1. BERBICARA
Waktu (baca : usia) adalah modal untuk melakukan amal shalih. Orang yang mengerti hakikat
ini, maka dia tidak akan menggunakannya kecuali untuk perkara yang bermanfaat. Dia akan
berusaha memanfaatkan segala potensi diri untuk mendapatkan pahala sebanyak mungkin.
Diantara yang bisa mudah dimanfaatkan untuk menabung bekal disisi Allah Azza wa Jalla
adalah lidah. Dengan lidah, seseorang bisa berdzikir dan saling nasehat menasehati sehingga
meraih banyak pahala. Namun sebaliknya, lidah juga bisa mengakibatkan dosa dan menyeret
seseorang ke neraka, jika tidak dimanfaatkan untuk kebaikan. Kesadaran seseorang terhadap
fungsi dan bahaya lisan ini akan mendorong dirinya untuk menjaga lidah, tidak berbicara
kecuali yang bermanfaat.
Berikut kami nukilkan beberapa bencana yang dapat ditimbulkan oleh lidah. Dengan harapan
agar kita menjauhinya setelah kita faham. Karena kita tidak akan bisa menghindarinya kalau
kita belum mengetahui berbagai bencana ini. Diantara bencana-bencana itu adalah :
1. Membicarakan Sesuatu Yang Tidak Bermanfaat.
Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
Sesungguhnya di antara kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang
tidak bermanfaat [HR. Tirmidzi, no. 2317; Ibnu Mâjah, no. 3976; Mâlik, 2/470; al-Baghawi,
no. 4132. Dishahihkan oleh al-Albâni]
Sesuatu yang tidak bermanfaat itu, bisa berupa perkataan atau perbuatan; perkara yang haram,
atau makruh, atau perkara mubah yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu, supaya terhindar
dari bahaya lisan yang pertama ini, hendaklah seseorang selalu sesuatu yang mengandung
kebaikan. Jika tidak bisa, hendaknya diam. Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda:
ا
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia mengucapkan sesuatu yang
baik atau diam. [HR. Bukhâri, no. 6475; Muslim, no. 47; dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu]
Walaupun ini berat, namun seyogyanya seorang hamba yang ingin selamat di akhirat agar
selalu berusaha untuk melakukannya. Diriwayatkan bahwa Muwarriq al-„Ijli rahimahullah
berkata : “Ada satu perkara yang aku sudah mencarinya semenjak duapuluh tahun lalu. Aku
belum berhasil meraihnya. Namun aku tidak akan berhenti mencarinya”. Orang-orang
bertanya: “Apa itu wahai Abu Mu‟tamir?” Dia menjawab : “Diam (tidak membicarakan-red)
dari sesuatu yang tidak bermanfaat bagiku”
2. 2. Berdebat Dengan Cara Batil Atau Tanpa Ilmu.
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda.
Sesungguhnya orang yang paling dimurkai oleh Allah adalah orang yang selalu mendebat.
[HR. Bukhâri, no. 2457; Muslim, no. 2668; dll]
Mendebat dalam hadits diatas maksudnya adalah mendebat dengan cara batil atau
tanpa ilmu. Sedangkan orang yang berada di pihak yang benar, sebaiknya dia juga
menghindari perdebatan. Karena debat itu akan membangkitkan emosi, mengobarkan
kemurkaan, menyebabkan dendam, dan mencela orang lain. Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallambersabda:
Saya memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi orang yang meningalkan perdebatan
walaupun dia orang yang benar. Saya memberikan jaminan rumah di tengah surga bagi orang
yang meningalkan kedustaan walaupun dia bercanda. Saya memberikan jaminan rumah di
surga yang tinggi bagi orang yang membaguskan akhlaqnya. [HR. Abu Dawud, no. 4800;
dishahîhkan an-Nawawi dalam Riyâdhus Shâlihîn, no. 630 dan dihasankan oleh Syaikh alAlbâni di dalam ash-Shahîhah, no. 273]
Mengingkari kemungkaran dan menjelaskan kebenaran merupakan kewajiban seorang
Muslim. Jika penjelasan itu diterima, itulah yang dikehendaki. Namun jika ditolak, maka
hendaklah dia meninggalkan perdebatan. Ini dalam masalah agama, apalagi dalam urusan
dunia, maka tidak ada alasan untuk berdebat.
3. Banyak Berbicara, Suka Mengganggu Dan Sombong
Masalah-masalah ini dijelaskan oleh Nabi Shallallahu „alaihi wa sallamdengan sabda beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam :
Sesungguhnya termasuk orang yang paling kucintai di antara kamu dan paling dekat tempat
duduknya denganku pada hari kiamat adalah orang-orang yang paling baik akhlaqnya di
antara kamu. Dan sesungguhnya orang yang paling kubenci di antara kamu dan paling jauh
tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah ats-tsartsârûn, al-mutasyaddiqûn, dan almutafaihiqûn. Para sahabat berkata: “Wahai Rsulullah, kami telah mengetahui al-tsartsârûn
dan al-mutasyaddiqûn, tetapi apakah al-mutafaihiqûn? Beliau menjawab: “Orang-orang yang
sombong”. [Hadits Shahih dengan penguat-penguatnya. HR Tirmidzi, no. 2018 dari Jâbir
Radhiyallahu anhu ; dan Ahmad 2/369 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]
Setelah meriwayatkan hadits ini, imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan, ”ats-Tsartsâr
adalah orang yang banyak bicara, sedangkan al-mutasyaddiq adalah orang yang biasa
3. mengganggu orang lain dengan perkataan dan berbicara jorok kepada mereka”.
