SlideShare a Scribd company logo
1 of 19
Download to read offline
Me
emadus
selaraska Kons
an
sep Birokrasi Weber
Dalam Perestroika Bir
rokrasi Pemerin
P
ntah Di I
Indones
sia
Oleh Haris Faozan
h.
F

Pen
ndahulu
uan
Mod organisasi birok
del
kratik mer
rupakan model paling umum bagi org
m
m
ganisasi
sekt publik maupun privat di penjuru dunia. Di
tor
k
i
isadari ata tidak, hingga
au
kini bentuk o
organisasi birokrat masih melekat sangat kuat, baik pada
tik
k
orga
anisasi pemerintah, nirlaba d bahka swasta berskala besar sek
dan
an
kalipun.
Istila organi
ah
isasi birokrasi itu sendiri mulai dike
m
enal melu
uas setela Max
ah
Web
ber mem
munculkan sebuah model organisas yang dikenal dengan
si
d
“bur
reaucratic organiza
c
ation”. Da
alam uraia
annya, We
eber men
njelaskan bahwa
bent
tuk organisasi bir
rokratik m
merupakan jenis o
organisasi yang memiliki
i
m
kara
akteristik paling ses
suai bagi industry society di akhir abad 19, ba bagi
s
i
aik
orga
anisasi pemerintaha maupu organis
an
un
sasi bisnis (Atmosud
dirdjo, 1996)1.
Men
nurut Evan dan Ra
ns
auch, stru
uktur otor
ritas biror
ratik telah dikenal hampir
h
2
100 tahun lalu . Hal ini mem
mberikan pemaham
man kepa
ada kita bahwa
struktur biro
okratik me
enunjukka eksiste
an
ensinya secara lua biasa, survive
ar
s
hing
gga detik ini. Dala
k
am sebua riset lintas ba
ah
angsa, Ev
vans dan Rauch
men
nunjukkan bahwa struktur otoritas birokratik mamp memfa
n
pu
asilitasi
pert
tumbuhan ekono
n
omi bang
gsa, meskipun p
pada ak
khirnya mereka
m
men
nyarankan perlunya perhatia lebih banyak ba penga
n
a
an
b
agi
ambil kep
putusan
untu memb
uk
bangun bi
irokrasi y
yang lebih baik. Ha
h
asil riset ini memb
berikan
pesa bahwa struktur otoritas birokratik membut
an
a
r
k
tuhkan pe
enyesuaia atau
an
mod
difikasi se
ehingga hasil kin
nerja suat bangs menunjukkan kinerja
tu
sa
sign
nifikan.
am skala lebih m
mikro, yai
itu pada level ke
elembagaa peme
an
erintah,
Dala
struktur birokratik pun perlu d
n
disesuaikan dan dim
n
modifikasi sejalan dengan
d
peru
ubahan lin
ngkungan (internal dan ekst
n
l
ternal). Pa
atut disad
dari sepen
nuhnya
bahw sebua konsep dan/ata teori cukup tu tidak mungkin dapat
wa
ah
p
au
ua,
dipa
akai seluru
uhnya ata “ditela mentah
au
an
h-mentah Semen
h”.
ntara di si lain,
isi
kita semua m
menyadari bahwa ilmu pengetahuan d
dan tekno
ologi men
ngalami
perk
kembanga sangat pesat, y
an
t
yang secara absolu berpengaruh sig
ut
gnifikan
terh
hadap eksi
istensi dan kinerja s
sebuah or
rganisasi p
pemerinta
ahan.
Orga
anisasi birokrasi pe
emerintah di Indonesia belum menu
h
unjukkan kinerja
seca optim karena banyakn
ara
mal
a
nya kelem
mahan (we
eaknesses yang melekat
s)
m
pada seluruh sistem m
a
h
manajeme pemer
en
rintahan. Apabila d
dicermati, pokok
perm
masalahan belum optima
n
m
alnya kin
nerja ke
elembagaa
an peme
erintah
bermuara pada lemahnya strategi pengembangan kelembagaan
pemerintah, dimana resistensi terhadap norma-norma dan paradigma
perubahan sangat tinggi (Faozan, 2004)3. Dengan mencermati perubahan
yang terjadi, strategi pengembangan organisasi (organization development
strategy) semestinya ditujukan pada pengembangan sinergisitas tiga
strategi utama, yaitu struktural, perilaku, dan teknikal sehingga organisasi
pemerintah mampu menyesuaikan (adjustable) dan fleksibel terhadap
perubahan.
Dalam studi tentang disain dan struktur organisasi dikenal beberapa
dimensinya, yaitu kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi. Di dalam
struktur birokratik pada umumnya dan di dalam kelembagaan pemerintah
khususnya, kompleksitas diferensiasi ditandai dengan hierarki kewenangan
yang ketat, formalisasi penataan ditunjukkan dengan aturan-aturan baku
dan kaku yang lebih mengedepankan proses ketimbang hasil, sedangkan
sentralisasi kewenangan dalam pengambilan keputusan cenderung berada
pada pusat kekuasaan. Keadaan-keadaan inilah yang secara luar biasa
menjadi pemicu menguatnya citra negatif birokrasi dalam pemerintahan
pada umumnya.
Sesungguhnya, karakteristik model birokrasi yang dibangun oleh Max
Weber pada esensinya memiliki beberapa keunggulan yang masih dapat
diterapkan di dalam kelembagaan pemerintah saat ini, sementara beberapa
hal lain yang dirasa tidak sesuai dengan kondisi kekinian perlu diselaraskan
sesuai kebutuhan. Disinilah kewajiban para pimpinan organisasi untuk
memainkan peran leadershipnya. Beberapa karakter birokrasi yang masih
dinilai relevan dengan kondisi saat ini diantaranya adalah pembagian tugas
secara jelas, dan promosi berdasarkan kompetensi.
Pembagian tugas secara jelas sangat dibutuhkan di dalam sebuah
organisasi. Dengan pembagian tugas yang jelas, maka siapa mengerjakan
apa, dan siapa bertanggungjawab, serta melapor kepada siapa akan
terdapat kejelasan. Selain itu dengan pembagian tugas yang jelas akan
memudahkan mekanisme koordinasi, baik yang bersifat vertikal maupun
horizontal. Yang perlu diperhatikan dalam konteks pembagian tugas secara
jelas adalah bagaimana agar sinergi di dalam organisasi dapat dibangun,
sehingga mampu mengarah pada satu tujuan yang sama yaitu tujuan
organisasi induknya. Masalah utama di dalam kelembagaan pemerintah kita
pada umumnya adalah kurang jelasnya pembagian tugas dan diperkuatnya
(sadar atau tidak sadar) tembok-tembok antarunit di dalam organisasi.
Dengan kondisi demikian kecil kemungkinan koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi dapat diciptakan.
Karakter lain birokrasi yang masih dibutuhkan adalah promosi berdasarkan
kompetensi. Sejak awal dibangun model birokrasi oleh Weber, karakter ini
sudah melekat dan tidak bisa dipisahkan. Kompetensi menjadi syarat
mutlak bagi setiap anggota organisasi yang akan menduduki jabatan
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 2
tertentu. Nilai positif birokrasi ini pada umumnya telah dipasung dengan
berbagai aturan yang tidak lagi make sense apabila diterapkan pada masa
sekarang. Salah satu contoh aturan yang masih dipegang sangat kuat di
arena pemerintah kita adalah prinsip senioritas dan kepangkatan sebagai
persyaratan utama bagi calon pemegang jabatan struktural, sementara
syarat kompetensi dan prestasi kerja kerapkali diabaikan. Hal demikian
tentu sangat membahayakan bagi eksistensi organisasi pemerintahan ke
depan.
Menyimak dan menyikapi kondisi demikian tentunya sangat mendesak
(urgent) untuk melakukan kajian lebih mendalam dan serius mengenai
eksistensi dan aktualisasi Teori Birokrasi Weber dalam rangka implementasi
perestroika birokrasi pemerintah di Indonesia dewasa ini, agar mampu
mencapai hasil yang diharapkan oleh banyak pihak. Sehubungan dengan
hal itu, tulisan ini akan mencoba memaduselaraskan (memadukan dan
menyelelaraskan) konsep birokrasi Weber dalam perestroika birokrasi
pemerintah di Indonesia. Tulisan akan diawali dengan meninjau sekilas
mengenai konsep dan/atau teori birokrasi. Bahasan berikutnya adalah
mengenai bagaimana aplikasi teori birokrasi Weber dalam praktek di
lingkungan pemerintahan di Indonesia pada umumnya. Kemudian bahasan
akan dilanjutkan dengan pemaduselarasan konsep birokrasi Weber dalam
perestroika birokrasi pemerintah di Indonesia. Konklusi akan menjadi
penutup tulisan ini.

Teori Birokrasi
Max Weber, menurut Griffin & Moorhead (2005), merupakan kontributor
paling terkemuka dalam pengembangan teori perilaku organisasi4. Teori
tersebut digolongkan oleh Griffin & Moorhead (2005), ke dalam classical
organization theory. Dalam teorinya, Weber mengusulkan sebuah bentuk
struktur birokratik, yang diyakininya dapat bekerja untuk semua organisasi.
Model struktur birokratik Weber mencakup logika, rasional, dan efisiensi
(Griffin & Moorhead, 2005).
Menurut Hellriegel, Jackson, & Slocum (2002)5, manajemen birokrasi
memiliki karakteristik sebagai berikut:
• Rules
• Impersonality
• Division of Labor
• Hierarchy
• Authority Structure
• Lifelong Career Commitment
• Rationality
Adapun fokus manajemen birokrasi itu sendiri yakni pada organisasi secara
keseluruhan. Keuntungan yang diperoleh dari manajemen birokrasi yaitu
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 3
terdapatnya konsistensi dan efisiensi, sedangkan kelemahannya adalah
menculnya kekakuan (rigidity) dan kelambanan (slowness) (Hellriegel,
Jackson, & Slocum, 2002).
Max Weber (1986) memperkenalkan pemikiran mengenai organisasi
birokratik ke dalam sosiologi modern dan teori organisasi6. Birokrasi
menurut Weber merupakan rasionalisasi yang diaplikasikan dalam
organisasi, dimana beragam manusia beraktivitas di dalamnya.
Kecenderungan rasionalisasi Weber diantaranya meliputi praktek aplikasi
pengetahuan guna mencapai kendali yang lebih baik atas lingkungan social
dan lingkungan fisik. Organisasi birokrasi bersandar pada otoritas legalrasional (rational-legal authority) yaitu berdasarkan aturan-aturan
impersonal yang secara legal diberlakukan. Weber mengidentifikasi
beberapa karakteristik penting dari organisasi birokratik, yaitu7:
• Goal-orientation;
• Written rules of conduct and standardized procedures;
• Highly specialized division of labor;
• Hierarchy of authority with directives flowing down the chain of
command and information flowing up;
• Official business conducted in writing;
• Operations guided by impersonal rules;
• Promotion of employees based on achievement;
• Appointment to offices according to specialized qualifications;
• Personnel have no property rights over the resources at their
disposal.
Dalam pandangan Robbins & Coulter (2005), Max Weber mengembangkan
teori kekuasaan berdasarkan tipe ideal organisasi (an ideal-type of
organization), disebut birokrasi (bureaucracy) yang dicirikan dengan
beberapa hal berikut8:
• Divison of labor
• A clearly defined hierarchy
• Detailed rules and regulations
• Impersonal relationship
Teori Birokrasi Weber dan Prinsip-prinsip Manajemen Fayol digolongkan
Robbins & Coulter (2005) ke dalam general administrative theories, yaitu
teori yang memandang subjek manajemen dengan focus organisasi secara
keseluruhan. Sementara itu juga, organisasi birokrasi Weber menurut
pandangan Robbins & Coulter (2005) memiliki banyak kesamaan ideology
dengan scientific management, yang sama-sama menekankan rationality,
predictability, impersonality, technical competence, dan authoritarianism.
Mencermati perkembangan konsep dan teori organisasi dalam kurun waktu
lebih dari 20 tahun terakhir ini, kita mengetahui bermunculanannya
berbagai bentuk struktur atau jenis organisasi, dari struktur sederhana
(simple structure), struktur matriks, hingga learning organization.
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 4
Mencermati perkembangan tersebut, kerapkali kita terkesima dan
seringkali terjebak (trapped) dalam pemakaian terminologi struktur atau
jenis organisasi yang ditawarkan. Sementara itu, cukup banyak anggota
organisasi, baik pemerintah, nirlaba, maupun swasta kurang menyadari
pentingnya teori organisasi secara holistic dan integrated, dan lebih mikro
khusunya mengenai struktur dan disain organisasi.

Implementasi Teori Birokrasi
Pemerintahan Indonesia

Weber

Di

Lingkungan

Disadari atau tidak, bahwa eksistensi dan keberlangsungan birokrasi
pemerintah terletak pada sejauhmana manajemen pemerintahan
dikembangkan menuju keberdayasaingan (competitive advantage)
birokrasi pemerintah secara optimal9. Bagi suatu organisasi hidup (living
organization), daya saing jelas bukan hanya gagasan an sich apalagi
semata-mata sloganisme. Skeptisme banyak kalangan --terutama
perguruan tinggi dan organisasi sejenis-- terhadap eksistensi dan kiprah
birokrasi pemerintah di negeri sendiri telah tumbuh bagai jamur.
Bagi kalangan birokrasi pemerintah, memahami dan mengaplikasikan
manajemen pemerintahan secara kaaffah (total) adalah sebuah tuntutan
yang bersifat absolute, mutlak. Tiga pilar penting manajemen
pemerintahan yang harus disimak dan dicermati secara seksama yaitu
pemahaman tentang birokrasi itu sendiri, kebijakan public, dan pelayanan
public. Ketiganya merupakan sebuah rangkaian (series) manajemen
pemerintahan, dimana antara satu dengan yang lain menunjukkan interface dan konektivitas saling berpengaruh dan sangat penting bagi
eksistensi dan keberlangsungan birokrasi pemerintah.
Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, tidak ada satupun institusi
pemerintahan di Indonesia yang tidak mengalami perubahan secara
signifikan dari pengaruh perubahan lingkungan eksternalnya. Struktur
kelembagaan pemerintah pusat dan daerah berubah, komposisi dan
proporsi jabatan struktural pemerintah pusat dan daerah meningkat secara
fantastis, dan masih banyak hal lain yang mengalami perubahan. Dalam
pada itu, dari begitu banyaknya perubahan yang signifikan, terdapat satu
hal yang tidak mengalami perubahan signifikan tetapi eksistensinya sangat
penting dan menjadi “problema tak terkuak” hingga detik ini, yaitu fungsi
pemerintah.
Fungsi inti eksistensi birokrasi pemerintah yaitu memberikan perlindungan
masyarakat (protective function), pelayanan masyarakat (public service
function), dan melaksanakan pembangunan (development function)10.
Produk (output) pemerintah adalah goods and regulation" untuk
kepentingan publik. Yang dimaksud dengan “goods” adalah barang-barang
atau fasilitas publik yang dihasilkan pemerintah seperti misalnya sekolah,
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 5
rumah sakit, jalan, dan jembatan; sedangkan dalam kelompok regulations
yang dihasilkan pada umumnya bersifat regulatory atau pengaturan,
seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran,
dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).
Di sisi yang berbeda, masyarakat daerah juga mengalami perubahan, baik
dalam berpikir, bersikap, maupun bertindak. Hal ini mengemuka seiring
dengan beranjak dewasanya usia sebuah bangsa, sejalan dengan
perubahan global yang semakin cepat, dan seiring dengan derasnya arus
informasi yang tak terbendung dan tanpa henti memprovokasi warga
negara untuk memperoleh pelayanan berarti dari para aparatur
pemerintah. Berbagai ragam tuntutan masyarakat dimaksud saatnya
diangap sebagai peluang stratejik (strategic opportunities) yang akan
mengantarkan birokrasi pemerintah menuju singgasana daya saing.
Pada tataran makro Indonesia penyelenggaraan pemerintahan, baik Pusat
maupun Daerah telah mengalami pergeseran. Fakta menunjukkan bahwa
tuntutan reformasi di segala bidang telah merubah tatanan mendasar
manajemen
penyelenggaraan
pemerintahan
di
Indonesia,
dari
penyelenggaraan
pemerintahan
“as
usual”
menuju
kepada
penyelenggaraan pemerintahan berorientasi pada hasil (outcomes
oriented) atau kinerja (performance oriented). Pergeseran tersebut dipicu
dan didorong oleh beberapa peraturan perundangan, seperti misalnya.
• UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
• UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
• UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (berorientasi pada
Anggaran Berbasis Kinerja);
• Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal;
• Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
• Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan
dan Kinerja Instansi Pemerintah.
Peraturan-peraturan perundangan tersebut secara tersirat dan tersurat
menekankan perlu dan pentingnya sistem penyelenggaraan pemerintahan
yang berorientasi pada hasil (outcomes oriented). Mustopadidjaja (2000)
menyebutkan bahwa kegagalan dalam mengembangkan sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan merupakan
salah satu penyebab krisis nasional di Indonesia pada akhir abad 2011. Krisis
nasional multidimensional yang terjadi belum dapat dibendung hingga kini
dan tampaknya akan terus berlanjut selama peraturan-peraturan
perundangan semacam itu belum aplikatif dan belum dapat
diimplementasikan secara memadai pada level makro Indonesia.

Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 6
Tidak
bisa
dipungkiri
bahwa
untuk
mengaplikasikan
dan
mengimplementasikan
peraturan-peraturan
perundangan
dimaksud
merupakan pekerjaan berat, yang mana mau tidak mau harus tetap
dilaksanakan. Meskipun masih perlu dilakukan revisi secara terus menerus
dan berkesinambungan, berbagai peraturan perundangan perlu disikapi
dengan bijak oleh segenap jajaran pemerintah sebagai jalan keluar dari
krisis multidimensional yang kenyataannya memang semakin rumit.
Mengamati kinerja birokrasi pemerintah sejak bergulirnya era reformasi
sepuluh tahun silam, tampaknya cukup sudah rentang waktu untuk
mentolerir sikap dan perilaku tidak kondusif birokrasi pemerintah. Kini
saatnya membangun desain besar tata kelola perilaku birokrasi pemerintah
secara menyeluruh dan terpadu. Tentu hal ini tidak berlebihan, karena
merupakan sebuah tuntutan mutlak untuk mengarahkan perilaku birokrasi
pemerintah pada kinerja tinggi sebagaimana tuntutan masyarakat,
stakholders, dan tujuan negara. Perilaku birokrasi pemerintah dalam
konteks memenuhi tuntutan masyarakat, stakholders, dan tujuan negara
jelas bukan semata-mata perilaku birokrasi yang anti kepada sikap dan
tindak kolusi, korupsi, dan nepotisme. Perilaku birokrasi pemerintah harus
juga mengarah pada inovasi berkelanjutan dan meningkatkan keunggulan
daya saing.
Sehubungan dengan hal dimaksud, maka nilai-nilai organisasi berkinerja
tinggi harus eksis dan dimiliki oleh birokrasi pemerintah. Sandra Hale (1996)
menyatakan berdasarkan hasil risetnya
bahwa
nilai-nilai organisasi
berkinerja tinggi (high-performance organization) berhubungan positif
dengan kepuasan pelanggan/pengguna jasa (customer). Menurut Sandra
Hale, nilai-nilai organisasi berkinerja tinggi mencakup beberapa hal sebagai
berikut12:
1. Innovation: Organisasi-organisasi yang sukses selalu mendorong
pembaharuan yang dilakukan oleh pegawainya sebagai salah
satu cara untuk menghasilkan peningkatan-peningkatan yang
dapat diukur dalam kuantitas, kualitas maupun efektifitas biaya
bagi organisasi. Inovasi merupakan suatu proses yang tiada
henti dalam suatu organisasi pembelajar (learning organization).
2. Risk taking: Organisasi-organisasi yang sukses mengijinkan
pegawainya untuk kreatif dan berani mengambil resiko untuk
menemukan cara yang lebih baik dalam menjalankan program
organisasi, pemberian layanan, atau menciptakan sebuah produk.
3. Training and the right tools: Pelatihan dan penggunaan alatalat yang tepat juga diberikan dalam organisasi pembelajar
(learning organization). Pelatihan dalam negosiasi, ketrampilan
berkomunikasi, dan
metode
pelayanan
pelanggan
akan
membantu pertukaran atau peralihan pegawai menjadi pembuat
keputusan dan pemecah masalah. Selain itu perlengkapan
pendukung dengan menggunakan teknologi tinggi (high-tech
equipment) harus menjadi prioritas utama, karena di era
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 7
informasi alat-alat berteknologi tinggi bukan lagi dipandang
sebagai barang mewah.
4. Communication: Organisasi
yang
teratur, terorganisir,
komprehensif, dan komunikasi terbuka merupakan sesuatu yang
menjadi perhatian dalam suatu organisasi pembelajar (learning
organization). Pendekatan
terhadap
setiap orang
harus
dipertimbangkan
dalam
menemukan
ide-ide
baru
dan
merumuskan percobaan, kemudian sekali keputusan telah dibuat
maka setiap anggota harus punya komitmen tinggi untuk
melaksanakan keputusan tersebut.
5. Work measurement: Pengukuran kerja merupakan langkah untuk
menetapkan dasar perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan, dan
juga merupakan langkah untuk memberikan informasi kinerja
karyawan.
6. A focused mission: Elemen pokok dari misi yang terfokus
adalah
suatu
orientasi
dasar
terhadap
publik/pelanggan
(customer-based orientation).
7. Teamwork: Tim (team) artinya bekerja dengan kelompok di
dalam organisasi, dan membentuk kemitraan (partnership) serta
gabungan-gabungan lain di luar organisasi. Pengaruh kerja tim
dapat terjadi melalui apa yang dilakukan pimpinan untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif dimana tim bekerja.
8. Employee participation: Partisipasi karyawan untuk menunjang
pecapaian hasil jangka panjang memegang peran penting.
Dengan pemberian kewenangan yang lebih banyak kepada
karyawan maka hal tersebut dapat memberikan kontrol balik
dan tanggung jawab yang lebih besar dari bottom line.
9. Reward
and
recognition: Program
pengakuan (recognition
program) bisa dimiliki oleh organisasi-organisasi yang tidak
hanya mempunyai tujuan memberikan kepuasan kepada
pelanggan maupun rekan bisnis semata, akan tetapi juga
bertujuan menciptakan kondisi yang bergairah bagi karyawan di
tempat kerjanya.
10. Enabling leaders: Organisasi berkinerja tinggi membutuhkan
pemimpin berkinerja tinggi. Disebut pemimpin berkinerja tinggi,
antara lain jika : mengupayakan belajar bagi organisasinya;
fleksibel terhadap kewenangannya; mempunyai keterampilan
berkomunikasi; melaksanakan pekerjaan berdasarkan pada visi
yang ada;
mampu membangun jejaring stratejik (strategic
network) dan mampu berbagi (sharing) dengan karyawannya.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa kinerja pemerintah dipengaruhi
oleh factor lingkungan baik internal maupun eksternal. Dari sisi internal
permasalahan yang kerapkali muncul adalah masalah struktur organisasi
yang tinggi, gemuk dan kaku serta sistem kepemimpinan (leadership
system) yang out of date. Struktur organisasi menurut Lubis & Huseini
(1987) merupakan bentuk organisasi yg dirancang dengan memperhatikan
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 8
akibat dari pengaruh keseluruhan faktor (lingkungan, ukuran organisasi,
teknologi organisasi, sasaran yang ingin dicapai organisasi) secara
bersama13. Secara lebih mikro, Atmosudirdjo (1996) mengartikan struktur
organisasi sebagai jumlah total cara-cara (ways) melakukan pembagian
kerja menjadi beraneka ragam tugas dan mencapai koordinasi tugas-tugas
tersebut diantara pola-pola interaksi yang terdapat atau terjadi diantara
para anggota organisasi melalui formalisasi (penegasan secara formal).
Merujuk pada pendapat tersebut, maka struktur organisasi dapat
dianalogkan dengan lahan pertanian atau perkebunan, yang akan
menentukan suatu hasil pertanian atau perkebunan baik atau tidak, karena
setiap lahan tergantung pada kualitas lahannya. Dengan kualitas lahan yang
sesuai, sangat dimungkinkan tanaman akan mengasilkan panen yang bagus
apalagi dengan perawatan yang optimal. Demikian pula dengan struktur
organisasi yang adjustable, akan memungkinkan terciptanya strategi yang
mantap dan budaya yang kondusif sehingga kinerja organisasi mampu
meningkat dari waktu ke waktu. Mencermati struktur organisasi birokratik
yang mengakar sangat kuat dalam pemerintah perlu dimodifikasi dan
disesuaikan dengan kondisi kekinian agar pemerintah mampu
meningkatkan kinerja secara signifikan14. Pada Gambar 1 dapat dilihat
pergeseran yang perlu dilakukan terhadap model struktur birokratik
menjadi model struktur yang adjustable ditinjau dari sisi dimensi-dimensi
struktur organisasi.
Menggeser paradigma struktur birokratik menjadi struktur yang lebih
adjustable adalah suatu keharusan apabila pemerintah menghendaki
adanya pertumbuhan kinerja secara terus menerus. Pada dimensi
complexity, kompleksitas diferensiasi vertikal dan horizontal perlu
disesuaikan dengan strategic issues yang berkembang. Sehubungan
dengan hal tersebut antara satu Departemen dengan Departemen yang
lain, hierarkhi yang dirancang tidak harus sama, begitu juga dengan jumlah
eselon I, II, III, dan IV pun tidak harus sama. Hal demikian juga berlaku bagi
Kantor Kementerian Negara, LPND, dan bahkan Pemerintah Daerah.
Mencermati perkembangan terakhir komposis Kabinet Indonesia Bersatu,
dapat sama-sama kita amati bahwa sesungguhnya susunan yang dirancang
belum merujuk pada hasil kajian yang memadai. Hal ini berdasarkan fakta
bahwa sampai saat ini jarang ditemui instansi pemerintah atau lembaga
lain yang melakukan audit tugas dan fungsi Departemen, Kantor
Kementerian Negara, dan LPND15. Kondisi demikian adalah sifat khas model
struktur birokratik, dimana bersifat operatif yang miskin aspirasi, data,
informasi dan knowledge. Oleh karenanya sangat dimaklumi apabila muncul
vonis bahwa “struktur organisasi-organisasi pemerintah kita dibangun
dengan common sense”. Karakter demikian jelas membutuhkan
penyesuaian menjadi struktur organisasi bervisi sukses yang jelas (clear
success vision) dengan memperhatikan secara jeli strategic issues yang
berkembang.
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 9
Pada dimensi formalization, formalisasi penataan aturan, kebijakan,
prosedur dan sebagainya dirancang secara rigid
sehingga sangat
menyulitkan untuk mengambil respon-respon kreatif terhadap tantangantantangan (challenges) terkini. Hal demikian juga sangat terkait dengan
sifat struktur birokratik yang menganggap pegawai adalah beban atau
bahkan sumber kesalahan, bukan valuable asset atau bahkan sumber
kreatifitas organisasi. Melihat pesatnya perubahan lingkungan, paradigma
demikian sudah saatnya diluruskan.
Model Struktur Birokratik

Model Struktur Adjustable

Kompleksitas Diferensiasi (Complexity)
Diferensiasi vertikal dan horizontal
tinggi dan gemuk

Diferensiasi vertikal dan horizontal
dibuat datar dan ramping

Jabatan-jabatan struktural yang
diciptakan kurang memperhatikan
mekanisme koordinasi dalam
implementasi tugas dan fungsi

Jabatan-jabatan structural yang
diciptakan merupakan satu
kesatuan yang utuh untuk
mencapai visi, tujuan dan sasaran
organisasi secara terpadu

Struktur organisasi dibangun
berdasarkan aspirasi yang kurang
memadai

Struktur organisasi dibangun
berdasarkan visi yang jelas

Formalisasi Penataan (Formalization)
Formalisasi penataan (aturan,
prosedur dan sebagainya) terpusat
berdasarkan prosedur yang seragam

Aturan-aturan diciptakan untuk
memastikan suatu respon sesuai
dengan kebiasaan rutin

Formalisasi pentaaan (aturan,
prosedur dan sebagainya)
didesentralisasikan berdasarkan
satu tujuan melalui nilai-nilai
bersama dan kerangka kerja yang
lebih luas
Menyiedakan kerangka kerja yang
mampu memberikan kebebasan
respon terhadap tantangan yang
berkembang

Menilai kinerja berdasarkan prosesprosesnya

Menilai kinerja berdasarkan hasil
yang dicapai

Pengawasan dan pengecekan
pekerjaan dilakukan setelah
selesainya pekerjaan

Pengawasan dan pengecekan
kualitas pekerjaan dilakukan sejak
awal

Sentralisasi Kewenangan (Centralization)
Kewenangan berada pada pusat
kekuasaan

Kewenangan didesentralisaiskan
pada pimpinan di bawahnya secara
menyeluruh

Pegawai dipandang sebagai beban
atau bahkan sumber kesalahan

Pegawai dipandang sebagai asset
bernilai dan sumber kreativitas

Tujuan dan sasaran didefinisikan
dengan fungsi-fungsi yang ada

Tujuan dan sasaran didefinisikan
dengan isu stratejik yang
berkembang

Gambar 1
Pergeseran Model Struktur Birokratik menuju Model Struktur Adjustable
(Perspektif Dimensi-dimensi Struktur Organisasi)

Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 10
Untuk melakukan pergeseran dari formalisasi penataan secara rigid menuju
formalisasi yang adjustable, instansi pemerintah perlu melakukan
penyusunan kerangka kerja baru yang lebih luas (new broader framework)
dan merepresentasikan nilai-nilai bersama (shared values) dimana
kemudian kerangka kerja penataan tersebut dalam implementasinya
didesentralisasikan. Sehingga dengan demikian unit-unit yang tersebar
memiliki kebebasan untuk merespon tantangan yang dihadapi, tanpa
mengabaikan tujuan dan sasaran organisasi induknya. Hal demikian juga
berdampak positif bagi para pimpinan menengah dan bawah (middle and
lower managers), pejabat fungsional dan bahkan para staf pelaksana untuk
berani mengambil resiko (risk taking) terhadap tantangan yang ada. Dalam
konteks struktur adjustable tersebut, para anggota organisasi --pimpinan
puncak, menengah, bawah, pejabat fungsional dan para staf pelaksana
sekalipun-- tidak lagi mengenal istilah “a play safe individual”, karena
mereka adalah para pengambil resiko.
Dalam dimensi centralization, kewenangan pada struktur birokratik berada
pada pusat kekuasaan atau pucuk pimpinan. Tradisi pengambilan
keputusan dan kewenangan terpusat yang telah mengakar sangat kuat
pada instansi-instansi pemerintah pusat dan daerah, telah berakibat sangat
buruk bagi level-level manajer yang berada di bawahnya dalam
pengambilan keputusan. Kewenangan dan pengambilan keputusan
terpusat sebagaimana terdapat pada struktur birokratik dewasa ini pada
umumnya telah menciptakan manusia-manusia robot yang mampu
mempersembahkan kado mainan bagi para atasnnya. Dari sini pulalah
munculnya kesalahkaprahan, yang akhirnya prinsip sebagai “abdi
masyarakat dan abdi negara” bagi para pegawai negeri menjadi lentur,
kemudian luntur dan akhirnya tidak berbekas.
Keadaan demikian tidak bisa dianggap hal biasa karena memang hal
tersebut sudah luar biasa. Kewenangan dan pengambilan keputusan harus
dapat didesentralisasikan sesuai dengan proporsinya, baik itu dalam
konteks kelembagaan pemerintah secara nasional --pusat dan daerah-maupun dalam konteks instansional --instansi per instansi. Dengan
kerangka kerja yang komprehensif dan jelas, desentralisasi kewenangan
akan berjalan sesuai dengan skenarionya. Dengan melakukan penyesuaian
seperti ini, unit-unit yang tersebar akan merasa lebih tertantang dalam
menghasilkan kinerja yang lebih optimal.

