Struktur masyarakat Surakarta terdiri dari dua kelompok utama, yaitu priyayi sebagai kelas penguasa dan wong cilik sebagai kelas yang diperintah. Perkembangan pendidikan menumbuhkan golongan sosial baru seperti birokrasi dan profesional.
3. Raja yang memerintah di Keraton
Mataram
Senopati (Sutowijoyo) (1585 -1601)
Raden Mas Jolang (1601-1913)
Raden Mas Rangsang (1613-1645)
Raden Mas Sayidin (1645-1677)
4. Raden Mas Rangsang (1613-1645)
Pada saat pemerintahan Sultan Agung, keraton Mataram berada
dalam puncak kejayaan. Karena banyak raja-raja yang ditaklukkan,
yaitu raja-raja pesisir Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur,
Kalimantan Barat, Madura, Surabaya dan Cirebon.
Sultan Agung merupakan figur raja yang taat kepada agama islam
dan tidak senang pada Belanda yang berada di tanah Jawa. Sultan
Agung mempunyai cita-cita untuk menguasai seluruh pulau Jawa.
Namun cita-cita Sultan Agung untuk menguasai seluruh pulau Jawa
gagal. Karena pada waktu itu terdapat tiga kekuatan politik yaitu
Mataram, Banten dan VOC di Batavia
5. Raden Mas Sayidin Raden Mas Sayidin (1645-1677)
berbeda dengan Ayahnya Susuhunan Amangkurat I bukan
sebagai seorang raja yang bijaksana dan berwibawa, tetapi
seorang raja yang bertangan besi dan bersahabat dengan
VOC/Belanda,. Sikap Amangkurat I dalam menjalankan
pemerintahan dengan tangan besi dan berusaha menggenggam
seluruh kekuasaan, terbukti pada masa itu para ulama dan
sebagian rakyat dikejar-kejar, bahkan ribuan yang dihukum mati,
karena mereka menentang politik Amangkurat I yang menjalin
kerjasama dengan VOC. Para ulama yang berpengaruh besar
terhadap rakyat, dianggap menyaingi kedudukan dan
kekuasaannya.
7. Raja yang memerintah di Keraton
Kartasura
Raden Mas Rahmat (1677-1703)
Raden Mas Sutikna (1703–1705)
Raden Mas Darajat (1705-1719)
Raden Mas Suryaputra (1719 – 1726)
Raden Mas Prabasuyasa (1726–1742)
9. RAJA YANG MEMERINTAH DI KERATON
SURAKARTA
Raden Mas Prabasuyasa (1742–1749)
Raden Mas Suryadi (1749–1788)
Raden Mas Subadya (1788 – 1820)
Raden Mas Sugandi (1820–1823)
Raden Mas Sapardan Sugandi (1823–1830)
Raden Mas Malikis Solikin (1830–1858)
Raden Mas Kusen (1858 – 1861)
10. RAJA YANG MEMERINTAH DI KERATON
SURAKARTA
Raden Mas Duksino (1861–1893)
Raden Mas Malikul Kusno (1893 –
1939)
Raden Mas Antasena (1939–1945)
Raden Mas Suryaguritna (1945-2004)
Pangeran Hangabehi (2004-
Sekarang)
11. Raden Mas Subadya
• Ia dijuluki sebagai Sunan Bagus, karena naik takhta dalam usia
muda dan berwajah tampan. Selain dikenal sebagai ahli politik yang
cerdik, Pakubuwana IV juga terkenal dalam bidang sastra,
khususnya yang bersifat rohani. Ia diyakini mengarang naskah
Serat Wulangreh yang berisi ajaran-ajaran luhur untuk
memperbaiki moral kaum bangsawan Jawa
12. Raden Mas Sugandi
Pakubuwana V juga dikenal dengan sebutan Sunan
Sugih, yang artinya “Baginda Kaya”, yaitu kaya
harta dan kaya kesaktian. Konon, ia pernah
membuat keris pusaka dengan tangannya sendiri
13. Raden Mas Sapardan Sugandi
Ia dijuluki pula dengan nama Sinuhun Bangun Tapa, karena
kegemarannya melakukan tapa brata.
