1. BAB II
SINDROM NEFROTIK
A. Anatomi Fisiologi
1. Pengertian
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjdinya
proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan
oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang
tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dlam air dan dikeluarkan berupa urin (air
kemih).
2. Susunan Sistem Perkemihan
Sistem perkemihan terdiri dari: a) dua ginjal (ren) yang menghasilkan urin, b)
dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria (kandung kemih), c)
satu vesika urinaria (VU), tempat urin dikumpulkan, dan d) satu urethra, urin
dikeluarkan dari vesika urinaria.
3. Ginjal (Ren)
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum pada
kedua sisi vertebra thorakalis ke 12 sampai vertebra lumbalis ke-3. Bentuk ginjal
seperti biji kacang. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena adanya
lobus hepatis dexter yang besar.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
4
2. 4. Fungsi ginjal
Fungsi ginjal adalah
a. memegang peranan penting
dalam
pengeluaran
zat-zat
toksis atau racun,
b. mempertahankan
suasana
keseimbangan cairan,
c. mempertahankan
keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan
d. mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan
amoniak.
5. Fascia Renalis terdiri dari:
Fascia renalis terdiri dari
a. fascia (fascia renalis),
b. Jaringan lemak peri renal, dan
c. kapsula yang sebenarnya (kapsula fibrosa), meliputi dan melekat dengan erat
pada permukaan luar ginjal
6. Struktur Ginjal
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat
cortex renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat gelap, dan medulla renalis di
bagian dalam yang berwarna cokelat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian
medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi
menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis.
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya
pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus.. Pelvis renalis berbentuk
corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga
calices renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga
calices renalis minores.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
5
3. Potongan membujur ginjal
Jaringan
ginjal.
Warna
biru
menunjukkan satu tubulus
Struktur halus ginjal terdiri dari banyak nefron yang merupakan unit fungsional
ginjal. Diperkirakan ada 1 juta nefron dalam setiap ginjal. Nefron terdiri dari :
Glomerulus, tubulus proximal, ansa henle, tubulus distal dan tubulus urinarius.
7. Proses Pembentukan Urin
Tahap pembentukan urin
a. Proses Filtrasi ,di glomerulus
Terjadi penyerapan darah, yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali
protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari
glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll, diteruskan ke tubulus ginjal.
cairan yang di saring disebut filtrate gromerulus.
b. Proses Reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glikosa, sodium,
klorida, fospat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara pasif
(obligator reabsorbsi) di tubulus proximal. sedangkan pada tubulus distal terjadi
kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan tubuh.
Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya dialirkan pada
papilla renalis.
c. Proses sekresi.
Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke papilla
renalis selanjutnya diteruskan ke luar.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
6
4. 8. Pendarahan
Ginjal mendapatkan darah dari aorta abdominalis yang mempunyai percabangan
arteria renalis, arteri ini berpasangan kiri dan kanan. Arteri renalis bercabang
menjadi arteria interlobularis kemudian menjadi arteri akuarta. Arteri interlobularis
yang berada di tepi ginjal bercabang menjadi arteriolae aferen glomerulus yang
masuk ke gromerulus. Kapiler darah yang meninggalkan gromerulus disebut
arteriolae eferen gromerulus yang kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena
cava inferior.
9. Persarafan Ginjal
Ginjal mendapatkan persarafan dari fleksus renalis(vasomotor). Saraf ini
berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal, saraf ini
berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal.
10. Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika
urinaria. Panjangnya ± 25-30 cm, dengan
penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada
rongga abdomen dan sebagian lagi terletak pada
rongga pelvis.
Lapisan dinding ureter terdiri dari:
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa
Lapisan
dinding
ureter
menimbulkan
gerakan-gerakan peristaltic yang mendorong urin
masuk ke dalam kandung kemih.
11. Vesika Urinaria (Kandung Kemih)
Vesika urinaria bekerja sebagai penampung
urin. Organ ini berbentuk seperti buah pir
(kendi). letaknya d belakang simfisis pubis di
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
7
5. dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis seperti
balon karet.
