Tulisan ini membahas pemaduselarasan konsep birokrasi Weber dalam perestroika birokrasi pemerintah di Indonesia. Teori birokrasi Weber menjelaskan karakteristik organisasi birokratik seperti pembagian tugas, hierarki, aturan, dan promosi berdasarkan kompetensi. Aplikasi teori ini dalam pemerintahan Indonesia perlu disesuaikan dengan perubahan zaman, seperti menekankan sinergi dan kompetensi dalam pembagian
1. Me
emadus
selaraska Kons
an
sep Birokrasi Weber
Dalam Perestroika Bir
rokrasi Pemerin
P
ntah Di I
Indones
sia
Oleh Haris Faozan
h.
F
Pen
ndahulu
uan
Mod organisasi birok
del
kratik mer
rupakan model paling umum bagi org
m
m
ganisasi
sekt publik maupun privat di penjuru dunia. Di
tor
k
i
isadari ata tidak, hingga
au
kini bentuk o
organisasi birokrat masih melekat sangat kuat, baik pada
tik
k
orga
anisasi pemerintah, nirlaba d bahka swasta berskala besar sek
dan
an
kalipun.
Istila organi
ah
isasi birokrasi itu sendiri mulai dike
m
enal melu
uas setela Max
ah
Web
ber mem
munculkan sebuah model organisas yang dikenal dengan
si
d
“bur
reaucratic organiza
c
ation”. Da
alam uraia
annya, We
eber men
njelaskan bahwa
bent
tuk organisasi bir
rokratik m
merupakan jenis o
organisasi yang memiliki
i
m
kara
akteristik paling ses
suai bagi industry society di akhir abad 19, ba bagi
s
i
aik
orga
anisasi pemerintaha maupu organis
an
un
sasi bisnis (Atmosud
dirdjo, 1996)1.
Men
nurut Evan dan Ra
ns
auch, stru
uktur otor
ritas biror
ratik telah dikenal hampir
h
2
100 tahun lalu . Hal ini mem
mberikan pemaham
man kepa
ada kita bahwa
struktur biro
okratik me
enunjukka eksiste
an
ensinya secara lua biasa, survive
ar
s
hing
gga detik ini. Dala
k
am sebua riset lintas ba
ah
angsa, Ev
vans dan Rauch
men
nunjukkan bahwa struktur otoritas birokratik mamp memfa
n
pu
asilitasi
pert
tumbuhan ekono
n
omi bang
gsa, meskipun p
pada ak
khirnya mereka
m
men
nyarankan perlunya perhatia lebih banyak ba penga
n
a
an
b
agi
ambil kep
putusan
untu memb
uk
bangun bi
irokrasi y
yang lebih baik. Ha
h
asil riset ini memb
berikan
pesa bahwa struktur otoritas birokratik membut
an
a
r
k
tuhkan pe
enyesuaia atau
an
mod
difikasi se
ehingga hasil kin
nerja suat bangs menunjukkan kinerja
tu
sa
sign
nifikan.
am skala lebih m
mikro, yai
itu pada level ke
elembagaa peme
an
erintah,
Dala
struktur birokratik pun perlu d
n
disesuaikan dan dim
n
modifikasi sejalan dengan
d
peru
ubahan lin
ngkungan (internal dan ekst
n
l
ternal). Pa
atut disad
dari sepen
nuhnya
bahw sebua konsep dan/ata teori cukup tu tidak mungkin dapat
wa
ah
p
au
ua,
dipa
akai seluru
uhnya ata “ditela mentah
au
an
h-mentah Semen
h”.
ntara di si lain,
isi
kita semua m
menyadari bahwa ilmu pengetahuan d
dan tekno
ologi men
ngalami
perk
kembanga sangat pesat, y
an
t
yang secara absolu berpengaruh sig
ut
gnifikan
terh
hadap eksi
istensi dan kinerja s
sebuah or
rganisasi p
pemerinta
ahan.
Orga
anisasi birokrasi pe
emerintah di Indonesia belum menu
h
unjukkan kinerja
seca optim karena banyakn
ara
mal
a
nya kelem
mahan (we
eaknesses yang melekat
s)
m
pada seluruh sistem m
a
h
manajeme pemer
en
rintahan. Apabila d
dicermati, pokok
perm
masalahan belum optima
n
m
alnya kin
nerja ke
elembagaa
an peme
erintah
2. bermuara pada lemahnya strategi pengembangan kelembagaan
pemerintah, dimana resistensi terhadap norma-norma dan paradigma
perubahan sangat tinggi (Faozan, 2004)3. Dengan mencermati perubahan
yang terjadi, strategi pengembangan organisasi (organization development
strategy) semestinya ditujukan pada pengembangan sinergisitas tiga
strategi utama, yaitu struktural, perilaku, dan teknikal sehingga organisasi
pemerintah mampu menyesuaikan (adjustable) dan fleksibel terhadap
perubahan.
Dalam studi tentang disain dan struktur organisasi dikenal beberapa
dimensinya, yaitu kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi. Di dalam
struktur birokratik pada umumnya dan di dalam kelembagaan pemerintah
khususnya, kompleksitas diferensiasi ditandai dengan hierarki kewenangan
yang ketat, formalisasi penataan ditunjukkan dengan aturan-aturan baku
dan kaku yang lebih mengedepankan proses ketimbang hasil, sedangkan
sentralisasi kewenangan dalam pengambilan keputusan cenderung berada
pada pusat kekuasaan. Keadaan-keadaan inilah yang secara luar biasa
menjadi pemicu menguatnya citra negatif birokrasi dalam pemerintahan
pada umumnya.
Sesungguhnya, karakteristik model birokrasi yang dibangun oleh Max
Weber pada esensinya memiliki beberapa keunggulan yang masih dapat
diterapkan di dalam kelembagaan pemerintah saat ini, sementara beberapa
hal lain yang dirasa tidak sesuai dengan kondisi kekinian perlu diselaraskan
sesuai kebutuhan. Disinilah kewajiban para pimpinan organisasi untuk
memainkan peran leadershipnya. Beberapa karakter birokrasi yang masih
dinilai relevan dengan kondisi saat ini diantaranya adalah pembagian tugas
secara jelas, dan promosi berdasarkan kompetensi.
Pembagian tugas secara jelas sangat dibutuhkan di dalam sebuah
organisasi. Dengan pembagian tugas yang jelas, maka siapa mengerjakan
apa, dan siapa bertanggungjawab, serta melapor kepada siapa akan
terdapat kejelasan. Selain itu dengan pembagian tugas yang jelas akan
memudahkan mekanisme koordinasi, baik yang bersifat vertikal maupun
horizontal. Yang perlu diperhatikan dalam konteks pembagian tugas secara
jelas adalah bagaimana agar sinergi di dalam organisasi dapat dibangun,
sehingga mampu mengarah pada satu tujuan yang sama yaitu tujuan
organisasi induknya. Masalah utama di dalam kelembagaan pemerintah kita
pada umumnya adalah kurang jelasnya pembagian tugas dan diperkuatnya
(sadar atau tidak sadar) tembok-tembok antarunit di dalam organisasi.
Dengan kondisi demikian kecil kemungkinan koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi dapat diciptakan.
