Makalah ini membahas hubungan antara kebijakan pembangunan infrastruktur Gubernur Riau dengan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII di provinsi tersebut. Makalah menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur di Riau didasarkan pada kebijakan Kemiskinan, Kebodohan, dan Infrastruktur (K2I), namun pelaksanaan PON XVIII justru memfasilitasi 'kapitalisasi infrastruktur
1. EVALUASI MAKALAH
MATA KULIAH SPD
PEKAN OLAH RAGA NASIONAL RIAU
DAN KAPITALISASI INFRASTRUKTUR:
PERSPEKTIF OPINI PUBLIK
OLEH
GLADILA ESTELERIA SUKOCO
NP. 102011960031
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2014
2. 2
DAFTAR ISI
Halaman
PENGANTAR
ABSTRAK 3
I. PENDAHULUAN 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 6
III. KEBIJAKAN INFRASTRUKTUR, PON RIAU
DAN OPINI PUBLIK
A. Kapitalisasi Infrastrkutur 7
B. PON Riau dan Produk Opini 8
IV. KESIMPULAN 9
V. DAFTAR BACAAN 10
3. 3
ABSTRAK
Penulisan makalah ini dilaterbelakangi oleh Opini Publik yang menguat jika
terdapat hubungan antara Pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII
di Riau dengan kebijakan pembangunan infrastruktur Gubernur Riau. Implikasi
tehadap hubungan tersebut tampak dengan mencuatnya pelbagai kasus korupsi
yang terkait langsung dengan penyediaan pembangunan infrastuktur perhelatan
kegiatan itu. Sehingga secara simultan memunculkan Opini Publik di Riau jika
perhelatan PON sebagai ‘modus operandi’ ladang perburuan rente ekonomi.
Opini Publik menyebut modus tersebut dengan Kapitalisasi Infrastruktur.
Berdasarkan pada latarbelakang itu, makalah ini bertujuan untuk (i)
Mengidentifikasi dan menganalisis keterkaitan kebijakan pembangunan
infrastruktur dengan pelaksanaan PON XVIII di Provinsi Riau. (ii). Menganalisis
dan menjelaskan hubungan kebijakan pembangunan infrastruktur dengan
pelaksanaan PON XVIII di Provinsi Riau. Untuk membantu menjelaskan dan
menjawab tujuan tersebut digunakan pendekatan Komunukasi Politik dan Opini
Publik. Hasil penelaahan makalah ini menunjukkan bahwa (i) Menguaknya kasus
korupsi terkait pembangunan infrastruktur bagi publik menunjukkan terdapat
hubungan signifikan pelaksanaan PON XVIII di Riau dengan kebijakan
Kemiskinan Kebodohan dan Infrastruktur (K2I). (ii) Menunjukkan jika
pelaksanaan PON XVIII menjadi penting (by desain) menggunakan APBD Riau
yang besar (Rp 4,5 trilyun lebih) sebagai bagian dari perburuan rente ekonomi
yang oleh publik disebut dengan istilah Kapitalisasi Infrastruktur.
Keywords: Kapitalisasi Infrastuktur, PON Riau dan Opini Publik
I. PENDAHULUAN
4. 4
Hubungan pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional XVIII dengan Opini Publik
yang menguat dengan kebijakan pembangunan infrastruktur Gubernur Riau tidak
dapat dinafikan. Seberapa besar implikasinya terhadap realitas pada hubungan
tersebut tampak sejalan mencuatnya pelbagai kasus korupsi yang menimpa
beberapa orang anggota DPRD Riau, mantan Kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudyaan beserta beberapa stafnya dan pegawai kontraktor besar PT
Pembangunan Perumahan. Hal ini terkait langsung dengan penyediaan
pembangunan infrastuktur perhelatan kegiatan itu. Sehingga secara bersamaan
memunculkan Opini Publik di Riau jika perhelatan PON sebagai pintu masuk bagi
adanya dugaan ladang korupsi melalui APBD Riau.
