2. 1. TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mendapatkan materi ini maka peserta akan:
• Mempunyai kepekaan dalam mendengar.
• Mempunyai kemampuan dalam berbicara.
• Memahami bahwa dalam mendengar dan berbicara ada adab dan
tatacaranya dalam Islam.
• Memahami bahwa mendengar berarti menghargai pembicaraan
orang lain.
• Menyadari bahwa berbicara berarti menghargai perasaan orang lain.
3. 2. TITIK TEKAN MATERI
• Mendengar dan berbicara adalah media komunikasi. Ada saatnya kita harus berbicara
dan ada saatnya kita harus mendengar. Allah swt. menciptakan umat manusia dengan
dua telinga dan satu mulut agar mereka lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Berbicaralah sedikit saja tetapi mengena, berkualitas, dan bermakna, daripada berbicara
panjang lebar tidak jelas manfaatnya.
• Adab mendengar dan berbicara sangat penting untuk efisiensi dan efektifitas
bermusyawarah dan berdiskusi. Dalam berdakwah, sebelum kita berbicara maka kita
harus mendengar terlebih dahulu realitas dan masalah-masalah lapangan.
• Dalam realitanya, mendengar tidak harus dengan telinga, tetapi berarti melihat data dan
memperhatikan keluh kesah serta saran orang lain. Pada akhirnya, ketrampilan
mendengar dan berbicara sangat penting dalam berdakwah dan bergaul dengan orang
lain.
4. 3. POKOK-POKOK MATERI
1. Sifat-sifat Rasul saw dalam hal mendengar dan berbicara.
2. Adab-adab mendengar.
3. Adab-adab berbicara.
4. Ketrampilan mendengar.
5. Ketrampilan berbicara.
5. I. ADAB AT-TAHADDUTS
1. Berbicara yang jelas, mudah difahami oleh setiap pendengar.
Dari ‘Aisyah ra. Berkata:
Adalah ucapan Rasulullah saw. selalu jelas maksudnya dan dipahami oleh
setiap orang yang mendengarkannya. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Dari ‘Aisyah ra. juga berkata: “Bahwa Rasulullah saw, pernah berbicara,
sekiranya ada yang menghitung ucapannya pasti terhitung.” Dan dalam
riwayat lain: “Beliau tidak mengeluarkan ucapan sebagaimana kalian
berbicara.” (HR. Bukhari-Muslim).
6. 2. Berbicara dengan ungkapan yang simpel dan tidak mencari-cari bahasa yang
tinggi, sehingga kalimat yang diucapkan tidak memiliki makna yang sulit
atau tidak bisa dimengerti.
Khalil bin Ahmad -rahimahullah- pernah ditanya suatu masalah, beliau tidak
segera menjawab. Maka penanya berkata, “Apakah pertanyaan ini tidak ada
jawabannya dalam pandangan tadi?” Beliau berkata, “Anda sebenarnya telah
mengetahui masalah yang Anda tanyakan berikut jawabannya, tetapi saya ingin
memberi jawaban yang lebih mudah lagi Anda pahami.”
3. Tidak diulang-ulang kecuali untuk memberikan tekanan makna, karena
“Sebaik-baik ucapan adalah yang singkat dan membawa arti, dan seburuk-
buruk ucapan adalah yang panjang dan membosankan.”
Abdullah bin Mas’ud ra., memberi nasehat kepada masyarakatnya setiap hari
Kamis. Ada seseorang yang berkata, “Wahai Abu Abdir Rahman, saya berharap
engkau memberi nasehat kepada kami setiap hari.” Beliau berkata, “Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya yang menghalangiku untuk itu karena aku tidak suka
membuat kalian bosan.” Selanjutnya ia berkata,
7. Aku selalu memilih waktu untuk kalian dalam memberi nasehat,
sebagaimana Nabi saw, memilih waktu untuk kami dalam memberi
nasehat karena khawatir membuat jenuh atas kami. (Muttafaq ‘alaih)
• Dari ‘Ammar bin Yasir ra berkata, Aku mendengar Rasulullah saw.
bersabda,
Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khuthbah,
merupakan bukti kemantapan pemahamannya. Maka panjangkan shalat
dan pendekkan khutbah! (HR. Muslim)
8. 4. Ucapan harus bagus, tidak kotor dan munkar
(jahat).
• Rasulullah saw, bersabda:
Setiap ucapan anak Adam mencelakannya, bukan menguntungkan,
kecuali perintah untuk kebaikan, mencegah kemungkaran, dan
dzikrullah.