Karakter lain birokrasi yang masih dibutuhkan adalah promosi berdasarkan
kompetensi. Sejak awal dibangun model birokrasi oleh Weber, karakter ini
sudah melekat dan tidak bisa dipisahkan. Kompetensi menjadi syarat
mutlak bagi setiap anggota organisasi yang akan menduduki jabatan
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 2
3. tertentu. Nilai positif birokrasi ini pada umumnya telah dipasung dengan
berbagai aturan yang tidak lagi make sense apabila diterapkan pada masa
sekarang. Salah satu contoh aturan yang masih dipegang sangat kuat di
arena pemerintah kita adalah prinsip senioritas dan kepangkatan sebagai
persyaratan utama bagi calon pemegang jabatan struktural, sementara
syarat kompetensi dan prestasi kerja kerapkali diabaikan. Hal demikian
tentu sangat membahayakan bagi eksistensi organisasi pemerintahan ke
depan.
Menyimak dan menyikapi kondisi demikian tentunya sangat mendesak
(urgent) untuk melakukan kajian lebih mendalam dan serius mengenai
eksistensi dan aktualisasi Teori Birokrasi Weber dalam rangka implementasi
perestroika birokrasi pemerintah di Indonesia dewasa ini, agar mampu
mencapai hasil yang diharapkan oleh banyak pihak. Sehubungan dengan
hal itu, tulisan ini akan mencoba memaduselaraskan (memadukan dan
menyelelaraskan) konsep birokrasi Weber dalam perestroika birokrasi
pemerintah di Indonesia. Tulisan akan diawali dengan meninjau sekilas
mengenai konsep dan/atau teori birokrasi. Bahasan berikutnya adalah
mengenai bagaimana aplikasi teori birokrasi Weber dalam praktek di
lingkungan pemerintahan di Indonesia pada umumnya. Kemudian bahasan
akan dilanjutkan dengan pemaduselarasan konsep birokrasi Weber dalam
perestroika birokrasi pemerintah di Indonesia. Konklusi akan menjadi
penutup tulisan ini.
Teori Birokrasi
Max Weber, menurut Griffin & Moorhead (2005), merupakan kontributor
paling terkemuka dalam pengembangan teori perilaku organisasi4. Teori
tersebut digolongkan oleh Griffin & Moorhead (2005), ke dalam classical
organization theory. Dalam teorinya, Weber mengusulkan sebuah bentuk
struktur birokratik, yang diyakininya dapat bekerja untuk semua organisasi.
Model struktur birokratik Weber mencakup logika, rasional, dan efisiensi
(Griffin & Moorhead, 2005).
Menurut Hellriegel, Jackson, & Slocum (2002)5, manajemen birokrasi
memiliki karakteristik sebagai berikut:
• Rules
• Impersonality
• Division of Labor
• Hierarchy
• Authority Structure
• Lifelong Career Commitment
• Rationality
Adapun fokus manajemen birokrasi itu sendiri yakni pada organisasi secara
keseluruhan. Keuntungan yang diperoleh dari manajemen birokrasi yaitu
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 3
4. terdapatnya konsistensi dan efisiensi, sedangkan kelemahannya adalah
menculnya kekakuan (rigidity) dan kelambanan (slowness) (Hellriegel,
Jackson, & Slocum, 2002).
Max Weber (1986) memperkenalkan pemikiran mengenai organisasi
birokratik ke dalam sosiologi modern dan teori organisasi6. Birokrasi
menurut Weber merupakan rasionalisasi yang diaplikasikan dalam
organisasi, dimana beragam manusia beraktivitas di dalamnya.
Kecenderungan rasionalisasi Weber diantaranya meliputi praktek aplikasi
pengetahuan guna mencapai kendali yang lebih baik atas lingkungan social
dan lingkungan fisik. Organisasi birokrasi bersandar pada otoritas legalrasional (rational-legal authority) yaitu berdasarkan aturan-aturan
impersonal yang secara legal diberlakukan. Weber mengidentifikasi
beberapa karakteristik penting dari organisasi birokratik, yaitu7:
• Goal-orientation;
• Written rules of conduct and standardized procedures;
• Highly specialized division of labor;
• Hierarchy of authority with directives flowing down the chain of
command and information flowing up;
• Official business conducted in writing;
• Operations guided by impersonal rules;
• Promotion of employees based on achievement;
• Appointment to offices according to specialized qualifications;
• Personnel have no property rights over the resources at their
disposal.
Dalam pandangan Robbins & Coulter (2005), Max Weber mengembangkan
teori kekuasaan berdasarkan tipe ideal organisasi (an ideal-type of
organization), disebut birokrasi (bureaucracy) yang dicirikan dengan
beberapa hal berikut8:
• Divison of labor
• A clearly defined hierarchy
• Detailed rules and regulations
• Impersonal relationship
Teori Birokrasi Weber dan Prinsip-prinsip Manajemen Fayol digolongkan
Robbins & Coulter (2005) ke dalam general administrative theories, yaitu
teori yang memandang subjek manajemen dengan focus organisasi secara
keseluruhan. Sementara itu juga, organisasi birokrasi Weber menurut
pandangan Robbins & Coulter (2005) memiliki banyak kesamaan ideology
dengan scientific management, yang sama-sama menekankan rationality,
predictability, impersonality, technical competence, dan authoritarianism.
Mencermati perkembangan konsep dan teori organisasi dalam kurun waktu
lebih dari 20 tahun terakhir ini, kita mengetahui bermunculanannya
berbagai bentuk struktur atau jenis organisasi, dari struktur sederhana
(simple structure), struktur matriks, hingga learning organization.
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 4
5. Mencermati perkembangan tersebut, kerapkali kita terkesima dan
seringkali terjebak (trapped) dalam pemakaian terminologi struktur atau
jenis organisasi yang ditawarkan. Sementara itu, cukup banyak anggota
organisasi, baik pemerintah, nirlaba, maupun swasta kurang menyadari
pentingnya teori organisasi secara holistic dan integrated, dan lebih mikro
khusunya mengenai struktur dan disain organisasi.
Implementasi Teori Birokrasi
Pemerintahan Indonesia
Weber
Di
Lingkungan
Disadari atau tidak, bahwa eksistensi dan keberlangsungan birokrasi
pemerintah terletak pada sejauhmana manajemen pemerintahan
dikembangkan menuju keberdayasaingan (competitive advantage)
birokrasi pemerintah secara optimal9. Bagi suatu organisasi hidup (living
organization), daya saing jelas bukan hanya gagasan an sich apalagi
semata-mata sloganisme. Skeptisme banyak kalangan --terutama
perguruan tinggi dan organisasi sejenis-- terhadap eksistensi dan kiprah
birokrasi pemerintah di negeri sendiri telah tumbuh bagai jamur.
Bagi kalangan birokrasi pemerintah, memahami dan mengaplikasikan
manajemen pemerintahan secara kaaffah (total) adalah sebuah tuntutan
yang bersifat absolute, mutlak. Tiga pilar penting manajemen
pemerintahan yang harus disimak dan dicermati secara seksama yaitu
pemahaman tentang birokrasi itu sendiri, kebijakan public, dan pelayanan
public. Ketiganya merupakan sebuah rangkaian (series) manajemen
pemerintahan, dimana antara satu dengan yang lain menunjukkan interface dan konektivitas saling berpengaruh dan sangat penting bagi
eksistensi dan keberlangsungan birokrasi pemerintah.
Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, tidak ada satupun institusi
pemerintahan di Indonesia yang tidak mengalami perubahan secara
signifikan dari pengaruh perubahan lingkungan eksternalnya. Struktur
kelembagaan pemerintah pusat dan daerah berubah, komposisi dan
proporsi jabatan struktural pemerintah pusat dan daerah meningkat secara
fantastis, dan masih banyak hal lain yang mengalami perubahan. Dalam
pada itu, dari begitu banyaknya perubahan yang signifikan, terdapat satu
hal yang tidak mengalami perubahan signifikan tetapi eksistensinya sangat
penting dan menjadi “problema tak terkuak” hingga detik ini, yaitu fungsi
pemerintah.
Fungsi inti eksistensi birokrasi pemerintah yaitu memberikan perlindungan
masyarakat (protective function), pelayanan masyarakat (public service
function), dan melaksanakan pembangunan (development function)10.
Produk (output) pemerintah adalah goods and regulation" untuk
kepentingan publik. Yang dimaksud dengan “goods” adalah barang-barang
atau fasilitas publik yang dihasilkan pemerintah seperti misalnya sekolah,
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 5
6. rumah sakit, jalan, dan jembatan; sedangkan dalam kelompok regulations
yang dihasilkan pada umumnya bersifat regulatory atau pengaturan,
seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran,
dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).
Di sisi yang berbeda, masyarakat daerah juga mengalami perubahan, baik
dalam berpikir, bersikap, maupun bertindak. Hal ini mengemuka seiring
dengan beranjak dewasanya usia sebuah bangsa, sejalan dengan
perubahan global yang semakin cepat, dan seiring dengan derasnya arus
informasi yang tak terbendung dan tanpa henti memprovokasi warga
negara untuk memperoleh pelayanan berarti dari para aparatur
pemerintah. Berbagai ragam tuntutan masyarakat dimaksud saatnya
diangap sebagai peluang stratejik (strategic opportunities) yang akan
mengantarkan birokrasi pemerintah menuju singgasana daya saing.
Pada tataran makro Indonesia penyelenggaraan pemerintahan, baik Pusat
maupun Daerah telah mengalami pergeseran. Fakta menunjukkan bahwa
tuntutan reformasi di segala bidang telah merubah tatanan mendasar
manajemen
penyelenggaraan
pemerintahan
di
Indonesia,
dari
penyelenggaraan
pemerintahan
“as
usual”
menuju
kepada
penyelenggaraan pemerintahan berorientasi pada hasil (outcomes
oriented) atau kinerja (performance oriented). Pergeseran tersebut dipicu
dan didorong oleh beberapa peraturan perundangan, seperti misalnya.
• UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
• UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
• UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (berorientasi pada
Anggaran Berbasis Kinerja);
• Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal;
• Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
• Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan
dan Kinerja Instansi Pemerintah.
Peraturan-peraturan perundangan tersebut secara tersirat dan tersurat
menekankan perlu dan pentingnya sistem penyelenggaraan pemerintahan
yang berorientasi pada hasil (outcomes oriented). Mustopadidjaja (2000)
menyebutkan bahwa kegagalan dalam mengembangkan sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan merupakan
salah satu penyebab krisis nasional di Indonesia pada akhir abad 2011. Krisis
nasional multidimensional yang terjadi belum dapat dibendung hingga kini
dan tampaknya akan terus berlanjut selama peraturan-peraturan
perundangan semacam itu belum aplikatif dan belum dapat
diimplementasikan secara memadai pada level makro Indonesia.
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 6
7. Tidak
bisa
dipungkiri
bahwa
untuk
mengaplikasikan
dan
mengimplementasikan
peraturan-peraturan
perundangan
dimaksud
merupakan pekerjaan berat, yang mana mau tidak mau harus tetap
dilaksanakan. Meskipun masih perlu dilakukan revisi secara terus menerus
dan berkesinambungan, berbagai peraturan perundangan perlu disikapi
dengan bijak oleh segenap jajaran pemerintah sebagai jalan keluar dari
krisis multidimensional yang kenyataannya memang semakin rumit.
Mengamati kinerja birokrasi pemerintah sejak bergulirnya era reformasi
sepuluh tahun silam, tampaknya cukup sudah rentang waktu untuk
mentolerir sikap dan perilaku tidak kondusif birokrasi pemerintah. Kini
saatnya membangun desain besar tata kelola perilaku birokrasi pemerintah
secara menyeluruh dan terpadu. Tentu hal ini tidak berlebihan, karena
merupakan sebuah tuntutan mutlak untuk mengarahkan perilaku birokrasi
pemerintah pada kinerja tinggi sebagaimana tuntutan masyarakat,
stakholders, dan tujuan negara. Perilaku birokrasi pemerintah dalam
konteks memenuhi tuntutan masyarakat, stakholders, dan tujuan negara
jelas bukan semata-mata perilaku birokrasi yang anti kepada sikap dan
tindak kolusi, korupsi, dan nepotisme. Perilaku birokrasi pemerintah harus
juga mengarah pada inovasi berkelanjutan dan meningkatkan keunggulan
daya saing.
Sehubungan dengan hal dimaksud, maka nilai-nilai organisasi berkinerja
tinggi harus eksis dan dimiliki oleh birokrasi pemerintah. Sandra Hale (1996)
menyatakan berdasarkan hasil risetnya
bahwa
nilai-nilai organisasi
berkinerja tinggi (high-performance organization) berhubungan positif
dengan kepuasan pelanggan/pengguna jasa (customer). Menurut Sandra
Hale, nilai-nilai organisasi berkinerja tinggi mencakup beberapa hal sebagai
berikut12:
1. Innovation: Organisasi-organisasi yang sukses selalu mendorong
pembaharuan yang dilakukan oleh pegawainya sebagai salah
satu cara untuk menghasilkan peningkatan-peningkatan yang
dapat diukur dalam kuantitas, kualitas maupun efektifitas biaya
bagi organisasi. Inovasi merupakan suatu proses yang tiada
henti dalam suatu organisasi pembelajar (learning organization).
2. Risk taking: Organisasi-organisasi yang sukses mengijinkan
pegawainya untuk kreatif dan berani mengambil resiko untuk
menemukan cara yang lebih baik dalam menjalankan program
organisasi, pemberian layanan, atau menciptakan sebuah produk.
3. Training and the right tools: Pelatihan dan penggunaan alatalat yang tepat juga diberikan dalam organisasi pembelajar
(learning organization). Pelatihan dalam negosiasi, ketrampilan
berkomunikasi, dan
metode
pelayanan
pelanggan
akan
membantu pertukaran atau peralihan pegawai menjadi pembuat
keputusan dan pemecah masalah. Selain itu perlengkapan
pendukung dengan menggunakan teknologi tinggi (high-tech
equipment) harus menjadi prioritas utama, karena di era
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 7
8. informasi alat-alat berteknologi tinggi bukan lagi dipandang
sebagai barang mewah.
4. Communication: Organisasi
yang
teratur, terorganisir,
komprehensif, dan komunikasi terbuka merupakan sesuatu yang
menjadi perhatian dalam suatu organisasi pembelajar (learning
organization). Pendekatan
terhadap
setiap orang
harus
dipertimbangkan
dalam
menemukan
ide-ide
baru
dan
merumuskan percobaan, kemudian sekali keputusan telah dibuat
maka setiap anggota harus punya komitmen tinggi untuk
melaksanakan keputusan tersebut.
