Buku ini membahas hubungan antara Raja Pakubuwana X dengan para priyayi (bangsawan) dan kawula (rakyat biasa) di Kasunanan Surakarta pada tahun 1900-1915. Pakubuwana X memiliki kedudukan yang sangat terbatas di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, namun dia mampu memelihara dan mengeksploitasi simbol-simbol kekuasaan untuk mempertahankan pengaruhnya. Hubungan antara ketiga kelompok
Modul 9 Penjas kelompok 7 (evaluasi pembelajaran penjas).ppt
Raja priyayi dan kawula
1. Raja Priyayi dan Kawula
Bab I
Pengantar
Mengenai raja, priyayi, dan kawula di Kasunanan Surakarta (19001915) pada waktu itu tidak ada perang dan tidak ada orang besar pembuat
sejarah,
jadi
kita
tidak
bisa
menulis
sejarah
konvensional
yang
mengandalkan adanya peristiwa spektakuler atau orang besar. Masuknya
kapitalisme yang berupa penyewaan tanah itu mula-mula hanya mengenai
tanah yang yang dikhususkan untuk raja (Sunan mendapat uang sewa).
Disusul dengan reorganisasi tradisional agraria dan penghapusan sistem
apanage secara menyeluruh pada 1918. Sejarah yang ditulis ini bukan
sejarah konvensional tetapi tentang kehidupan sehari-hari, yaitu sejarah
kejiwaan, sejarah mentalitas, dan sejarah sensibilitas.
Dalam memerintah Surakarta, Kasunanan tidak sendirian. Ada dua
kekuasaan pribumi, yaitu kasunanan dan kadipaten mangkunegaran.
Tahun 1900 kekuasaan sunan meliputi enam kabupaten, yaitu Surakarta,
Kartasura, Klaten, boyolali, ampel, dan Sragen. Kadipaten Mangkunegaran
meliputi tiga kawedanan yaitu Wonogiri, Karanganyar, dan Kota. Untuk
memerintah kerajaan, sunan dibantu seorang patih yang diangkat dengan
persetujuan Belanda. Patih lah yang sebenarnya mengurusi kerajaan yang
disebut Kanjeng Parentah Ageng. Raja hanya berdaulat penuh di istana.
Urusan keluar harus lewat Residen Belanda. Walau kedaulatan raja sangat
terbatas dan kekuasaan ekonomi juga menyurut, namun Pakubuwana X
(PB X) dianggap sebagai raja besar. Hubungan raja dengan priyayi dituntut
untuk mengikuti aturan-aturan (simbol-simbol budaya) yang ketat dan tak
berubah. Bagi para priyayi kesetiaan raja begitu mendarah daging.
Kekuasaan raja dan perilaku priyayi menimbulkan hasrat untuk
melawan secara diam-diam, lalu terbentuklah impian melawan dalam
wujud budaya tandingan. Karena itu, sejarah mentalitas mempelajari
1
2. gejala-gejala bawah sadar adalah pendekatan yang paling sesuai untuk
kawula. Tulisan mengenai raja, priyayi dan kawula di Surakarta, 19001915 akan menghasilkan sejarah sensibilitas (sensibility sensitivity) sejarah
tentang kehidupan emosional manusia dimasa lalu.
Sejarah hanya
mengurus perkara yang ada hubungannya dengan masyarakat, mempunyai
makna kemasyarakatan (societal significance). Karenanya memilih data-data
yang mempunyai makna kemasyarakatan.
Bab II
Pakubuwana X, Sang Raja: Simbol Personal dan Simbol Publik
Raja mempunyai wewenang pada rakyat berdasar hubungan Kawula
Gusti. Raja adalah wewenang keliling Pangeran Kang Ageng (wakil tuhan
Yang Maha Besar) yang jumlahnya tiga, yaitu: wahyu nurbuwah atau
wahyu untuk menjadi raja seluruh jagat raya, wahyu khukumah raja
semesta, wahyu wilayah menjadi wakil tuhan menjadi teladan semua
kawula. Yang dipakai raja waktu bertahta di bangsal Pangrawit Pagelaran
dalam upacara pemberian payung Srinugraha sebanyak lima belas macam.
Atas berupa mahkota kanigara (kuluk) intan sampai bersepatu beledu
hitam dengan kaos kaki biru tua. Pakaian untuk abdi dalem metengan
(polisi), yaitu jagawesi dan jagalatri harus pakai bebed dan kuluk.
