1. MAKALAH AGAMA ISLAM
HAKIKAT THAHARAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama Islam 3
Pembina : Abdul Hamid Ali, S.Pd.,M.pd
Disusun Oleh:
Kelompok 04 Manajemen 03
1. Moh. Nur Dafa Sidqi (21801081421)
2. Mohammad Hariyanto (21801081035)
3. Yunias Ade Saputra (21801081211)
4. Fadlilatul Khairiyah (21801081427)
5. Intan Nardila (21801081059)
Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Islam Malang
2018
3. ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah yang Maha Esa,
karena telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita berupa pengetahuan
dan kesempatan sehingga kita dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjuk Allah SWT untuk kita
semua, yang merupakan sebuah petunjuk yang paling benar yakni syariah agama
islam yang sempurna, dan merupakan satu satunya karunia paling besar bagi alam
semesta.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pada bidang Agama Islam 3. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk untuk
menambah wawasan keilmuan tentang “THAHARAH” baik bagi para pembaca
ataupun bagi penulis sendiri.
Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Abdul Hamid Ali, S.pd,.M.pd
selaku dosen mata kuliah Agama Islam 3 yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai bidang studi yang kami tekuni.
Dan kami juga ucapkan terimakasih kepada teman teman yang sudah berkontribusi
dengan memberikan ide idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan
rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan bagi para
pembaca. Meskipun kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari para pembaca sangat dibutuhkan
untuk memperbaiki penyusunan makalah kami selanjutnya. Kemudian apabila
terdapat kesalahan dalam makalah baik dari segi penyusunan ataupun pembahasan,
kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Malang, 20 September 2019
Penulis
4. iii
DAFTAR ISI
JUDUL
LAMPIRAN.................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
D. Manfaat Penulisan................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Thaharah................................................................................... 3
B. Macam-macam Thaharah....................................................................... 3
C. Klasifikasi Air ala madzhab Syafi’iyah An-Nahdliyah.......................... 11
D. Tujuan Thaharah..................................................................................... 12
E. Thaharah Secara Baik dan Benar ........................................................... 13
F. Kisah Islami tentang Pentingnya Berthaharah........................................ 15
G. Implementasi Hikmah Thaharah dalam Kehidupan Sehari-hari............. 15
5. iv
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 18
B. Saran ..................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA
6. 1
BAB I
PENDAHUUAN
A. Latar Belakang
Thaharah adalah hal yang sangat penting untuk diketahui, terutama dalam
beribadah, seperti halnya shalat. Thaharah menjadi syarat sahnya shalat. Jadi ketika
hendak shalat diharuskan suci badannya, tempatnya, serta suci dari hadast kecil dan
hadast besar. Jika tidak maka shalatnya tidak sah.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam thaharah. Kita sebagai orang
islam tentunya harus tahu bahkan wajib untuk mengetahui cara-cara bersuci, karena
suci adalah dasar ibadah bagi orang islam. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak
tidak lepas dari hal kotor ataupun najis, sehingga kita harus mensucikan diri terlebih
dahulu sebelum beribadah, baik dengan cara berwudlu’, mandi, ataupun
bertayammum. Kalau kita melihat secara teliti hamper seluruh kitab-kitab fiqih
didahului dengan pembahasan tentang thaharah. Dari hal ini kita dapat mengetahui
bahwa betapa pentingnya tharah dalam kehidupan sehari-hari.
Namun meskipun menjadi hal yang mendasar, masih banyak orang muslim
yang tidak begitu mengerti tentang thaharah, najis, serta macam-macam air yang
dapat digunakan untuk bersuci. Semoga dengan makalah ini bisa membuat para
pembaca lebih memahami tentang thaharah.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, sebagai berikut:
1. Apakah pengertian thaharah?
2. Apa saja macam-macam thaharah?
3. Bagaimana klasifikasi air ala madzhab Syafi’iyah An-nahdliyah?
4. Apa saja tujuan thaharah?
5. Bagaimana thaharah yang baik dan benar menurut madzhab Syafi’iyah An-
nahdliyah?
6. Bagaimana kisah islam tentang pentingnya berthaharah?
7. Bagaimana implementasi hikmah thaharah dalam kehidupan sehari hari?
7. 2
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang pengertian thaharah
2. Untuk mengetahui macam-macam thaharah
3. Untuk mengetahui klasifikasi air ala madzhab Syafi’iyah An-nahdliyah
4. Untuk memahami tujuan thaharah
5. Untuk mengetahui thaharah yang baik dan benar menurut madzhab Syafi’iyah
An-nahdliyah
6. Untuk mengetahui kisah islam tentang pentingnya thaharah
7. Untuk mengetahui implementasi hikmah thaharah dalam kehidupan sehari-hari
D. Manfaat Penulisan
Berdasarkan penulisan di atas, maka diharapkan makalah ini bermanfaat
bagi:
1. Bagi mahasiswa dapat dijadikan rurjukan untuk makalah lebih lanjut
2. Bagi pembaca dapat memberikan pengetahuan tentang thaharah
3. Bagi penulis dapat lebih menambah wawasan keilmuan mengenai thaharah
8. 3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Thaharah
Lafadz “at-thaharah” secara Bahasa bermakna bersih. Sedangkan secara
syara’, maka terdapat definisi yang cukup banyak di dalam menjelaskan arti lafadz
“at-thaharah”. Di antaranya adalah ungkapan ulama’, “at-thaharah” melakukan
sesuatu yang menjadi sebab diperbolehkannya melakukan shalat. Yaitu perbuatan
berupa wudlu, mandi, tayammum, dan menghilangkan najis.