Dinding kandung kemih terdiri dari:
a. Lapisan sebelah luar (peritoneum).
b. Tunika muskularis (lapisan berotot).
c. Tunika submukosa.
d. Lapisan mukosa (lapisan bagian dalam).
12. Uretra
Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi
menyalurkan air kemih ke luar.
Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm,
terdiri dari:
a. Urethra pars Prostatica
b. Urethra pars membranosa ( terdapat spinchter
urethra externa)
c. Urethra pars spongiosa.
Urethra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2
cm (Taylor), 3-5 cm (Lewis). Sphincter urethra terletak di sebelah atas vagina
(antara clitoris dan vagina) dan urethra disini hanya sebagai saluran ekskresi.
Dinding urethra terdiri dari 3 lapisan:
a. Lapisan otot polos, merupakan kelanjutan otot
polos dari Vesika urinaria. Mengandung
jaringan elastis dan otot polos. Sphincter
urethra menjaga agar urethra tetap tertutup.
b. Lapisan
submukosa,
lapisan
longgar
mengandung pembuluh darah dan saraf.
c. Lapisan mukosa.
13. Urin (Air Kemih)
Sifat fisis air kemih, terdiri dari:
a. Jumlah ekskresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari pemasukan (intake)
cairan dan faktor lainnya.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
8
6. b. Warna, bening kuning muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.
c. Warna, kuning tergantung dari kepekatan, diet obat-obatan dan sebagainya.
d. Bau, bau khas air kemih bila dibiarkan lama akan berbau amoniak.
e. Berat jenis 1,015-1,020.
f. Reaksi asam, bila lama-lama menjadi alkalis, juga tergantung dari pada diet
(sayur menyebabkan reaksi alkalis dan protein memberi reaksi asam).
Komposisi air kemih, terdiri dari:
a. Air kemih terdiri dari kira-kira 95% air.
b. Zat-zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein, asam urea, amoniak dan
kreatinin.
c. Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fospat dan sulfat.
d. Pagmen (bilirubin dan urobilin).
e. Toksin.
f. Hormon.
14. Mikturisi
Mikturisi ialah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi dengan urin.
Mikturisi melibatkan 2 tahap utama, yaitu:
a. Kandung kemih terisi secara progresif hingga tegangan pada dindingnya
meningkat melampaui nilai ambang batas (Hal ini terjadi bila telah tertimbun
170-230 ml urin), keadaan ini akan mencetuskan tahap ke 2.
b. Adanya refleks saraf (disebut refleks mikturisi) yang akan mengosongkan
kandung kemih.
Pusat saraf miksi berada pada otak dan spinal cord (tulang belakang) Sebagian
besar pengosongan di luar kendali tetapi pengontrolan dapat di pelajari “latih”.
Sistem saraf simpatis : impuls menghambat Vesika Urinaria dan gerak spinchter
interna, sehingga otot detrusor relax dan spinchter interna konstriksi. Sistem saraf
parasimpatis: impuls menyebabkan otot detrusor berkontriksi, sebaliknya spinchter
relaksasi terjadi mikturisi (normal: tidak nyeri).
Ciri-Ciri Urin Normal
a. Rata-rata dalam satu hari 1-2 liter, tapi berbeda-beda sesuai dengan jumlah
cairan yang masuk.
b. Warnanya bening oranye tanpa ada endapan.
c. Baunya tajam.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
9
7. d. Reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata-rata 6.
B. Definisi
•
Sindroma nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas membrane glomerolus terhadap protein, yang mengakibatkan
kehilangan protein urinarius yang massif (Wong, Donna. L. 2003. Pedoman Klinis
Perawatan Pediatrik Ed. 4).
•
Sindroma nefrotik merupakan keadaan klinis yang meliputi proteinuria massif,
hipoalbuminemia, hiperlipemia, dan edema (Wong, Buku Ajar Keperawatan
Pediatrik Vol. 2).
•
Sindroma nefrotik ditandai oleh proteinurea massif, hipoalbuminemia, edema, dan
hiperlipidemia. Insiden tertinggi pada usia 3-4 tahun, rasio lelaki dan perempuan 2:1
(Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. FKUI, 2000)
•
Sindroma nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkn oleh adanya injury
glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik proteinuria, hypoproteinuria,
hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema (Suriadi & Rita Yulianni,2001)
•
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria
massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100
ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan hiperkolesterolemia. (Rauf,
2002 : 21).