Setiap bulan Maulud, Sunan akan memberikan hadiah pada orang
Arab, Begal, Koja, Banjar, dan para haji yang berdzikir di masjid. Tiap orang
mendapat dua gulden. Tahun 1905 di Surakarta telah berdiri sekolah Islam
dengan nama Mambaul Ulum, sementara gedungnya memakai Pabongan
yang terletak di sebelah utara masjid. Sekolah itu untuk menampung anakanak abdi dalem pemutihan, khatib, ulama, perdikan, juru kunci, suranata,
termasuk anak-anak bukan pejabat. PB X memakai juga adat Eropa, pada
hari ulang tahun atau pesta pernikahan karena Sunan tak pernah
menerapkan etikat Jawa yang kaku untuk orang Eropa. Contoh perkawinan
itu ialah yang diadakan 18 Mei 1905 untuk ke-40 hari perkawinan saudarasaudara dan anak-anak Sunan. Tamu diharuskan datang dengan aneka
2
3. ragam kostum dan Sunan juga akan berdansa. Sebagai raja Jawa, pewaris
tahta Mataram dia harus meladeni kehidupan panembahan Senapati yang
diajarkan oleh Mangkunegaran IV dalam wedhatama yang suka prihatin.
Bab III
PRIYAYI:
Abdi Dalem Raja dan Abdi Dalem Kerajaan
Dibawah kepimimpinan PB X ada tiga jenis priyayi, yaitu priyayi
yang bekerja pada raja, priyayi yang bekerja untuk kerajaan (parentah
ageng), dan priyayi terpelajar (bangsawan pikiran). Sekitar tahun 1907 di
Mangkunegaran bagian dari Surakarta juga didirikan sebuah organisasi
priyayi. Oraganisasi itu, Mardi Taya adalah sebuah asosiasi budaya yang
didirikan guna memajukan seni musik dan tari Jawa.
Pada waktu itu priyayi merupakan kedudukan yang dicitacitakan.
Kepriyayian
pada
saat
itu
sangat
dihormati
ketika
pusat
kekuasaan, raja, dan birokrasi kolonial memonopoli kekayaan-kekayaan
simbolik maupun aktual. Sastra sebagai bentuk simbolik menekankan
hierarki sosial.
Dalam surat kabar Perilaku priyayi yang baik itu termasuk
kepandaian
berbahasa,
gerak-gerik
tubuh,
air
muka,
kemampuan
berbicara, dan moral yang baik. Perilaku menyimpang merupakan dosa
besar terhadap raja, sang amurbeng bumi. Terdapat laporan mengenai
kejahatan-kejahatan yang dilakukan priyayi misalnya mengadu dan berjudi
walau pemerintah Surakarta telah melarang semua bagi para priyayi. Pada
suatu hari sekitar 55 priyayi mengadakan pesta tayub pada tahun 1909
guna merayakan pernikahan empat putri Sunan disalah satu rumah priyayi
itu, para tamu minum terlalu banyak sehingga mabuk dan pesta menjadi
kacau. Tetapi ada juga hal-hal baik dari priyayi, yaitu sering mendengarkan
3
4. ceramah-ceramah mengenai pendidikan, kemajuan, dan kondisi ekonomi
rakyat Jawa.
Kultus raja telah disosialisasikan dirumah tangga seorang calon
priyayi yang berstatus sebagai wong cilik, priyayi rendah, maupun priyayi
tinggi. Atas perkenan raja seorang bisa langsung diangkat jadi kliwon,
pangkat peralihan dari priyayi rendah ke priyayi tinggi. Priyayi tinggi ialah
bupati dan patih. Kepentingan raja juga kepentingan priyayi. Priyayi juga
mengambil jarak dengan kawula, karena kawula adalah wong cilik yang
tidak paham simbol-simbol kehalusan priyayi. Priyayi jenis inilah yang
bercita-cita mati mulia sebagai abdi dalem raja.
Bab IV
KAWULA:
Sumur Ajaib Sebagai Budaya Tandingan
Suatu malam, pertengahan februari 1914 perempuan di kampung
Bratan Laweyan Surakarta mimpi ditemui kakek tua yang mengatakan
dhemit (jin) penjaga kampung Gajahan akan menunjukan permainan
gambar hidup di sumur yang terletak dihalaman rumahnya. Anak itu
menyatakan bahwa dalam sumur ada api dan seekor harimau, kemudian
sumur itu ditutup polisi. Sejarah sebagai ilmu empiris-rasional tentu tidak
akan menyatakan laporan itu mempunyai kebenaran ontologis artinya apa
yang dilihat orang-orang itu sungguh terjadi.
