdari 300 mg/liter. Pada tahun 2004 dilaporkan konsentrasi BOD
sebanyak 55 mg/liter danmeningkat menjadi 130 mg/liter pada musim kemarau. Pencemaran waduk akibat
sampah rumah tangga, sampah padat, dan industri, serta adanya penambangan pasir menyebabkan
terjadinya pendangkalan waduk akibat adanya sedimentasi.
Selain itu, maraknya usaha keramba jaring apung memperburuk pencemaran air di Waduk Saguling, Cirata
dan Jatiluhur yang disebabkan oleh pemberian makanan ikan jaringapung yang tidak tepat dan berlebihan
sehingga menambah beban limbah yang menumpuk di dasar waduk serta membahayakan kelangsungan
instalasi PLTA akibat korosif.
• Permasalahan di Zona Citarum Hilir
Permasalahan di Citarum Hilir dikarenakan banyaknya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi
permukiman akibat berkembangnya permukiman tanpa perencanaan yang baik. Terjadinya degradasi
prasarana pengendali banjir, menurunnya fungsi prasarana jaringan irigasi, kurangnya prasarana
pengendali banjir di muara, dan terjadinya abrasi pantai di muara. Semua hal tersebut menyebabkan daerah
Citarum Hilir pun merupakan daerah rawan banjir. Banjir terakhir yang terjadi di bagian hilir Sungai
Citarum disebabkan oleh curah hujan tinggi yang berlangsung terus menerus, Waduk Jatiluhur tidak
mampu menampung debit banjirsehingga limpas di pelimpah dengan tinggi maksimum 141 cm. Akibatnya
aliran keluar dariwaduk mengalir ke Sungai Citarum adalah sebesar 700 m3 /detik. Bersamaan dengan
meluapnya Sungai Cikao di Purwakarta mengakibatkan banjir Sungai Cibeet di Karawangyang mengalir
ke Sungai Citarum, sehingga alur Sungai Citarum di Karawang tidak mampulagi menampung debit banjir
dari hulu, sehingga terjadi banjir di Telukjambe, Karawang Kulon, Karawang Wetan Kabupaten Karawang
dan Kabupaten Bekasi.
Solusi penanganan DAS Citarum dilakukan melalui pendekatan struktural dan non-struktural serta sosio-
kultural simultan hulu-hilir dengan sinergi multi sector bersama masyarakat secara terintegrasi dalam
wadah koordinasi badan strategis pengelolaan DAS Citarum. Pendekatan non-struktural meliputi
manajemen hulu DAS, penataan ruang, pengendalian erosi dan alih fungsi lahan, perijinan pemanfaatan
lahan, pemberdayaan masyarakat kawasan hulu, manajemen daerah rawan banjir, sistem peringatan dini
ancaman dan evakuasi banjir, peningkatan kapasitas kelembagaan dan partisipasi masyarakat untuk
penanggulangan banjir, pengendalian penggunaan air tanah, pengelolaan dan perbaikan kualitas air sungai.
Pendekatan struktural meliputi normalisasi sungai, tanggul penahan banjir, kolam penampungan banjir,
sistem polder dan sumur-sumur resapan,pembangunan waduk dan embung, penyediaan prasarana air baku,
pengembangan sistem penyediaan air minum danair kotor, rehabilitasi jaringan irigasi, pengembangan
pembangkitan tenaga listrik.Sejak beberapa tahun lalu, sejumlah instansi pemerintah dan lembaga swadaya
7. masyarakat berpartisipasi dalam serangkaian dialog yang menghasilkan Citarum Roadmap yaitu suatu
rancangan strategis berisi hasil identifikasi program-program utama untuk meningkatkan sistem
pengelolaan sumber daya air terpadu dan memperbaiki kondisi di sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum