2. Upaya
Penyusunan
HA Nasional
Dari segi yuridis, arti penting Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 : (a) Bangsa Indonesia memutuskan hubungan
dengan hukum agararia kolonial; (b) bangsa Indonesia sekaligus
menyusun hukum agraria nasional.
Lalu pada tanggal 18 Agustus 1945, ditetapkan UUD 1945
sebagi hukum dasar Negara RI. Namun untuk membentuk
hukum agraria nasional tidaklah mudah dan membutuhkan
waktu lama. Sambil menunggu terbentuknya hukum Agraria
Nasional, agar tidak terjadi kekosongan hukum, maka
diberlakukan Pasal II Aturan Peralihan
Isi Pasal Peralihan: “Segala badan negara dan peraturan yang
ada dan masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang
baru berdasarkan UUD ini”
Dengan aturan ini, peraturan agraria dan badan negara yang
berlaku pada masa kolonial, dinyatakan masih berlaku selama
tidak bertentangan dengan UUD 1945, belum dicabut, belum
diubah, atau belum diganti dengan hukum yang baru.
3. Upaya
Pemerintah
Dasar Politik Agraria Nasional dimuat di Pasal 33 ayat 3 :”Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan
digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Jadi tujuan penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam itu untuk
mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.
Upaya yang dilakukan Pemerintah adalah :
1. Menggunakan kebijaksanaan dan Tafsir Baru
2. Penghapusan Hak-hak Konversi
3. Penghapusan tanah partikelir
4. Perubahan Peraturan Persewaan Tanah Rakyat
5. Peraturan Tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah
6. Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan
7. Kenaikan canon dan cijn
8. Larangan dan penyelesaian soal pemakaian tanah tanpa izin
9. Peraturan perjanjian bagi hasil (tanah pertanain)
10. Peralihan tugas dan wewenang Agraria
4. 1.
Menggunakan
Tafsir Baru
Tafsir baru yang sesuai dengan jiwa Pancasila dan Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945
Misalnya tafsir hubungan antara negara dengan tanah. Yakni
tidak lagi menerapkan domein verklaring, yakni negara tidak
lagi sebagai pemilik tanah, melainkan negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat Indonesia hanya menguasai tanah.
5. 2.
Penghapusan
Hak Konversi
Salah satu warisan feodal yang merugikan rakyat adalah lembaga
konversi yang berlaku di Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta,
karena semua tanah dianggap milik Raja. Rakyat hanya sekedar
memakainya, yang diwajinkan menyerahkan sebagian dari hasil
tanah itu kepada raja, jika tanah itu tanah pertanian atau
melakukan kerja paksa, jika tanah itu adalah tanah pekarangan.
Kepada anggota keluarganya diberikan tanah sebagai nafkah, dan
pemberian tanah disertai pula pelimpahan hak raja atau sebagian
hasil tanah tersebut di atas. Mereka pun menuntut kerja paksa.
Stelsel ini dinamakan stelsel apanage.
Jadi dulu raja dan orang yang memegang apanage sejak abad 19
menyewakan tanah kepada penguasa asing untuk usaha tani,
beriktu hak untuk memungut sebagian dari hasil tanaman rakyat
Berdasarkan hukum tanah feodal, di Surakarta dan Yogyakarta
berkembang perusahaan pertanian besar asing. Namun
menimbulkan kesedihan bagi para petani.
Hapusnya hak konversi serta hypotheek berdasakran UU No
13/1948 yang mencabut Stb. 1918 No. 20 ditambah dengan UU No
5/1950 .
6. 3.
Penghapusan
Tanah
Partikelir
Tanah partikelir itu tanah yang ada hak pertunanan. Istilahnya
negara dalam negara.
Tuan tuan tanah yang mempunyai hak kekuasaan yang
demikian besar dan banyak yang menyalahgunakan haknya,
sehingga menimbulkan penderitaan bagi rakyat.
Pemerintah membeli tanah partikelir, namun hasilnya tidak
memuaskan karena dana yang tidak cukup, dan tuan-tuan tanah
menuntut harga yang sangat tinggi.
UU No 1/1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir, 24
Januari 1958, hak-hak pemilik tanah partikelir atas tanahnya
dan hak-hak pertuanannya hapus dan tanah bekas tanah
partikelir itu serentak menjadi tanah negara.
UU No 1/1958 pada hakikatnya merupakan pencabutan hak
7. 4.
Perubahan
Peraturan
Persewaan
Tanah Rakyat
Aturan tentang persewaan tanah rakyat kepada perusahaan
besar khususnya orang-orang bukan Indonesia asli
sebagaimana dimaksudkan di Pasal 51 ayat 8 IS untuk Jawa dan
Madura diatur dalam dua peraturan, yakni Grondhuur
Ordonnantie Stb 1918 No 88, unuk daerah pemerintahan
langsung dan Vorstenlands Grondhuurreglement Stb. 1918 No
20 untuk Surabaya dan Yogyakarta (daerah swaparaja).
Berdasarkan ketentaun ini, persewaan tanah berjangka paling
lama 21,5 tahun.
Kedua ketentuan ini diubah dengan ditambahkan Pasal 8a dan
8b, serta Pasal 15a dan 15b oleh UU Darurat No 6 Tahun 1951.
UU Darurat lalu ditetapkan menjadi UU No 6 Tahun 1952.
adanya penambahan tersebut, maka persewaan tanah rakyat
untuk tanaman kebu dan lain-lain ditunjuk oleh menteri hanya
pertanian hanya diperbolehkan paling lama 1 tahun atau 1
tahun tanaman. Besar sewanya ditetapkan oleh Mendagri,
Menteri Agraria.
8. 5. Peraturan
Tambahan
Dalam Pasal 1 UU No 24 Tahun 1954 yang menetapkan UU
Darurat No 1 Tahun 1952 tentang Pemindahaan Tanah-tanah
dan barang-barang lainnya tetap tunduk pada Hukum Eropa
sambil menunggu peraturan lebih lanjut untuk sementara setiap
serah pakai lebih dari 1 tahun dan perbuatan-perbuatan yang
berwujud pemindahan hak mengenai tanah-tanah dan barang-
barang tetap lainnya yang tunduk pada Hukum Eropa hanya
dilakukan setelah mendapat izin dari Menkehakiman (dengan
UU No 76 tahun 1957 izinnya dari Menteri Agraria.
Artinya semua perbuatan di luar izin menteri tersebut batal
demi hukum. yakni tanah/rumahnya kembali kepada penjual,
uangnya kembali kepada pembeli jika perbuatannya berbentuk
jual beli.
Tujuan aturan ini mencegah atau paling tidak mengurangi
kemungkinan jatuhnya tanah-tanah Eropa, termasuk rumah
atau bangunan yang ada di datasnya ke tangan orang-orang dan
badan-badan hukum asing.
9. 5. Peraturan
Tambahan
Ketentuan di atas tadi dilengkapi dengan UU No 28 Tahun 1956
tentang Pengawasan terhadap Pemindahan Hak-hak atas tanah
perkebunan erfpacht, eigendom, dan lain-lain hak kebendaan.
Ada juga PP No 35 Tahun 1956 tentang Pengawasan terhadap
pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan konsesi, yang
diubah dengan PP 21 Tahun 1959
10. 6.
Peraturan
Tindakan
mengenai
Tanah
Perkebunan
Atas dasar UU No 29/1956, Menteri Agraria dan Pertanian
berwenang melakukan tindakan-tindakan agar tanah tanah
perkebunan yang mempunyai fungsi sangat penting dalam
perekonomian negara diusahakan dengan baik.
Dalam UU Ini juga ditetapkan bahwa pemegang Hak Erpacht,
eigendom, dan hak kebendaan lainnya yang sudah
mengusahakan kembali perusahaan perkebunannya, wajib
melakukan segala sesuagu yang perlu untuk memulai atau
meneruskan usahanya secara layak menurut ketentuan yang
ditetapkan oleh Menteri Pertanian.
