Dokumen tersebut membahas tentang perkembangan hukum tanah di Indonesia sejak zaman kolonial hingga saat ini. Ia menjelaskan perubahan kebijakan pertanahan di bawah pemerintahan Belanda, Jepang, dan Indonesia merdeka. Dokumen ini juga menganalisis pergeseran kebijakan pertanahan khususnya di DKI Jakarta akibat perluasan kota.
2. 1. Candra Dewi Widanti
2. Muhammad Ahsan Akbar
3. A. Moh. Syahrul
Anggota Kelompok
3. Latar Belakang Masalah
Hukum Tanah Indonesia
Perkembangan dan Pergeseran
Kebijaksanaan Pertanahan di
DKI Jakarta
Table of contents
Bab I
Bab II Bab IV
02
03
04
Kebijakan Pertanahan
Bab III
01
5. Pengaturan perundang – undangan yang tidak proporsional
Belum diaturnya perjanjian pengadaan dan pemilikan tanah diperkotaan
Perbedaan presepsi masyarakat tentang besarnya ganti rugi, dimana dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan pemerintah ganti rugi dianggap masih
rendah
Terjadinya tarik menarik mengenai kebijakan pertanahan antara pemerintah
pusat dan daerah akibat otonomi daerah
Bab I Latar Belakang Masalah
7. Hukum Tanah Indonesia
Mengatur tentang hubungan antar manusia,
pemerintah yang mewakili negara sebagai badan
hukum publik maupun swasta termasuk badan
keagamaan / badan sosial dan perwakilan negara
asing dengan tanah di wilayah NKRI. Hukum tanah
merupakan ketentuan hukum yang mengatur hak –
hak penguasaan atas tanah. Hukum Tanah Indonesia
dimulai dari pengaturan penguasaan pemilikan tanah
akan menyebabkan banyak perbuatan hukum hanya
dengan akta peralihan. selanjutnya jika dimulai
dengan pemberian hak untuk sertifikasi dan iin lokasi
maka akan banyak kerugian kepentingan umum yang
menyebabkan ketimpangan pemilikan dan
penguasaan tanah. Kenyataannya pemerintah lebih
mengarah pada pemberian hak sertifikasi dan ijin
lokasi.
8. Perkembangan Hukum Tanah
Sebelum berlakunya UUPA, hukum tanah masih terkandung corak dualisme dimana peraturan agrarian
terdiri dari peraturan yang berasal pada hukum adat dan hukum barat(Sebagian tertulis Sebagian tidak
tertulis). Ada 2 periode perkembangan hukum agraria di Indonesia :
Periode 1600 – 1945
Sejak zaman VOC pengaturan, pemilikan dan penguasaan tanah menerapkan hukum barat dengan tidak
memperdulikan hak – hak tanah rakyat dan raja – raja di Indonesia.
Pada masa Herman Willem Daendels tanah atas nama pemerintah dan rakyat bekerja sebagai penanam
dibawah perintah bupati atau kepala lainnya.
Pada Masa Jendral Raffles diadakan pemungutan pajak bumi dan Landrent (sewa tanah)
Pada masa Van der Capellen dilakukan penolakan perluasan tanah di tangan pengusaha barat.
Pada masa De Bus De Gisignies dilakukan pembentukan desa – desa dan lahan – lahan baru dimana
rakyat sebagai pengusahanya bukan buruh.
Sejak tahun 1830 diadakan peraturan baru yakni culture stelsel (sistem perusahaan / perkebunan) pajak
bumi yang berupa uang diganti dengan hasil bumi.
Pada masa J.C Baud, dilakukan pengeluaran tanah sewa. Kemudian pada 1839 pengeluaran tanah
dihentikan dan dan difokuskan pada pengerahan rakyat untuk perkerjaan yang berkaitan dengan cultur
stelsel
9. Perkembangan Hukum Tanah
Pada 1854, pemerintah tidak punya pendirian yang jelas akan kepastian yang mana tanah yang
termasuk dalam ‘tanah yang telah diusahakan rakyat’ dan ‘tanah yang tidak diusahakan rakyat’
Pada 1870 berlaku Wet Agraria yang diikuti ketetapan Raja Belanda yakni ‘Agrarische Besluit’
dimana semua tanah yang tidak terbukti ada yang mempunyainya hak eigendom adalah tetap
kepunyaan negeri.
Periode 17 agustus 1945 – 5 juli 1959
Hukm agraria peninggalan pemerintahan belanda masih ada tetapi tedapat pengembalian
tanah – tanah yang diserahkan dengan paksa kepada pemilik semula atau ahli waris yang sah,
dengan dibebani kewajiban mengembalikan uang kerugian yang dahulu diteriamanya kepada
negara
Setelah berlakunya UUPA
Menghilangnya sifat dualistis karena hukum agrarian yang baru didasarkan pada hukum adat
yang sudah di modernisasi. Selain itu hukum yang ada tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan nasional, sosialisme dan peraturan perundangan lainnya.