Pemaduselarasan Birokrasi
Birokrasi Pemerintah

Weber

Dalam

Perestroika

Pesatnya perubahan lingkungan di berbagai aspek dewasa ini jelas
membutuhkan antisipasi memadai dari kalangan birokrasi pemerintah di
negeri ini. Untuk mampu melakukan antisipasi signifikan, tentunya perilaku
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 11
(behavior) birokrasi pemerintah harus mengarah dan sejalan dengan
tuntutan lingkungan yang berkembang16. Konsepsi, formula, dan kebijakan
lama sudah barang tentu kurang sesuai untuk diaplikasikan di masa kini.
Kini saatnya membangun desain besar tata kelola perilaku birokrasi
pemerintah secara menyeluruh dan terpadu. Tentu hal ini tidak berlebihan,
karena merupakan sebuah tuntutan mutlak untuk mengarahkan perilaku
birokrasi pemerintah pada kinerja tinggi sebagaimana tuntutan
masyarakat, stakeholders, dan tujuan negara. Menengok kinerja birokrasi
pemerintah sejak bergulirnya era reformasi sepuluh tahun silam,
tampaknya cukup sudah rentang waktu untuk mentolerir sikap dan
perilaku tidak kondusif birokrasi pemerintah.
Dewasa ini, pergeseran paradigma administrasi publik dewasa ini telah
mendorong pemerintahan negara-negara dunia untuk melakukan berbagai
upaya penyesuaian. Penyesuaian dalam konteks ini dimanifestasikan
melalui beragam pembaharuan yang tujuannya tidak lain adalah menuju
suatu kondisi yang lebih baik. Pembaharuan seperti itu juga terjadi di
Indonesia, dimana struktur pemerintahan secara politis mengalami
perubahan. Hierarki kekuasaan yang semula sentralisasi bergeser menuju
desentralisasi yang diharapkan dapat mencapai keberhasilan dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan secara
lebih optimal.
Dapat dicermati bahwa perubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat
kita telah mendorong peningkatan mutu pelayanan masyarakat, baik yang
dijalankan oleh pemerintah maupun swasta. Dalam sebuah makalahnya,
Mohamad (1999) berpendapat bahwa setidak-tidaknya terdapat 4 kondisi
yang mendorong peningkatan mutu pelayanan masyarakat, yaitu pertama,
perkembangan lingkungan dan meningkatnya tuntutan masyarakat sesuai
dengan perubahan kualitas hidup masyarakat itu sendiri; kedua
menguatnya persaingan produk (barang dan jasa) sehingga memicu sektor
swasta dan publik untuk memberikan tawaran terbaik kepada
kastamernya; ketiga, semakin lebarnya peluang mewujudkan peningkatan
kualitas pelayanan masyarakat melalui penggunaan teknologi yang terus
berkembang; dan keempat, meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap
kualitas pelayanan itu sendiri17.
Pelayanan publik merupakan representasi dari eksistensi birokrasi
pemerintah, hal ini tidak lain karena berkenaan langsung dengan salah satu
fungsi pemerintah yaitu memberikan pelayanan. Dengan demikian kualitas
pelayanan publik merupakan cerminan dari kualitas birokrasi pemerintah.
Di masa lalu, paradigma pelayanan publik lebih memberi peran yang sangat
besar kepada pemerintah sebagai sole provider. Peran pihak di luar
pemerintah tidak pernah mendapat tempat atau termarjinalkan.
Masyarakat dan dunia swasta hanya memiliki sedikit peran dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 12
Tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan pemerintah dewasa ini -dari pelayanan yang murah, cepat, tepat, terjangkau dan adil— merupakan
tantangan yang perlu segera diantisipasi. Melihat tuntutan ini maka
pemerintah perlu menata kembali peran dan fungsinya dengan cara
merancang siklus kebijakan publik yang lebih berorientasi hasil (outcomes
oriented) dan kepekaan terhadap lingkungan (environment sensibility)
serta pertanggungjawaban yang kuat mengenai “kepada siapa kebijakan
tersebut akan pertanggungjawabkan”. Sehubungan dengan kedudukan
pemerintah sebagai lembaga yang memperoleh legitimasi dari rakyat
untuk menghasilkan goods and regulations
dimaksud, maka kemudian
menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk memenuhi hal tersebut
pada kondisi pelayanan bermutu tinggi (hi-quality services) sebagai bentuk
pertanggungjawaban publik.
Pada umumnya pergeseran paradigma pelayanan adalah pergeseran dari
birokrasi yang dilayani menjadi birokrasi yang melayani. Berkaitan dengan
reformasi kebijakan dan manajemen pelayanan publik, salah satu prinsip
penting yang perlu dikembangkan adalah prinsip streering rather than
rowing. Prinsip ini menekankan bahwa pemerintah tidak harus secara terus
menerus bekerja sendiri, dan saatnya kini mengubah cara kerja pemerintah
dalam ranah pelayanan publik, sehingga tujuan pelayanan dapat dicapai
dengan lebih baik. Paradigma baru di bidang pelayanan dimaksud secara
signifikan mempengaruhi cara pandang tradisional terhadap peran
pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik.
Perilaku birokrasi pemerintah dalam konteks memenuhi tuntutan
masyarakat, stakholders, dan tujuan negara jelas bukan semata-mata
perilaku birokrasi yang anti kepada sikap dan tindak kolusi, korupsi, dan
nepotisme. Perilaku birokrasi pemerintah harus juga mengarah pada
inovasi berkelanjutan dan meningkatkan keunggulan daya saing. Untuk
dapat mengarah pada kondisi tersebut, maka langkah pembaharuan
perilaku birokrasi pemerintah dirasakan semakin perlu, penting, dan
bahkan mendesak18.
Permasalahan yang melekat dalam organisasi pemerintah (pusat dan
daerah) pada umumnya merupakan permasalahan klasik yang sampai
sekarang
belum
banyak
mengalami
perubahan.
Permasalahanpermasalahan tersebut dapat dilihat dari ciri-cirinya yaitu: tinggi dan
gemuknya struktur organisasi, overlapping tugas dan fungsi, peranannya
lebih bersifat rowing daripada steering, dan keberadaannya tidak stabil.
Ciri-ciri tersebut diuraikan sebagai berikut19:
a) Tinggi dan gemuknya struktur organisasi. Penyusunan struktur
organisasi pemerintah (pusat dan daerah) pada umumnya belum
melalui kajian akademis yang memadai. Kecenderungan pemerintah
(pusat dan daerah) selama ini lebih mendasarkan pada formasi
maksimal yang ditentukan oleh Peraturan Pemerintah. Bahkan pada

Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 13
umumnya pemerintah (pusat dan daerah) meminta formasi yang
lebih besar dari yang ditentukan.
b) Tumpang tindih tugas dan fungsi (overlapping) yang berlebihan.
Meskipun untuk mengindari sama sekali overlapping tugas dan
fungsi antar satuan unit kerja pemerintah (pusat dan daerah)
tampaknya sesuatu hal yang sangat sulit dilakukan, selayaknya
overlapping yang berlebihan harus dihindari.
Pada keadaan
tertentu bahkan dapat memicu konflik karena masing-masing
merasa punya kewenangan dan tanggungjawab.
c) Peranannya lebih bersifat rowing daripada steering. Struktur
organisasi pemerintah (pusat dan daerah) yang gemuk merupakan
cerminan dari banyaknya fungsi rowing yang dikembangkan oleh
pemerintah (pusat dan daerah). Sementara pergeseran paradigma
pemerintahan mengarah pada fungsi steering. Fungsi rowing
tersebut tentunya selain menyebabkan pemborosan baik dari sisi
biaya, tenaga, material dan waktu juga kurang berdampak
signifikan terhadap pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha.
d) Keberadaannya tidak stabil. Perubahan organisasi yang sering
terjadi menyebabkan berbagai kebijakan publik tidak mencapai
sasaran yang telah ditetapkan. Hal ini diakibatkan karena perubahan
organisasi akan mempengaruhi pelaksanaan kebijakan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Akibat paling parah dari ketidakstabilan
organisasi adalah terjadinya inefisiensi di dalam pengelolaan aset
organisasi yang telah dimiliki.
Kondisi ini terjadi disebabkan keberadaan suatu organisasi tidak didukung
oleh suatu kajian yang komprehensif dan lebih berdasarkan pada
kepentingan jangka pendek. Dua kali perubahan organisasi departemen
yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
menunjukkan bahwa keputusan tersebtu tidak berdasarkan hasil kajian
yang mendalam oleh institusi yang kompeten. Efisiensi yang diharapkan
dengan perubahan tersebut tidak dapat diwujudkan, sebaliknya memicu
munculnya persoalan-persoalan baru dalam penataan kewenangan, aset
dan kepegawaian. Dengan dimikian perubahan organisasi departemen yang
dilakukan oleh Pemerintah tidak sejalan dengan prinsip pengembangan
organisasi.
Melihat permasalahan yang eksis hingga saat ini, tampaknya kita perlu
untuk melihat latar belakang mengapa kondisi tersebut bertahan dan/atau
dipertahankan. Disadari atau tidak bahwa kelembagaan pemerintah pusat
dan daerah di Indonesia pada umumnya, merupakan dampak dari sebuah
sistem pemerintahan. Dikaitkan dengan lingkungan pemerintahan daerah,
maka kondisi semacam ini merupakan salah satu pengaruh dari lingkungan
politik administratif terhadap sistem pemerintahan daerah yang
dikembangkan. Mencermati hal demikian, tentunya permasalahan
kelembagaan pemerintah (pusat dan daerah) jelas bukanlah sesuatu yang
mudah dan sederhana untuk diatasi. Meskipun dalam kurun waktu satu
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 14
dekade terakhir keberadaan aparatur pemerintah di Indonesia --baik pusat
maupun daerah-- dituntut mengurangi jumlahnya, tetapi hal tersebut
bukan berarti harus mengurangi tingkat pentingnya fungsi aparatur
pemerintahan itu sendiri. Hal demikian senada dengan pernyataan Prof.
Awaloedin Djamin (1998) berikut20:
”Peran aparatur negara, khususnya peran aparatur pemerintah di
seluruh dunia, menunjukkan kecenderungan berkurang dan berubah.
Namun ini tidak berarti peran aparatur pemerintah akan kurang
penting dan menjadi mudah. Terutama di negara-negara yang
melaksanakan pembangunan nasional berencana, seperti Indonesia,
fungsi aparatur pemerintah akan bertambah kompleks mengingat
perkembangan lingkungan strategis, global, regional dan nasional”.
Dalam perspektif manajemen, birokrasi modern yang diperlukan saat ini
ialah birokrasi yang secara fisik organisasional relatif kecil dan padat
(compact) tetapi secara kualitatif kapasitasnya besar atau yang selama ini
dikenal dengan “ramping struktur kaya fungsi”. Disamping itu terdapat 2
(dua) konsep klasik yang masih terus relevan, yaitu: 1) structure follows
function, dimana besaran organisasi harus benar-benar disesuaikan dengan
kebutuhan dan kemampuan; serta 2) money follows function, dimana
anggaran yang dialokasi dipatokan dengan fungsi yang dimiliki oleh
lembaga tersebut. Dengan demikian diharapkan akan mengurangi hukum
Parkinson Effect yang menyebutkan bahwa organisasi dari waktu ke waktu
cenderung menggemukkan dirinya sendiri dan menjadi semakin boros
(inefisien).
Di muka telah diuraikan bahwasanya teori birokrasi Weber, selain masih
memiliki keunggulan, juga terdapat beberapa hal yang perlu disesuaikan
dengan kondisi kekinian sesuai dengan permasalahan yang ditemui oleh
organisasi birokrasi pemerintah (pusat dan daerah) berdasarkan tugas dan
fungsi masing-masing. Dalam upaya mengotimalkan perestroika birokrasi
pemerintah, setiap organisasi pemerintah (pusat dan daerah) harus mampu
mengenalola seluruh komponen-komponen penting organisasinya secara
memadai. Sehubungan dengan hal tersebut, Congruence Model yang
ditawarkan oleh Nadler & Tushman dapat dijadikan rujukan.
Pondasi Model Kongruen (Congruence Model) Nadler dan Tushman adalah
bahwasanya sebuah organisasi merupakan system terbuka (open system)
dimana subsistem-subsistem organisasi terpengaruh oleh lingkungan
eksternalnya (external environment). Nadler & Tushman (1997)
menyatakan bahwa setiap organisasi berusaha untuk mentransformasi
dirinya agar mampu berada pada sudut pandang yang seimbang (a
balanced perspective). Mereka menyebut cara pandang seperti ini the
Congruence Model of Organizational Behavior.21 Premis mereka adalah
bahwa “components of any organization exist in various states of balance
and consistency” (komponen-komponen setiap organisasi berada dalam
beragam pernyataan keseimbangan dan konsistensi) (Nadler & Tushman,
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 15
1997: 28). Semakin tinggi tingkat keseimbangannya (congruence), maka
organisasi menjadi semakin efektif. Congruence Model tersebut
menyiratkan bahwa terdapat suatu interdependensi dengan operasi
sistemik di dalam setiap organisasi yang berusaha untuk mentransformasi
dirinya.
Nadler & Tushman (1997) lebih lanjut menyatakan bahwa Congruence
Model memiliki empat komponen organisasi, yaitu:
1. work – the basic efforts put forth by the various parts of an
organization,
2. individual – characteristics of employees in the organization,
3. formal organizational arrangements – various structures, processes,
and methods that are formally created to allow individuals to
perform tasks that include control mechanisms, reward systems,
and job design elements, and
4. informal organization – emerging arrangements of structures,
processes, and relationships including leader behavior, values, and
politics
Congruence model dikembangkan sebagai cara pandang pada sebuah
organisasi dengan mamahami konsep keterpaduan organisasional
(organizational fit) dan organisasi sebagai system (organizations as
systems)22. Komponen organisasi sebagai system terdiri atas masukan ke
dalam system (inputs into the system) yang meliputi lingkungan,
sumberdaya organisasi, dan sejarah; proses transformasi atau strategi
bisnis; dan keluaran (outputs) yang meliputi pola aktivitas organisasi,
perilaku, dan kinerja. Mekanisme transformasi adalah operasi organisasi
yang terdiri atas tugas/pekerjaan (the work), pegawai (the people),
organisasi formal (the formal organization), dan organisasi informal (the
informal organization). Operasi organisasi sebagai “heart of the congruence
model”, dikatakan oleh Nadler (1998:32) menggunakan bisnis strateginya
untuk menghasilkan keluaran (outputs), semua hal yang terkait dalam
konteks lingkungan dan sumberdaya dan sejarah organisasi.”
Nadler (1998) menegaskan bahwa semua komponen system harus terpadu
bersama (fit together) agar organisasi menjadi efektif. Sehubungan dengan
hal tersebut organisasi yang efektif dicirikan dengan sebagaimana baik
komponen-komponen organisasi terpadu bersama. Ketika terdapat
keterpaduan yang kuat (congruence) diantara komponen-komponen
operasi organisasi, maka tingkat efektivitas dan kinerja yang tinggi akan
dapat dicapai.