Pengejaran Pakubuwana VI oleh Belanda,
Kecurigaan Belanda dilatarbelakangi oleh penolakan Pakubuwana VI
atas penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda
14. Pakubuwana VII naik takhta
tanggal 14 Juni 1830 menggantikan keponakannya,
yaitu Pakubuwana VI yang dibuang ke Ambon oleh Belanda.
Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila
dibandingkan masa raja-raja sebelumya
15. Pakubuwana VIII naik takhta pada usia lanjut, yaitu 69
tahun karena Pakubuwana VII tidak memiliki putra
mahkota. Ia sendiri adalah raja
keturunan Mataram pertama yang tidak
melakukan poligami. Pemerintahannya berjalan selama
tiga tahun hingga akhir hayatnya
16. Raden Mas Duksino
Pakubuwana IX naik takhta menggantikan Pakubuwana
VIII (paman ayahnya) pada tanggal 30 Desember 1861.
Pemerintahannya ini banyak dilukiskan
oleh Ronggowarsito dalam karya-karya sastranya, misalnya
dalam Serat Kalatida
17. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan
suasana politik kerajaan yang stabil. Pada masa pemerintahannya
yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari
kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan
politik di Hindia-Belanda.
18. Gambar Matahari di sebelah kanan – melambangkan putra dari Paku
Buwono I yang bernama R.M. Gusti Suryo
Gambar Bulan di sebelah kiri – melambangkan putra dari Paku
Buwono I yang bernama R.M. Sasongko
Gambar di sebelah atas – melambangkan putra dari Paku Buwono I
yang bernama R.M. Gusti Sudomo
Gambar Bola dunia sebelah bawah yang terdapat paku pada kutup
atas (GPH, Broto, 1980 : 18) – melambangkan raja Kasunanan yang
bergelar Paku Buwono.
19. Raden Mas Antasena
Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan
dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami
pergantian pemerintah penjajahan dari
tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942.
Pihak Jepang menyebut Surakarta dengan nama Solo Koo.Ia
digantikan Pakubuwana XII
20. Raden Mas Suryaguritna
Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan
lahirnya Republik Indonesia. Belanda yang tidak merelakan
kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan
kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah
keYogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda
Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara
otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi.
Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan
berani menculik Pakubuwana XII sebagai bentuk protes terhadap
pemerintah Indonesia
Pakubuwana XII meninggal dunia pada tanggal 11 Juni 2004
Sepeninggalnya terjadi perebutan takhta antara Pangeran
Hangabehi dangan Pangeran
21. Juli 2009 diselenggarakan upacara di keraton untuk merayakan pengangkatan
tahta dengan iringan Tari Bedhaya Ketawang yang biasanya hanya ditampilkan
khusus pada acara ini saja
Namun saat ini konflik dua Raja Kembar telah usai setelah Pangeran
Tejowulan melemparkan tahta Pakubuwana kepada kakaknya yakni Pangeran
Hangabehi dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang di prakarsai oleh Pemerintah
Kota Surakarta bersama DPR-RI, dan Pangeran Tejowulan sendiri menjadi
mahapatih (pepatih dalem) dengan gelar KGPHPA (Kanjeng Gusti Pangeran
Haryo Panembahan Agung)
23. Materi yang akan di sajikan tentang
aspek Geografi
Asepek Aspek
Geografi Hidrogeologi
Iklim dan
Kependudukan
Topografi
24. Geografi
Surakarta, juga disebut Solo atau Sala, adalah kota yang
terletak di provinsi Jawa Tengah, Indonesia yang
berpenduduk 503.421 jiwa (2010) dan kepadatan
penduduk 13.636/km2. Kota dengan luas 44 km2 ini
berbatasan
dengan KabupatenKaranganyar dan KabupatenBoyolali di
sebelahutara,
KabupatenKaranganyar dan KabupatenSukoharjo di
sebelah timur dan barat, dan KabupatenSukoharjo di
sebelah selatan. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang
terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan
Solo. Bersama dengan Yogyakarta, Solo merupakan
pewaris KerajaanMataram yang dipecah
padatahun 1755.