Bolehnya bertayammum dari dua hadast sebab tidak adanya air atau takut
dari hal yang membahayakan dari penggunaan air yaitu dengan menggunakan debu
yang suci yang dapat beterbangan.kalau seandainya seseorang yakim akan adanya
air di akhir waktu shalat, maka menantinya lebih utama, namun jika tidak yakin
maka lebih utama mempercepat tayammum.
Dalam karangan buku Dr. Majdah Amir dijelaskan bahwa Thaharah
kegiatan membersihkan kotoran yang tampak. Secara istilah, thaharah adalah
menghilangkan segala sesuatu yang menghalangi sahnya shalat, seperti hadast
(kotoran yang tidak tampak) dan najis (kotoran yang tamapak) dengan
menggunakan air, dan yang berfungsi sama, atau dengan debu.
Mengingat air adalah alat untuk bersuci, maka mushannif menyisipkan
pembahasan macam macam air yang dapat digunakan untuk bersuci ada tujuh.
Yakni, air hujan, air lau (air asin), air sungai (air tawar), air sumur, air sumber, air
salju, dan air embun.
B. Macam-macam Thaharah
Beberapa macam thaharah yang akan dibahas dalam makalah ini
diantaranya yaitu wudlu, mandi, tayammum, dan beristinja’. Untuk perinciannya
akan kami bahas lebih lanjut sebagai bertikut:
9. 4
1. Wudlu
Wudlu menurut bahasaya itu sebutan untuk pembersihan sebagian anggota
badan . Adapun menurut syara’, wudlu adalah sebutan untuk pembersihan bagian-
bagian tertentu dengan niat yang tertentu . Hukum wudlu ada dua, wajib bagi orang
yang hadats dan sunnah bagi orang yang memperbarui wudlu baik setelah shalat
ataupun setelah mandi wajib, serta ketika orang yang junub hendak melakukan
makan, tidur atau wathi dan lain sebagainya . Beberapa komponen wudlu antara
lain:
a. Fardlu wudlu
Fardlu wudlu ada 6 yaitu:
1. Niat
2. Membasuh wajah
3. Membasuh kedua tangan beserta dua siku
4. Mengusap sebagian kepala
5. Membasuh dua kaki sampai mata kaki
6. Tertib .
b. Syarat wudlu
Syarat wudlu yaitu hal-hal yang harus terpenuhi sebelum melaksanakan
wudlu. Sayyid Ahmad telah mengemukakan beberapa syarat wudlu seperti:
1. Islam
2. Cerdas; tidak bodoh atau gila
Suci dari haidl dan nifas
3. Bersih dari hal-hal yang menghalangi atau mencegah mengalirnya air sampai
kekulit
4. Anggota wudlu tidak mengandung hal yang dapat merubah sifat air
5. Mengerti kefardluan wudlu
6. Tidak meyakini bahwa fardlu wudlu adalah Sunnah
7. Air yang suci
8. Menghilangkan najis yang terlihat
9. Mengalirkan air di seluruh anggota wudlu .
10. 5
c. Sunnah wudlu
Sunnah wudlu merupakan hal yang ketika dilakukan pada saat wudlu dan
mendapat pahala serta tidak berdosa jika ditinggalkan. Diantaranya yaitu:
1. Bersiwak
2. Membaca Basmalah
3. Membasuh kedua telapak tangan
4. Berkumur
5. Menghisap dan menyemprotkan air dari lubang hidung
6. Mengulangi rukun sebanyak tiga kali
7. Mengusap seluruh kepala
8. Hal-hal yang membatalkan wudlu
Beberapa hal yang dapat merusak wudlu diantaranya yaitu:
1. Segala sesuatu yang keluar dari qubul atau dubur kecuali mani.
2. Hilangnya akal kecuali sebab tidur yang tetap duduknya.
3. Bertemunya dua kulit laki-laki dan perempuan yang sudah baligh dan
berlainan.
4. Menyentuh qubul atau lubang dubur dengan telapak tangan atau ujung jari
bagian dalam.
2. Mandi (Al Ghusl)
Mandi secara bahasa adalah mengalirkan air ke segala sesuatu baik badan,
pakaian dan sebagainya tanpa diiringi dengan niat. Sedangkan menurut syara’
mandi yaitu mengalirkan air ke seluruh anggota badan dengan niat tertentu.