Penutup
Meskipun bukan satu-satunya rujukan, teori birokrasi Weber merupakan
sebuah tonggak sejarah bagi teori dan perilaku organisasi. Kontribusi dan
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 16
pengaruhnya juga luar biasa penting bagi pencapaian kinerja sebuah
organisasi. Tetapi meskipun demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi
terus berkembang mencoba mengikuti perkembangan perubahan yang
tiada henti bahkan semakin pesat. Menyikapi keadaan demikian, mutlak
bahwa organisasi birokrasi pemerintah juga dituntut mengikuti perubahan
yang terjadi.
Reformasi birokrasi yang telah dicanangkan sejak satu decade ini, dapat
diyakini belum mampu membuahkan hasil sebagaimana harapan warga
bangsa. Upaya keras, cerdas, dan komitmen yang kuat dari seluruh jajaran
pemerintah pusat dan daerah merupakan sebuah keniscayaan yang harus
ditekuni. Perilaku jajaran birokrasi pemerintah harus mampu bergeser
menuju pada new behaviors yang mampu mewujudkan kinerja tinggi. New
behaviors tersebut adalah bekal untuk memiliki daya saing, sekaligus bekal
untuk mengantisipasi beragam perubahan. Cita-cita bangsa Indonesia yang
begitu luhur harus mampu diwujudkan.

End Notes:
                                                            
1

Prajudi Atmosudirdjo, Teori Organisasi dalam Ilmu Administrasi. (Jakarta: STIA-LAN Press,
1996).

2

Peter Evans & James Rauch, Bureaucracy And Growth: A Cross-National Analysis of the
Effects
of
"Weberian"
State
Structures
on
Economic
Growth,
dari
http://sociology.berkeley.edu/faculty/evans/burperf.html (retrieved 24/03/2004)

3

Haris Faozan, Mengoptimalkan Key Enablers of Innovation sebagai Key Leverages
Reformasi Birokrasi (sebuah tinjauan dari perspektif organization development), dalam
Beberapa Catatan Mengemban Misi Reformasi Birokrasi dan Administrasi Negara pada
Pemerintahan Baru Pasca Pemilu 2004, Idup Suhady dan Sugiyanto (eds). (Jakarta:
Lembaga Adminisrasi Negara, 2004)

4

Ricky Griffin & Gregory Moorhead, Fundamentals of Organizational Behavior: Managing
People and Organization. (Wilmington, MA: Houghton Mifflin Company, 2005).
5
Hellriegel, Jackson, & Slocum , Management: Competence-based Approach. (SouthWestern College Publishing, 2002).
6
Ludwig Theuvsen, On Good And Bad Bureaucracies: Designing Effective Quality
Management
Systems
In
The
Agrofood
Sector,
dari
http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/24993/1/sp04th01.pdf (retrieved 24/03/2004)
7
Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Berkeley:
University of California Press, 1986), dalam Ludwig Theuvsen, On Good And Bad
Bureaucracies: Designing Effective Quality Management Systems In The Agrofood Sector,
dari
http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/24993/1/sp04th01.pdf
(retrieved
24/03/2004)
8
Stephen P. Robbins & Mary Coulter, Management, 8th edition. (Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall, Inc., 2005)
9

Haris Faozan, Reformasi Kebijakan dan Manajemen Pelayanan menuju terwujudnya Daya
Saing Birokrasi, dalam (Samarinda: PKP2A III-LAN, 2008)
10

Fungsi pelayanan masyarakat yang mencakup environmental services ( misalnya jalan,
trotoar, dan taman) dan personal services ( seperti pendidikan dan kesehatan); Fungsi
pembangunan mencakup diantaranya: 1) Menyiapkan prasarana-prasarana yang
mendukung kegiatan perekonomian ( misalnya pasar, gudang, jalan, trotoar, road safety,
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 17
                                                                                                                                                                                    
marka jalan, terminal, pelabuhan, parkir, dan sistem transportasi); 2) Mengatur urusanurusan perijinan, membantu perkreditan, perencanaan lahan perkotaan (RUTRK),
pengadaan dan penyiapan lahan untuk kepentingan prasarana umum, perlindungan
konsumen, dan peningkatan mutu produksi; 3) Pengaturan pedagang kaki lima,
pengaturan dan peningkatan sektor informal dan industri kecil, pemberian ketrampilan
(training centres dan rehabilitation centres), menggalakkan terbentuknya job centres
sebagai bursa tenaga kerja; 4) Peningkatan gerakan swadaya masyarakat dalam
pembangunan melalui Koperasi, LSM dan sebagainya; Fungsi ketentraman dan
ketertiban mencakup diantaranya: 1) Penciptaan Ketentraman dan Ketertiban yang
dilaksanakan oleh pihak Militer, Kepolisian, dan Polisi Pamong Praja; 2) Perlindungan
hukum untuk masyarakat; 3) Perlindungan dari bencana alam.
11
Mustopadidjaja AR., Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
(Jakarta: LAN –BPKP, 2000).
12
Sandra P. Hale, High Performance Organization, dalam J.L. Perry, Handbook of Public
Administration, 2nd edition. (San Francisco: Jossy-Bass Inc., 1996)
13

S.B.H Lubis dan Martani Huseini, Teori Organisasi: suatu pendekatan makro. (Jakarta:
Pusat Antar Universitas-Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, 1987).
14

Haris Faozan, “Bureaucratic Structure Perestroika: Memperbarui Lahan Bagi
Pertumbuhan Kinerja Kelembagaan Pemerintah,” Jurnal Ilmu Administrasi- STIA-LAN
Bandung, Vol 2 (4), 2005, h. 335-346.
15

Lihat Hasil Kajian Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan-Lembaga Administrasi Negara,
Efisiensi dan Efektivitas Kelembagaan Pemerintah. (Jakarta: PKKK-LAN, 2006. Tidak
Dipublikasikan)
16

Guna mengarahkan perilaku dimaksud dalam konteks pengembangan organisasi dikenal
dengan terminologi the Behavior Strategy. Strategi ini menekankan bahwa pembelajaran
pegawai akan membawa perubahan organisasi yang dibutuhkan. Dalam hal ini,
pembelajaran pegawai semestinya mengandung pemerolehan knowledge, skills and new
attitudes yang akan mengarah pada perilaku-perilaku yang baru (new behaviors). New
behaviors inilah yang kemudian akan mengarah pada peningkatan kualitas dan kinerja
individu, kelompok, dan bahkan organisasi.Sebaliknya, pendekatan pelatihan dan
pengembangan pegawai birokrasi pemerintahan belum diorientasikan secara memadai
pada pemerolehan dan pengembangan knowledge, skills and attitudes semacam itu. Hal
ini bisa dirasakan karena implemetasi pelatihan dan pengembangan dilakukan secara
parsial, tidak konsisten, dan jauh selaras dari pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi.
17
Dr. Ismail Mohamad, Kualitas Pelayanan Masyarakat: Konsep dan Implementasinya,
dalam Miftah Thoha (Editor), Administrasi Negara, Demokratisasi dan Masyarakat Madani.
(Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 1999).
18

Pembaharuan dalam konteks peningkatan perilaku birokrasi pemerintah merupakan
salah satu bagian kritis yang perlu dipahami secara mendalam dan perlu diaplikasikan
dalam mendukung kinerja birokrasi pemerintah. Secara konseptual terdapat empat
wilayah kritis yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan pembaharuan, yaitu: (The
Performance-Based Management Handbook, Vol. 1. p. 65)
1. Kepemimpinan (leadership). Kepemimpinan merupakan hal pertama dan utama
yang perlu diperhatikan apabila upaya reengineering dapat bekerja. Pemimpin
harus terus mengkomunikasikan berbagai hal utama dan mendasar suatu
reengineering, meliputi kejelasan definisi hasil yang ingn dicapai, kejujuran tentang
apa yang akan coba diraih, dan rancangan agenda.
2. Lingkungan (environment). Dalam proses pembaharuan, manajemen perlu
mengetahui dan membutuhkan keterlibatan para kastamer dan stakeholder,
keterkaitan proses terhadap kastamer, dan tinjauan praktek-praktek terbaik yang
akan dilibatkan dalam proses tersebut.
3. Sistem teknikal (technical systems). Manajemen perlu mencari dan menemukan
bantuan sumberdaya dari luar sehingga upaya pembaharuan dapat berhasil. Selain
Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 18
                                                                                                                                                                                    
itu, manajemen perlu mengikuti proses yang terbukti manfaatnya dan
mengembangkan rencana implementasi bagi proses secara menyeluruh.
4. Sistem pegawai (people systems). Pembaharuan hanya akan bekerja jika para
pegawai diperhitungkan dan dilibatkan pada semua tingkat. Tim perlu
diberdayakan, dan tim lintas fungsi perlu dibangun dan bekerja untuk mengatasi
semua permasalahan yang terjadi.
19
Lihat juga Haris Faozan & Muzani M. Mansoer, Organisasi Pemerintahan Daerah, dalam
Adi Suryanto (Editor), Manajemen Pemerintahan Daerah. (Jakarta: Pusat Kajian Kinerja
Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara, 2008).
20

Awaloedin Djamin, Penyempurnaan Aparatur dan Administrasi Negara RI: Evaluasi
Dasawarsa I dan Prospeknya. (Jakarta: Yayasan Pembina Manajemen Lembaga Administrasi
Negara, 1994).
21

David A. Nadler & M. L. Tushman, Competing by design: The power of organizational
architecture. (New York: Oxford University Press, 1997)
22

David A. Nadler, Champions of Change. (San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1998).

Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 19

More Related Content

What's hot

Assignment 1 question (3)
Assignment 1 question (3)Assignment 1 question (3)
Assignment 1 question (3)
sulung90
 
02 Teori Organisasi Adm Publik
02 Teori Organisasi   Adm Publik02 Teori Organisasi   Adm Publik
02 Teori Organisasi Adm Publik
Andi Iswoyo
 
Sri murtianah 44211110093 pr
Sri murtianah 44211110093 prSri murtianah 44211110093 pr
Sri murtianah 44211110093 pr
Muy Murty
 
Organisasi dan birokrasi (8)
Organisasi dan birokrasi (8)Organisasi dan birokrasi (8)
Organisasi dan birokrasi (8)
Allo Martins
 
Teori organisasi komunikasi (dari internet)
Teori organisasi komunikasi (dari internet)Teori organisasi komunikasi (dari internet)
Teori organisasi komunikasi (dari internet)
Pratiwi Nurbayani
 
Bab1 perilaku organisasi
Bab1 perilaku organisasiBab1 perilaku organisasi
Bab1 perilaku organisasi
Sigit Prasetyo
 

What's hot (19)

Assignment 1 question (3)
Assignment 1 question (3)Assignment 1 question (3)
Assignment 1 question (3)
 
Konsep birokrasi albrow
Konsep birokrasi albrowKonsep birokrasi albrow
Konsep birokrasi albrow
 
Pengertian Teori Organisasi mia unkris
Pengertian Teori Organisasi mia unkrisPengertian Teori Organisasi mia unkris
Pengertian Teori Organisasi mia unkris
 
Evolusi Teori Organisasi dan Administrasi
Evolusi Teori Organisasi dan AdministrasiEvolusi Teori Organisasi dan Administrasi
Evolusi Teori Organisasi dan Administrasi
 
5 teori-organisasi-lengkap
5 teori-organisasi-lengkap5 teori-organisasi-lengkap
5 teori-organisasi-lengkap
 
Hrm in changing organizational contexts
Hrm in changing organizational contextsHrm in changing organizational contexts
Hrm in changing organizational contexts
 
Birokrasi sebagai organisasi
Birokrasi sebagai organisasi Birokrasi sebagai organisasi
Birokrasi sebagai organisasi
 
Penyajian Materi Teori Organisasi
Penyajian Materi Teori OrganisasiPenyajian Materi Teori Organisasi
Penyajian Materi Teori Organisasi
 
Kelompok 5 teori mutakhir (komunikasi organisasi)
Kelompok 5 teori mutakhir (komunikasi organisasi)Kelompok 5 teori mutakhir (komunikasi organisasi)
Kelompok 5 teori mutakhir (komunikasi organisasi)
 
Materi tou
Materi touMateri tou
Materi tou
 
02 Teori Organisasi Adm Publik
02 Teori Organisasi   Adm Publik02 Teori Organisasi   Adm Publik
02 Teori Organisasi Adm Publik
 
Birokrasi
BirokrasiBirokrasi
Birokrasi
 
Sri murtianah 44211110093 pr
Sri murtianah 44211110093 prSri murtianah 44211110093 pr
Sri murtianah 44211110093 pr
 
Organisasi dan birokrasi (8)
Organisasi dan birokrasi (8)Organisasi dan birokrasi (8)
Organisasi dan birokrasi (8)
 
Perbandingan Sistem Administrasi Negara
Perbandingan Sistem Administrasi NegaraPerbandingan Sistem Administrasi Negara
Perbandingan Sistem Administrasi Negara
 
Teori organisasi
Teori organisasiTeori organisasi
Teori organisasi
 
Teori organisasi komunikasi (dari internet)
Teori organisasi komunikasi (dari internet)Teori organisasi komunikasi (dari internet)
Teori organisasi komunikasi (dari internet)
 
Bab1 perilaku organisasi
Bab1 perilaku organisasiBab1 perilaku organisasi
Bab1 perilaku organisasi
 
Ppt teori organisasi
Ppt teori organisasiPpt teori organisasi
Ppt teori organisasi
 

Similar to Memaduselaraskankonsepbirokrasiweber harisfaozan2009-091121165925-phpapp02

Teori organisasi dan kepemimpinan
Teori organisasi dan kepemimpinanTeori organisasi dan kepemimpinan
Teori organisasi dan kepemimpinan
Jerry Makawimbang
 
Gambaran umum tentang organisasi
Gambaran umum tentang organisasiGambaran umum tentang organisasi
Gambaran umum tentang organisasi
Irgi Mpa
 