Laweyan adalah kemantren (onder distrik) yang terletak dibagian
paling Barat. Laweyan tercatat dalam tradisi lisan sebagai tempat
pelaksanaan hukuman bagi mereka yang bersalah terhadap kerajaan dan
tubuh mereka yang terhukum dilemparkan kedalam sungai di Laweyan.
Laweyan adalah pusat budaya santri dan dikenal sebagai poros kaum
santri. Gajahan adalah kampung disebelah barat alun-alun Selatan,
mendapat nama kampung karena disitulah gajah raja dikandangkan, dekat
dengan kandang Badak. Biasanya gajah milik raja memperoleh gelar kiai
4
5. dan
ditunggu
oleh
abdi
dalem
(srati).
Gajah
milik
raja
disimpan
dikandangnya atau di Taman Sriwedari.
Bab V
PERKAWINAN KEDUA PB X, 1915
Budaya Afirmatif dan Budaya Kritis
PB X sudah lama kawin, sudah punya beberapa anak laki-laki
dan istri lain, tetapi sang permaisuri belum melahirkan anak laki-laki calon
raja, maka tahun 1915 raja memutuskan mencari permaisuri baru, yaitu
putri Sultan Hamengkubuwana VII dari keraton Yogyakarta. Meskipun tahu
kedudukan akan tersaingi sebagai permaisuri (lama) masih menyertai
suaminya pergi dengan mobil ke alun-alun Selatan memeriksa para ahli
dalem yang sedang berpesta dengan tarian nayuban yang amat ramai. Pesta
dimulai dengan kunjungan Residen Keraton disertai Paku Alam, kemudian
Residen dan Sunan pergi ke Sasana Parasdia. Ijab qobul dimulai, penghulu
membaca doa yang diikuti oleh para rokhaniwan.
Hubungan antara raja dengan priyayi terpelajar dan kawula persis
seperti hubungan raja dengan BO dan SI. Hubungan itu nampak dari
perkawinan raja yang kedua pada 1915 sekaligus peristiwa itu menunjukan
bagaimana sikap priyayi dan kawula pada pemerintah kolonial. BO dan Si
sebenarnya mempunyai karakteristik berbeda tapi sama-sama menyambut
dengan bersemangat perkawinanya sebagai tanda kesetiaan mereka kepada
nasionalisme Jawa
5
6. Analisis
A.
Menurut saya buku karangan Kuntowijoyo yang berjudul “Raja,
Priyayi dan Kawula” merupakan kategori sejarah lokal secara subyektif
karena khusus menceritakan atau membahas tentang Kasunanan (Paku
Buwana X) dan hubungannya dengan priyayi, kawula serta pemerintah
kolonial Belanda. PB X diangkat sebagai putra mahkota kasunanan sejak
berusia 3 tahun dan diangkat sebagai raja surakarta adiningrat pada 30
maret 1893, meninggal pada 20 Februari 1939. PB X waktu masih muda
bertubuh
langsing
dengan
kumis
dan
bentuk
bibir
yang
bagus,
diumpamakan sebagai kresna titisan dewa wisnu. namun makin lama PB
X menjadi gemuk karena banyak makan makanan enak, suka alkohol dan
merokok, suka berpakaian kebesaran yang bagus, punya banyak istri dan
selir (4 istri resmi, 20 selir, 63 anak), suka berpelesir keluar kota dan
berdansa
di
societiet,
hedonisme
dan
interkultural
lekat
dengan
kehidupan PB X.