Dalam islam, mandi atau Al Ghusl memiliki posisi yang cukup urgen. Hal
ini mengingat mandi bertujuan untuk menghilangkan hadats atau kotoran yang
tidak bisa dihilangkan hanya dengan wudlu. Namun mandi yang dimaksud disini
tentunya memiliki karakteristik serta aturan yang berbeda dari mandi yang hanya
untuk membersihkan badan dari kotoran yang melekat di tubuh. Berikut beberapa
hal yang menyangkut mandi dalam Islam:
a. Hal yang mewajibkan mandi besar
Secara Bahasa mandi bermakna mengalirnya air pada sesuatu secara
mutlaq. Secara syara’, mandi bermakna mengalirnya air ke seluruh badan disertai
11. 6
niat tertentu. Sesuatu yang mewajibkan mandi ada enam perkara, tiga diantaranya
dialami oleh laki-laki dan perempuan sedangkan tiganya lagi hanya dialami oleh
perempuan. Adapun yang mewajibkan mandi yang dialami oleh laki-laki dan
perempuan, yaitu:
1. Bertemunya dua kemalua
2. Keluarnya mani bukan sebab hubungan intim
3. Meninggal dunia
Sedangkan tiga perkara yang mewajibkan mandi yang hanya dialami oleh
perempuan adalah:
1. Haid, yaitu darah yang keluar dari seorang wanita yang sudah mencapai usia
Sembilan tahun atau lebih, dalam keadaan sehat, dan keluarnya minimal
sehari semalam atau 24 jam, maksimal 15 hari 15 malam
2. Nifas, yaitu darah yang keluar setelah melahirkan. Minimalnya masa nifas
adalah sekejap, maksimalnya 60 hari, sedangkan normalnya 40 hari.
3. Wiladah, yaitu darah yang keluar pada saat melahirkan
b. Fardlu mandi
Fardlu mandi ada tiga yaitu niat, membersihkan najis yang ada di seluruh
tubuh serta mengalirkan air ke seluruh bagian rambut dan kulit badan.
c. Sunnah mandi
1. Membaca basmalah
2. Berwudlu sebelum melakukan mandi
3. Menggosok-gosokkan tangan pada tubuh
4. Berturut-turut
5. Mendahulukan anggota sebelah kanan
d. Syarat mandi (Al Ghusl)
Adapun syarat mandi adalah sebagaimana syarat melaksanakan wudlu.
e. Mandi-mandi yang disunnahkan
12. 7
Beberapa mandi yang disunnahkan dalam Islam adalah mandi jum’at, mandi
dua hari raya , mandi dua gerhana , mandi karena islamnya orang kafir serta
mandi karena sembuhnya orang gila dan orang yang berpenyakit ayan.
3. Tayammum
Menurut bahasa, tayammum adalah menyengaja (صد ق .)ال Sedangkan
menurut ishtilah yaitu mengusapkan debu suci mensucikan pada wajah dan kedua
tangan dengan niat tertentu. Tayammum yaitu sebuah ritual penyucian diri dari
hadats dengan menggunakan debu sebagai pengganti air dikarenakan beberapa
sebab atau hal tertentu.
syarat-syarat tayammum ada lima perkara. Dalam sebagian redaksi matan
menggunakan Bahasa “khamsu khishalin (lima hal)”. Pertama, adanya udzur sebab
bepergian atau sakit. Kedua, masuk waktu shalat. Maka tidak sah tayammumuntuk
shalat yang dilakukan sebelum masuk waktunya. Ketiga, mencari air setelah
masuknya waktu shalat, baik diri sendiri ataupun orang lain yang telah ia beri izin.
Maka ia harus mencari air di tempatnya ataupun di teman-temannya. Keempat, sulit
menggunakan air. Dengan gambaran jika menggunakan air ia khawatir akan
kehilangan nyawa atau fungsi anggota badan. Kelima, debu suci. Maksudnya debu
suci mensucikan dan tidak basah
Fardlu tayammum ada empat yaitu, niat, mengusap wajah, mengusap dua
tangan hingga kedua siku dan tertib. Beberapa Sunnah tayammum yaitu, membaca
basmalah, mendahulukan bagian kanan dari kedua tangan sebelum bagian kiri, dan
mendahulukan wajah bagian atas sebelum wajah bagian bawah.
Hal hal yang membatalkan tayammum diantaranya yaitu hadats, murtad,
mengira telah ada air di luar sholat, mengerti tentang keberadaan air, mampu untuk
membeli air dan sebagainya.
4. Beristinja’
Beristinja’ artinya menghilangkan najis atau meringankannya dari tempat
keluarnya air seni atau kotoran. Terambil dari kata an-najaa’ yang berarti bersih
atau selamat dari penyakit. Dinamakan demikian karena orang yang melakukan
istinja’ ia mencari keselamatan dari penyakit dan berbuat untuk menghilangkannya
13. 8
(lihat Dr. Musthofa Al-Khin dkk, al-Fiqh al-Manhaji, (Damaskus: Darul Qalam,
2013), jil. 1, hal. 45).