Imam Ibnul Atsîr rahimahullah menjelaskan dalam kitab an-Nihâyah : “ats-Tsartsârûn adalah
orang-orang yang banyak bicara dengan memaksakan diri dan keluar dari kebenaran. alMutasyaddiqûn adalah orang-orang yang berbicara panjang lebar tanpa hati-hati.. Ada juga
yang mengatakan, al-mutasyaddiq adalah orang yang mengolok-olok orang lain dengan
mencibirkan bibir kearah mereka”.
Imam al-Mundziri rahimahullah mengatakan dalam at-Targhîb : “ats-Tsartsâr adalah orang
yang banyak bicara dengan memaksakan diri. al-Mutasyaddiq adalah orang yang berbicara
dengan seluruh bibirnya untuk menunjukkan kefasihan dan keagungan perkataannya. alMutafaihiq hampir semakna dengan al-mutasyaddiq. karena maknanya adalah orang yang
memenuhi mulutnya dengan perkataan dan berbicara panjang lebar untuk menunjukkan
kefasihannya, keutamaannya, dan merasa lebih tinggi dari orang lain. Oleh karena inilah,
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallammenafsirkan al-mutafaihiq dengan orang yang sombong.
[Dinukil dengan ringkas dari Tuhfatul Ahwâdzi, Syarh Tirmidzi]
Tetapi tidak termasuk sajak yang dibenci, lafazh-lafazh yang disampaikan khatib, kalimat
indah untuk memberi peringatan, asal tidak berlebihan dan aneh. Karena tujuannya adalah
untuk membangkitkan hati dan menggerakkannya menuju kebaikan, kalimat yang indah, dan
semacamnya.
4. Mengucapkan Perkataan Keji, Jorok, Celaan, Dan Semacamnya.
Semua hal ini tercela dan terlarang. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallambersabda:
Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat,
bukan orang yang keji (buruk akhlaqnya), dan bukan orang yang jorok omongannya. [HSR.
Tirmidzi, no. 1977; Ahmad, no. 3839 dan lain-lain]
Fuhsy (keji) dan badza’ (jorok) adalah mengungkapkan perkara-perkara yang
dianggap keji (tabu) dengan kata-kata gamblang. Biasanya tentang lafazh-lafazh jima’
dan yang berkaitan dengannya. Orang-orang yang sopan akan menjauhi ungkapanungkapan itu dan mengunakan kata-kata sindiran, sebagaimana dicontohkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta‟ala dan Rasul-Nya Shallallahu „alaihi wa sallam.
Betapa banyak perkataan keji dan jorok tersebar di zaman ini, di koran-koran, majalahmajalah, buku-buku, novel-novel, radio, HP, atau lainnya. Bahkan ada perkara yang lebih
buruk dan lebih keji dari sekedar ucapan !! Namun yang bisa merasakan keburukannya adalah
orang-orang yang hatinya masih hidup. Sedangkan orang yang hatinya sakit atau mati, maka
dia tidak akan merasakan keburukannya, bahkan mungkin sebaliknya, dia akan merasa
nikmat. Sebagaimana luka yang hanya dirasakan oleh orang yang masih hidup, sedangkan
orang yang mati, dia tidak akan merasakan sakit akibat luka. Wallahul Musta‟an.
4. 5. Keterlaluan Dalam Bercanda.
Yaitu semua waktunya digunakan untuk bercanda dan membuat orang tertawa. Sesungguhnya
banyak canda akan menjatuhkan wibawa, menyebabkan dendam dan permusuhan, serta
mematikan hati. Nabi Shallallahu „alaihi wa sallambersabda :
Janganlah kamu memperbanyak tawa, karena sesungguhnya banyak tertawa itu akan
mematikan hati. [HSR. Ibnu Mâjah, no. 4193; dishahîhkan oleh al-Albâni dalam Silsilah ashShahîhah, no. 506]
Apalagi jika banyak bercanda ini ditambahi dusta, maka jelas akan lebih berbahaya. Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallammemperingatkan dengan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam:
Kecelakaan bagi orang yang menceritakan suatu, lalu dia berdusta untuk membuat orangorang tertawa. Kecelakaan baginya ! Kecelakaan baginya !. [HSR. Tirmidzi, no. 2315; Abu
Dâwud, no. 4990; dishahîhkan oleh al-Albâni]
Namun jika canda itu dilakukan kadang-kadang dan dengan perkataan yang benar
serta dilakukan kepada orang-orang yang membutuhkannya, seperti anak-anak, wanita
atau istri, sebagian orang laki-laki, sebagaimana canda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka hal itu tidak mengapa. Karena canda akan menyenangkan hati dan
menyegarkan suasana. Sebagian ulama menyatakan bahwa canda dalam perkataan itu
seperti garam dalam makanan.