Opini Publik terkait dengan kelayakan Riau sebagai tuan rumah PON XVIII
menyisakan perdebatan terhadap urgensinya. Pilihan menjadi tuan rumah dengan
membangun pelbagai infrastruktur pendukung PON melalui APBD atau
digunakan untuk pembangunan lainnya, seperti mendukung sarana pendidikan dan
pembangunan ketertinggalan di kawasan pinggiran Riau merupakan perdebatan
yang tiada henti.
Meski perdebatan itu tetap berjalan, namun logika yang dibangun pemerintah
provinsi Riau menciptakan keyakinan jika PON adalah bagian penting bagi
mendukung infrastruktur. Apalagi yang didengung-dengungkan bahwa semua
pembangunan infrastruktur fisik akan menggunakan dana pemerintah pusat.
Namun nyatanya anggaran PON yang menghabiskan hampir Rp 4,5 trilyun
sebagian besar diambil dari APBD Riau. Dan dari sini pula bencana terkait
dengan pembangunan infrastruktur menyebabkan anggota DPRD Riau dan
Pemerintah Provinsi Riau terlibat kasus korupsi.
Berdasarkan pada realita tersebut tak dapat dipungkiri jika Opini Publik yang
mengemuka terkait dengan pelaksanaan PON di Riau menjadi pilihan yang sulit.
Penyesalan penyelenggaraan dengan dampak korupsi yang terjadi tidak
menunjukkan keuntungan memadahi. Oleh karena itu tidak heran jika
menimbulkan Opini Publik bahwa penyelenggaraan PON adalah pintu masuk
melakukan korupsi APDB Riau.
Berdasarkan pada penjelasan tersebut mendasari terhadap tujuan penulisan
makalah ini yakni (i). Mengidentifikasi dan menganalisis hubungan antara
kebijakan pembangunan infrastuktur dengan pelaksanaan PON di Provinsi Riau?
(ii) Menganalisis dan menjelaskan hubungan kebijakan pembangunan
infrastruktur dengan pelaksanaan PON di Provinsi Riau.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi adalah bagian penting dari proses interaksi dalam antara manusia. Ini
dilandasi sebuah hukum sosial yang sudah aksiomatis mengingat manusia adalah
mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri (sosial). Aktivitas berpolitik adalah
merupakan bagian sangat penting yang diperlukan berdasarkan sebuah
komunikasi khususnya dalam pemerintahan yang umum dikenal dengan
komunikasi politik.
5. 5
Dalam hubungan ini, Komunikasi Politik diibaratkan sebagai sirkulasi daerah
yang ada dalam tubuh. Bukan rahasia lagi, tetapi apa yang terkandung dalam
darah itu yang menjadikan sistem politik itu hidup (Alfian 1993). Komunikasi
politik mengalirkan pesan politik berupa tuntutan, protes dan dukungan (aspirasi
dan kepentingan) ke jantung (pusat) peremroses sistem politik dan hasil
pemeroses itu dialirkan kembali oleh komunikasi politik.
Komunikasi politik sebagai segala komunikasi yag terjadi dalam suatu sistem
politik dan antara sistem tersebut dengan lingkar (Dahlan 1999). Menurut Dahlan
(1999) komunikasi adalah unsur esensial dalam demokrasi. Batasan demokrasi
banyak ditentukan oleh komunikasi. Komuniasi menentukan watak dan mutu
demokrasi pada sutau masyarakat.
Sementara itu Bachtiar Aly (2010) menyebut komunikasi politik sebagai proses
penyampaian pesan politik dari elite politik kepada masyarakat secara timbal balik
agar pesan politik yang disampaikan memperoleh respon yang diharapkan seperti
terjadinya proses dan tanggunggugat (akutanbilitas).
