1. Saudariku, Betapa Agung Peranmu
Oleh
Ustadz Abdullâh bin Taslîm al-Buthoni MA
Agama Islam sangat memuliakan dan mengagungkan kedudukan kaum perempuan,
dengan menyamakan mereka dengan kaum laki-laki dalam mayoritas hukum-hukum
agama Islam, dalam kewajiban bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla , menyempurnakan
keimanan, dalam pahala dan siksaan, serta keumuman anjuran dan larangan dalam Islam.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
sedang dia orang yang beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan
mereka tidak dianiaya walau sedikitpun [an-Nisâ'/4:124]
Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman :
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di
akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [anNahl/16:97] [1]
Sebagaimana Islam juga sangat memperhatikan hak-hak kaum perempuan, dan
mensyariatkan hukum-hukum yang agung untuk menjaga dan melindungi mereka.[2]
Syaikh Shâlih al-Fauzân –hafizhahullâh- berkata, "Wanita Muslimah memiliki
kedudukan (yang agung) dalam Islam, sehingga banyak tugas (yang mulia dalam Islam)
yang disandarkan kepadanya. Oleh karena itu, Nabi k selalu menyampaikan nasehatnasehat yang khusus bagi kaum wanita [3] , bahkan beliau n menyampaikan wasiat
khusus tentang wanita dalam khutbah beliau di „Arafah (ketika haji wada').[4] Ini semua
menunjukkan wajibnya memberikan perhatian kepada kaum wanita di setiap waktu…[5]
2. TUGAS DAN PERAN WANITA
Agungnya tugas dan peran wanita ini terlihat jelas pada kedudukannya sebagai pendidik
pertama dan utama generasi muda Islam, yang dengan memberikan bimbingan yang baik
bagi mereka, berarti telah mengusahakan perbaikan besar bagi masyarakat dan umat
Islam.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn berkata: "Sesungguhnya kaum wanita
memiliki peran yang agung dan penting dalam upaya memperbaiki kondisi masyarakat,
hal ini karena upaya memperbaiki kondisi masyarakat itu ditempuh dari dua sisi:
Pertama: Perbaikan kondisi di luar rumah, yang dilakukan di pasar, mesjid dan tempattempat lainnya di luar rumah. Perbaikan ini didominasi oleh kaum laki-laki, karena
merekalah orang-orang yang beraktifitas di luar rumah.
Kedua: Perbaikan di balik dinding (di dalam rumah), yang ini dilakukan di dalam rumah.
Tugas (mulia) ini umumnya disandarkan kepada kaum wanita, karena merekalah
pemimpin/pendidik di dalam rumah, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla kepada
istri-istri Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam :
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan
dosa dari kamu, hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [alAhzâb/33:33]
Oleh karena itu, tidak salah kalau sekiranya kita mengatakan bahwa sesungguhnya
kebaikan separuh atau bahkan lebih dari jumlah masyarakat disandarkan kepada kaum
wanita. Hal ini dikarenakan dua hal:
1. Jumlah kaum wanita sama dengan jumlah laki-laki, bahkan lebih banyak dari laki-laki.
Ini berarti umat manusia yang terbanyak adalah kaum wanita, sebagaimana yang
ditunjukkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam :
.…Berdasarkan semua ini, maka kaum wanita memiliki peran yang sangat besar dalam
memperbaiki kondisi masyarakat.
2. Awal mula tumbuhnya generasi baru adalah dalam asuhan para wanita, dan ini semua
menunjukkan mulianya tugas kaum wanita dalam memperbaiki masyarakat.[6]
3. Inilah makna ucapan seorang penyair yang berkata:
Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya
Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya[7]
BAGAIMANA SEORANG WANITA MEMPERSIAPKAN DIRINYA AGAR
MENJADI PENDIDIK YANG BAIK BAGI ANAK?
Agar seorang wanita berhasil mengemban tugas mulia ini, maka dia perlu menyiapkan
dalam dirinya faktor-faktor yang sangat menentukan dalam hal ini, di antaranya:
1. Berusaha Memperbaiki Diri Sendiri.
Faktor ini sangat penting, karena bagaimana mungkin seorang ibu bisa mendidik
anaknya menjadi orang yang baik kalau dia sendiri tidak memiliki kebaikan tersebut
dalam dirinya? Sebuah ungkapan Arab yang terkenal mengatakan:
Sesuatu yang tidak punya tidak bisa memberikan apa-apa.[8]
Maka, kebaikan dan ketakwaan seorang pendidik sangat menentukan keberhasilannya
dalam mengarahkan anak didiknya kepada kebaikan. Oleh karena itu, para Ulama sangat
menekankan kewajiban meneliti keadaan seorang yang akan dijadikan sebagai pendidik
dalam agama.