Pertemuan Minggu ke II Dasar-dasar Organisasi.pptx
Pertemuan Minggu ke II Dasar-dasar Organisasi.pptxPertemuan Minggu ke II Dasar-dasar Organisasi.pptx
Pertemuan Minggu ke II Dasar-dasar Organisasi.pptx
ApriyadiDhie
 
Ilmu organisasi
Ilmu organisasiIlmu organisasi
Ilmu organisasi
Rifky Ocen
 
Pio pengembangan dan budaya organisasi - Cimut
Pio pengembangan dan budaya organisasi - CimutPio pengembangan dan budaya organisasi - Cimut
Pio pengembangan dan budaya organisasi - Cimut
TawonNakal
 
Birokrasi menurut Max weber
Birokrasi menurut Max weberBirokrasi menurut Max weber
Birokrasi menurut Max weber
afifahdhaniyah
 
Pio pengembangan dan budaya organisasi - Cimut
Pio pengembangan dan budaya organisasi - CimutPio pengembangan dan budaya organisasi - Cimut
Pio pengembangan dan budaya organisasi - Cimut
TawonNakal
 

Similar to Memaduselaraskankonsepbirokrasiweber harisfaozan2009-091121165925-phpapp02 (20)

Change it today birokrasi is modern model
Change it today birokrasi is modern modelChange it today birokrasi is modern model
Change it today birokrasi is modern model
 
Jurnal teori organisasi
Jurnal teori organisasiJurnal teori organisasi
Jurnal teori organisasi
 
Teori organisasi dan kepemimpinan
Teori organisasi dan kepemimpinanTeori organisasi dan kepemimpinan
Teori organisasi dan kepemimpinan
 
Kuliah Minggu Ke 2,Map Ugm
Kuliah Minggu Ke 2,Map UgmKuliah Minggu Ke 2,Map Ugm
Kuliah Minggu Ke 2,Map Ugm
 
Teori Organisasi P Organisasi (2).ppt
Teori Organisasi P Organisasi  (2).pptTeori Organisasi P Organisasi  (2).ppt
Teori Organisasi P Organisasi (2).ppt
 
Struktur Organisasi
Struktur OrganisasiStruktur Organisasi
Struktur Organisasi
 
Desain Organisasi.ppt
Desain Organisasi.pptDesain Organisasi.ppt
Desain Organisasi.ppt
 
Gambaran umum tentang organisasi
Gambaran umum tentang organisasiGambaran umum tentang organisasi
Gambaran umum tentang organisasi
 
Bab 1 pengantar organisasi dan latar belakang, Novi Catur Muspita
Bab 1 pengantar organisasi dan latar belakang, Novi Catur MuspitaBab 1 pengantar organisasi dan latar belakang, Novi Catur Muspita
Bab 1 pengantar organisasi dan latar belakang, Novi Catur Muspita
 
Pertemuan Minggu ke II Dasar-dasar Organisasi.pptx
Pertemuan Minggu ke II Dasar-dasar Organisasi.pptxPertemuan Minggu ke II Dasar-dasar Organisasi.pptx
Pertemuan Minggu ke II Dasar-dasar Organisasi.pptx
 
453192906-PPT-KELOMPOK-3-KELAS-C-PPT-PENGORGANISASIAN-PROGRAM-KESEHATAN-pptx....
453192906-PPT-KELOMPOK-3-KELAS-C-PPT-PENGORGANISASIAN-PROGRAM-KESEHATAN-pptx....453192906-PPT-KELOMPOK-3-KELAS-C-PPT-PENGORGANISASIAN-PROGRAM-KESEHATAN-pptx....
453192906-PPT-KELOMPOK-3-KELAS-C-PPT-PENGORGANISASIAN-PROGRAM-KESEHATAN-pptx....
 
Ilmu organisasi
Ilmu organisasiIlmu organisasi
Ilmu organisasi
 
MOTIVASI
MOTIVASIMOTIVASI
MOTIVASI
 
Prinsip Prinsip Administrasi
Prinsip Prinsip AdministrasiPrinsip Prinsip Administrasi
Prinsip Prinsip Administrasi
 
Prilaku organisasi
Prilaku organisasiPrilaku organisasi
Prilaku organisasi
 
1-2 Teori Organisasi.pptx
1-2 Teori Organisasi.pptx1-2 Teori Organisasi.pptx
1-2 Teori Organisasi.pptx
 
Pio pengembangan dan budaya organisasi - Cimut
Pio pengembangan dan budaya organisasi - CimutPio pengembangan dan budaya organisasi - Cimut
Pio pengembangan dan budaya organisasi - Cimut
 
Organisasi & Manajemen Pemerintahan
Organisasi & Manajemen PemerintahanOrganisasi & Manajemen Pemerintahan
Organisasi & Manajemen Pemerintahan
 
Birokrasi menurut Max weber
Birokrasi menurut Max weberBirokrasi menurut Max weber
Birokrasi menurut Max weber
 
Pio pengembangan dan budaya organisasi - Cimut
Pio pengembangan dan budaya organisasi - CimutPio pengembangan dan budaya organisasi - Cimut
Pio pengembangan dan budaya organisasi - Cimut
 

More from Operator Warnet Vast Raha

More from Operator Warnet Vast Raha (20)

Stiker kk bondan
Stiker kk bondanStiker kk bondan
Stiker kk bondan
 
Proposal bantuan sepak bola
Proposal bantuan sepak bolaProposal bantuan sepak bola
Proposal bantuan sepak bola
 
Surat pernyataan nusantara sehat
Surat pernyataan nusantara sehatSurat pernyataan nusantara sehat
Surat pernyataan nusantara sehat
 
Surat pernyataan nusantara sehat fajar
Surat pernyataan nusantara sehat fajarSurat pernyataan nusantara sehat fajar
Surat pernyataan nusantara sehat fajar
 
Halaman sampul target
Halaman sampul targetHalaman sampul target
Halaman sampul target
 
Makalah seni kriya korea
Makalah seni kriya koreaMakalah seni kriya korea
Makalah seni kriya korea
 
Makalah makromolekul
Makalah makromolekulMakalah makromolekul
Makalah makromolekul
 
126895843 makalah-makromolekul
126895843 makalah-makromolekul126895843 makalah-makromolekul
126895843 makalah-makromolekul
 
Kafer akbid paramata
Kafer akbid paramataKafer akbid paramata
Kafer akbid paramata
 
Perilaku organisasi
Perilaku organisasiPerilaku organisasi
Perilaku organisasi
 
Mata pelajaran seni budaya
Mata pelajaran seni budayaMata pelajaran seni budaya
Mata pelajaran seni budaya
 
Lingkungan hidup
Lingkungan hidupLingkungan hidup
Lingkungan hidup
 
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga penggantiPermohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
Permohonan untuk diterima menjadi tenaga pengganti
 
Odher scout community
Odher scout communityOdher scout community
Odher scout community
 
Surat izin keramaian
Surat izin keramaianSurat izin keramaian
Surat izin keramaian
 
Makalah keganasan
Makalah keganasanMakalah keganasan
Makalah keganasan
 
Perilaku organisasi
Perilaku organisasiPerilaku organisasi
Perilaku organisasi
 
Makalah penyakit genetika
Makalah penyakit genetikaMakalah penyakit genetika
Makalah penyakit genetika
 
Undangan kecamatan lasalepa
Undangan kecamatan lasalepaUndangan kecamatan lasalepa
Undangan kecamatan lasalepa
 
Bukti registrasi pajak
Bukti registrasi pajakBukti registrasi pajak
Bukti registrasi pajak
 