Menurut Suryadi (19993), dalam komunikasi politik terjadi pola hubungan
memberi dan menerima yang berarti bagaimana elite politik menggunakan
kekuasaannya kepada masyarakat dan bagaimana masyarakat itu menanggapi
serta menerima keinginan elite politik yang juga sebaliknya. Pola hubungan
seperti ini, tergantung pada ideologi yang melandasi sistem politik negara
bersangkutan. Jika ideologinya demokratis, maka komunikasinya akan
demokrastis pula.
Dalam konteks pengertian tersebut terpenting bahwa salah satu tujuan komunikasi
politik adalah pembentukan pendapat umum (Opini Publik). Dengan meminjam
formula Lasswell, siapa mengatakan apa melalui saluran mana kepada siapa
dengan efek apa. Di sini dapat terlihat hubungan antara komunikasi politik dan
opini publik. Elemen siapa adalah mewakili komunikator politik, sementara
(mengatakan apa) adalah mengandung pesan politik yang mau disampaikan dan
memakai simbol-simbol politik. Sementara, dengan (saluran apa) adalah media
yang salah satunya media massa, kepada (kepada siapa) adalah berisi khalayak
atau publik dan yang terakhir adalah (akibat apa) yang berisi dampak dari
komunikasi politik itu sendiri yang berupa opini publik. Selanjutnya dampak dari
opini publik akan mempengaruhi pada sosialisasi dan partisipasi politik
masyarakat, pemberian suara dan kebijakan pejabat dalam mengambil keputusan
Salah satunya saluran yang paling ampuh dalam membentuk opini publik lewat
komunikasi politik adalah media massa atau lebih khususnya adalah televisi.
Karena dengan opini publik sebenarnya mempunyai kekuatan dalam mengubah
sistem politik yang ada yaitu dengan upaya membangunkan sikap dan tindakan
khalayak mengenai sebuah masalah politik dan/atau aktor politik. Dalam kerangka
ini, media menyampaikan pembicaraan-pembicaraan politik kepada khalayak.
Bentuk pembicaraan politik tersebut dalam media antara lain berupa teks atau
berita politik yang lagi-lagi di dalamnya terdapat pilihan simbol politik dan fakta
politik.
Dari penjabaran di atas dapat dilihat bahwa relasi antara komunikasi politik
dengan opini publik erat kaitannya dan saling mempengaruhi satu sama lain.
6. 6
Karena dalam keilmuan, komunikasi politik sangat berperan dalam pembentukan
sebuah opini publik. Opini publik adalah hasil dari kegiatan komunikasi politik itu
sendiri. Dalam komunikasi politik yang dilakukan pemerintah akan berakibat pada
opini publik yang berkembang di masyarakat terkait pada komunikasi politik yang
telah dijalankan oleh pemerintah. Dan opini publik yang berkembang di
masyarakat akan mempengaruhi pula strategi penggunaan komunikasi politik oleh
komunikator politik itu sendiri.
Belajar memahami realitas hubungan komunikasi politik dan opini publik
menunjukkan jika pelaksanaan PON Riau yang merupakan kebijakan pemerintah
adalah bagian penting dari pelaksanaan kebiajakan pembanngunan infrastruktur.
Oleh karena itu kebiajakan ini perlu didukung denngan menggunakan PON XVIII
di Riau sebagai basis aktivitasnya. Namun kasus korupsi yang muncul
menyisakan tanda tanya yang kemudian terciptanya Opini Publik negatif bagi
keberlangsungan PON itu sendiri apa benar semata-mata untuk pembangunan
infrastruktur.
III. KEBIAJAKAN INFRASTRUKTUR,
PON RIAU DAN OPINI PUBLIK
A. PON Riau dan Kapitalisasi Infrastuktur
Berdasarkan pada pelbagai penjelasan sebelumnya utamanya untuk memperjelas
terhadap tujuan penulisan makalah ini terkait dengan keterhubungan (saling
terkait) antara pelaksanaan PON XVIII di Riau denngan kebnijakan Gubernur
Riau tentang infrastruktur menjadi penting dicermati. Sebagaimana diketahui
bahwa pembangunan infrastruktur di Provinsi Riau adalah berbasiskan
kebiajakan Pemerintah Provinsi Riau melalau Kemiskinan, kebodohan dan
Infrastruktur (K2I).