5. Work measurement: Pengukuran kerja merupakan langkah untuk
menetapkan dasar perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan, dan
juga merupakan langkah untuk memberikan informasi kinerja
karyawan.
6. A focused mission: Elemen pokok dari misi yang terfokus
adalah
suatu
orientasi
dasar
terhadap
publik/pelanggan
(customer-based orientation).
7. Teamwork: Tim (team) artinya bekerja dengan kelompok di
dalam organisasi, dan membentuk kemitraan (partnership) serta
gabungan-gabungan lain di luar organisasi. Pengaruh kerja tim
dapat terjadi melalui apa yang dilakukan pimpinan untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif dimana tim bekerja.
8. Employee participation: Partisipasi karyawan untuk menunjang
pecapaian hasil jangka panjang memegang peran penting.
Dengan pemberian kewenangan yang lebih banyak kepada
karyawan maka hal tersebut dapat memberikan kontrol balik
dan tanggung jawab yang lebih besar dari bottom line.
9. Reward
and
recognition: Program
pengakuan (recognition
program) bisa dimiliki oleh organisasi-organisasi yang tidak
hanya mempunyai tujuan memberikan kepuasan kepada
pelanggan maupun rekan bisnis semata, akan tetapi juga
bertujuan menciptakan kondisi yang bergairah bagi karyawan di
tempat kerjanya.
10. Enabling leaders: Organisasi berkinerja tinggi membutuhkan
pemimpin berkinerja tinggi. Disebut pemimpin berkinerja tinggi,
antara lain jika : mengupayakan belajar bagi organisasinya;
fleksibel terhadap kewenangannya; mempunyai keterampilan
berkomunikasi; melaksanakan pekerjaan berdasarkan pada visi
yang ada;
mampu membangun jejaring stratejik (strategic
network) dan mampu berbagi (sharing) dengan karyawannya.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa kinerja pemerintah dipengaruhi
oleh factor lingkungan baik internal maupun eksternal. Dari sisi internal
permasalahan yang kerapkali muncul adalah masalah struktur organisasi
yang tinggi, gemuk dan kaku serta sistem kepemimpinan (leadership
system) yang out of date. Struktur organisasi menurut Lubis & Huseini
(1987) merupakan bentuk organisasi yg dirancang dengan memperhatikan
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 8
9. akibat dari pengaruh keseluruhan faktor (lingkungan, ukuran organisasi,
teknologi organisasi, sasaran yang ingin dicapai organisasi) secara
bersama13. Secara lebih mikro, Atmosudirdjo (1996) mengartikan struktur
organisasi sebagai jumlah total cara-cara (ways) melakukan pembagian
kerja menjadi beraneka ragam tugas dan mencapai koordinasi tugas-tugas
tersebut diantara pola-pola interaksi yang terdapat atau terjadi diantara
para anggota organisasi melalui formalisasi (penegasan secara formal).
Merujuk pada pendapat tersebut, maka struktur organisasi dapat
dianalogkan dengan lahan pertanian atau perkebunan, yang akan
menentukan suatu hasil pertanian atau perkebunan baik atau tidak, karena
setiap lahan tergantung pada kualitas lahannya. Dengan kualitas lahan yang
sesuai, sangat dimungkinkan tanaman akan mengasilkan panen yang bagus
apalagi dengan perawatan yang optimal. Demikian pula dengan struktur
organisasi yang adjustable, akan memungkinkan terciptanya strategi yang
mantap dan budaya yang kondusif sehingga kinerja organisasi mampu
meningkat dari waktu ke waktu. Mencermati struktur organisasi birokratik
yang mengakar sangat kuat dalam pemerintah perlu dimodifikasi dan
disesuaikan dengan kondisi kekinian agar pemerintah mampu
meningkatkan kinerja secara signifikan14. Pada Gambar 1 dapat dilihat
pergeseran yang perlu dilakukan terhadap model struktur birokratik
menjadi model struktur yang adjustable ditinjau dari sisi dimensi-dimensi
struktur organisasi.
Menggeser paradigma struktur birokratik menjadi struktur yang lebih
adjustable adalah suatu keharusan apabila pemerintah menghendaki
adanya pertumbuhan kinerja secara terus menerus. Pada dimensi
complexity, kompleksitas diferensiasi vertikal dan horizontal perlu
disesuaikan dengan strategic issues yang berkembang. Sehubungan
dengan hal tersebut antara satu Departemen dengan Departemen yang
lain, hierarkhi yang dirancang tidak harus sama, begitu juga dengan jumlah
eselon I, II, III, dan IV pun tidak harus sama. Hal demikian juga berlaku bagi
Kantor Kementerian Negara, LPND, dan bahkan Pemerintah Daerah.
Mencermati perkembangan terakhir komposis Kabinet Indonesia Bersatu,
dapat sama-sama kita amati bahwa sesungguhnya susunan yang dirancang
belum merujuk pada hasil kajian yang memadai. Hal ini berdasarkan fakta
bahwa sampai saat ini jarang ditemui instansi pemerintah atau lembaga
lain yang melakukan audit tugas dan fungsi Departemen, Kantor
Kementerian Negara, dan LPND15. Kondisi demikian adalah sifat khas model
struktur birokratik, dimana bersifat operatif yang miskin aspirasi, data,
informasi dan knowledge. Oleh karenanya sangat dimaklumi apabila muncul
vonis bahwa “struktur organisasi-organisasi pemerintah kita dibangun
dengan common sense”. Karakter demikian jelas membutuhkan
penyesuaian menjadi struktur organisasi bervisi sukses yang jelas (clear
success vision) dengan memperhatikan secara jeli strategic issues yang
berkembang.
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 9
10. Pada dimensi formalization, formalisasi penataan aturan, kebijakan,
prosedur dan sebagainya dirancang secara rigid
sehingga sangat
menyulitkan untuk mengambil respon-respon kreatif terhadap tantangantantangan (challenges) terkini. Hal demikian juga sangat terkait dengan
sifat struktur birokratik yang menganggap pegawai adalah beban atau
bahkan sumber kesalahan, bukan valuable asset atau bahkan sumber
kreatifitas organisasi. Melihat pesatnya perubahan lingkungan, paradigma
demikian sudah saatnya diluruskan.
