Dokumen tersebut merangkum pengertian membaca, keterbacaan, dan formula keterbacaan Fry. Membaca adalah proses memahami pola bahasa dari gambaran tertulis. Keterbacaan adalah ukuran sesuai tidaknya bacaan bagi pembaca. Formula Fry menggunakan dua faktor utama yaitu panjang kalimat dan jumlah suku kata untuk menentukan tingkat kesulitan bacaan.
MODUL AJAR SENI RUPA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Tugas tik 5
1. i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. Shalawat dan
salam semoga selalu terlimpahkan kepada uswatun hasanah kita, Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam, dan segenap pengikutnya hingga akhir kelak. Tak lupa
pula kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Roy Efendi S.pd selaku dosen kami.
Dalam memenuhi tugas dari mata kuliah Pengembangan Keterampilan
Membaca, kami telah berhasil membuat Laporan ini, yang dimana dalam Laporan ini
bertujuan untuk memaparkan kegiatan pelatihan kami mengenai keterbacaan.
Laporan ini telah kami usahakan sesuai dengan sumber yang ada, namun
demikian kekurangan dan kekhilafan tentu masih ada, karena itu kepada para pembaca
yang memberikan tegur sapa atau saran-saran demi kesempurnaan Laporan ini sangat
kami hargai dan kami sampaikan terima kasih.
2. ii
Daftar Isi
Kata Pengantar ....................................................................................................................i
Daftar Isi .............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................1
A. Latar Belakang ........................................................................................................1
B. Tujuan .....................................................................................................................1
BAB II LANDASAN TEORI .............................................................................................2
A. Pengertian Membaca................................................................................................2
B. Pengertian Keterbacaan ..........................................................................................3
C. Formula Keterbacaan Fry dan Grafik Fry................................................................4
BAB III PEMBAHASAN ....................................................................................................8
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................12
3. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membaca merupakan sebuah kegiatan interaksi yang dilakukan antara penulis
dan pembaca. Dalam kehidupan bermasyarakat, bahan bacaan bisa berupa karya
ilmiah, majalah, surat kabar, novel atau yang lainnya tergantung tingkat
kemampuan seseorang. Kegiatan membaca harus sesuai dengan tingkat
kemampuan membaca karena keterbacaan seseorang merupakan ukuran tentang
sesuai atau tidaknya bacaan yang dibaca seorang pembaca. Banyak kasus
mengenai ketidak cocokan bahan bacaan bagi masyarakat. Bagi seorang calon
tenaga pengajar itu diwajibkan untuk memahami materi mengenai keterbacaan,
agar nantinya dalam proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik karena,
buku penunjangnya sesuai. Oleh karena itu, penulis telah melakukan penelitian
mengenai keterbacaan serta berusaha membahas hal-hal yang berkaitan dengan
keterbacaan menggunakan grafik fry sebagai pengukur keterbacaan.
B. Tujuan
1. Membantu mahasiswa dalam menentukan keterbacaan suatu artikel.
2. Memberi tahu mahasiswa bahwa metode keterbacaan merupakan suatu hal
yang harus diketahui bagi calon pengajar.
4. 2
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Membaca
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh
pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis
melalui media kata-kata/bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut agar
kelompok kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam suatu
pandangan sekilas dan makna kata-kata secara individual akan dapat
diketahui.kalau hal ini tidak terpenuhi, pesan yang tersurat dan yang tersirat
tidak akan tertangkap atau dipahami, dan proses membaca itu tidak terlaksan
dengan baik (Hodgson 1960 : 43-44).
Dari segi linguistik, membaca adalah suatu proses penyandingan kembali
dan pembacaan sandi (a recording and decoding prosess), berlainan dengan
berbicara dan menulis yang justru melibatkan penyandingan (encoding). Sebuah
aspek pembacaan sandi (decoding) adalah menghubungkan kata-kata tulis
(written word) dengan makna bahasa lisan (oral language meaning) yang
menakup pengubahan tulisan/etakan menjadi bunyi yang bermakna. (Anderson
1972 : 209-210 ).