Beristinja’ dapat dilakukan dengan menggunakan air mutlak atau air yang
suci dan mensucikan saja atau dengan menggunakan batu saja. Namun yang paling
utama bila istinja’ dilakukan dengan menggunakan batu pada awalnya, kemudian
disempurnakan dengan menggunakan air. Ini dikarenakan batu dapat
menghilangkan wujud najisnya sedangkan air dapat menghilangkan bekasnya
dengan tanpa bercampur dengan najisnya karena telah dihilangkan oleh batu.
Bila orang yang beristinja’ dengan menggunakan salah satunya saja maka
beristinja’ hanya dengan menggunakan air lebih utama daripada beristinja’ hanya
dengan menggunakan batu, karena air dapat menghilangkan wujud najis sekaligus
bekasnya, sedangkan selain air tidak bisa. Namun bila orang yang beristinja’ hanya
akan menggunakan batu saja maka ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi
sehingga istinja’nya dianggap sah.
Dalam kitab Safinatun Naja, Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami
menyebutkan 8 (delapan) syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak
beristinja’ hanya dengan batu saja tanpa menggunakan air. Dalam kitab tersebut
beliau menyatakan:
شروط اجزاء حجر ال ية مان :ث أن كون ي ة ثالث ب أحجار وأن قي ن ي محل ال الوأ جف ي نجس ال
ال و قل ت ن ي ال و طرأ ي يه ل ع أخر ال و جاوز ي ته فح ص ته ف ش وح ال و به ي ص ي ماء وأن كون ت
جار األح طاهرة
“Syarat beristinja; hanya dengan menggunakan batu ada delapan, yakni (1)
dengan menggunakan tiga buah batu (2) batunya dapat membersihkan tempat
keluarnya najis (3) najisnya belum kering (4) najisnya belum pindah (5) najisnya
tidak terkena barang najis yang lain (6) najisnya tidak melampaui shafhah dan
hasyafah (7) najisnya tidak terkena air (8) batunya suci.”(lihat Salim bin Sumair Al-
Hadlrami, Safiinatun Najaa, (Beirut: Darul Minhaj: 2009), hal. 17).
Kedelapan syarat itu beserta penjelasannya disampaikan oleh Syaikh
Nawawi Al-Bantani dalam kitabnya Kasyifatus Saja sebagai berikut:
14. 9
Dengan menggunakan tiga buah batu atau tiga buah sisi dari satu batu.
Meskipun dengan satu batu atau satu sisi batu tempat yang dibersihkan dari najis
telah bersih, tetap ada keharusan untuk terus melakukannya sampai batas minimal
tiga buah batu atau tiga sisi batu. Sebaliknya bila dengan tiga batu itu tempat yang
dibersihkan masih belum bersih dari najis maka wajib hukumnya untuk menambah
hingga tempatnya benar-benar bersih. Dalam hal penambahan ini disunahkan
dengan bilangan ganjil meskipun telah bersih pada saat dibersihkan dengan
bilangan genap.
Batunya dapat membersihkan tempat keluarnya najis. Dengan batasan
bahwa najis yang dibersihkan tak lagi tersisa pada temat keluarnya kecuali hanya
sekedar bekasnya saja yang tidak bisa dihilangkan selain dengan air atau lainnya.
Najisnya belum mengering. Bila najisnya telah mengering maka tidak bisa
beristinja’ hanya dengan batu saja tanpa menggunakan air. Ini dikarenakan batu
tidak bisa menghilangkan najis tersebut setelah kering. Maka bila najis telah
mengering secara keseluruhan atau sebagiannya harus dibersihkan dengan
menggunakan air.
Najisnya belum berpindah dari tempat yang ia kenai ketika keluar. Bila ada
najis yang berpindah dan masih menyambung dengan tempat tersebut maka wajib
menggunakan air untuk menghilangkan najis tersebut secara keseluruhan. Namun
bila najis yang berpindah itu tidak menyambung dengan tempat keluarnya maka
yang wajib dibersihkan dengan air hanyalah najis yang berpindah saja, sedangkan
najis yang masih tetap berada pada tempatnya boleh dibersihkan dengan batu saja.
Najisnya tidak terkena barang najis yang lain atau barang suci yang basah
selain air keringat. Bila yang mengenainya adalah air keringat atau benda suci yang
kering seperti batu kerikil maka tidak mengapa. Namun bila yang mengenainya
adalah barang najis baik basah maupun kering atau barang suci yang basah maka
istinja’ mesti dilakukan dengan menggunakan air, tidak bisa hanya dengan
menggunakan batu saja.
Bagi orang yang buang air besar najis yang keluar tidak melampaui bagian
samping dubur, yakni bagian bokong yang apabila pada posisi berdiri maka akan
15. 10
menempel satu sama lain. Sedangkan bagi orang yang buar air kecil najis yang
keluar tidak melampaui ujung zakar. Bila itu terjadi maka istinja’ yang dilakukan
harus dengan air, tidak bisa hanya dengan batu saja.