Model Struktur Birokratik
Model Struktur Adjustable
Kompleksitas Diferensiasi (Complexity)
Diferensiasi vertikal dan horizontal
tinggi dan gemuk
Diferensiasi vertikal dan horizontal
dibuat datar dan ramping
Jabatan-jabatan struktural yang
diciptakan kurang memperhatikan
mekanisme koordinasi dalam
implementasi tugas dan fungsi
Jabatan-jabatan structural yang
diciptakan merupakan satu
kesatuan yang utuh untuk
mencapai visi, tujuan dan sasaran
organisasi secara terpadu
Struktur organisasi dibangun
berdasarkan aspirasi yang kurang
memadai
Struktur organisasi dibangun
berdasarkan visi yang jelas
Formalisasi Penataan (Formalization)
Formalisasi penataan (aturan,
prosedur dan sebagainya) terpusat
berdasarkan prosedur yang seragam
Aturan-aturan diciptakan untuk
memastikan suatu respon sesuai
dengan kebiasaan rutin
Formalisasi pentaaan (aturan,
prosedur dan sebagainya)
didesentralisasikan berdasarkan
satu tujuan melalui nilai-nilai
bersama dan kerangka kerja yang
lebih luas
Menyiedakan kerangka kerja yang
mampu memberikan kebebasan
respon terhadap tantangan yang
berkembang
Menilai kinerja berdasarkan prosesprosesnya
Menilai kinerja berdasarkan hasil
yang dicapai
Pengawasan dan pengecekan
pekerjaan dilakukan setelah
selesainya pekerjaan
Pengawasan dan pengecekan
kualitas pekerjaan dilakukan sejak
awal
Sentralisasi Kewenangan (Centralization)
Kewenangan berada pada pusat
kekuasaan
Kewenangan didesentralisaiskan
pada pimpinan di bawahnya secara
menyeluruh
Pegawai dipandang sebagai beban
atau bahkan sumber kesalahan
Pegawai dipandang sebagai asset
bernilai dan sumber kreativitas
Tujuan dan sasaran didefinisikan
dengan fungsi-fungsi yang ada
Tujuan dan sasaran didefinisikan
dengan isu stratejik yang
berkembang
Gambar 1
Pergeseran Model Struktur Birokratik menuju Model Struktur Adjustable
(Perspektif Dimensi-dimensi Struktur Organisasi)
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 10
11. Untuk melakukan pergeseran dari formalisasi penataan secara rigid menuju
formalisasi yang adjustable, instansi pemerintah perlu melakukan
penyusunan kerangka kerja baru yang lebih luas (new broader framework)
dan merepresentasikan nilai-nilai bersama (shared values) dimana
kemudian kerangka kerja penataan tersebut dalam implementasinya
didesentralisasikan. Sehingga dengan demikian unit-unit yang tersebar
memiliki kebebasan untuk merespon tantangan yang dihadapi, tanpa
mengabaikan tujuan dan sasaran organisasi induknya. Hal demikian juga
berdampak positif bagi para pimpinan menengah dan bawah (middle and
lower managers), pejabat fungsional dan bahkan para staf pelaksana untuk
berani mengambil resiko (risk taking) terhadap tantangan yang ada. Dalam
konteks struktur adjustable tersebut, para anggota organisasi --pimpinan
puncak, menengah, bawah, pejabat fungsional dan para staf pelaksana
sekalipun-- tidak lagi mengenal istilah “a play safe individual”, karena
mereka adalah para pengambil resiko.
Dalam dimensi centralization, kewenangan pada struktur birokratik berada
pada pusat kekuasaan atau pucuk pimpinan. Tradisi pengambilan
keputusan dan kewenangan terpusat yang telah mengakar sangat kuat
pada instansi-instansi pemerintah pusat dan daerah, telah berakibat sangat
buruk bagi level-level manajer yang berada di bawahnya dalam
pengambilan keputusan. Kewenangan dan pengambilan keputusan
terpusat sebagaimana terdapat pada struktur birokratik dewasa ini pada
umumnya telah menciptakan manusia-manusia robot yang mampu
mempersembahkan kado mainan bagi para atasnnya. Dari sini pulalah
munculnya kesalahkaprahan, yang akhirnya prinsip sebagai “abdi
masyarakat dan abdi negara” bagi para pegawai negeri menjadi lentur,
kemudian luntur dan akhirnya tidak berbekas.
Keadaan demikian tidak bisa dianggap hal biasa karena memang hal
tersebut sudah luar biasa. Kewenangan dan pengambilan keputusan harus
dapat didesentralisasikan sesuai dengan proporsinya, baik itu dalam
konteks kelembagaan pemerintah secara nasional --pusat dan daerah-maupun dalam konteks instansional --instansi per instansi. Dengan
kerangka kerja yang komprehensif dan jelas, desentralisasi kewenangan
akan berjalan sesuai dengan skenarionya. Dengan melakukan penyesuaian
seperti ini, unit-unit yang tersebar akan merasa lebih tertantang dalam
menghasilkan kinerja yang lebih optimal.
Pemaduselarasan Birokrasi
Birokrasi Pemerintah
Weber
Dalam
Perestroika
Pesatnya perubahan lingkungan di berbagai aspek dewasa ini jelas
membutuhkan antisipasi memadai dari kalangan birokrasi pemerintah di
negeri ini. Untuk mampu melakukan antisipasi signifikan, tentunya perilaku
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 11
12. (behavior) birokrasi pemerintah harus mengarah dan sejalan dengan
tuntutan lingkungan yang berkembang16. Konsepsi, formula, dan kebijakan
lama sudah barang tentu kurang sesuai untuk diaplikasikan di masa kini.
Kini saatnya membangun desain besar tata kelola perilaku birokrasi
pemerintah secara menyeluruh dan terpadu. Tentu hal ini tidak berlebihan,
karena merupakan sebuah tuntutan mutlak untuk mengarahkan perilaku
birokrasi pemerintah pada kinerja tinggi sebagaimana tuntutan
masyarakat, stakeholders, dan tujuan negara. Menengok kinerja birokrasi
pemerintah sejak bergulirnya era reformasi sepuluh tahun silam,
tampaknya cukup sudah rentang waktu untuk mentolerir sikap dan
perilaku tidak kondusif birokrasi pemerintah.
Dewasa ini, pergeseran paradigma administrasi publik dewasa ini telah
mendorong pemerintahan negara-negara dunia untuk melakukan berbagai
upaya penyesuaian. Penyesuaian dalam konteks ini dimanifestasikan
melalui beragam pembaharuan yang tujuannya tidak lain adalah menuju
suatu kondisi yang lebih baik. Pembaharuan seperti itu juga terjadi di
Indonesia, dimana struktur pemerintahan secara politis mengalami
perubahan. Hierarki kekuasaan yang semula sentralisasi bergeser menuju
desentralisasi yang diharapkan dapat mencapai keberhasilan dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan secara
lebih optimal.
Dapat dicermati bahwa perubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat
kita telah mendorong peningkatan mutu pelayanan masyarakat, baik yang
dijalankan oleh pemerintah maupun swasta. Dalam sebuah makalahnya,
Mohamad (1999) berpendapat bahwa setidak-tidaknya terdapat 4 kondisi
yang mendorong peningkatan mutu pelayanan masyarakat, yaitu pertama,
perkembangan lingkungan dan meningkatnya tuntutan masyarakat sesuai
dengan perubahan kualitas hidup masyarakat itu sendiri; kedua
menguatnya persaingan produk (barang dan jasa) sehingga memicu sektor
swasta dan publik untuk memberikan tawaran terbaik kepada
kastamernya; ketiga, semakin lebarnya peluang mewujudkan peningkatan
kualitas pelayanan masyarakat melalui penggunaan teknologi yang terus
berkembang; dan keempat, meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap
kualitas pelayanan itu sendiri17.
Pelayanan publik merupakan representasi dari eksistensi birokrasi
pemerintah, hal ini tidak lain karena berkenaan langsung dengan salah satu
fungsi pemerintah yaitu memberikan pelayanan. Dengan demikian kualitas
pelayanan publik merupakan cerminan dari kualitas birokrasi pemerintah.