6. Membicarakan Suatu Yang Bathil.
Maksudnya adalah menceritakan perbuatan-perbuatan maksiatnya, seperti berbangga dengan
perbuatan bermabuk-mabukan atau kemungkaran yang lain. Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallambersabda:
Semua umatku mu‟âfan (akan diampuni dosanya; atau tidak boleh dighibah) kecuali orangorang yang melakukan dosa dengan terang-terangan. Dan termasuk melakukan dosa dengan
terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu perbuatan buruk pada malam hari,
kemudian di waktu pagi dia mengatakan, ”Hai Fulan, tadi malam aku melakukan ini dan ini”.
Padahal di waktu malam Allah Azza wa Jalla telah menutupi perbuatan buruknya, namun di
waktu pagi dia membongkar tutupan Allah. [HR. Bukhâri, no. 6069; Muslim, no. 2990]
Oleh karena itulah, barangsiapa yang telah bertaubat dari perbuatan dosa, hendaklah dia
menutupi aib dirinya, tidak perlu bercerita kepada orang lain.
5. 7. Perkataan Yang Salah Berkaitan Dengan Masalah Agama, Apalagi Jika Berkaitan Dengan
Sifat-Sifat Allah Azza wa Jalla .
Kesalahan lisan yang satu ini, tentu susah diatasi kecuali oleh para ahli ilmu dan ahli bahasa.
Orang yang malas atau tidak bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan bahasa, maka
perkataannya tidak lepas dari ketergelinciran. Semoga Allah Azza wa Jalla mema‟afkan
kesalahan akibat ketidaktahuan. Diantara contoh perkataan yang salah berkaitan dengan
masalah agama yaitu perkataan „Apa yang Allah dan engkau kehendaki‟. Dalam hadits
dijelaskan :
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
mendengar seorang laki-laki berkata: "Mâ syâ‟allah wa syi'ta" (apa yang Allah dan engkau
kehendaki), maka beliau bersabda : "Bukan begitu, tetapi (katakanlah) : "Mâ syâ‟allah
wahdah" (apa yang dikehendaki oleh Allah semata). [HR. Ahmad, no: 1965]
Hikmah larangan ucapan "Mâ syâ‟allah wa syi'ta" (apa yang Allah dan engkau kehendaki),
dan semacamnya adalah karena ucapan itu merupakan bentuk menyekutukan kehendak Allah.
Karena kata sambung "dan" bermakna mengumpulkan, menyamakan dan menyekutukan.
Yang benar, dalam menggabungkan kehendak hamba dengan kehendak Allah ialah dengan
menggunakan kata "kemudian". Karena kata “kemudian” mengandung makna urutan
(berikutnya) dan ada selang waktu. Hal ini karena kehendak Allah Azza wa Jalla
mendahului kehendak hamba. Maka tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi kecuali yang
dikehendaki oleh Allah Azza wa Jalla . Semua yang Allah Azza wa Jalla kehendaki maka
pasti terjadi, dan yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi.
Syaikh Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallamâshiruddîn al-Albâni berkata dalam kitab
Silsilah al-Ahâdîst ash-Shahîhah, 1/266-267 : "Dalam hadits-hadits ini terdapat dalil bahwa
ucapan seseorang kepada yang lain "mâ syâ‟allah wa syi'ta" (apa yang Allah dan engkau
kehendaki) dinilai syirik dalam syari'at. Dan ini termasuk syirik dalam kata-kata. Karena
memberikan kesan bahwa kehendak hamba sederajat dengan kehendak Allah Subhanahu wa
Ta‟ala . Sebabnya adalah karena menggabungkan dua kehendak tersebut. Contoh yang lain
adalah perkataan sebagian orang-orang awam dan orang-orang seperti mereka yang mengaku
berilmu : "Tidak ada bagiku selain Allah dan anda", "Kami bertawakkal kepada Allah dan
kepada anda". Dan seperti perkataan sebagian para penceramah: "Dengan nama Allah dan
dengan nama tanah air", atau "Dengan nama Allah dan dengan nama bangsa", dan kata-kata
syirik yang sejenisnya wajib ditinggalkan dan bertaubat, dalam rangka beradab kepada Allah
Tabâraka wa Ta'âla".
Selain yang telah disebutkan diatas, sesungguhnya bencana-bencana lidah masih banyak,
seperti ghibah, namimah, dusta, dan lain sebagainya. Namun sedikit yang kami sampaikan ini
mudah-mudahan sebagai pemacu bagi kita semua untuk selalu menjaga lidah kita dari
keburukan dan selalu menghiasinya dengan kebaikan. Al-hamdulillahi Rabbil 'Alamiin.
Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/Shafar 1430/2009M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]