2. Kompetensi dari peradilan agama yang selama ini hanya
terbatas pada ranah-ranah hukum keluarga islam
Kemampuan para hakim dari peradilan agama kadang masih
dianggap kurang oleh lembaga peradilan yang lain
Semakin berkembangnya transaksi ekonomi syariah
Semakin sadarnya akantransaksi ekonomi yang berdasarkan
atas suatu hukum syariah yang akan memberi suatu
ketenangan dan keberkahan terhadap transaksi tersebut
LATAR HISTORIS
2
3. Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 harus dirubah dengan undang-
undnag baru yang bisa memberi ruang gerak lebih luas lagi bagi peradilan
agama
Salah satunya dengan penambahan kompetensi bagi peradilan agama,
tidak hanya sebatas hukum yangterkait dengan keluarga islam namun juga
sudah mengarah ke transaksi ekonomi syariah
Lahir lah Undang-undang no. 3 tahun 1989 tentang perubahan terhadap
undang – undang nomor 7 tahun 1989. (selanjutnya disebut UUPA)
LATAR HISTORIS
3
4. ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 49
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.
KONFLIK NORMA
4
5. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 50
(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa
lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus
diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara
orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa
tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
KONFLIK NORMA
5
6. Dari pasal 49 dan 50 UUPA tersebut, maka bisa diambil beberapa
kesimpulan :
Penambahan kewenangan absolut bagi suatu peradilan agama untuk
mengadili sengketa ekonomi syariah
Dari situ, bisa diteruskan lagi, dengan begitu tidak sebatas hanya orang-
orang yang beragama islam saja, namun juga orang-orang non-islam yang
melakukan transaksi syariah (dengan melakukan transaksi syariah, berarti
orang-orang tersebut berdesedia menundukkan diri kepada hukum islam
dalamkoridor ekonomi syariah)
kewenangan mutlak penyelesaian sengketa ekonomi syariah hanya ada
pada PERADILAN AGAMA
TELAAH DARI UUPA
6
7. Namun di tahun 2008, lahir Undang-Undang nomor 21 tahun 2008
tentang perbankan Syariah (selanjutnya disebut UUPS)
UUPS ini lahir karena banyaknya tuntutan untuk melegalkan bank dengan
sistem syariah (sebelumnya hanya disebut secara implisit di UU tentang
perbankan)
Dengan adanya UUPS ini, diharapkan sistem perbankan syariah lebih
terjamin secara hukum syar’i dan juga secara hukum postif
Namun dengan lahirnya UUPS ini juga menimbulkan permasalahan, coba
perhatikan pasal 55 UUPS
PERMASALAHAN PASCA UUPA
7
8. BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 55
(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian
sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat(2)
tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
PASAL UUPS
8
9. Pasal 55 UUPS ini, terutama dalam ayat (2), ada suatu Choice of Forum
bagi para pihak dalam ekonomi syariah selain PA
Secara positif mungkin dengan adanya pasal ini, semakin memberi
banyak “wahan” untuk pihak yang bersengketa memilih forum
penyelesaian sengketa
Dengan begitu akan banyak sekali keputusan yang menjadi produk dari
beberapa forum-forum ini
Pasal ini menganut Asas kebebasan berkontrak sehingga mengarah ke
konsekuensi “pacta Sunt Servanda” (perjanjian itu mengikat seperti UU
bagi para pihaknya)
TELAAH PASAL 55 UUPS
9
10. Namun dari sudut pandang pengajuan suatu kompetensi absolut
peradilan agama, maka hal ini suatu yang bertentangan
Adanya suatu reduksi kewenangan dari PA terhadap adanya beberapa
choice of law tersebut
Dengan adanya pasal 55 UUPs tersebut, maka akan timbul juga suatu
tumpang tindih keputusan. Memang dengan banyaknya keputusan
mungkin bisa dianggap sebagai suatu keragaman, namun dalam
beberapa hal, seharusnya cukup satu keputusan
Dalam hal ini, jika memang dalam pasal 49 UUPA, PA dianggap
mempunyai kewenangan absolut terhadap sengketa ekonomi syariah,
maka seharusnya hal itu di back up
KONFLIK NORMA
10
11. Seharusnya jika mengacu pada UUPA tersebut, maka PA yang paling
berwenang dan semua keputusan terkait dengan sengketa ekonomi
syariah seharusnya bermuara di PA
Hal itu sebagai suatu Kepastian Hukum
Tidak ada tumpang tindih terhadap putusan tersebut
KONFLIK NORMA
11
12. Bahkan jika dikaji lebih dalam lagi, terkait dengan adanya kebebasan
memilih lembaga arbitrasi dalam hal ini adalah BASYARNAS (Badan
penyelesaian sengketa syariah nasional /dulu BAMUI).
Basyarnas tunduk terhadap UU tentang arbitrase, terkait dengan
registrasi keputusan yang harus ada di peradilan Umum, maka seakan-
akan semakin mereduksi kewenangan PA.
PA berhak memutus sengketa syariah, tapi kenapa registrasi dari hasil
keputusan Basyarnas masih di PU ? Haruskah merubah UU tentang
Arbitrase ?
12
KONFLIK NORMA
13. Terkait dengan Peradilan Umum, secara kompetensi di UU tentang
kekuasaan kehakiman, sudah terbagi jelas masing-masing kewenangan
Kenapa di UUPS tiba-tiba muncul PU sebagai salah satu lembaga yang
berwenang penyelesaian sengketa ekonomi syariah ?
Jika dalam PA, hakim-hakimnya sempat dianggap tidak punya keahlian
yang memadai dalam hal sengketa ekonomi syariah, lalu bagaimana
dengan peradilan umum, apakah menjamin akan lebih baik dari hakim-
hakim PA yang notabene sudah diajari hukum islan sejak kuliah ?
Apakah tidak lebih baik dari PU ?
13
KONFLIK NORMA
14. Melakukan perubahan salah satu pasal UU tersebut yang terkait (UUPA
atau UUPS)
Untuk lebih menjamin kepastian hukum, sudah saatnya hanya satu
lembaga peradilan saja yang berwenang
Peningkatan kompetensi bagi hakim-hakim ataupun pengadil yang
ditunjuk jika memang cukup hanya ada satu lembaga
Jika memang ada beberapa lembaga yang berwenang, maka harus ada
peraturan yang membagi tugas masing-masing lembaga
14
KESIMPULAN