Menyimak dan membaca berhubungan erat karena keduanya merupakan
alat untuk menerima komunikasi. Berbicara dan menulis berhubungan erat
karena keduanya merupakan alat untuk mengutarakan makna, mengemukakan
pendapat, mengekspresikan pesan. (anderson 1972:3)
Disamping pengertian atau batasan yang telah diutarakan di atas,
membaca pun dapat pula diartikan sebagai suatu metode yang kita pergunakan
untuk berkomunikasi dengan diri kita sendiri dan kadang-kadang dengan orang
lain – yaitu mengomunikasikan makna yang terkandung atau tersirat pada
lambang-lambang tertulis. Bahkan, ada pula beberapa penulis yang seolah-olah
beranggapan bahwa “membaca” adalah suatu kemampuan untuk melihat
lambang-lambang tertulis serta mengubah lambang-lambang tertulis tersebut
melalui fonik (phonis=suatu metode pengajaran membaca, ucapan, ejaan
5. 3
berdasarkan interpretasi fonetik terhadap ejaan biasa) menjadi/menuju membaca
lisan (oral reading). Membaca dapat pula dianggap sebagai suatu proses untuk
memahami yang tersirat dalam yang tersurat, melihat pikiran yang terkandung di
dalam kata-kata yang tertulis. Makna bacaan tidak terletak pada halaman tertulis,
tetapi berada pada pikiran pembaca.demikianlah, makna itu akan berubah karena
setiap pembaca memiliki pengalaman yang berbeda-beda yang dapat
dipergunakan sebagai alat untuk menginterpretasikan kata-kata tersebut
(Anderson 1972 : 211).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa reading adalah bringing meaning
to and getting meaning from printed or written material, memetik serta
memahami arti atau makna yang terkandung didalam bahan tertulis (Finochiaro
and Bonomo 1973 :119). Jelaslah bagi kita bahwa membaca adalah suatu poses
yang berrsangkut paut dengan bahasa.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembicaraan di atas adalah bahwa
“membaca ialah memahami pola-pola bahasa dari gambaran tertulisnya” (Lado
1976 : 132).
Tujuan utama dalam membaca adalah untuk mencari serta memperoleh
informasi, mencakup isi, memahami makna bacaan.
B. Pengertian Keterbacaan
Keterbacaan merupakan alih bahasa dari readability. bentuk readibility
merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar readable, artinya
‘dapat dibaca’1. Konfiks ke-an pada bentuk “keterbacaan” mengandung arti hal
yang bekenaan dengan apa yang disebut dalam bentuk dasarnya. Oleh karena
itu, “keterbacaan” dapat didefinisikan sebagai hal atau ikhwal terbaca tidaknya
suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Keterbacaan juga mempersoalkan
tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi
peringkat pembaca tertentu (finn, 1993; Basuki dan Martutik, 2003). Dalam hal
ini, keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu
1 Laksono, kisyani.etal.2007.Membaca 2. (Jakarta:Universitas Terbuka),hlm, 4.4 .
6. 4
bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan
wacananya.
Meskipun kajian tentang keterbacaan sudah berlangsung berabad-abad,
namun kemajuannya baru tampak setelah statistik mulai ramai digunakan.
Teknik statistik itu memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasikan faktor-
faktor keterbacaan yang penting untuk menyusun formula yang dapat
dipergunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Menurut Klare
(1963), kajian-kajian terdahulu menunjukan adanya keterkaitan dengan
keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289 faktor yang
mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor diantaranya dinyatakan signifikan
(Harjasujana dan Mulyati, 1997).
Pada penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang
berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni (a) panjang-pendeknya kalimat, dan
(b) tingkat kesulitan kata. Pada umumnya, semakin panjang kalimat dan semakin
panjang kata-kata maka bahan bacaan dimaksud semakin sukar. Sebaliknya,
apabila kalimat dan katanya pendek-pendek maka wacana dimaksud tergolong
wacana yang mudah. Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada kedua
patokan tersebut, misalnya formula keterbacaan yang dibuat Spache, Dale &
Chall, Gunning, Fry, Raygor, Flesh, Klos.
C. Formula Keterbacaan Fry atau Grafik Fry
Formula keterbacaan fry atau grafik fry diperkenalkan oleh Edward Fry.
Grafik keterbacaan yang diperkenalkan oleh fry ini merupakan formula yang
dianggap relatif baru dan mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah
journal of reading. Grafik yang asli dibuat pada tahun 1968.
Formula grafik fry mendasarkan keterbacaannya pada dua faktor utama,
yakni panjang-pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh
jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kata dalam
wacana.