25. Aspek Hidrogeologi
Surakarta terletak di dataran rendah di ketinggian 105 m
dpldan di pusatkota 95 m dpl, denganluas 44,1 km2 (0,14 %
luasJawa Tengah). Surakarta berada sekitar 65 km timur
laut Yogyakarta dan 100 km tenggara Semarang serta dikelilingi
oleh GunungMerbabu dan Merapi (tinggi 3115m) di bagian
barat, dan GunungLawu (tinggi 2806m) di bagian timur. Agak
jauh di selatan terbentang PegununganSewu. Tanah di sekitar
kota ini subur karena dikelilingi oleh Bengawan Solo, sungai
terpanjang di Jawa, serta dilewati oleh Kali Anyar, Kali Pepe,
dan Kali Jenes. Mata air bersumber dari lereng gunung Merapi,
yang keseluruhannya berjumlah 19 lokasi, dengan kapasitas
3.404 l/detik. Ketinggian rata-rata mata air adalah 800-1.200
m dpl.Padatahun 1890 – 1827 hanyaada 12 sumur di
Surakarta.Saat ini pengambilan air bawah tanah berkisar
sekitar 45 l/detik yang berlokasi di 23 titik.Pengambilan air
tanah dilakukan oleh industry dan masyarakat, umumnya illegal
dan tidak terkontrol
31. Struktur Masyarakat
Banyak ahli antara lain Burger, Wertheim, Larson, Kuntowijoyo, Sartono
Kartodirdjo, Houben dan sebagainya yang telah membahas tentang
stratifikasi sosial masyarakat Jawa, khususnya Surakarta. Stratifikasi sosial
atau pelapisan masyarakat di Surakarta sangat bertalian dengan
kedudukan keraton di dalam struktur sosial di Jawa. Struktur masyarakat di
Surakarta memiliki dua anutan yaitu struktur masyarakat tradisional
kerajaan dan struktur masyarakat yang dibangun oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Menurut F.A. Sutjipto lapisan atas atau merupakan kelas elite, priyayi luhur,
atau wong gede, merupakan kelas yang memerintah. Di strata ini ada raja
dan para bangsawan serta pejabat kerajaan. Sebenarnya bila dilihat dalam
sistem kategorisasi, kelompok atau golongan ini merupakan kelompok
campuran priyayi yang berasal dari darah dalem dengan priyayi yang
karena pangkat atau pengabdian. Adapaun lapisan bawah atau rakyat
biasa, rakyat kecil atau wong cilik merupakan mayoritas penduduk kelas
yang diperintah, baik penduduk kota maupun yang berada di pedesaan.