Berdasarkan pengertian dapat disimpulkan bahwa Sindrom Nefrotik pada anak
merupakan kumpulan gejala yang terjadi pada anak dengan karakteristik proteinuria
massif hipoalbuminemia, hiperlipidemia yang disertai atau tidak disertai edema dan
hiperkolestrolemia.
C. Etiologi
Sebab yang pasti belum diketahui. Akhir-akhir ini di anggap suatu penyakit auto
immune. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-anti bodi. Umumnya para ahli membagi
etiologinya menjadi:
1. Sindroma nefrotik bawaan Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi
maternotetal. Resisten terhadap semua pengobatan Gejalanya adalah edema pada
masa neonatus. Pengcangkokan ginjal dalam masa neonatus telah dicoba tetapi tidak
berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan
pertama kehidupannya.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
10
8. 2. Sindroma nefrotik sekunder disebabkan oleh :
a. Malaria kuartana atau parasit lain
b. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid
c. Glomerulonefritis akut, glumerulonefritis kronis, thrombosis vena renalis
d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamain, garam, emas , sengatan
lebah, racun oak, air raksa.
e. Amilodosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano proliferative
hipokomplementemik
3. Sindrom
nefrotik
idiopatik
(tidak
diketahui
penyebabnya).
Berdasarkan
histopatologi yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa
dan mikroskop elektron, Churg dkk. membagi dalam empat golongan yaitu:
a. Kelainan minimal dengan mikroskop biasa glomerulus tampak normal,
sedangkan dengan mikroskop electron tampak foot processus sel terpadu.
Dengan
cara
imunofluoresensi
kternyata
tidak
terdapat
IgG
atau
immunoglobulin beta-IC pada dinding kapiler glomerulus. Golongan ini lebih
banyak terdapat pada anak dari pada orang dewasa. Prognosis lebih baik
dibandingkan dengan golongan lain.
b. Nefropati membranosam Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding
kapiler yang terrsebar tanpa proliferasi sel. Tidak sering ditemukan pada anak.
Prognosis kurang baik
c. Glomerulonefritis proliferative.,
1) Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus Terdapat proliferasi sel
mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma
endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan
pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan Streptococcus yang berjalan
progresif dan pada sindrom nefrotik Prognosis jarang baik, tetapi kadangkadang terdapat penyembuhan setelah pengobatan yang lama.
2) Dengan
penebalan
batang
lobular
(lobular
stalk
thickening).
Terdapat poliferasai sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang
lobular.
3) Dengan bulan sabit (crescent) Terdapat poliferasi sel mesangial dan
poliferasi sel epitel simpai (kapsular) dan visceral. Prognosis buruk.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
11
9. 4) Glomerulonefritis membranoproliferatif. Proliferasi sel mesengial dan
penempatan fibrin yang meneyerupai membrana basalais di mesangium.
Titer globulin beta-1C atau beta-1A rendah.
5) Glomerulosklerosis fokal segmentalis. Pada kelainan ini yang menyolok
glomerulus. Sering disertai dengan atrofi tubulus Prognosis buruk.
D. Manifestasi Klinis
Adapun manifesitasi klinik dari sindrom nefrotik adalah :
1. Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema, yang tampak
pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali edema timbul secara
lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal
edema sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misalnya daerah periorbita, skrotum
atau labia). Akhirnya edema menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).
Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai edema muka
pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas
bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan
(pitting edema). Pada penderita dengan edema hebat, kulit menjadi lebih tipis dan
mengalami oozing. Edema biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM
dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena
proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.
Edema paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe kelainan
minimal (SNKM). Bila ringan, edema biasanya terbatas pada daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita, skrotum, labia.
Edema bersifat menyeluruh, dependen dan pitting. Asites umum dijumpai, dan
sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi
pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea. Akibat edema kulit, anak tampak
lebih pucat.
2. Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom
nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema
mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau
edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat,
dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena edema dinding
perut atau pembengkakan hati.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
12
10. 3. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein
mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resistensteroid.
4. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.
5. Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini
dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.
6. Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat
dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang
berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons
emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri.
Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan
perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu.
7. Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International
Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM
mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.
Tanda sindrom nefrotik yaitu :
1. Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40 mg/m 2/jam
atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM
biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang
lain.
2. Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/dL.
3. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya,
berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL
meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi
sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.
4. Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak
dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.
5. Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit.
Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya
terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.
Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada
pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
13
11. berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung
dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal
sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari
kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.
E. Patofisiologi
1. PROTEINURIA
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu
teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya
terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya
muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik
keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat
utama dari proteinuria yang hebat. Edema muncul akibat rendahnya kadar albumin
serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi
terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
Pada SN, proteinuria umumnya bersifat masif yang berarti eksresi protein > 50
mg/kgBB/hari atau >40 mg/m2/jam atau secara kualitatif proteinuria +++ sampai ++
++. Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan mbg , maka proteinuria dapat
dipakai sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat kerusakan
glomerulus. Jadi yang diukur adalah Index Selectivity of Proteinuria (ISP). ISP
dapat ditentukan dengan cara mengukur ratio antara Clearance IgG dan Clearence
Transferin.
ISP =
Clearance IgG
Clearance Transferin
Bila ISP < 0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective Proteinuria) yang secara
klinik
menunjukkan
kerusakan
kortikosteroid baik. Bila ISP >
glomerulus
ringan
dan
respons
terhadap
0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selective
Proteinuria) yang secara klinik menunjukkan kerusakan glomerulus berat dan tidak
adanya respons terhadap kortikosteroid.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
14
12. 2. HIPERLIPIDEMIA
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai
perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara
spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid
kembali normal. Dikatakan hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja yang
meninggi ( kolesterol > 250 mg/100 ml ) tetapi juga beberapa konstituen lemak
meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah kolesterol, Low Density
Lipoprotein(LDL), Very Low Density Lipoprotein(VLDL), dan trigliserida (baru
meningkat bila plasma albumin < 1gr/100 mL. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel
hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan
sintesis albumin ini, sel sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal
VLDL diubah menjadi LDL pleh lipoprotein lipase. Tetapi, pada SN aktivitas enzim
ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas.
Disamping itu menurunnya aktivitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh
rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam
urine. Jadi, hiperkolesteronemia ini tidak hanya disebabkan oleh produksi yang
berlebihan, tetapi juga akibat gangguan katabolisme fosfolipid.
3. HIPOALBUMINEMIA
Hipoalbuminemia terjadi apabila kadar albumin dalam darah < 2,5 gr/100 ml.
Hipoalbuminemia pada SN dapat disebabkan oleh proteinuria, katabolisme protein
yang berlebihan dan nutrional deficiency. Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan
terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke
ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume
sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal.
Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga
agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya
mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan
onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang
interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu
rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
15
13. dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium
rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan
bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena
hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan
fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan
peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar
aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori
ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan
tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer
mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan
edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial.
Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar
renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.
4. EDEMA
Pembentukan edema pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis
penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih
dari satu. Edema mula-mula nampak pada kelopak mata terutama waktu bangun
tidur. Edema yang hebat / anasarca sering disertai edema genitalia eksterna. Edema
anasarca terjadi bila kadar albumin darah < 2 gr/ 100 ml. Selain itu, edema anasarca
ini dapat menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan karena edema mukosa
usus. Akibat anoreksia dan proteinuria masif, anak dapat menderita PEM. Hernia
umbilikalis, dilatasi vena, prolaps rekstum dan sesak nafas dapat pula terjadi akibat
edema anasarca ini.