Raja melihat priyayi dan kawula sebagai abdi yang harus duduk di
lantai, sementara kekuasaan raja ditunjukkan dengan gelarnya yang sangat
panjang. Priyayi dan kawula melihat raja sebagai pemilik sah kerajaan
melalui kepercayaan akan adanya wahyu yaitu bahwa raja mempunyai
kekuasaan territorial, birokrasi dan hukum. Priyayi melihat kawula sebagi
wong cilik yang tidak mempunyai simbol kekuasaan oleh karenanya
rendah, kasar dan tidak terpelajar. Kawula akan memandang priyayi
melalui jumlah sembah yang berhak diterima, pakaian yang dikenakan dan
bahasa yang diucapkan. Cara kawula memahami simbol berbeda dengan
priyayi, sebab ketika sampai di bawah simbol meluntur. Berbeda dengan
priyayi yang sehari-hari harus berhadapan dengan simbol, kawula hampir
tidak berhadapan dengan simbol raja secara langsung. Mereka berhadapan
dengan simbol raja secara langsung hanya pada waktu tertentu misal
prosesi kematian, pernikahan atau sekaten. Terhadap priyayilah sehari-hari
kawula berurusan dengan simbol. Kekuasaan raja dan perilaku priyayi ini
6
7. diam-diam menimbulkan hasrat untuk melawan dalam wujud budaya
tandingan.
B.
Buku
ini
menggunakan
aspek
penulisan
tematis
karena
menggunakan tema khusus yaitu secara politik dan hukum, PB X berada
dibawah kuasa pemerintah hindia belanda, jadi PB X sangat terbatas ruang
geraknya. berdasarkan pendidikannya sebagai bangsawan PB X mempunyai
emotional
intelligence
yang
tinggi
maka
dia
memelihara
dan
mengeksploitasi simbol-simbol untuk kepentingan kekuasaannya. PB X
memiliki IQ yang rendah, dia bodoh dalam matematika dan bahasa (PB X
hanya menguasai bahasa jawa dan melayu) tapi dia memiliki kepekaan
yang tinggi terhadap kesenian. PB X dicintai oleh rakyatnya karena
menunjukkan nasionalisme jawa sekaligus pemberontakan yang halus
terhadap kolonial dengan mengutus orang ke ambon pada tahun 1915
untuk berziarah ke makam PB VI dan puncaknya pada perkawinan
keduanya dengan puteri sultan
hamengkubuwana VII
dari keraton
yogyakarta yang menjadi pesta kolosal bagi seluruh keluarga raja, priyayi,
dan kawula. Meskipun kedaulatan politik Sunan terbatas dan kekuasaan
ekonominya juga menyurut namun Pakubuwana X, yang memerintah pada
masa itu, dapat dianggap sebagai raja besar. Walaupun telah kehilangan
kekuasaan politik dan ekonomi juga mundur, bukan berarti Sunan
kehilangan segala-galanya. Sunan masih menguasai simbol-simbol budaya
yang dapat memperkuat kedudukannya sebagai penguasa. Simbol-simbol
itu sangat efektif bagi masyarakat tradisional. Pakubuwana X adalah
seorang yang mempunyai EI (emotional intelegence) atau kecerdasan
emosional tinggi, tetapi IQ (Intelegence Quality) rendah. Sunan sangat
lemah dalam hal linguistic dan matematika, tetapi dengan EI lah Sunan
menjadi raja besar. Dalam kehidupan sehari-hari ia sadar sebagai raja
sehingga
tidak
ragu-ragu
menggunakan
simbol-simbol
(meskipun
ketinggalan jaman) untuk menegaskan kekuasaannya. Simbol tersebut
antara lain melalui pakaian, penghormatan, bahasa, payung kebesaran dan
lain-lain yang dibuat sangat cermat dan rinci.
7
8. C.
Corak pada buku ini adalah stratifikasi sosial yang ada di dalam
masyarakat
dilihat
menggunakan
bantuan
dari
ilmu
sosiologi
dan
antropologi. Stratifikasi sosial ini tidak terlihat secara langsung tetapi
dirasakan lewat hubungan-hubungan yang terjalin. Dilihat dari cara
penggunaan pakaian, bahasa dan sembah. Dimana rakyat biasa dan abdi
dalem dilarang menggunakan kereta di alun-alun.
Rakyat dan priyayi harus menaati simbol-simbol yang ada. Adanya
budaya tandingan muncul karena dominasi kebudayaan keraton dimana
rakyat hanya dianggap sebagai penonton saja bukan pemerannya. Maka
muncul pemikiran-pemikiran aneh dalam masyarakat yang biasa disebut
“soemoer elok”. Struktur ini mencapai puncak saat pernikahan PB X yang
kedua dimana semua lapisan termasuk priyayi, kawula, boedi Utomo dan SI
ikut berpartisipasi untuk nasionalisme Jawa.
8