Mereka adalah para pekerja yang tidak terdidik atau sedikit mendapat
latihan kerja di perusahaan kecil. Rakyat kecil ini biasanya bekerja sebagai
petani, buruh tani, buruh perkebunan dan pabrik serta tukang, perajin dan
lainnya
32. Struktur Masyarakat
Dampak perkembangan pendidikan dan pengajaran, menurut Sartono,
menumbuhkan golongan sosial baru yang mempunyai fungsi status baru,
sesuai dengan diferensiasi dan spesialisasi dalam bidang sosial ekonomi
dan pemerintahan. Lebih lanjut Sartono Kartodirdjo membagi masyarakat
Hindia Belanda dalam beberapa kelompok sosial, yaitu: 1) elite birokrasi
yang terdiri dari Pangreh Praja Eropa (Europees Binnenlands Bestuur) dan
Pangreh Praja Pribumi, 2) Priyayi birokrasi termasuk Priyayi ningrat, 3)
Priyayi profesional, 4) golongan Belanda dan golongan Indo yang secara
formal masuk status Eropa dan mempunyai tendensi kuat untuk
mengidentifikasikan diri dengan pihak Eropa, dan 5) orang kecil (wong cilik)
yang tinggal di kampong
Struktur sosial tradisional menempatkan raja dan priyayi sebagai kelas
penguasa sedangkan rakyat biasa yang terdiri dari petani, pedagang
sebagai kelas yang diperintah
Raden Adipati Sosrodiningrat rijksbestuurder
Surakarta bersama para nayaka tahun 1900
33. Struktur Masyarakat
Dua golongan sosial yaitu priyayi dan wong cilik menempati wadah
budaya yang berbeda yang ditunjukkan oleh struktur apanage. Di
satu pihak, priyayi dengan gaya hidupnya, kebiasaan, makanan,
dan pakaian, serta simbol-simbolnya menunjukkan gaya aristokrat.
Keadaan semacam ini menjadi pola ideal bagi priyayi, bahkan
Dezentje, penyewa tanah asing yang luas meniru gaya hidup
bangsawan Jawa. Di lain pihak bagi wong cilik, lingkungan
pedesaan banyak mempengaruhi tingkah laku mereka. Kebiasaan
polos, terbuka, dan kasar merupakan bentuk budaya pedesaan.
Masyarakat desa di Surakarta sebagai
penjual arang dan pengrajin anyaman
pandan tahun 1920
34.
35. Pendidikan Sekolah di
Surakarta
Sekolah-sekolah negeri berbahasa daerah
Sekolah-sekolah neutral berbahasa Belanda
Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending
Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Missie
Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Muhammadiyah
Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Budi Utomo
Sekolah-sekolah yang dikelola oleh pihak Kerajaan
36. Acara Malam Satu
Suro
Simbolisme
Upacara Perkawinan
Adat
Keraton Surakarta
37. Acara Malam Satu Suro
Abdi dalem Keraton mengikuti acara "Wilujengan Adeging Nagari
Surakarta Hadiningrat" di Sasana Handrawina, Keraton Surakarta
Hadiningrat, Solo, Jateng. Wilujengan yang berisi rangkaian acara
Slametan Kenduren merupakan acara tahunan sebagai peringatan
berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat ke-265.
42. Materi ekonomi dalam sudut
pandang geografi
Jumlah Penduduk di Karesidenan Surakarta
dan Kadipaten Mangkunegaran Tahun 1920
dan Tahun 1930
Jumlah Penduduk Yang Tinggal di Kota Tahun
1930
Jumlah Penduduk di Karesidenan Surakarta
dan Kadipaten Mangkunegaran Menurut Suku
Bangsa Tahun 1930
Jumlah Anak Usia 6-13 Tahun Yang
Memerlukan Sekolah dan Yang Telah
Bersekolah di Hindia Belanda
Perekonomian dari berbagai aspek
43. JUMLAH PENDUDUK DI KARESIDENAN SURAKARTA DAN KADIPATEN
MANGKUNEGARAN TAHUN 1920 DAN TAHUN 1930
Sumber: Diolah dari Bab Pangetaning Cacah Jiwa Bawah Dalem Surakarta serta Bawah
Mangkunegaran Taun 1930, Koleksi Arsip Sana Pustaka Kraton Surakarta No. 19500 (166 Ca).
44. Jumlah Penduduk Yang Tinggal di Kota Tahun 1930
Sumber: Diolah dari Bab Pangetaning Cacah Jiwa Bawah Dalem Surakarta serta Bawah
Mangkunegaran Taun 1930, Koleksi Arsip Sana Pustaka Kraton Surakarta No. 19500 (166 Ca).