9. Agar ucapan kita selalu bagus dan menambah pahala
kita dan tidak menambah dosa, maka kita harus
menjaga hal-hal berikut:
1. Setiap pembicaraan kita agar
selalu membawa unsur perintah
shadaqah, atau berbuat baik, atau
perdamaian bagi manusia. Allah
ta’ala berfirman:
Tiada kebaikan dalam banyak
pertemuan mereka, kecuali orang
yang memerintahakan shadaqah, atau
kebaikan, atau perdamaian bagi
manusia. Dan barangsiapa melakukan
hal itu untuk mencari ridha Allah,
maka niscaya Kami memberinya
pahala yang besar. (Surat An Nisa’:
114)
2. Meninggalkan pembicaraan
yang bukan kepentingan kita
untuk membicarakannya.
Rasulullah saw. bersabda,
Di antara bagusnya keislaman
seseorang adalah, ia tinggalkan
sesuatu yang tidak ia ada
kepentingan dengannya.
(HR.Turmudzi)
10. 3. Menjauhi ucapan yang sia-sia dan tidak
bermanfaat.
Allah berfirman, Sungguh beruntunglah
orang-orang yang beriman. Yaitu orang-
orang yang dalam shalatnya selalu khusyu’.
Dan orang-orang yang dari hal yang tidak
berguna mereka selalu bepaling. (Surat Al-
Mu’minun: 1-3).
Rasulullah saw. bersabda, Sungguh seorang
hamba ketika mengucapkan suatu ucapan,
tidak lain hanya untuk membuat orang lain
tertawa, ia bisa jatuh di neraka lebih jauh
antara langit dan bumi. (HR. Baihaqi)
4. Menyebar-luaskan salam.
Rasul SAW bersabda :
Wahai manusia sebar-luaskan
salam, sambunglah silaturrahim,
berikan makanan, dan shalatlah
malam ketika manusia tertidur
niscaya kalian akan masuk surga
dengan selamat. (HR Turmudzi)
11. 5. Menahan diri dari ucapan jahat yang tidak membawa
kemaslahatan.
Allah berfirman, Janganlah berdebat dengan Ahli Kitab kecuali
dengan cara yng baik, kecuali dengan orang yang zhalim di antara
mereka. (Al-Ankabut: 46)
Dalam hadits Aisyah ra. dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
Sesungguhnya sejahat-jahat manusia kedudukannya di sisi Allah pada
hari Kiamat adalah orang yang ditinggalkan masyarakatnya karena
menghindari ucapan jahatnya. (HR Bukhari)
12. 6. Bersabar dalam berdialog dengan orang-orang bodoh (jahil). Hal ini tidak berarti menerima
kehinaan, akan tetapi bisa menahan diri di hadapan faktor-faktor yang memancing emosi dan
mencegah diri dari marah, sukarela atau pun terpaksa.
Allah swt. berfirman, Dan hamba-hamba Allah yang Maha Rahman mereka itu berjalan di muka
bumi dengan rendah hati. Dan apabila diajak bicara oleh orang-orang yang bodoh (jahil) mereka
berkata, ‘selamat.’ (Al Furqan : 63)
Dan Allah memerintahkan kepada Nabi Musa dan Harun as, Pergilah kalian kepada Fir’aun
sesungguhnya dia itu melampaui batas. Maka katakanlah kepadanya perkataan yang lembut.
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa ketika Rasulullah saw. sedang duduk bersama para
sahabatnya, ada seseorang mencaci Abu Bakar ra. dan menyakitinya, tetapi Abu Bakar tetap diam.
Lalu ia menyakitinya yang kedua kali dan Abu Bakar pun tetap diam. Kemudian ia menyakitinya yang
ketiga kali, maka Abu Bakar membela diri. Ketika itulah Rasulullah saw. bangkit meninggalkan majlis.
Abu Bakar bertanya, “Apakah engkau mendapati suatu dosa atas diriku, wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw. menjawab, Ada malaikat turun dari langit mendustakan orang itu terhadap apa yang
ia ucapkan kepadamu. Namun ketika kamu membela diri, setan pun datang, maka aku tidak mau
duduk di sini ketika setan datang. (HR Abu Dawud).
13. 7. Menjauhi perdebatan, baik dalam kebenaran maupun dalam kebatilan, karena
hal itu akan menimbulkan keinginan mencari menang dalam diri akhi, dan
lebih suka berapologi daripada menampakkan kebenaran
• Rasul saw bersabda,
Tidaklah suatu kaum tersesat setelah berpegang kepada kebenaran kecuali
mereka diberi kegemaran berdebat. (HR Turmudzi).