Setelah atau sebelum beristinja’ menggunakan batu najis yang keluar tidak
terkena air yang tidak dimaksudkan untuk membersihkan najis tersebut meskipun
air tersebut suci atau tidak terkena benda cair lain. Ini dikarenakan air atau benda
cair tersebut bisa menjadi najis. Beranjak dari ini maka apabila beristinja’ dengan
menggunakan batu yang basah tidak sah istinja’nya, karena dengan basahnya batu
tersebut dapat menjadikan batu itu najis dengan najisnya tempat yang dibersihkan,
kemudian batu yang telah jadi najis itu dipakai untuk beristinja’ sehingga mengotori
tempat yang dibersihkan tersebut. Bila ini yang terjadi maka istinja’ harus
dilakukan dengan air, tidak cukup dengan batu saja.
Batu yang digunakan beristinja adalah batu yang suci. Maka tidak cukup
bila beristinja’ hanya dengan batu namun batunya mutanajis (batu yang terkena
najis).
Lebih lanjut Syaikh Nawawi juga mengemukakan:
لم واع أن ل ك ما هو يس ق م لى ع حجر ال قي ي ق ح ال وهو ما اذا وجدت يود ق ال عة األرب سمى ي ف
حجرا يا شرع جوز ي نجاء ت س اال ه ب
“Ketahuilah, bahwa segala sesuatu yang dapat diqiyaskan dengan batu
secara hakiki—yakni apapun yang padanya terdapat empat batasan—maka dapat
digunakan untuk beristinja’. Yang demikian itu disebut batu secara syar’i.”(lihat
Muhammad Nawawi Al-Bantani, Kasyifatus Saja, (Jakarta: Darul Kutub Islamiyah,
2008), hal. 34).
Dari ungkapan tersebut dapat diambil satu pemahaman bahwa selain
menggunakan batu ada barang-barang lain yang juga dapat dijadikan alat untuk
beristinja’. Barang-barang ini, sebagaimana dijelaskan Syaikh Nawawi, secara
syar’i disamakan dengan batu bila memenuhi empat buah syarat sebagai berikut:
16. 11
1. Barangnya suci.
Tidak bisa beristinja’ dengan menggunakan suatu barang najis atau
mutanajis (barang yang terkena najis). Tentunya ini justru akan lebih menambah
kenajisan tempat yang akan dibersihkan, bukan malah membersihkannya.
2. Barangnya padat.
Tidak cukup beristinja’ dengan menggunakan sesuatu yang basah baik
berupa batu atau lainnya seperti minyak bunga mawar atau air cuka.
3. Berupa sesuatu yang menghilangkan najis
Barang yang dipakai beristinja’ berupa sesuatu yang dapat menghilangkan
dan menyerap najisnya. Maka tidaklah cukup beristinja’ dengan kaca atau bambu
yang licin.
4. Bukan sesuatu yang dihormati.
Seperti beristinja’ dengan menggunakan makanan manusia semisal roti dan
lainnya atau beristinja’ denganmenggunakan makanannya jin yaitu tulang belulang.
Apa pun yang memenuhi keempat syarat tersebut maka dapat dijadikan
pengganti batu untuk beristinja’. Seumpama tisu, daun yang telah kering, batu bata
dan lain sebagainya bisa digunakan untuk beristinja’ karena ia memenuhi keempat
syarat di atas.
Sebagai penutup Syaikh Nawawi menyatakan:
واذا نجى ت س ا ماء ال ب سن م قدي ت له ب ق لى ع ره دب سه ك وع ي ف حجر ال
“Bila beristinja’ dengan air disunahkan mendahulukan membersihkan bagian
qubul dari pada dubur, sebaliknya bila menggunakan batu disunahkan
mendahulukan bagian dubur dari pada qubul
C. Klasifikasi Air Ala Madzhab Syafi’iyah An-Nahdliyah
17. 12
Mengingat pentingnya air dalam beribadah fiqih islam mengatur
sedemikian rupa perihal air. Di dalam Madzhab Imam Syafi’I, para ulama’
membagi air menjadi empat bagian:
1. Air suci dan bisa mensucikan, dan tidak makruh digunakan, yaitu air mutlaq.
Secara ringkas air mutlak adalah air yang turun dari langit atau yang bersumber
dari bumi dengan sifat asli penciptaannya.
2. Air yang suci dan mensucikan, serta makruh menggunakannya pada badan,
tetapi bukan pada pakaian, yaitu air musyammas. Yakni air yang dipanaskan
dengan pengaruh sinar matahari. Air musyammas hanya dimakruhkan secara
syara’ bila digunakan di daerah panas yang menggunakam wadah terbuat dari
logam.