Dalam sebuah ucapannya yang terkenal Imam Muhammad bin Sirîn rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya ilmu (yang kamu pelajari) adalah agamamu (yang akan
membimbingmu mencapai ketakwaan), maka telitilah dari siapa kamu mengambil (ilmu)
agamamu.”[9]
Faktor penting inilah yang merupakan salah satu sebab utama yang menjadikan para
Sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menjadi generasi terbaik umat ini dalam
pemahaman dan pengamalan agama mereka. Bagaimana tidak? Da‟i dan pendidik
mereka adalah nabi yang terbaik dan manusia yang paling mulia di sisi Allahk , yaitu
Nabi kita Muhammad bin `Abdillâh Shallallahu „alaihi wa sallam. Makna inilah yang
diisyaratkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
Bagaimana mungkin (baca: tidak mungkin) kalian (wahai para Sahabat Nabi), (sampai)
menjadi kafir, karena ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nya pun
berada di tengah-tengah kalian (sebagai pembimbing). [Ali „Imrân/3:101]
4. Contoh lain tentang peranan seorang pendidik yang baik adalah apa yang disebutkan
dalam biografi salah seorang Imam besar dari kalangan tabi‟in, Hasan bin Abil Hasan alBashri rahimahullah [10] , ketika Khâlid bin Shafwân rahimahullah [11] menerangkan
sifat-sifat Hasan al-Bashri rahimahullah kepada Maslamah bin `Abdul Mâlik
rahimahullah [12] dengan berkata, “Dia adalah orang yang paling sesuai antara apa yang
disembunyikannya dengan apa yang ditampakkannya, paling sesuai ucapan dengan
perbuatannya. Kalau dia duduk di atas suatu urusan maka diapun berdiri di atas urusan
tersebut…dan seterusnya”. Setelah mendengar penjelasan tersebut Maslamah bin `Abdul
Mâlik rahimahullah berkata, “Cukuplah (keteranganmu), bagaimana mungkin suatu
kaum akan tersesat (dalam agama mereka) kalau orang seperti ini (sifat-sifatnya) ada di
tengah-tengah mereka?” [13]
Oleh karena itulah, ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin
Wâsi‟ rahimahullah [14] tentang sedikitnya pengaruh nasehat yang disampaikannya
dalam merubah akhlak orang-orang yang diceramahinya, maka Muhammad bin Wâsi‟
rahimahullah berkata, “Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan
demikian (tidak terpengaruh dengan nasehat yang kamu sampaikan) tidak lain sebabnya
adalah dari dirimu sendiri. Sesungguhnya peringatan (nasehat) itu jika keluarnya ikhlas
dari dalam hati, maka akan mudah masuk ke dalam hati orang yang mendengarnya.” [15]
2. Menjadi Teladan Yang Baik Bagi Anak-Anak.
Faktor ini sangat berhubungan erat dengan faktor yang pertama, akan tetapi kami
jelaskan secara terpisah karena sangat penting.
Menampilkan teladan yang baik dalam sikap dan tingkah laku di depan anak didik
termasuk metode pendidikan yang paling baik dan utama. Bahkan para Ulama
menjelaskan bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari perbuatan dan tingkah laku yang
langsung terlihat terkadang lebih besar dari pada pengaruh ucapan. [16]
Hal ini disebabkan jiwa manusia itu lebih mudah mengambil teladan dari contoh yang
terlihat di hadapannya, dan menjadikannya lebih semangat dalam beramal serta
bersegera dalam kebaikan. [17]
Oleh karena itulah, dalam banyak ayat al-Qur'ân Allah Azza wa Jalla menceritakan
kisah-kisah para Nabi Alaihissallam yang terdahulu, serta kuatnya kesabaran dan
keteguhan mereka dalam mendakwahkan agama Allah Azza wa Jalla untuk meneguhkan
hati Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , dengan mengambil teladan yang baik dari
mereka.[18] Allah Azza wa Jalla berfirman:
Dan semua kisah para Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang
dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran
serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. [Hûd/11:120]
5. Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah ketika menjelaskan pengaruh tingkah laku buruk
seorang ibu dalam membentuk kepribadian buruk anaknya, beliau berkata, "Jika seorang
ibu tidak memakai hijab (pakaian yang menutup aurat), tidak menjaga kehormatan
dirinya, sering keluar rumah (tanpa ada alasan yang dibenarkan agama), suka berdandan
dengan menampakkan (kecantikannya di luar rumah), senang bergaul dengan kaum
lelaki yang bukan mahramnya, dan lain sebagainya, maka ini secara tidak langsung
merupakan pendidikan yang berupa praktek nyata bagi anaknya untuk mengarahkannya
kepada penyimpangan akhlak dan memalingkannya dari pendidikan, baik yang
membuahkan hasil terpuji berupa kesadaran untuk memakai hijab pakaian yang menutup
aurat, menjaga kehormatan dan kesucian diri, serta memiliki rasa malu. Inilah yang
dinamakan dengan 'pengajaran pada fitrah manusia' ".[19]
Sehubungan dengan hal ini, Imam Ibnul Jauzi rahimahullah membawakan sebuah ucapan
seorang Ulama Salaf yang terkenal, Ibrâhîm al-Harbi [20]. Dari Muqâtil bin Muhammad
al-'Ataki, beliau berkata, “Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu
Ishâk Ibrâhîm al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku, "Mereka ini anakanakmu?". Ayahku menjawab, "Ya". Beliau berkata kepada ayahku, "Hati-hatilah!
Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah Azza wa Jalla , sehingga
menyebabkan wibawamu jatuh di mata mereka."[21]
3. Memilih Metode Pendidikan Yang Baik Bagi Anak
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn rahimahullah berkata, "Yang menentukan
keberhasilan pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah kemudahan taufik dari Allah
Azza wa Jalla . Jika seorang hamba bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla serta berusaha
menempuh metode pembinaan yang sesuai syariat Islam, maka Allah Azza wa Jalla akan
memudahkan urusannya (dalam mendidik anak). Allah Azza wa Jalla berfirman:
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya
kemudahan dalam (semua) urusannya. [ath-Thalâq/65:4] [22]
Termasuk metode pendidikan yang benar adalah membiasakan anak-anak sejak dini
melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya sebelum mereka
mencapai usia dewasa. Hal itu agar mereka terbiasa dalam ketaatan.
Imam Ibnu Hajar al-'Asqalâni rahimahullah ketika menjelaskan makna hadits yang
shahîh ketika Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam melarang Hasan bin 'Ali
Radhiyallahu anhu memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan Radhiyallahu
anhu masih kecil,[23] beliau menyebutkan bahwa di antara kandungan hadits ini adalah,
bolehnya membawa anak kecil ke masjid dan mendidik mereka dengan adab yang
bermanfaat bagi mereka, serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan
mereka sendiri, (yaitu) yaitu perbuatan yang diharamkan dalam agama, meskipun anak
kecil belum dibebani kewajiban syariat. Tujuannya adalah agar mereka terlatih
6. melakukan kebaikan tersebut. [24]
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata, "Contoh pembinaan awal yang diharamkan
dalam Islam adalah memakaikan anak-anak kecil pakaian yang menampakkan aurat. Hal
ini menjadikan mereka terbiasa dengan pakaian dan perhiasan tersebut sampai dewasa.
Padahal, pakaian tersebut menyerupai pakaian orang-orang kafir, menampakkan aurat
dan merusak kehormatan."[25]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimîn rahimahullah ketika ditanya, “Apakah
diperbolehkan bagi anak kecil, laki-laki maupun perempuan, untuk memakai pakaian
pendek yang menampakkan pahanya? Beliau menjawab, "Sudah diketahui bahwa anak
kecil yang umurnya di bawah tujuh tahun, tidak ada hukum (larangan menampakkan)
bagi auratnya, akan tetapi membiasakan anak-anak kecil memakai pakaian yang pendek
dan menampakkan aurat seperti ini tentu akan membuat mereka terbiasa membuka aurat
setelah dewasa. Bahkan, bisa jadi seorang anak setelah dewasa tidak malu menampakkan
pahanya, karena sejak kecil dia terbiasa menampakkannya dan tidak peduli dengannya…
Maka menurut pandanganku anak-anak harus dilarang memakai pakaian seperti ini,
meskipun mereka masih kecil. Hendaknya mereka memakai pakaian yang sopan dan
jauh dari pakaian yang dilarang dalam agama."[26]
Seorang penyair mengungkapkan makna ini dalam syairnya:
Anak kecil itu akan tumbuh dewasa di atas apa yang terbiasa (didapatkannya) dari orang
tuanya
Sesungguhnya di atas akarnyalah pohon itu akan tumbuh.[27]
Senada dengan syair di atas ada pepatah arab yang mengatakan:
"Barangsiapa yang ketika muda terbiasa melakukan sesuatu maka ketika tuapun dia akan
terus melakukannya" [28] .
