Maqashid Syari'ah dan metode ijtihad saling berhubungan erat. Metode ijtihad seperti qiyas, istihsan, al-mashlahat al-mursalat, dan saddu al-zari'at semuanya berusaha menemukan kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan, yang merupakan tujuan utama dari Maqashid Syari'ah. Para ulama menggunakan berbagai metode ijtihad ini untuk menetapkan hukum agar selalu sejalan dengan p
2.
Maqashid merupakan bentuk jama’ dari
maksud, tujuan
secara bahasa adalah tempat
menuju ke sumber air tanpa terputus
secara
makna syar‟i adalah Sesuatu yang ditetapkan Allah SWT
untuk hambanya berupa ajaran agama. Korelasi makna
bahasa dan makna syar’I merupakan jalan ke arah
sumber pokok kehidupan.
berarti tujuan dan
fungsi syariat berupa mendatangkan kemaslahatan, baik
dalam bentuk mewujudkan maupun memelihara
kemaslahatan tersebut.
Maqashid Syari‟ah adalah konsep untuk mengetahui
nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersurat dan tersirat
dalam Al-Qur’an dan Hadits, ditetapkan oleh al-Syari'
terhadap manusia adapun tujuan akhir hukum tersebut
adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan
3.
Ibnu Qayyim dan al-syatibi sepakat bahwa Tujuan
Hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemashlahatan hamba dunia dan akhirat.
Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung
keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika
keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka
hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum
Islam .
Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia
dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh
merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam
lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk
melestarikan dan menjamin terwujudnya
4.
Ijtihad merupakan pencurahan kemampuan seorang
mujtahid dalam rangka memperoleh hukum-hukum
syar’i. ijtihad ini biasa digunakan oleh ahli ushul fiqih
untuk mencari kemaslahatan suatu masalah.
Berbagai macam istilah telah digunakan oleh ahli
ushul fiqih untuk menyebut metode penemuan
hukum. Namun pada dasarnya semua metode
tersebut bermuara pada upaya penemuan maslahat
dan menjadikannya sebagai alat untuk menetapkan
hukum yang permasalahannya tidak disebutkan
dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Maka atas dasar
inilah dapat dikatakan bahwa setiap metode
penetapan hukum yang dipakai oleh para ahli ushul
fiqih bersumber dari Maqashid Al-Syari‟ah.
5. Adapun hubungan antara Maqashid Al-syari’ah dengan beberapa metode
ijtihad dapat dikemukakan dalam beberapa aspek maslahat yang dapat
dilihat dari:
1. Qiyas
Dalam ilmu fiqih, qiyas pada umumnya dirumuskan sebagai kiat untuk
menetapkan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nash dengan cara
menyamakan dengan kasus yang terdapat dalam nash, disebabkan
persamaan illat hukum. Berdasarkan rumusan ini maka dalam
menggunakan metode qiyas, paling tidak empat unsur yang harus ada yaitu
„ashl, far‟u, hukmu al-„ashl, dan illat. Dari keempat unsur itu unsur yang
terakhir yaitu illat, sangat penting dan sangat menentukan. Ada atau tidak
adanya suatu hukum dalam kasus baru sangat tergantung pada ada atau
tidak adanya illat pada kasus tersebut.
Berbicara tentang illat perlu ditelusuri pengertiannya dalam perbedaan
serta hubungan dengan hikmat. Dalam ilmu ushul fiqih, illat dirumuskan
sebagai suatu sifat tertentu yang jelas dapat diketahui secara obyektif (
zhahir ), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolak ukurnya dan sesuai
dengan ketentuan hukum yang keberadaannya merupakan penentu
adanya hukum. Sedangkan hikmat adalah yang menjadi tujuan atau
maksud disyari’atkan hukum dalam wujud kemasalahatan bagi manusia.
Jadi perbedaan antara keduanya terletak pada peranannya dalam
menentukan ada atau tidak adanya hukum. Illat merupakan “tujuan yang
6.