3. Air yang suci tapi tak bisa mensucikan. Yaitu air musta’mal, yakni air yang
sudah digunakan untuk menghilangkan hadast, atau menghilangkan najis,
apabila tidak berubah sifatnya.
4. Air najis, yaitu air yang terkena najis sampai berubah sifatnya ataupun tidak, dan
kondisi air tersebut kurang dua qulla. Ukuran dua qulla adalah kurang lebih 500
rith negara Baghdad. Menurut Imam Nawawi satu rith negara Baghdad adalah
128 dirham. Para ulama’ kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan
besaran zaman sekarang. Dan ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira
sejumlah 270 liter.
D. Tujuan Thaharah
Ada beberapa hal yang menjadi tujuan disyariatkannya thaharah,
diantaranya:
1. Guna menyucikan diri dari kotoran berupa hadats dan najis.
2. Sebagai syarat sahnya shalat dan ibadah seorang hamba. Nabi Saw
bersabda:
“Allah tidak menerima shalat seorang diantara kalian jika ia berhadas, sampai
ia wudhu”, karena termasuk yang disukari Allah, bahwasanya Allah SWT
memuji orang-orang yang bersuci : firman-Nya, yang artinya : “sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan dirinya”.(Al-
Baqarah:122)
18. 13
Thaharah memiliki hikmah tersendiri, yakni sebagai pemelihara serta
pembersih diri dari berbagai kotoran maupun hal-hal yang mengganggu dalam
aktifitas ibadah seorang hamba.Seorang hamba yang seanantiasa gemar bersuci
ia akan memiliki keutamaan-keutamaan yang dianugerahkan oleh Alloh di
akhirat nanti. Thaharah juga membantu seorang hamba untuk mempersiapakan
diri sebelum melakukan ibadah-ibadah kepada Alloh. Sebagai contoh seorang
yang shalat sesungguhnya ia sedang menghadap kepada Alloh, karenanya
wudhu membuat agar fikiran hamba bisa siap untuk beribadah dan bisa terlepas
dari kesibukan-kesibukan duniawi, maka diwajibkanlah wudhu sebelum sholat
karena wudhu adalah sarana untuk menenangkan dan meredakan fikiran dari
kesibukan-kesibukan duniawi untuk siap melaksanakan sholat.
E. Thaharah secara baik dan benar alamadzhab syafiiyah An-Nahdliyah
Tharah yang baik dan benar tentu dengan beberapa ketentuan seperti niat,
menggunakan air yang suci dan mensucikan , terbasuhnya semua bagian-bagian
yang wajib dibasuh saat bersuci, dan tidak melakukan hal-hal yang dapat
membatalkan thaharah yang kita lakukan. Berikut hal-hal yang dapat
membatalkan kersucian :
Hal-hal yang dapat membatalkan wudhu dan tayamum :
Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safinatun Naja—
sebagaimana sebagian ulama Syafi’iyah lainnya—menyebutkan ada empat hal
yang dapat membatalkan wudhu sehingga seseorang berada dalam keadaan
berhadats. Keempat hal pembatal wudhu tersebut berikut penjelasannya adalah:
1. Keluarnya sesuatu dari salah satu dua jalan (qubul dan dubur). Berdasarkan
firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 6:
أدوحوأ وءاوج حووأ ِنِكواْحلا نوِم حماكحنِم
Artinya: “Atau salah satu dari kalian telah datang dari kamar mandi”.
Apa pun yang keluar dari lubang depan (qubul) dan lubang belakang (dubur)
baik berupa air kencing atau kotoran, barang yang suci ataupun najis, kering atau
basah, itu semua dapat membatalkan wudhu.
2. Hilangnya akal karena tidur, gila, atau lainnya.
19. 14
ون حنوموفحَف وووتويحلوف و ا
Artinya: “Barangsiapa yang tidur maka berwudhulah.” (HR. Abu Dawud)
Orang yang tidur, gila, atau pingsan batal wudhunya karena ia telah
kehilangan akalnya. Hanya saja tidur dengan posisi duduk dengan menetapkan
pantatnya pada tempat duduknya tidak membatalkan wudhu. Posisi tidur yang tidak
membatalkan wudhu tersebut bisa digambarkan; bila Anda tidur dengan posisi
duduk dimana posisi pantat sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan Anda
untuk kentut kecuali dengan mengubah posisi pantat tersebut, maka posisi tidur
dengan duduk seperti itulah yang tidak membatalkan wudhu.
3. Bersentuhan kulit seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sama-sama
telah tumbuh besar dan bukan mahramnya dengan tanpa penghalang.
Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 6:
وءاوسِمنال اماتحسوم وال حووأ
Artinya: “atau kalian menyentuh perempuan.”
Tidak batal wudhu seorang laki-laki yang bersentuhan kulit dengan sesama
laki-laki atau seorang perempuan dengan sesama perempuan. Juga tidak
membatalkan wudhu persentuhan kulit seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang menjadi mahromnya. Wudhu juga tidak menjadi batal bila
seorang-laki-laki bersentuhan dengan seorang perempuan namun ada penghalang
seperti kain sehingga kulit keduanya tidak bersentuhan secara langsung.