Memaduselaraskankonsepbirokrasiweber harisfaozan2009-091121165925-phpapp02

  • 1. Me emadus selaraska Kons an sep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Bir rokrasi Pemerin P ntah Di I Indones sia Oleh Haris Faozan h. F Pen ndahulu uan Mod organisasi birok del kratik mer rupakan model paling umum bagi org m m ganisasi sekt publik maupun privat di penjuru dunia. Di tor k i isadari ata tidak, hingga au kini bentuk o organisasi birokrat masih melekat sangat kuat, baik pada tik k orga anisasi pemerintah, nirlaba d bahka swasta berskala besar sek dan an kalipun. Istila organi ah isasi birokrasi itu sendiri mulai dike m enal melu uas setela Max ah Web ber mem munculkan sebuah model organisas yang dikenal dengan si d “bur reaucratic organiza c ation”. Da alam uraia annya, We eber men njelaskan bahwa bent tuk organisasi bir rokratik m merupakan jenis o organisasi yang memiliki i m kara akteristik paling ses suai bagi industry society di akhir abad 19, ba bagi s i aik orga anisasi pemerintaha maupu organis an un sasi bisnis (Atmosud dirdjo, 1996)1. Men nurut Evan dan Ra ns auch, stru uktur otor ritas biror ratik telah dikenal hampir h 2 100 tahun lalu . Hal ini mem mberikan pemaham man kepa ada kita bahwa struktur biro okratik me enunjukka eksiste an ensinya secara lua biasa, survive ar s hing gga detik ini. Dala k am sebua riset lintas ba ah angsa, Ev vans dan Rauch men nunjukkan bahwa struktur otoritas birokratik mamp memfa n pu asilitasi pert tumbuhan ekono n omi bang gsa, meskipun p pada ak khirnya mereka m men nyarankan perlunya perhatia lebih banyak ba penga n a an b agi ambil kep putusan untu memb uk bangun bi irokrasi y yang lebih baik. Ha h asil riset ini memb berikan pesa bahwa struktur otoritas birokratik membut an a r k tuhkan pe enyesuaia atau an mod difikasi se ehingga hasil kin nerja suat bangs menunjukkan kinerja tu sa sign nifikan. am skala lebih m mikro, yai itu pada level ke elembagaa peme an erintah, Dala struktur birokratik pun perlu d n disesuaikan dan dim n modifikasi sejalan dengan d peru ubahan lin ngkungan (internal dan ekst n l ternal). Pa atut disad dari sepen nuhnya bahw sebua konsep dan/ata teori cukup tu tidak mungkin dapat wa ah p au ua, dipa akai seluru uhnya ata “ditela mentah au an h-mentah Semen h”. ntara di si lain, isi kita semua m menyadari bahwa ilmu pengetahuan d dan tekno ologi men ngalami perk kembanga sangat pesat, y an t yang secara absolu berpengaruh sig ut gnifikan terh hadap eksi istensi dan kinerja s sebuah or rganisasi p pemerinta ahan. Orga anisasi birokrasi pe emerintah di Indonesia belum menu h unjukkan kinerja seca optim karena banyakn ara mal a nya kelem mahan (we eaknesses yang melekat s) m pada seluruh sistem m a h manajeme pemer en rintahan. Apabila d dicermati, pokok perm masalahan belum optima n m alnya kin nerja ke elembagaa an peme erintah
  • 2. bermuara pada lemahnya strategi pengembangan kelembagaan pemerintah, dimana resistensi terhadap norma-norma dan paradigma perubahan sangat tinggi (Faozan, 2004)3. Dengan mencermati perubahan yang terjadi, strategi pengembangan organisasi (organization development strategy) semestinya ditujukan pada pengembangan sinergisitas tiga strategi utama, yaitu struktural, perilaku, dan teknikal sehingga organisasi pemerintah mampu menyesuaikan (adjustable) dan fleksibel terhadap perubahan. Dalam studi tentang disain dan struktur organisasi dikenal beberapa dimensinya, yaitu kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi. Di dalam struktur birokratik pada umumnya dan di dalam kelembagaan pemerintah khususnya, kompleksitas diferensiasi ditandai dengan hierarki kewenangan yang ketat, formalisasi penataan ditunjukkan dengan aturan-aturan baku dan kaku yang lebih mengedepankan proses ketimbang hasil, sedangkan sentralisasi kewenangan dalam pengambilan keputusan cenderung berada pada pusat kekuasaan. Keadaan-keadaan inilah yang secara luar biasa menjadi pemicu menguatnya citra negatif birokrasi dalam pemerintahan pada umumnya. Sesungguhnya, karakteristik model birokrasi yang dibangun oleh Max Weber pada esensinya memiliki beberapa keunggulan yang masih dapat diterapkan di dalam kelembagaan pemerintah saat ini, sementara beberapa hal lain yang dirasa tidak sesuai dengan kondisi kekinian perlu diselaraskan sesuai kebutuhan. Disinilah kewajiban para pimpinan organisasi untuk memainkan peran leadershipnya. Beberapa karakter birokrasi yang masih dinilai relevan dengan kondisi saat ini diantaranya adalah pembagian tugas secara jelas, dan promosi berdasarkan kompetensi. Pembagian tugas secara jelas sangat dibutuhkan di dalam sebuah organisasi. Dengan pembagian tugas yang jelas, maka siapa mengerjakan apa, dan siapa bertanggungjawab, serta melapor kepada siapa akan terdapat kejelasan. Selain itu dengan pembagian tugas yang jelas akan memudahkan mekanisme koordinasi, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Yang perlu diperhatikan dalam konteks pembagian tugas secara jelas adalah bagaimana agar sinergi di dalam organisasi dapat dibangun, sehingga mampu mengarah pada satu tujuan yang sama yaitu tujuan organisasi induknya. Masalah utama di dalam kelembagaan pemerintah kita pada umumnya adalah kurang jelasnya pembagian tugas dan diperkuatnya (sadar atau tidak sadar) tembok-tembok antarunit di dalam organisasi. Dengan kondisi demikian kecil kemungkinan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dapat diciptakan. Karakter lain birokrasi yang masih dibutuhkan adalah promosi berdasarkan kompetensi. Sejak awal dibangun model birokrasi oleh Weber, karakter ini sudah melekat dan tidak bisa dipisahkan. Kompetensi menjadi syarat mutlak bagi setiap anggota organisasi yang akan menduduki jabatan Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 2
  • 3. tertentu. Nilai positif birokrasi ini pada umumnya telah dipasung dengan berbagai aturan yang tidak lagi make sense apabila diterapkan pada masa sekarang. Salah satu contoh aturan yang masih dipegang sangat kuat di arena pemerintah kita adalah prinsip senioritas dan kepangkatan sebagai persyaratan utama bagi calon pemegang jabatan struktural, sementara syarat kompetensi dan prestasi kerja kerapkali diabaikan. Hal demikian tentu sangat membahayakan bagi eksistensi organisasi pemerintahan ke depan. Menyimak dan menyikapi kondisi demikian tentunya sangat mendesak (urgent) untuk melakukan kajian lebih mendalam dan serius mengenai eksistensi dan aktualisasi Teori Birokrasi Weber dalam rangka implementasi perestroika birokrasi pemerintah di Indonesia dewasa ini, agar mampu mencapai hasil yang diharapkan oleh banyak pihak. Sehubungan dengan hal itu, tulisan ini akan mencoba memaduselaraskan (memadukan dan menyelelaraskan) konsep birokrasi Weber dalam perestroika birokrasi pemerintah di Indonesia. Tulisan akan diawali dengan meninjau sekilas mengenai konsep dan/atau teori birokrasi. Bahasan berikutnya adalah mengenai bagaimana aplikasi teori birokrasi Weber dalam praktek di lingkungan pemerintahan di Indonesia pada umumnya. Kemudian bahasan akan dilanjutkan dengan pemaduselarasan konsep birokrasi Weber dalam perestroika birokrasi pemerintah di Indonesia. Konklusi akan menjadi penutup tulisan ini. Teori Birokrasi Max Weber, menurut Griffin & Moorhead (2005), merupakan kontributor paling terkemuka dalam pengembangan teori perilaku organisasi4. Teori tersebut digolongkan oleh Griffin & Moorhead (2005), ke dalam classical organization theory. Dalam teorinya, Weber mengusulkan sebuah bentuk struktur birokratik, yang diyakininya dapat bekerja untuk semua organisasi. Model struktur birokratik Weber mencakup logika, rasional, dan efisiensi (Griffin & Moorhead, 2005). Menurut Hellriegel, Jackson, & Slocum (2002)5, manajemen birokrasi memiliki karakteristik sebagai berikut: • Rules • Impersonality • Division of Labor • Hierarchy • Authority Structure • Lifelong Career Commitment • Rationality Adapun fokus manajemen birokrasi itu sendiri yakni pada organisasi secara keseluruhan. Keuntungan yang diperoleh dari manajemen birokrasi yaitu Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 3
  • 4. terdapatnya konsistensi dan efisiensi, sedangkan kelemahannya adalah menculnya kekakuan (rigidity) dan kelambanan (slowness) (Hellriegel, Jackson, & Slocum, 2002). Max Weber (1986) memperkenalkan pemikiran mengenai organisasi birokratik ke dalam sosiologi modern dan teori organisasi6. Birokrasi menurut Weber merupakan rasionalisasi yang diaplikasikan dalam organisasi, dimana beragam manusia beraktivitas di dalamnya. Kecenderungan rasionalisasi Weber diantaranya meliputi praktek aplikasi pengetahuan guna mencapai kendali yang lebih baik atas lingkungan social dan lingkungan fisik. Organisasi birokrasi bersandar pada otoritas legalrasional (rational-legal authority) yaitu berdasarkan aturan-aturan impersonal yang secara legal diberlakukan. Weber mengidentifikasi beberapa karakteristik penting dari organisasi birokratik, yaitu7: • Goal-orientation; • Written rules of conduct and standardized procedures; • Highly specialized division of labor; • Hierarchy of authority with directives flowing down the chain of command and information flowing up; • Official business conducted in writing; • Operations guided by impersonal rules; • Promotion of employees based on achievement; • Appointment to offices according to specialized qualifications; • Personnel have no property rights over the resources at their disposal. Dalam pandangan Robbins & Coulter (2005), Max Weber mengembangkan teori kekuasaan berdasarkan tipe ideal organisasi (an ideal-type of organization), disebut birokrasi (bureaucracy) yang dicirikan dengan beberapa hal berikut8: • Divison of labor • A clearly defined hierarchy • Detailed rules and regulations • Impersonal relationship Teori Birokrasi Weber dan Prinsip-prinsip Manajemen Fayol digolongkan Robbins & Coulter (2005) ke dalam general administrative theories, yaitu teori yang memandang subjek manajemen dengan focus organisasi secara keseluruhan. Sementara itu juga, organisasi birokrasi Weber menurut pandangan Robbins & Coulter (2005) memiliki banyak kesamaan ideology dengan scientific management, yang sama-sama menekankan rationality, predictability, impersonality, technical competence, dan authoritarianism. Mencermati perkembangan konsep dan teori organisasi dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun terakhir ini, kita mengetahui bermunculanannya berbagai bentuk struktur atau jenis organisasi, dari struktur sederhana (simple structure), struktur matriks, hingga learning organization. Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 4
  • 5. Mencermati perkembangan tersebut, kerapkali kita terkesima dan seringkali terjebak (trapped) dalam pemakaian terminologi struktur atau jenis organisasi yang ditawarkan. Sementara itu, cukup banyak anggota organisasi, baik pemerintah, nirlaba, maupun swasta kurang menyadari pentingnya teori organisasi secara holistic dan integrated, dan lebih mikro khusunya mengenai struktur dan disain organisasi. Implementasi Teori Birokrasi Pemerintahan Indonesia Weber Di Lingkungan Disadari atau tidak, bahwa eksistensi dan keberlangsungan birokrasi pemerintah terletak pada sejauhmana manajemen pemerintahan dikembangkan menuju keberdayasaingan (competitive advantage) birokrasi pemerintah secara optimal9. Bagi suatu organisasi hidup (living organization), daya saing jelas bukan hanya gagasan an sich apalagi semata-mata sloganisme. Skeptisme banyak kalangan --terutama perguruan tinggi dan organisasi sejenis-- terhadap eksistensi dan kiprah birokrasi pemerintah di negeri sendiri telah tumbuh bagai jamur. Bagi kalangan birokrasi pemerintah, memahami dan mengaplikasikan manajemen pemerintahan secara kaaffah (total) adalah sebuah tuntutan yang bersifat absolute, mutlak. Tiga pilar penting manajemen pemerintahan yang harus disimak dan dicermati secara seksama yaitu pemahaman tentang birokrasi itu sendiri, kebijakan public, dan pelayanan public. Ketiganya merupakan sebuah rangkaian (series) manajemen pemerintahan, dimana antara satu dengan yang lain menunjukkan interface dan konektivitas saling berpengaruh dan sangat penting bagi eksistensi dan keberlangsungan birokrasi pemerintah. Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, tidak ada satupun institusi pemerintahan di Indonesia yang tidak mengalami perubahan secara signifikan dari pengaruh perubahan lingkungan eksternalnya. Struktur kelembagaan pemerintah pusat dan daerah berubah, komposisi dan proporsi jabatan struktural pemerintah pusat dan daerah meningkat secara fantastis, dan masih banyak hal lain yang mengalami perubahan. Dalam pada itu, dari begitu banyaknya perubahan yang signifikan, terdapat satu hal yang tidak mengalami perubahan signifikan tetapi eksistensinya sangat penting dan menjadi “problema tak terkuak” hingga detik ini, yaitu fungsi pemerintah. Fungsi inti eksistensi birokrasi pemerintah yaitu memberikan perlindungan masyarakat (protective function), pelayanan masyarakat (public service function), dan melaksanakan pembangunan (development function)10. Produk (output) pemerintah adalah goods and regulation" untuk kepentingan publik. Yang dimaksud dengan “goods” adalah barang-barang atau fasilitas publik yang dihasilkan pemerintah seperti misalnya sekolah, Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 5
  • 6. rumah sakit, jalan, dan jembatan; sedangkan dalam kelompok regulations yang dihasilkan pada umumnya bersifat regulatory atau pengaturan, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran, dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Di sisi yang berbeda, masyarakat daerah juga mengalami perubahan, baik dalam berpikir, bersikap, maupun bertindak. Hal ini mengemuka seiring dengan beranjak dewasanya usia sebuah bangsa, sejalan dengan perubahan global yang semakin cepat, dan seiring dengan derasnya arus informasi yang tak terbendung dan tanpa henti memprovokasi warga negara untuk memperoleh pelayanan berarti dari para aparatur pemerintah. Berbagai ragam tuntutan masyarakat dimaksud saatnya diangap sebagai peluang stratejik (strategic opportunities) yang akan mengantarkan birokrasi pemerintah menuju singgasana daya saing. Pada tataran makro Indonesia penyelenggaraan pemerintahan, baik Pusat maupun Daerah telah mengalami pergeseran. Fakta menunjukkan bahwa tuntutan reformasi di segala bidang telah merubah tatanan mendasar manajemen penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, dari penyelenggaraan pemerintahan “as usual” menuju kepada penyelenggaraan pemerintahan berorientasi pada hasil (outcomes oriented) atau kinerja (performance oriented). Pergeseran tersebut dipicu dan didorong oleh beberapa peraturan perundangan, seperti misalnya. • UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; • UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; • UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (berorientasi pada Anggaran Berbasis Kinerja); • Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal; • Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah • Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. Peraturan-peraturan perundangan tersebut secara tersirat dan tersurat menekankan perlu dan pentingnya sistem penyelenggaraan pemerintahan yang berorientasi pada hasil (outcomes oriented). Mustopadidjaja (2000) menyebutkan bahwa kegagalan dalam mengembangkan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan merupakan salah satu penyebab krisis nasional di Indonesia pada akhir abad 2011. Krisis nasional multidimensional yang terjadi belum dapat dibendung hingga kini dan tampaknya akan terus berlanjut selama peraturan-peraturan perundangan semacam itu belum aplikatif dan belum dapat diimplementasikan secara memadai pada level makro Indonesia. Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 6
  • 7. Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk mengaplikasikan dan mengimplementasikan peraturan-peraturan perundangan dimaksud merupakan pekerjaan berat, yang mana mau tidak mau harus tetap dilaksanakan. Meskipun masih perlu dilakukan revisi secara terus menerus dan berkesinambungan, berbagai peraturan perundangan perlu disikapi dengan bijak oleh segenap jajaran pemerintah sebagai jalan keluar dari krisis multidimensional yang kenyataannya memang semakin rumit. Mengamati kinerja birokrasi pemerintah sejak bergulirnya era reformasi sepuluh tahun silam, tampaknya cukup sudah rentang waktu untuk mentolerir sikap dan perilaku tidak kondusif birokrasi pemerintah. Kini saatnya membangun desain besar tata kelola perilaku birokrasi pemerintah secara menyeluruh dan terpadu. Tentu hal ini tidak berlebihan, karena merupakan sebuah tuntutan mutlak untuk mengarahkan perilaku birokrasi pemerintah pada kinerja tinggi sebagaimana tuntutan masyarakat, stakholders, dan tujuan negara. Perilaku birokrasi pemerintah dalam konteks memenuhi tuntutan masyarakat, stakholders, dan tujuan negara jelas bukan semata-mata perilaku birokrasi yang anti kepada sikap dan tindak kolusi, korupsi, dan nepotisme. Perilaku birokrasi pemerintah harus juga mengarah pada inovasi berkelanjutan dan meningkatkan keunggulan daya saing. Sehubungan dengan hal dimaksud, maka nilai-nilai organisasi berkinerja tinggi harus eksis dan dimiliki oleh birokrasi pemerintah. Sandra Hale (1996) menyatakan berdasarkan hasil risetnya bahwa nilai-nilai organisasi berkinerja tinggi (high-performance organization) berhubungan positif dengan kepuasan pelanggan/pengguna jasa (customer). Menurut Sandra Hale, nilai-nilai organisasi berkinerja tinggi mencakup beberapa hal sebagai berikut12: 1. Innovation: Organisasi-organisasi yang sukses selalu mendorong pembaharuan yang dilakukan oleh pegawainya sebagai salah satu cara untuk menghasilkan peningkatan-peningkatan yang dapat diukur dalam kuantitas, kualitas maupun efektifitas biaya bagi organisasi. Inovasi merupakan suatu proses yang tiada henti dalam suatu organisasi pembelajar (learning organization). 2. Risk taking: Organisasi-organisasi yang sukses mengijinkan pegawainya untuk kreatif dan berani mengambil resiko untuk menemukan cara yang lebih baik dalam menjalankan program organisasi, pemberian layanan, atau menciptakan sebuah produk. 3. Training and the right tools: Pelatihan dan penggunaan alatalat yang tepat juga diberikan dalam organisasi pembelajar (learning organization). Pelatihan dalam negosiasi, ketrampilan berkomunikasi, dan metode pelayanan pelanggan akan membantu pertukaran atau peralihan pegawai menjadi pembuat keputusan dan pemecah masalah. Selain itu perlengkapan pendukung dengan menggunakan teknologi tinggi (high-tech equipment) harus menjadi prioritas utama, karena di era Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 7