7. 5
GRAFIK FRY
Jika kita perhatikan, pada bagian atas grafik kita jumpai deretan angka-
angka, seperti 108, 112, 116, 120. Angka-angka itu menunjukan data jumlah
suku kata per seratus perkataan. Yakni jumlah kata dari wacana sampel yang
dijadikan sampel pengukuran keterbacaan wacana. Adapun pertimbangan
penghitungan suku kata pada grafik itu merupakan cerminan kata sulit, yang
dalam formula itu merupakan salah satu dari dua faktor utama yang menjadi
landasan bagi terbentuknya formula keterbacaan yang dimaksudkan.
Angka-angka yang tertera dibagian samping kiri grafik, yakni angka
25.0, 20, 18.7, 14.3 dan seterusnya menunjukan rata-rata jumalh kalimat per
seratus perkataan. Hal itu merupakan perwujudan faktor penentu formula
keterbacaan ini, yakni faktor panjang-pendek kalimat.
Angka-angka yang berderet dibagian tengah grafik dan berada diantara
garis penyekat dari grafik teersebut menunjukan perkiraan peringkat keterbacaan
wacana yang diukur. Angka 1 menunjukan peringkat 1, artinya wacana tersebut
cocok untuk pembaca dengan level peringkat baca 1 (kelas 1 SD); angka 2 untuk
peringkat baca 2, angka 3 untuk peringkat baca 3, dan seterusnya hingga
universitas.
Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak disudut kanan atas dan di
sudut kiri bawah grafik merupakan wilayah infalid. Maksdunya, apabila hasil
8. 6
pengukuran keterbacaan wacana jatuh pada wilayah tersebut, wacana tersebut
kurang baik karena tidak memiliki peringkat baca untuk peringkat mana pun.
Wacana yang seperti itu sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengan wacana
lain.
Selanjutnya, bagaimana prosedur kerja untuk penggunaan formula
keterbacaan dan fry ini? Secara lebih terperinci, langkah demi langkah yang
diterapkan untuk mengukur keterbacaan wacana lewat grafik fry adalah sebagai
berikut.
a. Pilihlah penggalan yang representatif dari wacana standar yang hendak
diukur tingkat keterbacaannya tersebut dengan mengambil 100 buah kata.
Kata dalam hal ini ialah sekelompok lambang yang di kiri dan kanannya
berpembatas. Dengan demikian, lambang-lambang berikut, seperti Tri,
IKIP, 2005, =, masing-masing dianggap dengan satu kata. Adapun yang
dimaksudkan dengan “representatif dalam memilih penggalan wacana” ialah
pemilihan wacana sampel yang benar-benar mencerminkan teks bacaan.
Wacana yang diselingi dengan gambar-gambar, kekosongan-kekosongan
halaman, tabel-tabel, rumus-rumus yang mengandung banyak angka-angka,
dan lain-lain dipandang tidak representatif untuk dijadikan sampel wacana.
b. Hitunglah jumlah kalimat pada wacana yang terdiri atas 100 kata tersebut
hingga perpuluhan terdekat. Dalam perhitungan kalimat ini, sisa kata yyang
termasuk kedalah hitungan 100 itu diperhitungkan dalam bentu desimal
(perpuluhan). Maksudnya, apabila kata yang termasuk kedalam hitungan
100 buah perkataan (sampel wacana) tidak jatuh diujung kalimat maka
perhitungan kalimat tidak akan selalu utuh, melainkan akan ada sisa.
Sisanya itu, tentu berupa sejumlah kata yang merupakan bagian dan deretan
kata-kata yang membentuk kalimat utuh. Sisa katayang termasuk kedalam
hitungan seratus itu diperhitungkan dalam bentuk desimal (perpuluhan).
c. Hitunglah jumlah suku kata dan wacana sampel yyang 100 buah perkataan
tadi. Sebagai konsekuensi dari batasan kata (seperti yng dijelaskan pada
langkah satu diatas) yang memasukan angka dan singkatan sebagai kata
maka untuk angka dan singkatan, setiap lambang diperhitungkan sabagai
9. 7
satu suku kata. Misalnya; 135 terdiri dari 3 suku kata, KTP terdiri atas 3
suku kata.
d. Perhatikan grafik fry. Kolom tegak lurus menunjukan jumlah kalimat per
seratus kata dan baris mendatar menunjukan jumlah suku kata per seratus
kata. Data yang kita peroleh pada langkah (2), yakni rata-rata jumlah
kalimat dan data yang kita peroleh pada langkah (3), yakni rata-rata jumlah
suku kata kita plotkan ke dalam grafik untuk mencari titik temunya.