Pun tidak batal wudhunya bila seorang laki-laki yang sudah besar
bersentuhan kulit dengan seorang perempuan yang masih kecil atau sebaliknya.
Adapun ukuran seseorang itu masih kecil atau sudah besar tidak ditentukan oleh
umur namun berdasarkan sudah ada atau tidaknya syahwat secara kebiasaan bagi
orang yang normal.
4. Menyentuh kelamin atau lubang dubur manusia dengan menggunakan bagian
dalam telapak tangan atau bagian dalam jari jemari.
Rasulullah bersabda:
حَف وووتويحلوف اه وروكوذ سوم حنوم
Artinya: “Barangsiapa yang memegang kelaminnya maka berwudhulah.” (HR.
Ahmad)
20. 15
Wudhu menjadi batal dengan menyentuh kelamin atau lubang dubur
manusia, baik yang disentuh masih hidup ataupun sudah mati, milik sendiri atau
orang lain, anak kecil atau besar, menyentuhnya secara sengaja atau tidak sengaja,
atau kelamin yang disentuh telah terputus. Hal ini hanya membatalkan wudhunya
orang yang menyentuh dan tidak membatalkan wudhunya orang yang disentuh.
F. Kisah islami tentang pentingnya berthaharah
Suatu hari Nabi Muhammad Saw. melewati tempat pemakaman bersama
para sahabat. Atas izin Alloh Swt., Nabi Muhammad Saw. dapat mendengar jerit
tangis orang-orang yang ada di dalam kubur sehingga beliau berhenti sejenak dan
menitikkan air mata.
Selanjutnya, Nabi Muhammad Saw. mengambil sebuah pelepah kurma
yang ada di sekitar kuburan, lalu menancapkan pelepah itu pada salah satu kuburan.
Melihat peristiwa itu, para sahabat menanyakan kepada Nabi Muhammad Saw.
Sejenak Nabi Muhammad Saw. diam, lalu berkata, "Sesungguhnya aku
mendengar jerit tangis umatku didalam kubur karena siksa Alloh Swt. yang di
berikan kepadanya."
Sahabat bertanya, "Kesalahan apakah yang di lakukan orang itu, ya
Rosululloh?" jawab Nabi Muhammad Saw. "Semasa hidupnya orang ini jika
kencing atau buang air kecil tidak mau istinjak sehingga kulit dan pakaian yang di
gunakan selalu najis." Itulah siksa Alloh Swt. yang di berikan kepada kaumku yang
tidak memperhatikan kebersihan dan kesuciannya. Oleh karena itu, hati-hatilah
terhadap najis karena Alloh Swt. tidak suka kepada orang yang najis."
Mendengar penjelasan Nabi Muhammad Saw. Para sahabat makin hati-hati
dalam memelihara kebersihan dan kesucian badan, pakaian, dan tempat tinggalnya.
G. Implementasi Hikmah Thaharah dalam Kehidupan Sehari-hari
Thaharah terbagi menjadi dua, secara batin dan lahir, keduanya termasuk di
antara cabang keimanan: Thaharah bathiniyah: ialah menyucikan diri dari kotoran
kesyirikan dan kemaksiatan dari diri dengan cara menegakkan tauhid dan beramal
saleh. Thaharah lahiriyah: ialah menyucikan diri menghilangkan hadats dan najis.
Allah Swt. telah menjadikan taharah (kebersihan) sebagai cabang dari keimanan.
21. 16
Oleh karena itu, dalam Islam mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa hidup
bersih, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat. Adapun
yang perlu kita perhatikan dalam menjaga kebersihan adalah kebersihan
lingkungan tempat tinggal, lingkungan madrasah, tempat ibadah, dan tempat
umum.
1. Untuk membersihkan badan, pakaian, dan tempat dari hadas dan najis ketika
hendak melaksanakan suatu ibadah. Dengan bersih badan dan pakaiannya,
seseorang tampak cerah dan enak dilihat oleh orang lain karena Allah Swt, juga
mencintai kesucian dan kebersihan serta memenuhi syarat sah ibadah.
2. Menjaga Kebersihan Lingkungan Tempat Tinggal.Kebersihan tidak hanya
terbatas pada jasmani dan rohani saja, tetapi juga kebersihan mempunyai ruang
lingkup yang luas. Di antaranya adalah kebersihan lingkungan tempat tinggal
kita bersama-sama ayah, ibu, kakak, adik, dan sebagainya. Terkadang hal yang
sering kita lakukan adalah membuang sampah sembarangan. Lebih parah lagi
saat menonton tv sambil memakan makanan ringan dan membuang sampahnya
di bawah karpet atau dibiarkan begitu saja. Oleh karena itu, agar kita sehat dan
betah tinggal di rumah, maka kebersihan, kerapian, dan keindahan rumah harus
dijaga dengan baik. Dengan demikian, kebersihan lingkungan tempat tinggal
yang bersih, rapi, dan nyaman menggambarkan ciri pola hidup orang yang
beriman kepada Allah Swt. Oleh karena itu, kita semua harus dan wajib
menjaga kebersihan, baik di rumah maupun di madrasah, agar kita betah dan
terhindar dari berbagai penyakit.