4. Kesungguhan Dan Keseriusan Dalam Mendidik Anak
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata, "Anak-anak adalah amanah (titipan Allah
Azza wa Jalla) kepada kedua orang tua atau orang yang bertanggungjawab atas urusan
mereka. Maka, syariat Islam mewajibkan mereka menunaikan amanah ini dengan
mendidik mereka berdasarkan petunjuk agama Islam, serta mengajarkan kepada mereka
hal-hal yang menjadi kewajiban mereka, dalam urusan agama maupun dunia. Kewajiban
pertama yang hendaknya diajarkan kepada mereka adalah menanamkan ideologi tentang
iman kepada Allah Azza wa Jalla , para malaikat, kitab-kitab suci, para Rasul
Alaihissallam, hari akhirat, dan mengimani takdir Allah Azza wa Jalla yang baik dan
buruk, juga memperkokoh pemahaman tauhid yang murni dalam jiwa mereka, agar
menyatu ke dalam relung hati mereka. Kemudian, mengajarkan rukun-rukun Islam pada
diri mereka, selalu menyuruh mereka mendirikan shalat, menjaga kejernihan bakat-bakat
mereka yang baik, menumbuhkan pada watak mereka akhlak yang mulia dan tingkah
7. laku yang baik, serta menjaga mereka dari teman pergaulan dan pengaruh luar yang
buruk.
Inilah rambu-rambu pendidikan Islam yang diketahui dalam agama ini secara pasti oleh
setiap Muslim. Karena pentingnya hal itu, para Ulama menulis kitab-kitab khusus (untuk
menjelaskannya)…bahkan metode pendidikan seperti ini termasuk petunjuk para Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam dan bimbingan orang-orang yang bertakwa (para Ulama
salaf)." [29]
Lebih lanjut, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimîn rahimahullah menekankan
pentingnya masalah ini dalam ucapan beliau, "Pada masa awal pertumbuhan anak-anak,
yang selalu bersama mereka adalah seorang ibu. Maka, jika sang ibu memiliki akhlak
dan perhatian yang baik kepada mereka, tentu mereka akan tumbuh dan berkembang
dengan baik dalam asuhannya, dan ini akan memberikan dampak positif yang besar bagi
perbaikan masyarakat Muslim.
Oleh karena itu, wajib bagi seorang wanita yang mempunyai anak, untuk memberikan
perhatian besar kepada anaknya dan kepada upaya mendidiknya dengan pendidikan yang
baik. Jika dia tidak mampu melakukannya seorang diri, maka dia bisa meminta tolong
kepada suaminya atau orang yang bertanggung jawab atas urusan anak tersebut.
Dan tidak pantas seorang ibu bersikap pasrah dengan kenyataan (buruk yang ada),
dengan mengatakan, "Orang lain sudah terbiasa melakukan kesalahan dalam masalah ini
dan aku tidak bisa merubah keadaan ini."
Karena kalau kita terus menerus pasrah dengan kenyataan buruk ini, maka nantinya tidak
akan ada perbaikan, sebab dalam perbaikan harus ada upaya merubah yang buruk dengan
cara yang baik, bahkan merubah yang sudah baik menjadi lebih baik lagi supaya semua
keadaan kita benar-benar menjadi baik.
Di samping itu, sikap pasrah pada kenyataan buruk yang ada adalah hal yang tidak
diperbolehkan dalam syariat Islam. Oleh karena itulah, ketika Allah Azza wa Jalla
mengutus Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam kepada kaumnya yang berbuat syirik
(bangsa Arab jahiliyyah), yang masing-masing mereka menyembah berhala,
memutuskan hubungan kekeluargaan, berbuat aniaya dan melampaui batas terhadap
orang lain tanpa alasan yang benar, pada waktu itu Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam tidak bersikap pasrah pada kenyataan yang ada, bahkan Allah Azza wa Jalla
sendiri tidak mengizinkan beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersikap pasrah pada
kenyataan buruk tersebut. Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada beliau Shallallahu
„alaihi wa sallam , "Maka sampaikanlah (secara terang-terangan) segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah (jangan pedulikan) orang-orang yang
musyrik" [al-Hijr/15:94]."[30]
8. PENUTUP
Demikianlah, semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada
para wanita Muslimah agar mereka menyadari mulianya tugas dan peran mereka dalam
Islam, dan agar mereka senantiasa berpegang teguh dengan petunjuk-Nya dalam
mendidik generasi muda Islam serta dalam urusan-urusan kehidupan lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1429/2009M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo
57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat keterangan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Hirâsatul fadhîlah hlm. 17
[2]. Lihat kitab Al-Mar'ah, Baina Takrîmil Islâm Wa Da'âwât Tahrîr. hlm. 6
[3]. Misalnya dalam HSR al-Bukhâri no. 3153 dan Muslim no. 1468
[4]. Dalam HSR Muslim no. 1218
[5]. Kitab At-Tanbîhât 'Alâ Ahkâmin Takhtashshu Bil Mu'minât hlm. 5
[6]. Kitab Daurul Mar-ati Fî Ishlâhil Mujtamâ' hlm. 3-4
[7]. Dinukil oleh Syaikh Shaleh al-Fauzân dalam kitab Makânatul Mar-ati Fil Islâm hlm.