Pertemuan antara baris vertikal (jumlah suku kata) dan baris horizontal
(jumlah kalimat) menunjukan tingkat-tingkat kelas pembaca yang
diperkirakan mampu membaca wacana yang terpilih itu. Jika persilangan
baris vertikal dan baris horizontal itu berada pada daerah gelap atau daerah
yang diarsir maka wacana tersebut dinyatakan tidak absah. Guru harus
memilih wacana lain dan mengulangi langkah-langkah yang sama seperti
yang telah kita jelaskan tadi. Akan tetapi, apabila hal itu dipraktikan
ternyata tidak ada jumlah suku kata yang lebih dari 200 dalam Grafik Fry.
Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang perlu dicermati dari grafik fry.
Perlu diketahui bahwa grafik fry merupakan hasil penelitian terhadap
wacana bahasa inggris. Padahal, kita tahu bahwa struktur bahasa inggris
sangat berbeda dengan struktur bahasa indonesia, terutama dalam hal sistem
suku katanya. Berdasarkan hal itu, ternyata tampak bahwa grafik fry tidak
bisa digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia,
kecuali jika dilakukan modifikasi pada alat tersebut. Dalam hal ini, telah
dilakukan pengamatan dan penelitian kecil oleh Harjasujana dan Mulyati
(1997). Pada akhirnya mereka menemukan bahwa penggunaan formula
grafik fry untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia, masih
harus ditambah satu langkah yakni mengalikan hasil penghitungan suku kata
dengan angka 0,6 angka ini diperoleh dari hasil penelitian sedehana yang
memperoleh bukti bahwa perbandingan antara jumlah suku kata bahasa
inggris dan jumlah suku kata bahasa indonesia itu 6:10 ( 6 suku kata dalam
bahasa inggris kira-kira sama dengan 10 suku kata dalam bahasa indonesia).
10. 8
BAB III
PEMBAHASAN
Pelatihan Keterbacaan Mengenai Grafik Fry
1. Nama Pemateri : Anissa Ramadhanti.
2. Materi Pembahasan : Keterbacaan *Grafik Fry
3. Waktu dan Tempat : pukul 16.30 – 17.30 , Di Aula FKIP Universitas
Pakuan, Bogor.
4. Tanggal Pelaksanaan : Selasa, 20 Juni 2017
5. Peserta : Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (Sebanyak 5 orang), Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar
(sebanyak 5 orang)
Berikut nama-nama peserta pelatihan
No Nama Jurusan
1 Siti Novania Y PBSI
2 Lien Meliawati PBSI
3 Tania Lestari PBSI
4 Shella Restu Utari PBSI
5 Dian Eka Sapti PBSI
6 Bayu Darma N PGSD
7 Rangga Pratama PGSD
8 Egi Nugraha PGSD
9 Angga Muhammad PGSD
10 M. Anwar Ramdani PGSD
6. Teknis Pelaksanaan
1.) Pembukaan serta Perkenalan oleh Pemateri.
2.) Penjelasan mengenai keterbacaan (Grafik Fry) oleh pemateri.
Hal-hal yang dijelaskan :
Pengertian Keterbacaan.
11. 9
Formula Keterbacaan.
Grafik Fry.
Cara Mengukur Keterbacaan Wacana Melalui Grafik Fry.
Cara menghitung Kata, Kalimat utuh, dan Suku kata.
Penjelasan Rumus Keterbacaan.
3.) Pemateri menyiapkan 5 buah artikel. Yang masing-masing berjudul
Manfaat Buah Pisang
Kerusakan Lingkungan di Indonesia dan Penyebabnya
Pendidikan Karakter
Kebudayaan
Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa
Pemateri membagi menjadi 5 kelompok, yang masing-masing kelompok
berjumlah 2 orang mahasiswa (1 PGSD dan 1 PBSI). Berikut daftar
pengelompokannya:
1) Bayu Darma N dan Siti Novania Y (Artikel “manfaat Buah Pisang)
2) Rangga Pratama dan Tania Lestari (Artikel “Kerusakan Lingkungan
Hidup di Indonesia dan Penyebabnya)
3) Egi Nugraha dan Lien Meliawati (Arttikel “Pendidikan Karakter”)
4) Angga Muhammad dan Shella Restu Lestari (Artikel “Kebudayaan”)
5) M. Anwar Ramdani dan Dian Eka Sapti (Artikel “meningkatkan
Motivasi Belajar Siswa).