Pada umumnya tipe SNKM mempunyai gejala-gejala klinik yang disebut
diatas tanpa gejala-gejala lain. Oleh karena itu, secara klinik SNKM ini dapat
dibedakan dari SN dengan kelainan histologis tipe lain yaitu pada SNKM dijumpai
hal-hal sebagai berikut pada umunya :
•
Anak berumur 1-6 tahun
•
Tidak ada hipertensi
•
Tidak ada hematuria makroskopis atau mikroskopis
•
Fungsi ginjal normal
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
16
14. •
Titer komplemen C3 normal
•
Respons terhadap kortikosteroid baik sekali.
Oleh karena itulah, bila dijumpai kasus SN dengan gejala-gejala diatas dan
mengingat bahwa SNKM terdapat pada 70-80% kasus, maka pada beberapa penelitian tidak
dilakukan biopsi ginjal.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :
1. Pada pemeriksaan urinalisis ditemukan albumin secara kualitatif +2 sampai +4.
Secara kuantitatif > 50 mg/kgBB/hari ( diperiksa memakai reagen ESBACH ). Pada
sedimen ditemukan oval fat bodies yakni epitel sel yang mengandung butir-butir
lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, toraks hialin dan toraks eritrosit.
2. Pada pemeriksaan darah didapatkan protein total menurun (N:6,2-8,1 gm/100ml),
albumin menurun (N: 4-5,8 gm/100ml), α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml),
α2 globulin meninggi (N:0,4-1 gm/100ml), β globulin normal (N: 0,5-09 gm/100ml),
γ globulin normal (N:0,3-1 gm/100ml), rasio albumin/globulin <1 (N:3/2),
komplemen C3 normal/rendah (N:80-120 mg/100ml), ureum, kreatinin dan klirens
kreatinin normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal, hiperkolesterolemia, dan laju
endap darah yang meningkat.
3. Foto Thorax PA dan LDK dilakukan bila ada sindrom gangguan nafas untuk
mencari penyebabnya apakah pneumonia atau edema paru akut.
Pemeriksaan histologik yaitu biopsy ginjal. Namun biopsy ginjal secara perkutan
atau pembedahan bersifat invasive, maka biopsy ginjal hanya dilakukan atas indikasi
tertentu dan bila orang tua dan anak setuju.
G. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa
memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus.
Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari. Untuk
menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik
digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel 2 berikut :
Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom
nefrotik
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
17
15. Remisi
Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3
hari berturut-turut.
Kambuh
Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturutturut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.
Kambuh tidak sering
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12
bulan.
Kambuh sering
Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau 4 kali
kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Responsif-steroid
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Dependen-steroid
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid,
atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.
Resisten-steroid
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60
mg/m2/hari selama 4 minggu.
Responder lambat
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa
tambahan terapi lain.
Nonresponder awal
Resisten-steroid sejak terapi awal.
Nonresponder lambat
Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.
PROTOKOL PENGOBATAN
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk
memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m 2/hari dengan
dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis
rumatan sebesar 40 mg/m 2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari
selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.
CD =4 minggu
AD/ID =4 minggu
Tapp.off(remisi)
Stop
Mg 1
2
3
4
5
6
Remisi
7
8
Remisi
Gambar protocol pengobatan sindrom nefrotik (serangan 1)
CD = Continuous day : prednisone 60mg/m2/hari atau 2 mg/kgBB/hari
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
18
16. ID = Intermittent day : prednisone 40mg/m2/hari atau 2/3 dosis CD,diberikan 3 hari
berturut turut dalam 1 minggu
AD = Pemberian prednisone berselang-seling sehari
1. Sindrom nefrotik serangan pertama
a. Perbaiki keadaan umum penderita :
1) Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Protein 1-2
gr/kgBB/hari, bila ureum dan kreatinin meningkat diberi protein 0,5-1 gr.
Kalori rata-rata 100 kalori/kgBB/hari. Garam dibatasi bila edema hebat. Bila
tanpa edema, diberi 1-2 mg/hari. Pembatasan cairan bila terdapat gejalagejala gagal ginjal. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet
terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
2) Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat.
3) Berantas infeksi.
4) Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
5) Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema
anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu
aktivitas. Metode yang lebih efektif dan fisiologik untuk mengurangi edema
ialah merangsang diuresis dengan pemberian albumin (salt poor albumin)
0,5-1 mg/kgBB selama 1 jam disusul kemudian oleh furosemid IV 1-2
mg/kbBB/hari. Pengobatan ini dapat diulang setiap 6 jam kalau perlu.