Jika belum memenuhi kewajibannya, maka hak erpacht yang
bersangkutan dapat dibatalkan oleh menteri Agraria.
11. 7.
Kenaikan
Canon dan
Cijn
Canon adalah uang yang wajib dibayar oleh pemegang hak
erpacht setiap tahunnya, sedangkan cijn adalah uang yang wajib
dibayar oleh pemegang konsesi perusahaan perkebunan besar.
Pada umumnya canon dan cijn tidak besar jumlahnya karena
dianggap sebagai tanda pengakuan hak pemilik tanah yang
dikuasainya dengan hak erpacht atau konsesi
Setelah indonesia merdeka, sebagian besar tanah-tanah
perkebunan sudah dibuka dan diusahakan sehingga uang wajib
yang harus dibayar setiap tahunnya itu fungsi atau sifatnya lain,
yakni sebagai uang sewa pemakaian tanah.
Dalam UU NO 78 Tahun 1957 tentang Perubahan Canon dan
Cijn atas hak-hak erpacht dan konsesi guna perubahan
perkebunan besar ditetapkan selambat-lambatnay 5 tahun
sekali uang wajib tahunan ini harus ditinjau kembali.
12. 8.
Larangan dan
Penyelesaian
Soal
Pemakaian
Tanah tanpa
Izin
UU Darurat no 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian soal
Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat. UU darurat ini
diubah dan ditambah dengan UU NO 1/1956. tujuannya untuk
mencegah meluasnya pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh
rakyat tanpa izin pengusahanya dan untuk menyelesaikan sal
pemakaian tanah yang sudah ada.
Ketentuan mengenai larangan pemakaian tanah tanpa izin
yangberhak atau kuasanya diatur oleh UU NO 51 Prp Tahun
1960. UU Ini kemudian diganti oleh UU NO 1 Tahun 1961.
13. 9.
Peraturan
Perjanjian
Bagi Hasil
(Tanah
Pertanian
Perjanjian bagi hasil adalah suatu bentuk perjanjian antara
pemilik tanah pertanian dengan pihak lain sebagai penggarap,
dimana penggarap diperkenankan menguasahakan tanah itu
dengan pembagian hasilnya menurut imbangan yang telah
disetujui oleh kedua belah pihak.
Umumnya pembagian bagi hasil itu tidak menguntungkan pihak
penggarap, karena tanah yang tersedia untuk dibagi hasilkan
tidak seimbang dengan jumlah petani yang memerlukan tanah
garapan.
Untuk itulah dikeluarkan UU No 2 Tahun 1960 tentang
Perjanjian Bagi Hasil yang mengharuskan agar pihak-pihak yang
membuat perjanjian bagi hasil dibuat secara tertulis dengan
maksud agar mudah diawasi dan mengadakan tindakan-
tindakan terhadap perjanjian bagi hasil yang merugikan
penggarapnya.
14. 10
Peralihan
Tugas dan
Wewenang
Agraria
Setelah Indonesia merdeka, urusan Agraria sampai tahun 1955
itu ada di lingkungan Kemendagri.
Berdasarkan Keputusan Presiden No 55 Tahun 1955 dibentuk
Kementerian Agraria yang berdiri sendiri dan terpisah dari
Kemendagri.
Dalam Keputusan Presiden No 190 Tahun 1957 dtetapkan
bahwa Jawatan Pendaftaran Tanah semula masuk dalam
lingkungan Kementerian Kehakiman dialihkan ke lingkungan
Kementerian Agraria.
Berdasarkan UU No 7 Tahun 1958 ditetapkan pengalihan tugas
dan wewenang Agraria dari Mendagri ke Menteri Agraria serta
pejabat-pejabat di daerah. Dengan dasar itu, maka lambat laun
terbentuklah aparat agraria di tingkat provinsi, karisedenan dan
kabupaten/kota madya.