Di masa lalu, paradigma pelayanan publik lebih memberi peran yang sangat
besar kepada pemerintah sebagai sole provider. Peran pihak di luar
pemerintah tidak pernah mendapat tempat atau termarjinalkan.
Masyarakat dan dunia swasta hanya memiliki sedikit peran dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 12
13. Tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan pemerintah dewasa ini -dari pelayanan yang murah, cepat, tepat, terjangkau dan adil— merupakan
tantangan yang perlu segera diantisipasi. Melihat tuntutan ini maka
pemerintah perlu menata kembali peran dan fungsinya dengan cara
merancang siklus kebijakan publik yang lebih berorientasi hasil (outcomes
oriented) dan kepekaan terhadap lingkungan (environment sensibility)
serta pertanggungjawaban yang kuat mengenai “kepada siapa kebijakan
tersebut akan pertanggungjawabkan”. Sehubungan dengan kedudukan
pemerintah sebagai lembaga yang memperoleh legitimasi dari rakyat
untuk menghasilkan goods and regulations
dimaksud, maka kemudian
menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk memenuhi hal tersebut
pada kondisi pelayanan bermutu tinggi (hi-quality services) sebagai bentuk
pertanggungjawaban publik.
Pada umumnya pergeseran paradigma pelayanan adalah pergeseran dari
birokrasi yang dilayani menjadi birokrasi yang melayani. Berkaitan dengan
reformasi kebijakan dan manajemen pelayanan publik, salah satu prinsip
penting yang perlu dikembangkan adalah prinsip streering rather than
rowing. Prinsip ini menekankan bahwa pemerintah tidak harus secara terus
menerus bekerja sendiri, dan saatnya kini mengubah cara kerja pemerintah
dalam ranah pelayanan publik, sehingga tujuan pelayanan dapat dicapai
dengan lebih baik. Paradigma baru di bidang pelayanan dimaksud secara
signifikan mempengaruhi cara pandang tradisional terhadap peran
pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik.
Perilaku birokrasi pemerintah dalam konteks memenuhi tuntutan
masyarakat, stakholders, dan tujuan negara jelas bukan semata-mata
perilaku birokrasi yang anti kepada sikap dan tindak kolusi, korupsi, dan
nepotisme. Perilaku birokrasi pemerintah harus juga mengarah pada
inovasi berkelanjutan dan meningkatkan keunggulan daya saing. Untuk
dapat mengarah pada kondisi tersebut, maka langkah pembaharuan
perilaku birokrasi pemerintah dirasakan semakin perlu, penting, dan
bahkan mendesak18.
Permasalahan yang melekat dalam organisasi pemerintah (pusat dan
daerah) pada umumnya merupakan permasalahan klasik yang sampai
sekarang
belum
banyak
mengalami
perubahan.
Permasalahanpermasalahan tersebut dapat dilihat dari ciri-cirinya yaitu: tinggi dan
gemuknya struktur organisasi, overlapping tugas dan fungsi, peranannya
lebih bersifat rowing daripada steering, dan keberadaannya tidak stabil.
Ciri-ciri tersebut diuraikan sebagai berikut19:
a) Tinggi dan gemuknya struktur organisasi. Penyusunan struktur
organisasi pemerintah (pusat dan daerah) pada umumnya belum
melalui kajian akademis yang memadai. Kecenderungan pemerintah
(pusat dan daerah) selama ini lebih mendasarkan pada formasi
maksimal yang ditentukan oleh Peraturan Pemerintah. Bahkan pada
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 13
14. umumnya pemerintah (pusat dan daerah) meminta formasi yang
lebih besar dari yang ditentukan.
b) Tumpang tindih tugas dan fungsi (overlapping) yang berlebihan.
Meskipun untuk mengindari sama sekali overlapping tugas dan
fungsi antar satuan unit kerja pemerintah (pusat dan daerah)
tampaknya sesuatu hal yang sangat sulit dilakukan, selayaknya
overlapping yang berlebihan harus dihindari.
Pada keadaan
tertentu bahkan dapat memicu konflik karena masing-masing
merasa punya kewenangan dan tanggungjawab.
c) Peranannya lebih bersifat rowing daripada steering. Struktur
organisasi pemerintah (pusat dan daerah) yang gemuk merupakan
cerminan dari banyaknya fungsi rowing yang dikembangkan oleh
pemerintah (pusat dan daerah). Sementara pergeseran paradigma
pemerintahan mengarah pada fungsi steering. Fungsi rowing
tersebut tentunya selain menyebabkan pemborosan baik dari sisi
biaya, tenaga, material dan waktu juga kurang berdampak
signifikan terhadap pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha.
d) Keberadaannya tidak stabil. Perubahan organisasi yang sering
terjadi menyebabkan berbagai kebijakan publik tidak mencapai
sasaran yang telah ditetapkan. Hal ini diakibatkan karena perubahan
organisasi akan mempengaruhi pelaksanaan kebijakan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Akibat paling parah dari ketidakstabilan
organisasi adalah terjadinya inefisiensi di dalam pengelolaan aset
organisasi yang telah dimiliki.
Kondisi ini terjadi disebabkan keberadaan suatu organisasi tidak didukung
oleh suatu kajian yang komprehensif dan lebih berdasarkan pada
kepentingan jangka pendek. Dua kali perubahan organisasi departemen
yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
menunjukkan bahwa keputusan tersebtu tidak berdasarkan hasil kajian
yang mendalam oleh institusi yang kompeten. Efisiensi yang diharapkan
dengan perubahan tersebut tidak dapat diwujudkan, sebaliknya memicu
munculnya persoalan-persoalan baru dalam penataan kewenangan, aset
dan kepegawaian. Dengan dimikian perubahan organisasi departemen yang
dilakukan oleh Pemerintah tidak sejalan dengan prinsip pengembangan
organisasi.
Melihat permasalahan yang eksis hingga saat ini, tampaknya kita perlu
untuk melihat latar belakang mengapa kondisi tersebut bertahan dan/atau
dipertahankan. Disadari atau tidak bahwa kelembagaan pemerintah pusat
dan daerah di Indonesia pada umumnya, merupakan dampak dari sebuah
sistem pemerintahan. Dikaitkan dengan lingkungan pemerintahan daerah,
maka kondisi semacam ini merupakan salah satu pengaruh dari lingkungan
politik administratif terhadap sistem pemerintahan daerah yang
dikembangkan. Mencermati hal demikian, tentunya permasalahan
kelembagaan pemerintah (pusat dan daerah) jelas bukanlah sesuatu yang
mudah dan sederhana untuk diatasi. Meskipun dalam kurun waktu satu
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 14
15. dekade terakhir keberadaan aparatur pemerintah di Indonesia --baik pusat
maupun daerah-- dituntut mengurangi jumlahnya, tetapi hal tersebut
bukan berarti harus mengurangi tingkat pentingnya fungsi aparatur
pemerintahan itu sendiri. Hal demikian senada dengan pernyataan Prof.
Awaloedin Djamin (1998) berikut20:
”Peran aparatur negara, khususnya peran aparatur pemerintah di
seluruh dunia, menunjukkan kecenderungan berkurang dan berubah.