Diuretik yang biasa dipakai ialah diutetik jangka pendek seperti furosemid
atau asam etakrinat. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat
antihipertensi.
b. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah
diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita
mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi
spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau
kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu
waktu 14 hari.
2. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
19
17. a. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse
ditegakkan.
b. Perbaiki keadaan umum penderita.
Cara pemberian pada relapse seperti pada serangan I, hanya CD diberikan
sampai remisi (tidak perlu menunggu sampai 4 minggu)
CD
AD/ID
Tapp.Off
Stop
Mg1
2
3
4
Remisi
Remisi
3. Sindrom Nefrotik Nonresponder : Tidak ada respons sesudah 8 minggu pengobatan
prednisone
CD imunosupresan + ID pred (40mg/m2/hr)
CD pred
ID pred
1
2
3
4
5
6
7
8
1
2
3
4
5
6
7
8
Remisi (-)
Setelah 8 minggu pengobatan prednisone tidak berhasil, pengobatan selanjutnya
dengan gabungan imunosupresan lain ( endoxan secara CD dan prednisone 40
mg/m2/hr secara ID)
4. Sindrom Nefrotik Frequent Relapser : initial responder yang relaps >= 2 kali dalam
waktu 6 bulan pertama.2,3,4,5
CD imunosupresan + CD prednisone 0,2 mg/kg/hr
1
2
3
4
5
6
7
8
Diberikan kombinasi pengobatan imunosupresan lain dan prednisone 0,2
mg/kgBB/hr, keduanya secara CD.
5. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
20
18. Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali
dalam masa 12 bulan.
a. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
b. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m 2/48 jam, diberikan
selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu,
prednison dihentikan.
6. Sindrom nefrotik kambuh sering
adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali
dalam masa 12 bulan.
a. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80
mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
b. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m 2/48 jam, diberikan
selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu,
dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m 2/48 jam diberikan selama 1
minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m 2/48
jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m 2/48 jam selama 6 minggu, kemudian
prednison dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3
mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu
siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak
adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat
komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid atau untuk biopsi ginjal.
H. Komplikasi
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
21
19. 1. Infeksi sekunder : mungkin karena kadar immunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia
2. Syok : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (<1 gm/100 ml) yang
menyebabkan hipovolemi berat sehingga terjadi syok.
3. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan system koagulasi sehingga terjadi
peninggian fibrinogen plasma atau factor V,VII,VIII dan X. Trombus lebih sering
terjadi di system vena apalagi bila disertai pengobatan kortikosteroid.
4. Komplikasi lain yang bisa timbul ialah malnutrisi atau kegagalan ginjal.
I. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Sindrom Nefrotik
1. Kasus 1
Seorang anak berusia 4 tahun datang bersama ibunya datang ke RSPAD Gatot
Soebroto dengan keluhan utama bengkak / sembab daerah mata dan pergelangan
kaki pada pagi hari dan hilang siang hari, dan keluhan ini jarang BAK dan urine
berwarna merah, kadang sesak nafas dan sakit pada abdomen kanan atas, serta mual
sehingga tidak nafsu makan. Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan Ners Dilan:
BB: 23 kg, perutnya membesar asites shifting dullness +, facemoon, Edema tungkai
+3, TD : 110/90 mmHg, Nadi : 62 x/menit , RR : 30 x/menit, Ronkhi +/+ , Hasil
Rontgen : Edema paru dan Cardiomegali. Hasil laboratorium : Hb: 11 gr/dl,
Albumin : 2,8 , Urine terdapat proteinuria > 40 mg/m 2/jam disertai hematuria, LDL
110 mg/dl, HDL 50 mg/dl, Trigliserida 210 U30.