Refleksitas dan kontinuitas pembangunan tersebut merupakan bagian penting dari
snerio kebijakan K2I yang diterapkan oleh pemerntah Provinsi Riau yang tidak
dapat dielakkan. Namun dalam konteks ini, anggaran multiyars yang digunakan
melalui APBD Riau lebih mendukung pembangunan infrastruktur yang hanya
berbasis kapital (tidak kontekstual) dan sikron. Orientasi pembangunan
infrastruktur lebih diprioritaskan dan mengarah pada dukungan proyek yang tidak
berbasis populis (kemiskinan dan kebodohan) itu sendiri.
Oleh karenanya urgensi sementara terhadap pembangunan infrastruktur melalui
perhelatan PON XVIII di Riau dinilai hanya melegitimasi dan menjustifikasi atau
mempercepat berlangsungnya proses kapitalisasi pembangunan infrstutkur. Dalam
konteks ini kapitalisasi dimaknai dengan upaya menggunakan kekuasaan untuk
memperbanyak (menumpuk atau mengakumulasi) modal atas nama pembangunan
infrastruktur yang mana PON Riau XVIII sebagai basis legitimasinya.
7. 7
Menjadi catatan penting bahwa upaya kapitaliasi pembangunan infrastruktur
diawali atas nama penggunanan anggaran penyelenggaraan pembangunan
infrastruktur. Sehingga anggarannya memiliki hubungan dengan APBD yang
berbasis pembangunan fisik melalui skema Tahun Jamak (multiyear) yang sangat
mudah ‘diselingkuhi’. Namun, betapa mirisnya jika ia (sumber anggaran itu),
akan menjadi persoalan manakala menjadi titik tolak kapitalisasi pembangunan
infrastruktur yang dipraktikan oleh pengambil kebijakan dalam penyelingkuhan
APDB. Oleh karenanya secara filosofis kompenasaisnya tanpa sadar adalah sikap
pragmatisme pengambil kebijakan. Secara logika bahwa pragmatisme ini akan
menghasilkan pelbagai produk kebijakan yang pro pada kapital (pemilik modal).
Padahal sesungguhnya K2I (kebodohan kemiskinan dan infrastruktur) perlu
menjadi perhatian agar tidak mencelakai pemaknaan dan latarbelakang yang
mendasari perlunya kebijakan tersebut dibuau: sebagai pemberatasan kemiskinan
dan kebodohan. Artinya pelbagai pembangunan fisik (infrastruktur) yang menjadi
basis hendaknya disejalankan dengan pasangannya, kemiskinan dan kebodohan
bukan sebaliknya, Kapitalisasi Infrastruktur. Sebab pembangunan infrstruktur
adalah titik tolak bagi terintegrasinya antara pembangunan sarana fisik, sarana
yang mendukung kebobdohan dan kemiskinan.
Dalam konteks ini menjadi wajar apabila pembangunan infrstruktur menjadi
prioritas, meski terjadi pergeseran orientasi. Oleh karena itu tidak salah jika
pembangunan fisik yang memerlukan modal besar menjadi utama. Ini misalnya
pembangunan pelbagai infrastruktur yang mendukung Pekan Olahraga Nasional
dan langsunng yang berkaitan dengan fisik yang memerlukan anggaran besar.
B. PON Riau, Korupsi dan Opini Publik
Pada konteks menelaah terkait hubungan antara PON Riau XVIII dengan
kebijakan Gubernur Riau tentang pembangunan infrastruktur menujukkan relasi
yang kausalitas atau saling berkaitan. Oleh karena itu pada tindak lanjutnya yang
perlu dicermati adalah: Bagaimana hubungan itu dipraktikkan?
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya jika Opini Publik yang mengemuka
terkait pelaksanaan PON Riau XVIII berhubungan positif dengan kasus korupsi.