Namun ini tidak berarti peran aparatur pemerintah akan kurang
penting dan menjadi mudah. Terutama di negara-negara yang
melaksanakan pembangunan nasional berencana, seperti Indonesia,
fungsi aparatur pemerintah akan bertambah kompleks mengingat
perkembangan lingkungan strategis, global, regional dan nasional”.
Dalam perspektif manajemen, birokrasi modern yang diperlukan saat ini
ialah birokrasi yang secara fisik organisasional relatif kecil dan padat
(compact) tetapi secara kualitatif kapasitasnya besar atau yang selama ini
dikenal dengan “ramping struktur kaya fungsi”. Disamping itu terdapat 2
(dua) konsep klasik yang masih terus relevan, yaitu: 1) structure follows
function, dimana besaran organisasi harus benar-benar disesuaikan dengan
kebutuhan dan kemampuan; serta 2) money follows function, dimana
anggaran yang dialokasi dipatokan dengan fungsi yang dimiliki oleh
lembaga tersebut. Dengan demikian diharapkan akan mengurangi hukum
Parkinson Effect yang menyebutkan bahwa organisasi dari waktu ke waktu
cenderung menggemukkan dirinya sendiri dan menjadi semakin boros
(inefisien).
Di muka telah diuraikan bahwasanya teori birokrasi Weber, selain masih
memiliki keunggulan, juga terdapat beberapa hal yang perlu disesuaikan
dengan kondisi kekinian sesuai dengan permasalahan yang ditemui oleh
organisasi birokrasi pemerintah (pusat dan daerah) berdasarkan tugas dan
fungsi masing-masing. Dalam upaya mengotimalkan perestroika birokrasi
pemerintah, setiap organisasi pemerintah (pusat dan daerah) harus mampu
mengenalola seluruh komponen-komponen penting organisasinya secara
memadai. Sehubungan dengan hal tersebut, Congruence Model yang
ditawarkan oleh Nadler & Tushman dapat dijadikan rujukan.
Pondasi Model Kongruen (Congruence Model) Nadler dan Tushman adalah
bahwasanya sebuah organisasi merupakan system terbuka (open system)
dimana subsistem-subsistem organisasi terpengaruh oleh lingkungan
eksternalnya (external environment). Nadler & Tushman (1997)
menyatakan bahwa setiap organisasi berusaha untuk mentransformasi
dirinya agar mampu berada pada sudut pandang yang seimbang (a
balanced perspective). Mereka menyebut cara pandang seperti ini the
Congruence Model of Organizational Behavior.21 Premis mereka adalah
bahwa “components of any organization exist in various states of balance
and consistency” (komponen-komponen setiap organisasi berada dalam
beragam pernyataan keseimbangan dan konsistensi) (Nadler & Tushman,
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 15
16. 1997: 28). Semakin tinggi tingkat keseimbangannya (congruence), maka
organisasi menjadi semakin efektif. Congruence Model tersebut
menyiratkan bahwa terdapat suatu interdependensi dengan operasi
sistemik di dalam setiap organisasi yang berusaha untuk mentransformasi
dirinya.
Nadler & Tushman (1997) lebih lanjut menyatakan bahwa Congruence
Model memiliki empat komponen organisasi, yaitu:
1. work – the basic efforts put forth by the various parts of an
organization,
2. individual – characteristics of employees in the organization,
3. formal organizational arrangements – various structures, processes,
and methods that are formally created to allow individuals to
perform tasks that include control mechanisms, reward systems,
and job design elements, and
4. informal organization – emerging arrangements of structures,
processes, and relationships including leader behavior, values, and
politics
Congruence model dikembangkan sebagai cara pandang pada sebuah
organisasi dengan mamahami konsep keterpaduan organisasional
(organizational fit) dan organisasi sebagai system (organizations as
systems)22. Komponen organisasi sebagai system terdiri atas masukan ke
dalam system (inputs into the system) yang meliputi lingkungan,
sumberdaya organisasi, dan sejarah; proses transformasi atau strategi
bisnis; dan keluaran (outputs) yang meliputi pola aktivitas organisasi,
perilaku, dan kinerja. Mekanisme transformasi adalah operasi organisasi
yang terdiri atas tugas/pekerjaan (the work), pegawai (the people),
organisasi formal (the formal organization), dan organisasi informal (the
informal organization). Operasi organisasi sebagai “heart of the congruence
model”, dikatakan oleh Nadler (1998:32) menggunakan bisnis strateginya
untuk menghasilkan keluaran (outputs), semua hal yang terkait dalam
konteks lingkungan dan sumberdaya dan sejarah organisasi.”
Nadler (1998) menegaskan bahwa semua komponen system harus terpadu
bersama (fit together) agar organisasi menjadi efektif. Sehubungan dengan
hal tersebut organisasi yang efektif dicirikan dengan sebagaimana baik
komponen-komponen organisasi terpadu bersama. Ketika terdapat
keterpaduan yang kuat (congruence) diantara komponen-komponen
operasi organisasi, maka tingkat efektivitas dan kinerja yang tinggi akan
dapat dicapai.
Penutup
Meskipun bukan satu-satunya rujukan, teori birokrasi Weber merupakan
sebuah tonggak sejarah bagi teori dan perilaku organisasi. Kontribusi dan
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 16
17. pengaruhnya juga luar biasa penting bagi pencapaian kinerja sebuah
organisasi. Tetapi meskipun demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi
terus berkembang mencoba mengikuti perkembangan perubahan yang
tiada henti bahkan semakin pesat. Menyikapi keadaan demikian, mutlak
bahwa organisasi birokrasi pemerintah juga dituntut mengikuti perubahan
yang terjadi.
Reformasi birokrasi yang telah dicanangkan sejak satu decade ini, dapat
diyakini belum mampu membuahkan hasil sebagaimana harapan warga
bangsa. Upaya keras, cerdas, dan komitmen yang kuat dari seluruh jajaran
pemerintah pusat dan daerah merupakan sebuah keniscayaan yang harus
ditekuni. Perilaku jajaran birokrasi pemerintah harus mampu bergeser
menuju pada new behaviors yang mampu mewujudkan kinerja tinggi. New
behaviors tersebut adalah bekal untuk memiliki daya saing, sekaligus bekal
untuk mengantisipasi beragam perubahan. Cita-cita bangsa Indonesia yang
begitu luhur harus mampu diwujudkan.
End Notes:
1
Prajudi Atmosudirdjo, Teori Organisasi dalam Ilmu Administrasi. (Jakarta: STIA-LAN Press,
1996).
2
Peter Evans & James Rauch, Bureaucracy And Growth: A Cross-National Analysis of the
Effects
of
"Weberian"
State
Structures
on
Economic
Growth,
dari
http://sociology.berkeley.edu/faculty/evans/burperf.html (retrieved 24/03/2004)
3
Haris Faozan, Mengoptimalkan Key Enablers of Innovation sebagai Key Leverages
Reformasi Birokrasi (sebuah tinjauan dari perspektif organization development), dalam
Beberapa Catatan Mengemban Misi Reformasi Birokrasi dan Administrasi Negara pada
Pemerintahan Baru Pasca Pemilu 2004, Idup Suhady dan Sugiyanto (eds). (Jakarta:
Lembaga Adminisrasi Negara, 2004)
4
Ricky Griffin & Gregory Moorhead, Fundamentals of Organizational Behavior: Managing
People and Organization. (Wilmington, MA: Houghton Mifflin Company, 2005).