Adapun contoh yang sering digunakan oleh ahli
ushul fiqih adalah mengenai shalat qashr. Untuk
menetapkan boleh atau tidaknya shalat qashr telah
ditetapkan bahwa berpergian merupakan illat
dibolehkannya shalat qashr. Sedangkan
kesulitannya merupakan hikmat dibolehkannya
shalat tersebut. Jadi boleh atau tidaknya shalat
qashr tergantung pada ada atau tidak adanya illat,
yaitu berpergian sebab berpergian dianggap
sebagai indicator adanya kesulitan. Sedangkan
dalam bidang mu’amalah biasanya dikemukakan
tentang hak syuf‟at yaitu hak pembelian bagi
seseorang yang berserikat dengan penjual dalam
sebidang tanah atau tempat tinggal. Dalam hal ini
persekutuan merupakan illat adanya hak syufa’at.
Sedangkan hikmatnya adalah untuk menghindari
7.
Perlu ditambahkan bahwa meskipun contoh diatas
mewakili dua aspek ilmu fiqih, ibadah dan mu’amalah
namun perlu dibedakan antara illat dalam bidang ibadah
dan illat dalam bidang mu’amalah. Dalam bidang bidang
ibadah illat tidak boleh lebih dari sekedar manfa‟at tidak
ada pengaruhnya terhadap istinbath hukum. Dengan
kata lain illat dalam bidang ibadah tidak efektif. Karena
itu pada dasarnya qiyas dalam bidang ibadah tidak
dapat diberlakukan. Sedangkan dalam bidang
mu’amalah illat berlaku efektif dalam menetapkan
hukum. Hal ini didasarkan pada satu teori, bahwa pada
dasarnya aspek mu‟amalah dapat diketahui hikmat dan
rahasianya, sedangkan aspek ibadah tidak demikian.
8.
Berdasarkan pernyataan diatas dapat dipahami bahwa
dalam qiyas penemuan illat dari hikmat sangat
menentukan keberhasilan mujtahid dalam menetapkan
hukum. Dari sinilah dapat dilihat betapa eratnya
hubungan antara metode qiyas dengan metode
Maqashid Al-Syari’ah. Para ahli ushul fiqih
mengolaborasikan keterkaitan antara keduanya.
Menurut mereka hikmat baru dapat dijadikan illat setelah
diketahui dan ditelusuri maksud disyari‟atkan hukum itu.
Dalam menentukan maksud dan tujuan hukum itu tidak
dapat diabaikan pemahaman tentang mashlahat dan
mafsadat yang merupakan inti dari kajian maqashid alsyari’ah.
9. 2. Istihsan
Istihsan menurut istilah yaitu beralihnya pemikiran seorang
mujtahid dari tuntutan qiyas yang nyata kepada qiyas yang
samar atau dari hukum umum kepada perkecualian karena ada
mashlahat yang memenangkan perpindahan itu. Metode ini erat
kaitannya dengan maqashid al-syari’ah.
Adapun beberapa macam istihsan yang langsung ataupun tidak
langsung berkaitan dengan teori maqashid al-syari’ah yaitu :
a. Istihsan bi al-Nash yaitu istihsan berdasarkan pada nash lain
yang menghendaki tidak berlakunya dalil yang pertama. Dalil
yang pertama bersifat khusus sedangkan dalil yang kedua
bersifat umum.
Contoh :
Jual-beli salam, pada dasarnya jual beli salam itu dilarang
sebagaimana hadits nabi yang menjelaskan bahwa “janganlah
kamu menjual sesuatu yang bukan milikmu” akan tetapi nabi
sendiri yang mengecualikan ketentuan itu untuk jual beli salam.
Adapun hikmat dibenarkan jual-beli tersebut adalah untuk
membantu pedagang yang tidak punya modal yang cukup
10. b.
Istihsan bi al-mashlahat yaitu istihsan yang
didasarkan pada mashlahat dalam berbagai
peringkatnya padahal qiyas sendiri tidak
menghendaki demikian. Adakalanya
mashlahat itu masuk peringkat dharuriyat dan
adakalanya masuk hajiyat.