Keadaan ini menjadi basis argumentasi bagi membuktikan jika perhelatan empat
tahunan tersebut adalah bagian dari skenario (modus) menjebol anggaran negara
di pusat dan daerah. Terbongkarnya kasus korupsi melalui tangkap tangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap beberapa anggota DPRD dan
aparat Pemerintah Riau adalah bukti nyata yang sangat mustahil untuk disangkal.
Dapat difahami selama ini jika Opini Publik yang mengemuka itu hanya manjdi
isapan jempol belaka. Sebab, tidak pernah dapat dibuktikan. Sementara peristiwa
tangkap tangan KPK menjadi penting sebagai pembuka terhadap Kotak Pandora
korupsi di Riau.
Berdasarkan laporan Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran (FITRA)
sudah lebih Rp4,6 triliun anggaran daerah dan negara yang terkuras untuk
berbagai proyek fasilitas PON XVIII di Riau. (Skalanews, Kamis, 16 Agustus
8. 8
2012). Sementara, Keputusan MENDAGRI untuk mencairkan dana PON
melalui Peraturan Daerah (PERDA) yang sudah kadarluarsa, nyatanya Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau yang tetap diperbolehkan merevisi
PERDA No 7 Tahun 2007 adalah indikasi penting bagi membuktikan isi kotak
Pandora yang mulai terkuak satu-persatu.
Secara legalitas seharusnya anggaran Rp4,6 triliun yang berasal dari APBD untuk
PON tersebut menjadi catatan penting Menteri Dalam Negeri (MENDAGRI)
berpikir lebih rasionalistis agar tidak lagi terjadi praktik suap untuk pengesahan
PERDA No 6 Tahun 2010. Mengapa Pemerintah Pusat tidak memberikan sanksi
kepada pemerintah daerah? Inilah pertanyaan kritis bagian dari Opini Publik yang
mengemuka khusus dalam konteks pemberitaan media di Riau dan Pusat.
Padahal jika dibandingkan dengan anggaran lainnya secara kumulatif pada tahun
2012 menurut ABPD murni, untuk alokasi pendidikan di Dinas Pendidikan dan
Perpustakaan hanya 6,7 persen. Kesehatan hanya 5,6 persen. Seharusnya untuk
pendidikan minimum adalah 20 persen dari APBD, dan kesehatan minimum 15
persen dari APBD.
Sementara pada konteks lainnya, dalam hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang
digelar oleh Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dengan Ketua KONI
Pusat pada 10 Juli 2012 lalu saat sejumlah petinggi negara datang ke Pekanbaru
terjadi kejanggalan. Menteri Pemuda dan Olahraga (MENPORA), Andi
Malarangeng mengatakan, dana yang dikucurkan Pemerintah Pusat untuk
penyelenggaraan PON XVIII Riau adalah Rp100 miliar. Namun dalam hasil RDP
yang ditandatangani oleh Ketua Komite III DPD RI, Hardi Selamat Hood, jumlah
dana yang dianggarkan untuk PON XVIII Riau di APBN 2012 adalah Rp850
miliar. Kemudian lebih mengagetkan lagi, Rencana Anggaran Biaya PB PON
XVIII Riau Tahun 2012 mencapai Rp983,2 miliar. Estimasi perolehan dana dari
sponsorship Rp150 miliar. Tapi secara keseluruhan, di RDP itu, dikatakan bahwa
kebutuhan biaya pembangunan sarana dan prasarana serta penyelanggaraan PON
XVIII Riau Rp3,1 triliun.
Mencermati pada ekspose mendia membuktikan bahwa Opini Publik benar jika
PON adalah pintu masuk para koruptor untuk menyelingkuhi uang negara.
Berdasarkan kebijakan PON jika PERDA No5 Tahun 2008 tentang, Anggaran
Pembangunan Main Stadium PON adalah Rp900 miliar. Sementara PERDA No 6
Tahun 2010 tentang, Anggaran Pembangunan Venues PON adalah Rp383, 2
miliar, dan PERDA No 7 Tahun 2010 tentang, Anggaran Infrastruktur Penunjang
PON Rp787,4 miliar. Jadi kalau ditotal semua besarannya adalah Rp2,07 triliun.