2. Data Fokus
DS
DO
1. Ibu klien mengatakan, klien 1. Perut klien tampak asites (Shifting dullness +)
bengkak / sembab daerah 2. Klien
mata dan pergelangan kaki
tempak
menggunakan
otot
bantu
pernafasan
pada pagi hari dan hilang 3. Facemoon +
siang hari
4. Edema tungkai +3
2. Ibu klien mengatakan, klien 5. Konjungtiva anemis
jarang BAK
6. TD : 110/90 mmHg, N : 62 x/mnt, RR : 30x/mnt
3. Ibu klien mengatakan, urine 7. Rankhi +/+
klien berwarna merah
8. Lingkar perut 50 cm
4. Ibu klien mengatakan, klien 9. BB : 23
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
22
20. kadang merasa sesak napas
5. Ibu klien mengatakan, klien
sakit abnomen kanan atas
10. LLA : 10
Hasil Laboratorium
11. Edema paru dan Cardiomegali
6. Ibu klien mengatakan, klien 12. Hb : 11 gr/dl , Albumin : 2,8, Ht : 31 %
mual sehingga tidak napsu 13. Urine terdapat proteinuria >40 mg/m 2/jam
makan
disertai hematuria
7. Ibu klien mengatakan, klien 14. HDL 50 mg/dl, Trigliserida 210, Urea 30, LDL
makan hanya habis 5 sendok
110 mg/dl
3. Analisa Data
Data
Masalah
Etiologi
DS :
1. Ibu klien mengatakan, klien kadang merasa sesak napas
DO :
Peningkatan
1. Klien tampak sesak
Gangguan
akumulasi
2. Klien tampak menggunakan otot bantu pernafasan
Pola Nafas
cairan pada
3. RR : 30
paru
4. Ronkhi +/+
5. Edema paru dan Cardiomegali
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
23
21. DS :
1. Ibu klien mengatakan, klien bengkak / sembab daerah
mata dan pergelangan kaki pada pagi hari dan hilang
siang hari
2. Ibu klien mengatakan, klien jarang BAK
DO :
Kehilangan
1. Perut klien tampak asites ( Shifting dullness + )
2. Lingkar perut 50cm
protein
Kelebihan
sekunder
3. Facemoon +
volume
terhadap
4. Edema tungkai +3
cairan
peningkatan
5. Edema paru dan Cardiomegali
permiabilitas
6. Albumin : 2,8
glomerulus
7. Ht : 31 %
8. Obs. TTV
a. TD : 110/90
b. N : 62 x/mnt
c. S : 37°C
DS :
1. Ibu klien mengatakan, klien mual sehingga tidak napsu
makan
2. Ibu klien mengatakan, klien makan hanya habis 5
sendok
DO :
1. Obs TTV
a. TD 110/90
Resiko
Malnutrisi
gangguan
sekunder
pemenuhan
terhadap
nutrisi
kehilangan
kuruang
protein dan
dari
penurunan
kebutuhan
napsu
tubuh
makan.
b. N : 62 x/mnt
c. RR : 30 x/mnt
d. S : 37°C
2. BB : 23
3. LLA : 10
4. HDL : 50 mg/dl
5. LDL : 110 mg/dl
6. Trigliserida : 210
7. Albumin 2,8
8. Hb : 11 gr/dl
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
24
22. 9. Ht : 31 %
10. Konjungtiva anemis
4. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan Pola nafas berhubungan dengan Peningkatan akumulasi cairan pada
paru
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder
terhadap peningkatan permiabilitas glomerulus.
c. Resiko gangguan pemenuhan nutrisi kuruang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan malnutrisi sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan napsu
makan.
5. Intervensi
No
1
Diagnosa
Keperawatan
Gangguan
Pola
Tujuan & Kriteria
Intervensi
Hasil
Setelah dilakukan Mandiri :
nafas tindakan
Rasional
1. Auskultasi paru, 1. Penurunanan
area
ventilasi
berhubungan
keperawatan
perhatikan
mennunjukkan
dengan
selama 2 x 24 jam
adanya
atelektasisdimana bunyi nafas
Peningkatan
gangguan
penurunan
akumulasi
nafas tidak terjadi
cairan
paru
pola
pada dengan
bunyi
atau
nafas
1. Klien
kelebihan cairan atau infeksi
Contoh : ronkhi
2. Tinggikan
mengatakan
kepala
tidak sesak
2. Memudahkan
tidur
dalam
menunjukkan
adventisius.