Ibnu Majah dan Ahmad). Rasul saw bersabda, “Aku pemimpin sebuah rumah di
dalam surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia yang
benar. Dan aku pemimpin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang
meninggalkan dusta meskipun bercanda. Dan aku pemimpin sebuah rumah di
puncak surga bagi orang yang akhlaknya baik.” (HR Abu Dawud)
14. 8. Menjauhi tempat-tempat kejahatan. Yaitu tempat dilakukannya
kemungkaran atau dibicarakan di dalamnya ucapan yang menghina
atau melecehkan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.
Allah swt. berfirman,
• Dan apabila kamu melihat orang-
orang yang memperolok-olokkan
ayat-ayat Kami maka tinggalkanlah
mereka sehingga mereka
membicarakan yang lain. Dan jika
syetan menjadikan kamu lupa (akan
larangan ini) maka janganlah kamu
duduk bersama orang-orang yang
zhalim sesudah teringat larangan itu.
(Al-An’am: 68)
• Dan Allah swt. berfirman, Celakalah
bagi setiap pengumpat dan pencela.
(Al Humazah: 1)
• Rasulullah saw. bersabda,
Tidaklah pantas seorang mukmin
pencaci maki, pelaknat, suka
berkata keji, dan suka berkata
jorok.
• Rasulullah saw. bersabda, “Tidak
ada kata keji dalam sesuatu
kecuali ia akan merusaknya. Dan
tidaklah ada sifat malu dalam
sesuatu melainkan ia akan
menghiasinya.” (HR Turmudzi).
15. II. ADABUL ISTIMA’
1. Diam dan mendengarkan sehingga ucapan tidak bercampur
baur dan sulit dipahami.
Allah berfirman,
Dan apabila dibacakan Al Qur’an maka dengarkanlah baik-baik dan
perhatikanlah dengan tenang agar kalian mendapatkan rahmat. (Al-
A’raf : 204)
Dari Jabir bin Abdullah ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw.
bersabda kepadanya di Haji Wada’, “Perintahkan manusia untuk
tenang.” Kemudian beliau bersabda,
Janganlah kalian kembali sesudahku menjadi orang-orang kafir,
sebagian kalian memenggal leher yang lain. (Muttafaq ‘alaih)
Dari Anas bin Malik ra., bahwa Rasulullah saw. memberi wasiat
kepada Abu Dzar ra. Beliau saw. bersabda,
Hendaklah kamu berakhlaq mulia dan banyak diam, karena demi
Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak ada perhiasan bagi seluruh
makhluk yang serupa dengan keduanya. (HR. Ibnu Abid Dunya,
Bazzar, Thabrani, dan Abu Ya’la)
Abdullah bin Mas’ud ra, berkata, “Demi Dzat Yang jiwaku ada di
tangan-Nya, tidak ada sesuatu di atas bumi yang lebih perlu untuk
ditahan lama selain lidah.” (Riwayat Turmudzi).
2. Tidak memenggal ucapan orang lain karena tergesa-
gesa atau ingin menguasai kendali forum. Sehingga
keinginan Rasulullah saw untuk segera menghafal
Qur’an, dilarang oleh Allah dalam firman-Nya:
Dan jangalah kamu menggerakkan lidahmu untuk
membaca Al Qur’an karena kamu hendak cepat-cepat
menguasainya. (Al-Qiyamah: 16)
16. 3. Menghadapkan wajah kepada pembicara dan tidak berpaling
darinya atau membuat orang lain berpaling darinya, selama dalam
rangka taat kepada Allah, meskipun ucapan kurang membawa daya
tarik ataupun bahasanya kurang indah dan kurang lancar.
Rasulullah saw, bersabda:
Janganlah kamu meremehkan suatu kebajikan, meskipun sekedar
wajah berseri ketika engkau bertemu saudaramu. (HR. Muslim)
17. 4. Tidak menampakkan sikap berbeda karena ucapan
saudara kita, meskipun kita sudah lebih tahu,
selama pembicara tidak bersalah dalam berbicara.
Rasulullah saw. pernah meminta Ibnu Mas’ud ra. untuk membacakan
Al-Quran kepadanya, maka ia menjawab, “Aku membaca untuk Anda
padahal ia turun kepada Anda?” Beliau menjawab, Aku sungguh
senang mendengar Al-Quran itu dari orang lain.
Imam Ahmad bin Hambal pernah mendengarkan nasihat Al-Muhasibi,
sampai beliau memperhatikannya dengan tenang dan akhirnya beliau
menangis sampai basah jenggotnya.
18. 5. Tidak menampakkan kepada para hadirin bahwa kamu
adalah orang yang lebih ‘alim dibandingkan si pembicara,
karena hal itu akan menyebabkan kamu bersikap sombong
(takabbur).
• Rasulullah saw. bersabda,
Kesombongan adalah sikap
angkuh kepada kebenaran dan
meremehkan orang lain.