Sebenarnya berbicara tentang istihsan maka
sudah dipastikan bahwa tujuannya adalah
untuk memperoleh kemashlahatan. Hanya
saja kemashlahatan yang dimaksud
adakalanya ditentukan oleh nash dan
adakalanya tidak. Dalam hal yang disebut
11. 3. Al-Mashlahat Al-Mursalat
Sebagaimana halnya metode ijtihad lainnya almashlahat al-mursalat juga merupakan metode
penetapan hukum yang kasusnya tidak diatur secara
eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadits. Hanya saja metode
ini lebih menekankan pada aspek mashlahat secara
langsung. Sehubungan dengan metode ini dalam ilmu
ushul fiqih dikenal ada tiga macam mashlahat yaitu
mashlahat mu‟tabara yaitu mashlahat yang diungkapkan
secara langsung baik dalam Al-Qur’an ataupun hadits.
Maslahat mulghat yaitu maslahat yang bertentangan
dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber
hukum islam. Yang terakhir maslahat mursalat yaitu
maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber
hukum islam tersebut.
12. Pada dasarnya mayoritas ahli ushul fiqih menerima
metode maslahat mursalat. Untuk menggunkan metode
tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Adapun
beberapa syarat menurut Al-Ghazali agar maslahat
dapat dijadikan dasar hukum adalah sebagai berikut :
1. Kemaslahatan itu termasuk dalam kategori dharuriyyat.
Artinya bahwa untuk menetapkan suatu kemaslahatan
tingkat keperluannya harus diperhatikan. Apakah sampai
mengancam lima unsur pokok maslahat atau belum
sampai pada batas tsb.
2. Kemaslahatan itu bersifat qath‟i. Artinya yang dimaksud
dengan maslahat tersebut benar-benar telah diyakini
sebagai maslahat, tidak didasarkan pada dugaan (zhan)
semata-mata.
3. Kemaslahatan itu bersifat kulli. Artinya bahwa
kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif
tidak bersifat individual.
4. Berdasarkan persyaratan diatas maslahat yang
13. 4. Saddu Al-Zari‟at
Saddu Al-Zari’at dapat diartikan sebagai upaya
mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap
satu kasus hukum yang pada dasarnya mubah.
Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari
perbuatan atau tindakan lain yang dilarang.
Metode ini lebih bersifat preventif artinya segala
sesuatu yang mubah tetapi membawa kepada
perbuatan yang haram maka hukumnya menjadi
haram. Diantara kasus yang diselesaikan dengan
metode ini adalah kasus pemberian hadiah
kepada hakim. Seorang hakim dilarang menerima
hadiah dari para pihak yang sedang berperkara,
sebelum pekara itu diputuskan. Karena
14. Para ahli ushul fiqih membagi zari’at menjadi empat
macam yaitu :
1. Zari’at yang secara pasti akan membawa mafsadat,
seperti menggali sumur dijalan umum yang gelap.
Terhadap zari’at seperti ini para ahli ushul fiqih
sepakat melarangnya.
2. Zari’at yang jarang membawa mafsadat, seperti
menanam dan membudidayakan anggur. Meskipun
buah anggur kemungkinan dapat dibuat minuman
keras namun hal tersebut termasuk jarang. Karena itu
ahli ushul fiqih menanam anggur tidak perlu dilarang.
3. Zari’at yang berdasarkan dugaan yang kuat akan
membawa pada mafsadat seperti menjual buah
anggur kepada orang atau perusahaan yang biasa
memproduksi minuman keras. Dan zari’at ini harus
dilarang.
4. Zari’at yang sering kali membawa mafsadat namun
kekhawatiran terjadinya tidak sampai dugaan yang
kuat melainkan atas dasar asumsi biasa saja.
Misalnya transaksi jual-beli secara kredit.
15.
Terlepas dari kategori mana zari’at yang harus
dilarang yang jelas dapat dipahami bahwa metode
saddu al-zari’at secara langsung berhubungan
dengan memelihara kemaslahatan sekaligus
menghindari kemafsadatan. Itulah gambaran
ringkasan tentang teori tentang ijtihad dan
hubungannya dengan maqashid al-syari’ah. Ijtihad
dapat dikatakan sebagai metode dalam
penetapan hukum Islam. Sebagai metode tentu
memiliki melebihan dan kekurangan. Begitu pula
dengan teori maqashid al-syari’ah. Teori ini
dikembangkan oleh syaitibi dari kalangan
malikiyah. Kelebihan dari teori ini adalah adanya