5
[8]. Dinukil oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam kitab At-Tawassul, 'Anwâ'uhu
Wa Ahkâmuhu hlm. 74
[9]. Muqaddimah Shahîh Muslim 1/12
[10]. Beliau adalah imam besar dan terkenal dari kalangan Tabi‟in „senior‟ (wafat 110
H), memiliki banyak keutamaan sehingga sebagian dari Ulama menobatkannya sebagai
tabi‟in yang paling utama, biografi beliau dalam kitab Tahdzîbul Kamâl 6/95 dan Siyar
A‟lâmin Nubalâ‟ 4/563
[11]. Beliau adalah Abu Bakr Khâlid bin Shafwân bin al-Ahtam al-Minqari al-Bashri,
seorang yang sangat fasih dalam bahasa Arab, biografi beliau dalam kitab Siyar A‟lâmin
Nubalâ‟ 6/226
[12]. Beliau adalah Maslamah bin `Abdil Mâlik bin Marwân bin al-Hakam (wafat 120
H), seorang gubernur dari Bani Umayyah, saudara sepupu Umar bin `Abdul Azîz
rahimahullah dan meriwayatkan hadits darinya, biografi beliau dalam kitab Tahdzîbul
Kamâl 27/562 dan Siyar A‟lâmin Nubalâ‟ 5/241
[13]. Siyar A‟lâmin Nubalâ' 2/576
[14]. Beliau adalah Muhammad bin Wâsi‟ bin Jâbir bin al-Akhnas al-Azdi al-Bashri
(wafat 123 H), seorang imam dari kalangan tabi‟in „junior‟ yang taat beribadah dan
terpercaya dalam meriwayatkan hadits. Imam Muslim mengeluarkan hadits beliau dalam
kitab Shahîh Muslim. Biografi beliau dalam kitab Tahdzîbul Kamâl 26/576 dan Siyar
A‟lâmin Nubala‟ 6/119
[15]. Kitab Siyar A‟lâmin Nubalâ‟ 6/122
[16]. Lihat Al-Mu'in 'Ala Tahshîli Adabil 'Ilmi hlm. 50 dan Ma'âlim Fî Tharîqi Thalabil
'Ilmi hlm. 124
[17]. Lihat keterangan Syaikh `Abdurrahmân as-Sa'di dalam tafsir beliau hlm. 271
[18]. Lihat Tafsîr Ibnu Katsîr 2/611
9. [19]. Kitab Hirâsatul Fadhîlah hlm. 127-128
[20]. Beliau adalah imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrâhîm bin Ishâk bin
Ibrâhîm bin Basyîr al-Baghdâdi al-Harbi (wafat 285 H), biografi beliau dalam Siyar
A'lâmin Nubala' 13/356
[21]. Kitab Shifatush Shafwah 2/409
[22]. Kutubu Wa Rasâ-ilu Syaikh Muhammad bin Shâleh al-'Utsaimîn 4/14
[23]. HSR al-Bukhâri no. 1420 dan Muslim no. 1069
[24]. Fathul Bâri 3/355
[25]. Kitab Hirâsatul Fadhîlah hlm. 10
[26]. Kitab Majmû'atul As-ilah Tahummul Usratal Muslimah hlm. 146
[27]. Kitab Adabud Dunya Wad Dîn hlm. 334
[28]. Dinukil dan dibenarkan oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-'Utsaimîn dalam
Majmû'atul As-ilah Tahummul Usratal Muslimah hlm. 43
[29]. Kitab Hirâsatul Fadhîlah hlm. 122
[30]. Kitab Daurul Mar-ati Fî Ishlâhil Mujtama' hlm. 14-15