  • 8. informasi alat-alat berteknologi tinggi bukan lagi dipandang sebagai barang mewah. 4. Communication: Organisasi yang teratur, terorganisir, komprehensif, dan komunikasi terbuka merupakan sesuatu yang menjadi perhatian dalam suatu organisasi pembelajar (learning organization). Pendekatan terhadap setiap orang harus dipertimbangkan dalam menemukan ide-ide baru dan merumuskan percobaan, kemudian sekali keputusan telah dibuat maka setiap anggota harus punya komitmen tinggi untuk melaksanakan keputusan tersebut. 5. Work measurement: Pengukuran kerja merupakan langkah untuk menetapkan dasar perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan, dan juga merupakan langkah untuk memberikan informasi kinerja karyawan. 6. A focused mission: Elemen pokok dari misi yang terfokus adalah suatu orientasi dasar terhadap publik/pelanggan (customer-based orientation). 7. Teamwork: Tim (team) artinya bekerja dengan kelompok di dalam organisasi, dan membentuk kemitraan (partnership) serta gabungan-gabungan lain di luar organisasi. Pengaruh kerja tim dapat terjadi melalui apa yang dilakukan pimpinan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dimana tim bekerja. 8. Employee participation: Partisipasi karyawan untuk menunjang pecapaian hasil jangka panjang memegang peran penting. Dengan pemberian kewenangan yang lebih banyak kepada karyawan maka hal tersebut dapat memberikan kontrol balik dan tanggung jawab yang lebih besar dari bottom line. 9. Reward and recognition: Program pengakuan (recognition program) bisa dimiliki oleh organisasi-organisasi yang tidak hanya mempunyai tujuan memberikan kepuasan kepada pelanggan maupun rekan bisnis semata, akan tetapi juga bertujuan menciptakan kondisi yang bergairah bagi karyawan di tempat kerjanya. 10. Enabling leaders: Organisasi berkinerja tinggi membutuhkan pemimpin berkinerja tinggi. Disebut pemimpin berkinerja tinggi, antara lain jika : mengupayakan belajar bagi organisasinya; fleksibel terhadap kewenangannya; mempunyai keterampilan berkomunikasi; melaksanakan pekerjaan berdasarkan pada visi yang ada; mampu membangun jejaring stratejik (strategic network) dan mampu berbagi (sharing) dengan karyawannya. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa kinerja pemerintah dipengaruhi oleh factor lingkungan baik internal maupun eksternal. Dari sisi internal permasalahan yang kerapkali muncul adalah masalah struktur organisasi yang tinggi, gemuk dan kaku serta sistem kepemimpinan (leadership system) yang out of date. Struktur organisasi menurut Lubis & Huseini (1987) merupakan bentuk organisasi yg dirancang dengan memperhatikan Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 8
  • 9. akibat dari pengaruh keseluruhan faktor (lingkungan, ukuran organisasi, teknologi organisasi, sasaran yang ingin dicapai organisasi) secara bersama13. Secara lebih mikro, Atmosudirdjo (1996) mengartikan struktur organisasi sebagai jumlah total cara-cara (ways) melakukan pembagian kerja menjadi beraneka ragam tugas dan mencapai koordinasi tugas-tugas tersebut diantara pola-pola interaksi yang terdapat atau terjadi diantara para anggota organisasi melalui formalisasi (penegasan secara formal). Merujuk pada pendapat tersebut, maka struktur organisasi dapat dianalogkan dengan lahan pertanian atau perkebunan, yang akan menentukan suatu hasil pertanian atau perkebunan baik atau tidak, karena setiap lahan tergantung pada kualitas lahannya. Dengan kualitas lahan yang sesuai, sangat dimungkinkan tanaman akan mengasilkan panen yang bagus apalagi dengan perawatan yang optimal. Demikian pula dengan struktur organisasi yang adjustable, akan memungkinkan terciptanya strategi yang mantap dan budaya yang kondusif sehingga kinerja organisasi mampu meningkat dari waktu ke waktu. Mencermati struktur organisasi birokratik yang mengakar sangat kuat dalam pemerintah perlu dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi kekinian agar pemerintah mampu meningkatkan kinerja secara signifikan14. Pada Gambar 1 dapat dilihat pergeseran yang perlu dilakukan terhadap model struktur birokratik menjadi model struktur yang adjustable ditinjau dari sisi dimensi-dimensi struktur organisasi. Menggeser paradigma struktur birokratik menjadi struktur yang lebih adjustable adalah suatu keharusan apabila pemerintah menghendaki adanya pertumbuhan kinerja secara terus menerus. Pada dimensi complexity, kompleksitas diferensiasi vertikal dan horizontal perlu disesuaikan dengan strategic issues yang berkembang. Sehubungan dengan hal tersebut antara satu Departemen dengan Departemen yang lain, hierarkhi yang dirancang tidak harus sama, begitu juga dengan jumlah eselon I, II, III, dan IV pun tidak harus sama. Hal demikian juga berlaku bagi Kantor Kementerian Negara, LPND, dan bahkan Pemerintah Daerah. Mencermati perkembangan terakhir komposis Kabinet Indonesia Bersatu, dapat sama-sama kita amati bahwa sesungguhnya susunan yang dirancang belum merujuk pada hasil kajian yang memadai. Hal ini berdasarkan fakta bahwa sampai saat ini jarang ditemui instansi pemerintah atau lembaga lain yang melakukan audit tugas dan fungsi Departemen, Kantor Kementerian Negara, dan LPND15. Kondisi demikian adalah sifat khas model struktur birokratik, dimana bersifat operatif yang miskin aspirasi, data, informasi dan knowledge. Oleh karenanya sangat dimaklumi apabila muncul vonis bahwa “struktur organisasi-organisasi pemerintah kita dibangun dengan common sense”. Karakter demikian jelas membutuhkan penyesuaian menjadi struktur organisasi bervisi sukses yang jelas (clear success vision) dengan memperhatikan secara jeli strategic issues yang berkembang. Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 9
  • 10. Pada dimensi formalization, formalisasi penataan aturan, kebijakan, prosedur dan sebagainya dirancang secara rigid sehingga sangat menyulitkan untuk mengambil respon-respon kreatif terhadap tantangantantangan (challenges) terkini. Hal demikian juga sangat terkait dengan sifat struktur birokratik yang menganggap pegawai adalah beban atau bahkan sumber kesalahan, bukan valuable asset atau bahkan sumber kreatifitas organisasi. Melihat pesatnya perubahan lingkungan, paradigma demikian sudah saatnya diluruskan. Model Struktur Birokratik Model Struktur Adjustable Kompleksitas Diferensiasi (Complexity) Diferensiasi vertikal dan horizontal tinggi dan gemuk Diferensiasi vertikal dan horizontal dibuat datar dan ramping Jabatan-jabatan struktural yang diciptakan kurang memperhatikan mekanisme koordinasi dalam implementasi tugas dan fungsi Jabatan-jabatan structural yang diciptakan merupakan satu kesatuan yang utuh untuk mencapai visi, tujuan dan sasaran organisasi secara terpadu Struktur organisasi dibangun berdasarkan aspirasi yang kurang memadai Struktur organisasi dibangun berdasarkan visi yang jelas Formalisasi Penataan (Formalization) Formalisasi penataan (aturan, prosedur dan sebagainya) terpusat berdasarkan prosedur yang seragam Aturan-aturan diciptakan untuk memastikan suatu respon sesuai dengan kebiasaan rutin Formalisasi pentaaan (aturan, prosedur dan sebagainya) didesentralisasikan berdasarkan satu tujuan melalui nilai-nilai bersama dan kerangka kerja yang lebih luas Menyiedakan kerangka kerja yang mampu memberikan kebebasan respon terhadap tantangan yang berkembang Menilai kinerja berdasarkan prosesprosesnya Menilai kinerja berdasarkan hasil yang dicapai Pengawasan dan pengecekan pekerjaan dilakukan setelah selesainya pekerjaan Pengawasan dan pengecekan kualitas pekerjaan dilakukan sejak awal Sentralisasi Kewenangan (Centralization) Kewenangan berada pada pusat kekuasaan Kewenangan didesentralisaiskan pada pimpinan di bawahnya secara menyeluruh Pegawai dipandang sebagai beban atau bahkan sumber kesalahan Pegawai dipandang sebagai asset bernilai dan sumber kreativitas Tujuan dan sasaran didefinisikan dengan fungsi-fungsi yang ada Tujuan dan sasaran didefinisikan dengan isu stratejik yang berkembang Gambar 1 Pergeseran Model Struktur Birokratik menuju Model Struktur Adjustable (Perspektif Dimensi-dimensi Struktur Organisasi) Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 10
  • 11. Untuk melakukan pergeseran dari formalisasi penataan secara rigid menuju formalisasi yang adjustable, instansi pemerintah perlu melakukan penyusunan kerangka kerja baru yang lebih luas (new broader framework) dan merepresentasikan nilai-nilai bersama (shared values) dimana kemudian kerangka kerja penataan tersebut dalam implementasinya didesentralisasikan. Sehingga dengan demikian unit-unit yang tersebar memiliki kebebasan untuk merespon tantangan yang dihadapi, tanpa mengabaikan tujuan dan sasaran organisasi induknya. Hal demikian juga berdampak positif bagi para pimpinan menengah dan bawah (middle and lower managers), pejabat fungsional dan bahkan para staf pelaksana untuk berani mengambil resiko (risk taking) terhadap tantangan yang ada. Dalam konteks struktur adjustable tersebut, para anggota organisasi --pimpinan puncak, menengah, bawah, pejabat fungsional dan para staf pelaksana sekalipun-- tidak lagi mengenal istilah “a play safe individual”, karena mereka adalah para pengambil resiko. Dalam dimensi centralization, kewenangan pada struktur birokratik berada pada pusat kekuasaan atau pucuk pimpinan. Tradisi pengambilan keputusan dan kewenangan terpusat yang telah mengakar sangat kuat pada instansi-instansi pemerintah pusat dan daerah, telah berakibat sangat buruk bagi level-level manajer yang berada di bawahnya dalam pengambilan keputusan. Kewenangan dan pengambilan keputusan terpusat sebagaimana terdapat pada struktur birokratik dewasa ini pada umumnya telah menciptakan manusia-manusia robot yang mampu mempersembahkan kado mainan bagi para atasnnya. Dari sini pulalah munculnya kesalahkaprahan, yang akhirnya prinsip sebagai “abdi masyarakat dan abdi negara” bagi para pegawai negeri menjadi lentur, kemudian luntur dan akhirnya tidak berbekas. Keadaan demikian tidak bisa dianggap hal biasa karena memang hal tersebut sudah luar biasa. Kewenangan dan pengambilan keputusan harus dapat didesentralisasikan sesuai dengan proporsinya, baik itu dalam konteks kelembagaan pemerintah secara nasional --pusat dan daerah-maupun dalam konteks instansional --instansi per instansi. Dengan kerangka kerja yang komprehensif dan jelas, desentralisasi kewenangan akan berjalan sesuai dengan skenarionya. Dengan melakukan penyesuaian seperti ini, unit-unit yang tersebar akan merasa lebih tertantang dalam menghasilkan kinerja yang lebih optimal. Pemaduselarasan Birokrasi Birokrasi Pemerintah Weber Dalam Perestroika Pesatnya perubahan lingkungan di berbagai aspek dewasa ini jelas membutuhkan antisipasi memadai dari kalangan birokrasi pemerintah di negeri ini. Untuk mampu melakukan antisipasi signifikan, tentunya perilaku Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 11
  • 12. (behavior) birokrasi pemerintah harus mengarah dan sejalan dengan tuntutan lingkungan yang berkembang16. Konsepsi, formula, dan kebijakan lama sudah barang tentu kurang sesuai untuk diaplikasikan di masa kini. Kini saatnya membangun desain besar tata kelola perilaku birokrasi pemerintah secara menyeluruh dan terpadu. Tentu hal ini tidak berlebihan, karena merupakan sebuah tuntutan mutlak untuk mengarahkan perilaku birokrasi pemerintah pada kinerja tinggi sebagaimana tuntutan masyarakat, stakeholders, dan tujuan negara. Menengok kinerja birokrasi pemerintah sejak bergulirnya era reformasi sepuluh tahun silam, tampaknya cukup sudah rentang waktu untuk mentolerir sikap dan perilaku tidak kondusif birokrasi pemerintah. Dewasa ini, pergeseran paradigma administrasi publik dewasa ini telah mendorong pemerintahan negara-negara dunia untuk melakukan berbagai upaya penyesuaian. Penyesuaian dalam konteks ini dimanifestasikan melalui beragam pembaharuan yang tujuannya tidak lain adalah menuju suatu kondisi yang lebih baik. Pembaharuan seperti itu juga terjadi di Indonesia, dimana struktur pemerintahan secara politis mengalami perubahan. Hierarki kekuasaan yang semula sentralisasi bergeser menuju desentralisasi yang diharapkan dapat mencapai keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan secara lebih optimal. Dapat dicermati bahwa perubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat kita telah mendorong peningkatan mutu pelayanan masyarakat, baik yang dijalankan oleh pemerintah maupun swasta. Dalam sebuah makalahnya, Mohamad (1999) berpendapat bahwa setidak-tidaknya terdapat 4 kondisi yang mendorong peningkatan mutu pelayanan masyarakat, yaitu pertama, perkembangan lingkungan dan meningkatnya tuntutan masyarakat sesuai dengan perubahan kualitas hidup masyarakat itu sendiri; kedua menguatnya persaingan produk (barang dan jasa) sehingga memicu sektor swasta dan publik untuk memberikan tawaran terbaik kepada kastamernya; ketiga, semakin lebarnya peluang mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan masyarakat melalui penggunaan teknologi yang terus berkembang; dan keempat, meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan itu sendiri17. Pelayanan publik merupakan representasi dari eksistensi birokrasi pemerintah, hal ini tidak lain karena berkenaan langsung dengan salah satu fungsi pemerintah yaitu memberikan pelayanan. Dengan demikian kualitas pelayanan publik merupakan cerminan dari kualitas birokrasi pemerintah. Di masa lalu, paradigma pelayanan publik lebih memberi peran yang sangat besar kepada pemerintah sebagai sole provider. Peran pihak di luar pemerintah tidak pernah mendapat tempat atau termarjinalkan. Masyarakat dan dunia swasta hanya memiliki sedikit peran dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 12
  • 13. Tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan pemerintah dewasa ini -dari pelayanan yang murah, cepat, tepat, terjangkau dan adil— merupakan tantangan yang perlu segera diantisipasi. Melihat tuntutan ini maka pemerintah perlu menata kembali peran dan fungsinya dengan cara merancang siklus kebijakan publik yang lebih berorientasi hasil (outcomes oriented) dan kepekaan terhadap lingkungan (environment sensibility) serta pertanggungjawaban yang kuat mengenai “kepada siapa kebijakan tersebut akan pertanggungjawabkan”. Sehubungan dengan kedudukan pemerintah sebagai lembaga yang memperoleh legitimasi dari rakyat untuk menghasilkan goods and regulations dimaksud, maka kemudian menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk memenuhi hal tersebut pada kondisi pelayanan bermutu tinggi (hi-quality services) sebagai bentuk pertanggungjawaban publik. Pada umumnya pergeseran paradigma pelayanan adalah pergeseran dari birokrasi yang dilayani menjadi birokrasi yang melayani. Berkaitan dengan reformasi kebijakan dan manajemen pelayanan publik, salah satu prinsip penting yang perlu dikembangkan adalah prinsip streering rather than rowing. Prinsip ini menekankan bahwa pemerintah tidak harus secara terus menerus bekerja sendiri, dan saatnya kini mengubah cara kerja pemerintah dalam ranah pelayanan publik, sehingga tujuan pelayanan dapat dicapai dengan lebih baik. Paradigma baru di bidang pelayanan dimaksud secara signifikan mempengaruhi cara pandang tradisional terhadap peran pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Perilaku birokrasi pemerintah dalam konteks memenuhi tuntutan masyarakat, stakholders, dan tujuan negara jelas bukan semata-mata perilaku birokrasi yang anti kepada sikap dan tindak kolusi, korupsi, dan nepotisme. Perilaku birokrasi pemerintah harus juga mengarah pada inovasi berkelanjutan dan meningkatkan keunggulan daya saing. Untuk dapat mengarah pada kondisi tersebut, maka langkah pembaharuan perilaku birokrasi pemerintah dirasakan semakin perlu, penting, dan bahkan mendesak18. Permasalahan yang melekat dalam organisasi pemerintah (pusat dan daerah) pada umumnya merupakan permasalahan klasik yang sampai sekarang belum banyak mengalami perubahan. Permasalahanpermasalahan tersebut dapat dilihat dari ciri-cirinya yaitu: tinggi dan gemuknya struktur organisasi, overlapping tugas dan fungsi, peranannya lebih bersifat rowing daripada steering, dan keberadaannya tidak stabil. Ciri-ciri tersebut diuraikan sebagai berikut19: a) Tinggi dan gemuknya struktur organisasi. Penyusunan struktur organisasi pemerintah (pusat dan daerah) pada umumnya belum melalui kajian akademis yang memadai. Kecenderungan pemerintah (pusat dan daerah) selama ini lebih mendasarkan pada formasi maksimal yang ditentukan oleh Peraturan Pemerintah. Bahkan pada Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 13