11. Kebijakan Pertanahan
- Zaman pemerintahan Belanda
Rakyat Indonesia tidak ada jaminan kepastian hukum sedangan tanah – tanah
barat sudah terdaftar dan terdapat kepastian hukum. Hal – hal mendasar
mengenai kebijakan pengendalian, pemilikan dan penguasaan tanah pada
peerintah Belanda adalah penguasaan skala besar dapat dimiliki oleh
perseorangan, badan hukum milik bersama dari beberapa orang dan beberapa
badan hukum, sedangkan untuk skala kecil tidak diprioritaskan.
- Zaman Pemerintahan Jepang
Kebijakan pengaturan, pemilikan dan penguasaan tanah lebih berpihak pada
warga negara Jepang, asing dan badan hukum Jepang serta bdan hukum asing
lainnya daripada warga Indonesia.
- Zaman Indonesia Merdeka – 2002
Pada 1952 lebih menkankan pada kebendaan tak bergerak dan barang tetap.
Pada 1957 dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 190 tentang pemindahan
jawatan pendaftaran tanah dari lingkungan kementrian kehakiman ke dalam
lingkungan kementrian agraria, terjadi pelimpahan kewenangan ijin pemindahan
hak atas tanah dari Menteri kehakiman kepada Menteri agraria.
13. Perkembangan dan Pergeseran kebijaksanaan
Pertanahan di DKI Jakarta
Dalam perkembangan dan perluasan kota Jakarta yang pada mulanya
berpusat di Pasar kediaman.Keadaan ini disebabkan karena sering terjadi
peperangan dan kota Jakarta sebagian besar berupa rawa-rawa dan sering
banjir. Karena itu banyak penduduk yang pindah ke bagian sebelah Selatan
kota. Mengingat keadaan tersebut maka sekitar tahun 1830 Gubernur
Jenderal Van den Bosch membentuk lingkaran "Defensielijn v.d. Bosch" yang
disebut Weltervreden, yaitu daerah Gambir yang merupakan pusat
kedudukan Pemerintah Kolonial Belanda. Perkembangan kota Jakarta terus
berlangsung dengan dibangunnya tempat-tempat kediaman baru di
Menteng, Gondangdia, Menteng Pulo, Gunung Sahari dan daerah lingkungan
lapangan terbang kemayoran. Pada tahun 1935 Stadsgemeente Meester
Cornelis digabung menjadi satu dengan Stadsgemeente Batavia.
14. Perkembangan dan Pergeseran kebijaksanaan
Pertanahan di DKI Jakarta
Hasil-hasil perkebunan besar didaerah Bogor dan Periangan diangkut
melalui bandar Jakarta, tetapi Belanda kesulitan dalam pemeliharaan
terusan pelabuhan, karena muara sungai tidak cukup dalam, sehingga
kebutuhan akan pelabuhan yang bebas dari ganguan endapan lumpur
dianggap sangat mendesak, maka pada akhir abad ke 19 dibangunlah
pelabuhan Tanjung Priok. Prasarana dan fasiltas kota Batavia telah
direncanakan untuk jumlah penduduk 600.000 jiwa sampai dengan
800.000 jiwa. Diantara pembinaan tersebut misalnya usaha
membebaskan kota Batavia dari Banjir dilakukan dengan membangun
Banjir Kanal untuk mengendalikan aliran kali Ciliwung, yang
dikembangkan oleh Van Breen.
15. Perkembangan dan Pergeseran kebijaksanaan
Pertanahan di DKI Jakarta
Sejak itu, seluruh kepulauan Indonesia dikuasai Belanda, diperintah dari Ibukota
Batavia sampai masa pendudukan Jepang bulan Maret 1942. Kekayaan alam
Indonesia berupa rempah-rempah, yang menjadi rebutan pedagang-
pedagang Eropa dimasa itu dieksploitasi oleh kolonialis Belanda untuk
kepentingan negeri Belanda sendiri. Pada masa pendudukan Jepang tidak
terdapat usaha pembinaan kelengkapan dan sarana kota sama sekali.
Bahkan sebaliknya prasarana dan fasilitas yang ada terlantar dan rusak,
karena digunakan untuk kepentingan perang.156 Pemerintah kota Jakarta
pada masa pendudukan Jepang, dirubah dari tata pemerintahan yang
tadinya hanya merupakan badan pengurus rumah tangga saja, menjadi
pemerintahan kota yang menyelenggarakan segala urusan pemerintahan
dalam lingkungan daerahnya.
16. CREDITS: This presentation template was created
by Slidesgo, including icons by Flaticon, and
infographics & images by Freepik
Thanks!
Does anyone have any
questions?
Please keep this slide as attribution