3. Menjaga Kebersihan Lingkungan Tempat Ibadah. Kita mengetahui bahwa
tempat ibadah seperti masjid, mushalla, atau langgar adalah tempat yang suci.
Oleh karena itu, Islam mengajarkan untuk merawatnya supaya orang yang
melakukan ibadah mendapatkan ketenang-an, dan tidak terganggu dengan
pemandangan yang kotor atau bau di sekelilingnya. Umat Islam akan
mendapatkan kekhusyu-an dalam beribadah kalau tempatnya terawat dengan
baik, dan orang yang merawatnya akan mendapatkan pahala di sisi Allah.
Dengan demikian, kita akan terpanggil untuk selalu menjaga kebersihan
lingkungan tempat ibadah di sekitar kita. Apabila orang Islam sendiri
mengabaikan kebersihan, khususnya di tempat-tempat ibadah, ini berarti
22. 17
tingkat keimanan mereka belum seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah
Saw.
4. Menjaga Kebersihan Lingkungan Tempat Umum. Menjaga dan memelihara
kebersihan di tempat umum dalam ajaran Islam memiliki nilai lebih besar
daripada memelihara kebersihan di lingkungan tempat tinggal sendiri, karena
tempat umum dimanfaatkan oleh orang banyak. Jika lingkungan umum tampak
kumuh maka itu akan menjadi sarang penyakit, khusus nya adalah nyamuk.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa nyamuk sering kali membuat
warga sekitar resah karena takut dengan demam berdarah. Kesimpulannya.
Seseorang yang menjaga kebersihan, baik badan, pakaian, ataupun tempat
tidak mudah terjangkit penyakit. Seseorang yang selalu menjaga kebersihan
baik dirinya, rumahnya, maupun lingkungannya, maka ia menunjukan cara
hidup sehat dan disiplin. Oleh karena itu, mari bersama-sama untuk menjaga
kebersihan lingkungan umum karena dengan bersihnya lingkungan umum
maka akan membuat kita menjadi sehat, tenang dan nyaman.
23. 18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Thaharah melakukan sesuatu yang menjadi sebab diperbolehkannya
melakukan shalat. Yaitu perbuatan berupa wudlu, mandi, tayammum, dan
menghilangkan najis.
Macam-macam thaharah ada tiga. Pertama, wudlu’. Kedua, mandi. Dan
ketiga, tayammum.
Klasifikasi air ala madzhab syafi’i ada empat:
1. Air suci dan bisa mensucikan, serta tidak makruh digunakan, yaitu air mutlaq.
2. Air yang suci dan mensucikan, serta makruh menggunakannya pada badan,
tetapi bukan pada pakaian, yaitu air musyammas.
3. Air yang suci tapi tak bisa mensucikan. Yaitu air musta’mal
4. Air najis, yaitu air yang terkena najis sampai berubah sifatnya ataupun tidak,
dan kondisi air tersebut kurang dua qulla.
Adapun tujuan dari thaharah adalah untuk menyucikan diri dari kotoran
berupa hadats dan najis serta sebagai syarat sahnya shalat dan ibadah seorang
hamba.
Tharah yang baik dan benar dengan beberapa ketentuan seperti niat,
menggunakan air yang suci dan mensucikan , terbasuhnya semua bagian-bagian
yang wajib dibasuh saat bersuci, dan tidak melakukan hal-hal yang dapat
membatalkan thaharah.
Implementasi hikmah thaharah dalam kehidupan sehari-hari yaitu bisa
mengjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal ataupun tempat ibadah.
B. Saran
Setelah penulis mencoba sedikit menguraikan hal-hal mengenai thaharah,
penulis berharap Semoga dapat diterima dan dipahami oleh para pembaca. Semoga
dengan adanya makalah ini dapat memberikan kesadaran baik bagi penulis sendiri
ataupum para pembaca tentang betapa pentingngya thaharah dalam kehidupan
24. 19
sehari-hari. Karena segala amal sesuatu didahului dengan thaharah, baik thaharah
secara fisik ataupum secara batin.
25. 20
DAFTAR PUSTAKA
HR, M. Hamim. 2017. Fathal Qarib. Kediri: Santri Salaff Press
Hakam, M. Fikri. 2017. Fiqih Populer Terjemah Fathul Mu’in. Kediri: Lirboyo
Press
https://islam.nu.or.id/post/read/82243/empat-macam-air-dan-hukumnya-
untuk-bersuci
https://islam.nu.or.id/post/read/82513/tiga-macam-najis-dan-cara-
menyucikannya
https://islam.nu.or.id/post/70/thaharah