Pertanyaan media yang dapat membangun Opini Publik adalah, lalu sisanya di
mana? Berdasarkan hitung-hitungan tersebut, lebih dari Rp 1 triliun anggaran
yang tersisa?
Menindaklanjuti hasil hitungan tersebut adalah menjadi pembenar terhadap Opini
Publik yang berkembang jika para pejabat tidak hanya daerah (pemerintah
provinsi dan kontraktor), melainkan juga pejabat pusat. Terkait pejabat pusat
dalam pelbagai sidang cuku gelar perkara di pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pekanbaru menunjukkan sebuah fakta bahwa perhelatan PON XVIII Riau adalah
tanggu rente terhadap tindak pidana korupsi.
9. 9
Oleh karena itu menjadi pentinng menilik balik perpanjangan pencekalan
Gubernur Riau ke luar negeri sebagai bukti masih terus berlanjutnya kasus-kasus
korupsi terkait penggunaan anggaran PON XVIII di Riau. Ini juga sebagai
indikator penting bagi menjawab bagaimana anggaran itu digunakan yang
jsutifikasinya adalah sebuah perhelatan rutin dan seremornial yang berlangsung 4
tahun sekali menjadi bancakan korupsi. Ternya penting atau tidaknya Riau
menjadi tuan rumah dan implikasi positif terhadap keberadaan infrastruktur yang
didengang-dengungkan disayangkan akibat tertindih kasus korupsi para
pemimpinan pejabat di negeri Lancang Kuning ini.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan pelbagai penjelasan di atas adapun kesimpulan dari makalah ini
adalah:
(i) Terkuaknya kasus korupsi terkait pembangunan infrastruktur bagi publik
menunjukkan adanya hubungan kausalitas dan signifikan terhadap pelaksanaan
PON XVIII di Riau dengan kebijakan Kemiskinan Kebodohan dan Infrastruktur
(K2I) pemerintah Provinsi Riau.
(ii) Tindak lanjut berlangsungnya Kapitalisasi Infrastruktur dinilai jika perhelatan
PON XVIII merupakan skenario (by desain) sebagai jalan (bancakan) perburuan
rente dari Rp 4,5 triliun APDB Riau. Yang sesungguhnya perburuan tersebut
menghasilkan Kapitalisasi Infrastruktur yang tidak memiliki rel;evansi langsung
dengan Kemiskinan dan Kebodohan.
10. 10
V. DAFTAR BACAAN
Anwar Arifin. 2003. Komunikasi Politik. Jakarta: Balai Pustaka
Akhmad Danial. 2009, Iklan Politik TV ; Modernisasi Kampanye Politik Model
Baru. Yogyakarta : LKiS.
Bahtiar Aly. 2006. Imu Komunikasi suatu pengantar ringkas. Jakarta: Rajawali
Pers.
Effendi Gazali. 2004, Interaksi Politik dan Media. Yogyakarta : Jurnal Ilmu Sosial
Ilmu Politik JSP UGM.
M. Alwi Dahlan. 1999. Teknologi Informasi dan Demokrasi. Jurnal IKSI No.4
Oktober
Nimmo, Dan. 1989. Komunikasi Politik. Tejm.Tjun Surjaman. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.
Suryadi Harsono. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media. Jakarta: Granit.
Marwan Jaafar. 2007. Infrastruktur Pro Rakyat Strategi Investasi Infrastutkur
Indonesia Abad 21. Jokjakarta: Pustaka Tokoh Bangsa.
Peraturan Daerah Provinsi Riau No.1 Tahun 2004 Tentang Rencana Strategis
(RENTRA) Provinsi Riau Tahun 2004-2008.
Peraturan Daerah Provinsi Riau No2 Tahun 2006. Tentang Pengikatan Dana
Anggaran Kegiatan Tahun Jamak.