4.) Pemateri menyiapkan lembar Kerja untuk mengerjakan Latihan.
Lembar kerja berisi 5 buah pertanyaan, kolom pengerjaan menggunakan
rumus grafik fry dan gambar Grafik Fry. Berikut pertanyaannya:
1) Dugaan mengenai kecocokan artikel untuk jenjang apa?
2) Kata ke-100, terletak pada kata?
3) Berapa jumlah kalimat utuh, per 100 perkataan?
4) Berapa jumlah suku kata, per 100 perkataan?
5) Setelah menghitung menggunakan Grafik Fry, artikel ini cocok untuk
jenjang?
12. 10
5.) Peserta pelatihan mulai mengerjakan latihan yang diberikan oleh pemateri.
dalam pelaksanaan, apabila ada hal yang kurang dimengerti oleh peserta,
peserta dapat menanyakannya kepada pemateri.
6.) Setelah peserta menyelesaikan latihannya, kemudian pemateri mengajak
peserta untuk memeriksa hasil kerja mereka.
7.) Semua peserta telah berhasil mengukur keterbacaan artikel yang mereka
hitung.
8.) Setelah peserta selesai mengerjakan latihan, pemateri membeikan daftar
riwayat hidup kepada masing-masing peserta untuk diisi. Daftar hidup
peserta berisi : nama, tempat tanggal lahir, alamat, jurusan, fakultas,
universitas, NPM, nomor telepon, Kendala yang dialami, Pesan dan kesan
pelatihan).
9.) Penutupan, serta pemberian Souvenir oleh pemateri. Kemudian dilanjutkan
dengan foto bersama dengan peserta pelatihan.
7. Temuan dari Pelatihan
Dari pelatihan yang kami lakukan dengan pembahasan keterbacaan
dengan formula grafik fry. Pada saat pelatihan kebanyakan kendala yang
dihadapi para peserta adalah cara menghitung suku kata. Dibandingkan dengan
menghitung kata dan kalimat utuh, menghitung suku kata merupakan hal yang
cukup sulit. Karena, dalam menghitung suku kata membutuhkan konsentrasi
yang tinggi dan pengejaan yang benar dalam melafalkan setiap kata-kata yang
terdapat di dalam artikel.
Sejauh ini, para peserta sudah cukup mengerti mengenai kata, suku kata
dan kalimat. Peserta sangat antusias ketika mempelajari keterbacaan dengan
formula grafik fry. Ada beberapa peserta yang menganggap grafik fry itu sulit
karena mereka belum memahaminya. Ketika mereka mempelajarinya dengan
baik, mereka merubah anggapan yang tadinya sulit menjadi mudah.
13. 11
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Keterbacaan merupakan sebuah hal mengenai terbaca atau tidaknya
sebuah bacaan dalam peringkat tertentu. Dari keterbacaan pula kita dapat
menilai sebuah bacaan berdasarkan tingkat kesulian bahan bacaan. Untuk
mengukur keterbacaan sebuah bacaan, bisa menggunakan formula grafik fry
yang diperkenalkan oleh Edward fry. Salah satu kendala yang dihadapi saat
menerapkan formula grafik fry adalah menghitung jumlah suku kata.
B. Saran
Sebagai calon pengajar hendaknya memperhatikan buku-buku penunjang
bagi para murid agar tidak salah dalam memilih bahan bacaan. Karena ketidak
cocokan bahan bacaaan akan mempengaruhi prestasi belajar anak. untuk itu kita
sebagai calon pengajar memanfatkan formula keterbacaann grafik fry untuk
mengukur tingkat keterbacaan pada bahan bacaan.
14. 12
DAFTAR PUSTAKA
Laksono, kisyani. et al. 2007. Membaca 2. Jakarta: Universitas Terbuka.
Tarigan, henry guntur. 2008. Membaca sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung : angkasa.