Kriteria hasil :
2. RR
adventisius
adanya
tempat
ekspansi
dada/ventilasi dan mobilisasi
secret
klien 3. Pantau tanda – 3. Memaksimalkan oksigen untuk
batas
tanda vital
normal
penyerapan
vasikular,
pencegahan/pengurangan
3. Ronkhi -/-
hipoksia
Kolaborasi
Berikan
tambahan
O2 sesuai indikasi
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
25
23. 2
Kelebihan
Tujuan :
volume
Setelah dilakukan 1. Kaji
cairan
tindakan
yang
berhubungan
keperawatan 3 x
terhadap
dengan
24
keluaran
kehilangan
tidak
protein
menunjukkan
sekunder
bukti-bukti
badan setiap hari
terhadap
akumulasi cairan
(ataui
lebih
peningkatan
(pasien
sering
jika
permiabilitas
mendapatkan
diindikasikan).
glomerulus.
volume
cairan 3. Kaji
yang
tepat)
jam
Mandiri :
Pasien
masukan 1. Perlu untuk menentukan fungsi
relatif
cairan dan penurunan resiko
secara
kelebihan cairan.
akurat.
2. Timbang
berat 2. Mengkaji retensi cairan
perubahan 3. Untuk mengkaji ascites dan
edema
:
ukur
lingkar abdomen
Kriteria hasil:
pada
serta
edema.
pantau
edema
karena merupakan sisi umum
umbilicus
1. Penurunan
sekitar
edema, ascites
2. Kadar protein
darah
mata.
4.
Atur masukan
meningkat
cairan
3. Tekanan darah
dalam
nadi 5. Pantau
batas
normal.
dengan
4. Agar tidak mendapatkan lebih
cermat.
dan
infus
intra vena
dari jumlah yang dibutuhkan
5. Untuk
mempertahankan
masukan yang diresepkan
Kolaborasi
6. Berikan diuretik
bila
3
ginjal, kebutuhan penggantian
6. Untuk
memberikan
penghilangan sementara dari
diinstruksikan.
Mandiri :
edema.
Resiko
Tujuan :
gangguan
Setelah dilakukan 1. Catat intake dan 1. Monitoring asupan nutrisi bagi
pemenuhan
tindakan
output makanan
nutrisi
keperawatan
secara akurat
kuruang dari selama 3 x 24 jam 2. Kaji
tubuh
adanya 2. Gangguan nuirisi dapat terjadi
kebutuhan
Gangguan
anoreksia,
tubuh
pemenuhan nutrisi
hipoproteinemia,
tidak terjadi
diare.
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
secara perlahan.
26
24. Kriteria Hasil :
1. Napsu makan
baik
2. Tidak
3. Pastikan
anak 3. Diare sebagai reaksi edema
mendapat
intestinal
makanan dengan
terjadi
diet yang cukup.
hipoprtoeinem 4. Beri diet yang 4. Mencegah status nutrisi menjadi
ia
bergizi
lebih buruk.
3. Porsi
makan 5. Batasi
yang
selama
edema
anak dan meningkatkan daya
dihidangkan
dan
trerapi
tahan
dihabiskan
kortikosteroid
4. Edema
dan
ascites
natrium 5. Membantu pemenuhan nutrisi
tidak
ada
natrium
tubuh
dapat
anak.
Asupan
memperberat
edema usus yang menyebabkan
hilangnya nafsu makan anak
6. Beri lingkungan 6. agar anak lebih mungkin untuk
yang
makan
menyenangkan,
bersih, dan rileks
pada saat makan
7. Beri
makanan 7. untuk merangsang nafsu makan
dalam
porsi
sedikit
pada
anak
awalnya
8. Beri
makanan 8. Untuk mendorong agar anak
spesial
dan
mau makan
disukai anak
9. Beri
makanan 9. untuk
dengan
cara
menrangsang
nafsu
makan anak
yang menarik
Kolaborasi
10. Kolaborasi
ddengan
10. Menentukan diet yang tepat
ahli
untuk anak
gizi
Kelompok 4, S1 Keperawatan, UPN”Veteran”Jakarta
27