  • 14. umumnya pemerintah (pusat dan daerah) meminta formasi yang lebih besar dari yang ditentukan. b) Tumpang tindih tugas dan fungsi (overlapping) yang berlebihan. Meskipun untuk mengindari sama sekali overlapping tugas dan fungsi antar satuan unit kerja pemerintah (pusat dan daerah) tampaknya sesuatu hal yang sangat sulit dilakukan, selayaknya overlapping yang berlebihan harus dihindari. Pada keadaan tertentu bahkan dapat memicu konflik karena masing-masing merasa punya kewenangan dan tanggungjawab. c) Peranannya lebih bersifat rowing daripada steering. Struktur organisasi pemerintah (pusat dan daerah) yang gemuk merupakan cerminan dari banyaknya fungsi rowing yang dikembangkan oleh pemerintah (pusat dan daerah). Sementara pergeseran paradigma pemerintahan mengarah pada fungsi steering. Fungsi rowing tersebut tentunya selain menyebabkan pemborosan baik dari sisi biaya, tenaga, material dan waktu juga kurang berdampak signifikan terhadap pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha. d) Keberadaannya tidak stabil. Perubahan organisasi yang sering terjadi menyebabkan berbagai kebijakan publik tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Hal ini diakibatkan karena perubahan organisasi akan mempengaruhi pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya. Akibat paling parah dari ketidakstabilan organisasi adalah terjadinya inefisiensi di dalam pengelolaan aset organisasi yang telah dimiliki. Kondisi ini terjadi disebabkan keberadaan suatu organisasi tidak didukung oleh suatu kajian yang komprehensif dan lebih berdasarkan pada kepentingan jangka pendek. Dua kali perubahan organisasi departemen yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid menunjukkan bahwa keputusan tersebtu tidak berdasarkan hasil kajian yang mendalam oleh institusi yang kompeten. Efisiensi yang diharapkan dengan perubahan tersebut tidak dapat diwujudkan, sebaliknya memicu munculnya persoalan-persoalan baru dalam penataan kewenangan, aset dan kepegawaian. Dengan dimikian perubahan organisasi departemen yang dilakukan oleh Pemerintah tidak sejalan dengan prinsip pengembangan organisasi. Melihat permasalahan yang eksis hingga saat ini, tampaknya kita perlu untuk melihat latar belakang mengapa kondisi tersebut bertahan dan/atau dipertahankan. Disadari atau tidak bahwa kelembagaan pemerintah pusat dan daerah di Indonesia pada umumnya, merupakan dampak dari sebuah sistem pemerintahan. Dikaitkan dengan lingkungan pemerintahan daerah, maka kondisi semacam ini merupakan salah satu pengaruh dari lingkungan politik administratif terhadap sistem pemerintahan daerah yang dikembangkan. Mencermati hal demikian, tentunya permasalahan kelembagaan pemerintah (pusat dan daerah) jelas bukanlah sesuatu yang mudah dan sederhana untuk diatasi. Meskipun dalam kurun waktu satu Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 14
  • 15. dekade terakhir keberadaan aparatur pemerintah di Indonesia --baik pusat maupun daerah-- dituntut mengurangi jumlahnya, tetapi hal tersebut bukan berarti harus mengurangi tingkat pentingnya fungsi aparatur pemerintahan itu sendiri. Hal demikian senada dengan pernyataan Prof. Awaloedin Djamin (1998) berikut20: ”Peran aparatur negara, khususnya peran aparatur pemerintah di seluruh dunia, menunjukkan kecenderungan berkurang dan berubah. Namun ini tidak berarti peran aparatur pemerintah akan kurang penting dan menjadi mudah. Terutama di negara-negara yang melaksanakan pembangunan nasional berencana, seperti Indonesia, fungsi aparatur pemerintah akan bertambah kompleks mengingat perkembangan lingkungan strategis, global, regional dan nasional”. Dalam perspektif manajemen, birokrasi modern yang diperlukan saat ini ialah birokrasi yang secara fisik organisasional relatif kecil dan padat (compact) tetapi secara kualitatif kapasitasnya besar atau yang selama ini dikenal dengan “ramping struktur kaya fungsi”. Disamping itu terdapat 2 (dua) konsep klasik yang masih terus relevan, yaitu: 1) structure follows function, dimana besaran organisasi harus benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan; serta 2) money follows function, dimana anggaran yang dialokasi dipatokan dengan fungsi yang dimiliki oleh lembaga tersebut. Dengan demikian diharapkan akan mengurangi hukum Parkinson Effect yang menyebutkan bahwa organisasi dari waktu ke waktu cenderung menggemukkan dirinya sendiri dan menjadi semakin boros (inefisien). Di muka telah diuraikan bahwasanya teori birokrasi Weber, selain masih memiliki keunggulan, juga terdapat beberapa hal yang perlu disesuaikan dengan kondisi kekinian sesuai dengan permasalahan yang ditemui oleh organisasi birokrasi pemerintah (pusat dan daerah) berdasarkan tugas dan fungsi masing-masing. Dalam upaya mengotimalkan perestroika birokrasi pemerintah, setiap organisasi pemerintah (pusat dan daerah) harus mampu mengenalola seluruh komponen-komponen penting organisasinya secara memadai. Sehubungan dengan hal tersebut, Congruence Model yang ditawarkan oleh Nadler & Tushman dapat dijadikan rujukan. Pondasi Model Kongruen (Congruence Model) Nadler dan Tushman adalah bahwasanya sebuah organisasi merupakan system terbuka (open system) dimana subsistem-subsistem organisasi terpengaruh oleh lingkungan eksternalnya (external environment). Nadler & Tushman (1997) menyatakan bahwa setiap organisasi berusaha untuk mentransformasi dirinya agar mampu berada pada sudut pandang yang seimbang (a balanced perspective). Mereka menyebut cara pandang seperti ini the Congruence Model of Organizational Behavior.21 Premis mereka adalah bahwa “components of any organization exist in various states of balance and consistency” (komponen-komponen setiap organisasi berada dalam beragam pernyataan keseimbangan dan konsistensi) (Nadler & Tushman, Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 15
  • 16. 1997: 28). Semakin tinggi tingkat keseimbangannya (congruence), maka organisasi menjadi semakin efektif. Congruence Model tersebut menyiratkan bahwa terdapat suatu interdependensi dengan operasi sistemik di dalam setiap organisasi yang berusaha untuk mentransformasi dirinya. Nadler & Tushman (1997) lebih lanjut menyatakan bahwa Congruence Model memiliki empat komponen organisasi, yaitu: 1. work – the basic efforts put forth by the various parts of an organization, 2. individual – characteristics of employees in the organization, 3. formal organizational arrangements – various structures, processes, and methods that are formally created to allow individuals to perform tasks that include control mechanisms, reward systems, and job design elements, and 4. informal organization – emerging arrangements of structures, processes, and relationships including leader behavior, values, and politics Congruence model dikembangkan sebagai cara pandang pada sebuah organisasi dengan mamahami konsep keterpaduan organisasional (organizational fit) dan organisasi sebagai system (organizations as systems)22. Komponen organisasi sebagai system terdiri atas masukan ke dalam system (inputs into the system) yang meliputi lingkungan, sumberdaya organisasi, dan sejarah; proses transformasi atau strategi bisnis; dan keluaran (outputs) yang meliputi pola aktivitas organisasi, perilaku, dan kinerja. Mekanisme transformasi adalah operasi organisasi yang terdiri atas tugas/pekerjaan (the work), pegawai (the people), organisasi formal (the formal organization), dan organisasi informal (the informal organization). Operasi organisasi sebagai “heart of the congruence model”, dikatakan oleh Nadler (1998:32) menggunakan bisnis strateginya untuk menghasilkan keluaran (outputs), semua hal yang terkait dalam konteks lingkungan dan sumberdaya dan sejarah organisasi.” Nadler (1998) menegaskan bahwa semua komponen system harus terpadu bersama (fit together) agar organisasi menjadi efektif. Sehubungan dengan hal tersebut organisasi yang efektif dicirikan dengan sebagaimana baik komponen-komponen organisasi terpadu bersama. Ketika terdapat keterpaduan yang kuat (congruence) diantara komponen-komponen operasi organisasi, maka tingkat efektivitas dan kinerja yang tinggi akan dapat dicapai. Penutup Meskipun bukan satu-satunya rujukan, teori birokrasi Weber merupakan sebuah tonggak sejarah bagi teori dan perilaku organisasi. Kontribusi dan Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 16
  • 17. pengaruhnya juga luar biasa penting bagi pencapaian kinerja sebuah organisasi. Tetapi meskipun demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang mencoba mengikuti perkembangan perubahan yang tiada henti bahkan semakin pesat. Menyikapi keadaan demikian, mutlak bahwa organisasi birokrasi pemerintah juga dituntut mengikuti perubahan yang terjadi. Reformasi birokrasi yang telah dicanangkan sejak satu decade ini, dapat diyakini belum mampu membuahkan hasil sebagaimana harapan warga bangsa. Upaya keras, cerdas, dan komitmen yang kuat dari seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah merupakan sebuah keniscayaan yang harus ditekuni. Perilaku jajaran birokrasi pemerintah harus mampu bergeser menuju pada new behaviors yang mampu mewujudkan kinerja tinggi. New behaviors tersebut adalah bekal untuk memiliki daya saing, sekaligus bekal untuk mengantisipasi beragam perubahan. Cita-cita bangsa Indonesia yang begitu luhur harus mampu diwujudkan. End Notes:                                                              1 Prajudi Atmosudirdjo, Teori Organisasi dalam Ilmu Administrasi. (Jakarta: STIA-LAN Press, 1996). 2 Peter Evans & James Rauch, Bureaucracy And Growth: A Cross-National Analysis of the Effects of "Weberian" State Structures on Economic Growth, dari http://sociology.berkeley.edu/faculty/evans/burperf.html (retrieved 24/03/2004) 3 Haris Faozan, Mengoptimalkan Key Enablers of Innovation sebagai Key Leverages Reformasi Birokrasi (sebuah tinjauan dari perspektif organization development), dalam Beberapa Catatan Mengemban Misi Reformasi Birokrasi dan Administrasi Negara pada Pemerintahan Baru Pasca Pemilu 2004, Idup Suhady dan Sugiyanto (eds). (Jakarta: Lembaga Adminisrasi Negara, 2004) 4 Ricky Griffin & Gregory Moorhead, Fundamentals of Organizational Behavior: Managing People and Organization. (Wilmington, MA: Houghton Mifflin Company, 2005). 5 Hellriegel, Jackson, & Slocum , Management: Competence-based Approach. (SouthWestern College Publishing, 2002). 6 Ludwig Theuvsen, On Good And Bad Bureaucracies: Designing Effective Quality Management Systems In The Agrofood Sector, dari http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/24993/1/sp04th01.pdf (retrieved 24/03/2004) 7 Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Berkeley: University of California Press, 1986), dalam Ludwig Theuvsen, On Good And Bad Bureaucracies: Designing Effective Quality Management Systems In The Agrofood Sector, dari http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/24993/1/sp04th01.pdf (retrieved 24/03/2004) 8 Stephen P. Robbins & Mary Coulter, Management, 8th edition. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, Inc., 2005) 9 Haris Faozan, Reformasi Kebijakan dan Manajemen Pelayanan menuju terwujudnya Daya Saing Birokrasi, dalam (Samarinda: PKP2A III-LAN, 2008) 10 Fungsi pelayanan masyarakat yang mencakup environmental services ( misalnya jalan, trotoar, dan taman) dan personal services ( seperti pendidikan dan kesehatan); Fungsi pembangunan mencakup diantaranya: 1) Menyiapkan prasarana-prasarana yang mendukung kegiatan perekonomian ( misalnya pasar, gudang, jalan, trotoar, road safety, Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 17
  • 18.                                                                                                                                                                                      marka jalan, terminal, pelabuhan, parkir, dan sistem transportasi); 2) Mengatur urusanurusan perijinan, membantu perkreditan, perencanaan lahan perkotaan (RUTRK), pengadaan dan penyiapan lahan untuk kepentingan prasarana umum, perlindungan konsumen, dan peningkatan mutu produksi; 3) Pengaturan pedagang kaki lima, pengaturan dan peningkatan sektor informal dan industri kecil, pemberian ketrampilan (training centres dan rehabilitation centres), menggalakkan terbentuknya job centres sebagai bursa tenaga kerja; 4) Peningkatan gerakan swadaya masyarakat dalam pembangunan melalui Koperasi, LSM dan sebagainya; Fungsi ketentraman dan ketertiban mencakup diantaranya: 1) Penciptaan Ketentraman dan Ketertiban yang dilaksanakan oleh pihak Militer, Kepolisian, dan Polisi Pamong Praja; 2) Perlindungan hukum untuk masyarakat; 3) Perlindungan dari bencana alam. 11 Mustopadidjaja AR., Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. (Jakarta: LAN –BPKP, 2000). 12 Sandra P. Hale, High Performance Organization, dalam J.L. Perry, Handbook of Public Administration, 2nd edition. (San Francisco: Jossy-Bass Inc., 1996) 13 S.B.H Lubis dan Martani Huseini, Teori Organisasi: suatu pendekatan makro. (Jakarta: Pusat Antar Universitas-Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, 1987). 14 Haris Faozan, “Bureaucratic Structure Perestroika: Memperbarui Lahan Bagi Pertumbuhan Kinerja Kelembagaan Pemerintah,” Jurnal Ilmu Administrasi- STIA-LAN Bandung, Vol 2 (4), 2005, h. 335-346. 15 Lihat Hasil Kajian Pusat Kajian Kinerja Kelembagaan-Lembaga Administrasi Negara, Efisiensi dan Efektivitas Kelembagaan Pemerintah. (Jakarta: PKKK-LAN, 2006. Tidak Dipublikasikan) 16 Guna mengarahkan perilaku dimaksud dalam konteks pengembangan organisasi dikenal dengan terminologi the Behavior Strategy. Strategi ini menekankan bahwa pembelajaran pegawai akan membawa perubahan organisasi yang dibutuhkan. Dalam hal ini, pembelajaran pegawai semestinya mengandung pemerolehan knowledge, skills and new attitudes yang akan mengarah pada perilaku-perilaku yang baru (new behaviors). New behaviors inilah yang kemudian akan mengarah pada peningkatan kualitas dan kinerja individu, kelompok, dan bahkan organisasi.Sebaliknya, pendekatan pelatihan dan pengembangan pegawai birokrasi pemerintahan belum diorientasikan secara memadai pada pemerolehan dan pengembangan knowledge, skills and attitudes semacam itu. Hal ini bisa dirasakan karena implemetasi pelatihan dan pengembangan dilakukan secara parsial, tidak konsisten, dan jauh selaras dari pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi. 17 Dr. Ismail Mohamad, Kualitas Pelayanan Masyarakat: Konsep dan Implementasinya, dalam Miftah Thoha (Editor), Administrasi Negara, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 1999). 18 Pembaharuan dalam konteks peningkatan perilaku birokrasi pemerintah merupakan salah satu bagian kritis yang perlu dipahami secara mendalam dan perlu diaplikasikan dalam mendukung kinerja birokrasi pemerintah. Secara konseptual terdapat empat wilayah kritis yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan pembaharuan, yaitu: (The Performance-Based Management Handbook, Vol. 1. p. 65) 1. Kepemimpinan (leadership). Kepemimpinan merupakan hal pertama dan utama yang perlu diperhatikan apabila upaya reengineering dapat bekerja. Pemimpin harus terus mengkomunikasikan berbagai hal utama dan mendasar suatu reengineering, meliputi kejelasan definisi hasil yang ingn dicapai, kejujuran tentang apa yang akan coba diraih, dan rancangan agenda. 2. Lingkungan (environment). Dalam proses pembaharuan, manajemen perlu mengetahui dan membutuhkan keterlibatan para kastamer dan stakeholder, keterkaitan proses terhadap kastamer, dan tinjauan praktek-praktek terbaik yang akan dilibatkan dalam proses tersebut. 3. Sistem teknikal (technical systems). Manajemen perlu mencari dan menemukan bantuan sumberdaya dari luar sehingga upaya pembaharuan dapat berhasil. Selain Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 18
  • 19.                                                                                                                                                                                      itu, manajemen perlu mengikuti proses yang terbukti manfaatnya dan mengembangkan rencana implementasi bagi proses secara menyeluruh. 4. Sistem pegawai (people systems). Pembaharuan hanya akan bekerja jika para pegawai diperhitungkan dan dilibatkan pada semua tingkat. Tim perlu diberdayakan, dan tim lintas fungsi perlu dibangun dan bekerja untuk mengatasi semua permasalahan yang terjadi. 19 Lihat juga Haris Faozan & Muzani M. Mansoer, Organisasi Pemerintahan Daerah, dalam Adi Suryanto (Editor), Manajemen Pemerintahan Daerah. (Jakarta: Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara, 2008). 20 Awaloedin Djamin, Penyempurnaan Aparatur dan Administrasi Negara RI: Evaluasi Dasawarsa I dan Prospeknya. (Jakarta: Yayasan Pembina Manajemen Lembaga Administrasi Negara, 1994). 21 David A. Nadler & M. L. Tushman, Competing by design: The power of organizational architecture. (New York: Oxford University Press, 1997) 22 David A. Nadler, Champions of Change. (San Francisco: Jossey-Bass Publishers, 1998). Memaduselaraskan Konsep Birokrasi Weber Dalam Perestroika Birokrasi Pemerintah Di Indonesia | 19