5
Hellriegel, Jackson, & Slocum , Management: Competence-based Approach. (SouthWestern College Publishing, 2002).
6
Ludwig Theuvsen, On Good And Bad Bureaucracies: Designing Effective Quality
Management
Systems
In
The
Agrofood
Sector,
dari
http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/24993/1/sp04th01.pdf (retrieved 24/03/2004)
7
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Berkeley:
University of California Press, 1986), dalam Ludwig Theuvsen, On Good And Bad
Bureaucracies: Designing Effective Quality Management Systems In The Agrofood Sector,
dari
http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/24993/1/sp04th01.pdf
(retrieved
24/03/2004)
8
Stephen P. Robbins & Mary Coulter, Management, 8th edition. (Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall, Inc., 2005)
9
Haris Faozan, Reformasi Kebijakan dan Manajemen Pelayanan menuju terwujudnya Daya
Saing Birokrasi, dalam (Samarinda: PKP2A III-LAN, 2008)
10
Fungsi pelayanan masyarakat yang mencakup environmental services ( misalnya jalan,
trotoar, dan taman) dan personal services ( seperti pendidikan dan kesehatan); Fungsi
pembangunan mencakup diantaranya: 1) Menyiapkan prasarana-prasarana yang
mendukung kegiatan perekonomian ( misalnya pasar, gudang, jalan, trotoar, road safety,
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 17
18.
marka jalan, terminal, pelabuhan, parkir, dan sistem transportasi); 2) Mengatur urusanurusan perijinan, membantu perkreditan, perencanaan lahan perkotaan (RUTRK),
pengadaan dan penyiapan lahan untuk kepentingan prasarana umum, perlindungan
konsumen, dan peningkatan mutu produksi; 3) Pengaturan pedagang kaki lima,
pengaturan dan peningkatan sektor informal dan industri kecil, pemberian ketrampilan
(training centres dan rehabilitation centres), menggalakkan terbentuknya job centres
sebagai bursa tenaga kerja; 4) Peningkatan gerakan swadaya masyarakat dalam
pembangunan melalui Koperasi, LSM dan sebagainya; Fungsi ketentraman dan
ketertiban mencakup diantaranya: 1) Penciptaan Ketentraman dan Ketertiban yang
dilaksanakan oleh pihak Militer, Kepolisian, dan Polisi Pamong Praja; 2) Perlindungan
hukum untuk masyarakat; 3) Perlindungan dari bencana alam.
11
Mustopadidjaja AR., Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
(Jakarta: LAN –BPKP, 2000).
12
Sandra P. Hale, High Performance Organization, dalam J.L. Perry, Handbook of Public
Administration, 2nd edition. (San Francisco: Jossy-Bass Inc., 1996)
13
S.B.H Lubis dan Martani Huseini, Teori Organisasi: suatu pendekatan makro. (Jakarta:
Pusat Antar Universitas-Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, 1987).
14
Haris Faozan, “Bureaucratic Structure Perestroika: Memperbarui Lahan Bagi
Pertumbuhan Kinerja Kelembagaan Pemerintah,” Jurnal Ilmu Administrasi- STIA-LAN
Bandung, Vol 2 (4), 2005, h. 335-346.
15
Lihat Hasil Kajian Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan-Lembaga Administrasi Negara,
Efisiensi dan Efektivitas Kelembagaan Pemerintah. (Jakarta: PKKK-LAN, 2006. Tidak
Dipublikasikan)
16
Guna mengarahkan perilaku dimaksud dalam konteks pengembangan organisasi dikenal
dengan terminologi the Behavior Strategy. Strategi ini menekankan bahwa pembelajaran
pegawai akan membawa perubahan organisasi yang dibutuhkan. Dalam hal ini,
pembelajaran pegawai semestinya mengandung pemerolehan knowledge, skills and new
attitudes yang akan mengarah pada perilaku-perilaku yang baru (new behaviors). New
behaviors inilah yang kemudian akan mengarah pada peningkatan kualitas dan kinerja
individu, kelompok, dan bahkan organisasi.Sebaliknya, pendekatan pelatihan dan
pengembangan pegawai birokrasi pemerintahan belum diorientasikan secara memadai
pada pemerolehan dan pengembangan knowledge, skills and attitudes semacam itu. Hal
ini bisa dirasakan karena implemetasi pelatihan dan pengembangan dilakukan secara
parsial, tidak konsisten, dan jauh selaras dari pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi.
17
Dr. Ismail Mohamad, Kualitas Pelayanan Masyarakat: Konsep dan Implementasinya,
dalam Miftah Thoha (Editor), Administrasi Negara, Demokratisasi dan Masyarakat Madani.
(Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 1999).
18
Pembaharuan dalam konteks peningkatan perilaku birokrasi pemerintah merupakan
salah satu bagian kritis yang perlu dipahami secara mendalam dan perlu diaplikasikan
dalam mendukung kinerja birokrasi pemerintah. Secara konseptual terdapat empat
wilayah kritis yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan pembaharuan, yaitu: (The
Performance-Based Management Handbook, Vol. 1. p. 65)
1. Kepemimpinan (leadership). Kepemimpinan merupakan hal pertama dan utama
yang perlu diperhatikan apabila upaya reengineering dapat bekerja. Pemimpin
harus terus mengkomunikasikan berbagai hal utama dan mendasar suatu
reengineering, meliputi kejelasan definisi hasil yang ingn dicapai, kejujuran tentang
apa yang akan coba diraih, dan rancangan agenda.
2. Lingkungan (environment). Dalam proses pembaharuan, manajemen perlu
mengetahui dan membutuhkan keterlibatan para kastamer dan stakeholder,
keterkaitan proses terhadap kastamer, dan tinjauan praktek-praktek terbaik yang
akan dilibatkan dalam proses tersebut.
3. Sistem teknikal (technical systems). Manajemen perlu mencari dan menemukan
bantuan sumberdaya dari luar sehingga upaya pembaharuan dapat berhasil. Selain
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 18
19.
itu, manajemen perlu mengikuti proses yang terbukti manfaatnya dan
mengembangkan rencana implementasi bagi proses secara menyeluruh.
4. Sistem pegawai (people systems). Pembaharuan hanya akan bekerja jika para
pegawai diperhitungkan dan dilibatkan pada semua tingkat. Tim perlu
diberdayakan, dan tim lintas fungsi perlu dibangun dan bekerja untuk mengatasi
semua permasalahan yang terjadi.
19
Lihat juga Haris Faozan & Muzani M. Mansoer, Organisasi Pemerintahan Daerah, dalam
Adi Suryanto (Editor), Manajemen Pemerintahan Daerah. (Jakarta: Pusat Kajian Kinerja
Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara, 2008).
20
Awaloedin Djamin, Penyempurnaan Aparatur dan Administrasi Negara RI: Evaluasi
Dasawarsa I dan Prospeknya. (Jakarta: Yayasan Pembina Manajemen Lembaga Administrasi
Negara, 1994).
21
David A. Nadler & M. L. Tushman, Competing by design: The power of organizational
architecture. (New York: Oxford University Press, 1997)
22
David A. Nadler, Champions of Change. (San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1998).
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 19