45. Jumlah Penduduk di Karesidenan Surakarta dan
Kadipaten Mangkunegaran Menurut Suku Bangsa Tahun
1930
Sumber: Diolah dari Bab Pangetaning Cacah Jiwa Bawah Dalem Surakarta serta
Bawah Mangkunegaran Taun 1930, Koleksi Arsip Sana Pustaka Kraton Surakarta No.
19500 (166 Ca).
46. Jumlah Anak Usia 6-13 Tahun Yang Memerlukan
Sekolah dan Yang Telah Bersekolah di Hindia Belanda
Sumber: Hollandsche Inlandsche Onderwijs Commissie, Publicatie
No. 7a, hal. 11, dalam Pitut Soeharto, A. Zainoel Ihsan, Belenggu
Ganas, Kapita Selecta Kelima, (Jakarta: Aksara Jayasakti, 1982),
hal. 186.
47. Jikalau dilihat dari keseluruhan tentang
perekonomian di kota solo. Kita bisa melihat
dari perkembangan aspek perekonomian
seperti bagan berikut:
48. Sejak zaman sebelum dan sesudah kerajaan Mataram serta
zaman kolonial Belanda, aktifitas perdagangan sudah
tumbuh. Perdagangan yang dilakukan oleh para pedagang
baik itu yang berasal dari daerah kota Surakarta maupun
dari luar kota banyak dilakukan di sepanjang aliran sungai
Bengawan solo, dimana di sepanjang sungai ini banyak
terdapat tempat-tempat perdagangan. Ada juga sungai-
sungai lain yang digunakan sebagai sarana perdagangan,
misalnya kali Pepe, kali Wingko, kali Laweyan dan
sebagainya. Jenis-jenis barang dagangan yang
diperdagangkan juga sangat beragam, yang mencakup
barang-barang kebutuhan sehari-hari.
49. Perekonomian keraton surakarta
surakarta dengan letaknya yang strategis tumbuh
berkembang menjadi pusat perekonomian dan
perdagangan bagi provinsi jawa tengah khususnya
kawasan SUBOSUKAWONOSRATEN ( Surakarta,
boyolali, sukoharjo, wonogiri, sragen dan klaten).
Keraton Surakarta memperoleh hasil perekonomian
yaitu dari hasil banyaknya pengunjung lokal
maupun mancanegara yang mengunjungi tempat
pariwisata dan edukasi yang ada di solo tersebut.
dan hasil perekonomiannya juga bersifat dinamis.
Dinamis disini jadi pendapatan keraton itu kadang
naik dan kadang menurun. Faktor ini disebabkan
karena banyaknya jumlah pengunjung yang
datang.
50. PEREKONOMIAN SOLO
Perekonomian solo berkembang pesat dalam bidang
perdagangan dan industri batik. Industri batik menjadi
salah satu industri khas Solo. Sentra kerajinan batik dan
perdagangan batik antara lain di Laweyan dan Kauman.
Dan banyaknya pasar-pasar tradisional yang menjadi aset
pendapatan kota solo diantaranya adalah :
Pasar klewer
Pasar gedhe
Pasar legi
Pasar kembang
Pusat bisnis kota Solo terletak di sepanjang jalan Slamet
Riyadi. Beberapa bank, hotel, pusat perbelanjaan,
restoran internasional, hingga tujuan wisata dan hiburan
terletak di sepanjang jalan protokol ini
51. Kesimpulan
• Jadi Pentingnya, meliputi keselurahan
suatu objek secara merinci agar kita
mengetahui lebih detail hasil peninggalan
leluhur dan menjadi sebuah pelajaran
untuk kedepannya.
52. Saran
Hargailah penginggalan sejarah sekecil
apapun karena sejarah itu adalah cerita
penting dari zaman dahulu untuk kita
ketahui kedepannya dan perlu kita
kembangkan dan budayakan.